7. HILANG AKAL

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nadia menatap tangannya yang digenggam Evan. Seharusnya dia tarik saja kalau mau, tapi hatinya bilang biarkan saja. 

"Kenapa? Lo mau pulang, kan? Gue  nggak keberatan kalo lo mau nginep." Evan mengatakan ini karena Nadia tidak bergerak sedikitpun. Cewek itu malah melamun. 

Sontak Nadia melotot galak ke arahnya. 
"Candaan lo nggak asyik." Nadia menarik tangannya dan berjalan keluar lebih dulu. 

Yang benar saja, nginep? Argh, jantung bisa santai dikit nggak, sih. Nadia menepuk dadanya yang bertindak ugal-ugalan. 

Evan tersenyum, dia tahu cewek itu mulai ada rasa padanya. 

"Ayo, buruan! Gue nggak mau disetrap bokap lo kalo telat balik." 

Nadia tercekat, Evan bahkan belum tahu kondisi rumahnya seperti apa. Dan, bagaimana kalau Marco ada di rumah? Dia akan sangat bersyukur kalau hal yang terjadi sebaliknya. 

"Apa lagi? Beneran mau nginep ya, lo?" Evan berbalik dan berdiri tepat di hadapan Nadia. 

Sedang Nadia yang baru tersadar dari lamunan langsung mundur selangkah. Posisinya terlalu dekat, bukannya tidak nyaman tapi setiap kali Evan menatap, Nadia deg-degan. Dia bahkan tidak punya riwayat sakit, tetapi jantungnya sering berdetak cepat tanpa dikomando. Alhasil, dia akan gugup dan otomatis menghindar. 

"Ki-kita …  ehemm … jalan yuk, Kak!" Nadia mendului Evan lalu berdiri menunggu samping motor. 

"Lo ngajak jalan gue? Artinya kita nge-date?" Evan suka melihat Nadia yang salting dan memerah pipinya. 

"Kak Evaaan," geram Nadia. Dia nyaris hilang akal kalau Evan terus-menerus bersikap aneh. 

"Ok ok ok." Evan mati-matian menahan tawa. Sungguh momen seperti ini ingin dia rasakan lagi dan lagi. Andai bisa hentikan waktu, rasanya dia sanggup lakukan apa saja. 

Ok, Kak. Gue turutin permintaan lo, ah, perintah lebih tepatnya. Kalo saja lo tahu, gue ngerasa aneh waktu lo bilang waktu tutor buat gue udah selesai. Gue terlanjur suka sama suasana rumah lo. Gue juga suka lihat lo senyum, meskipun seringnya ketusin gue. 

Jangan sampai ketahuan lagi kalau melamun, bisa-bisa dia dipaksa masuk lagi ke rumah. Evan ini memang ajaib, galak, datar, suka seenaknya ungkap perasaan ke Nadia dan membuatnya dugun-dugun tak karuan. 

***

Marco ada di depan rumah saat Nadia sampai rumah. Evan berniat menyapa sebelum pergi, tapi reaksi Marco di luar dugaan.

"Anak nggak tau diri kamu, ya. Pulang jam segini, diantar sama cowok. Mau jadi apa kamu?" bentak Marco sambil berkacak pinggang.

"Nadia kan udah pernah bilang, Yah. Ini yang kasih tutor buat mapel science-nya Nad," jawab Nadia dengan intonasi rendah. Nadia tidak mau Evan melihat satu kebenaran dalam keluarganya. Meskipun bentakan tanpa alasan jelas langsung pecah begitu kaki Nadia menginjak ubin teras rumah.

"Kamu ini selalu jawab kalo dikasih tahu. Udah nyerah aja sama taruhan kamu itu, nggak masuk akal semua. Kamu sama Bunda kamu itu, selamanya akan bergantung sama Ayah. Kalian pikir gampang apa cari uang." Marco membuka fakta tentang taruhan yang Nadia buat. Hal yang membuat Nadia harus putar otak, belajar dan cari uang.

"Sampai kapan pun Nad nggak akan nyerah,Yah." Nada suara Nadia mulai naik. Kesabarannya nyaris runtuh, bahkan rasa hormat dan sayangnya entah raib ke mana. Tetapi dia ingat ada Evan di sana. Orang yang seharusnya tidak menyaksikan drama keluarga tak penting ini. 

Marco naik pitam, tangannya melayang keras mendarat di pipi Nadia. Dua kali. Pipi kanan berikut pipi kirinya, Nadia terhuyung ke belakang.

Evan langsung menahan tubuh Nadia. Awalnya dia hanya ingin berpamitan. Namun rasa penasaran pada Nadia sejak di UKS itu, membuatnya bertahan di tempatnya. Sejak awal dia menahan diri dan terus diam. Kalau dia ikut campur bisa dipastikan Nadia tidak akan suka. 

"Nad, lo nggak apa-apa?" 

Nadia shock, dia hanya terdiam. Kekerasan fisik Marco tidak akan dia lupakan. Perihnya menusuk hingga relung hatinya paling dalam. Evan menatap Nadia khawatir. Melihat cewek itu hanya terdiam tanpa bisa menjawab, sungguh membuatnya gila. Tangannya mengepal kencang, ingin memeluk tapi mustahil dilakukan. Suasana sudah kacau, tentu saja Evan tak ingin menambah dengan kekacauan baru lagi. Entah Marco sanggup bertindak sejauh apa, dia tak menyesal sedikitpun setelah menampar anaknya. 

"Om, maaf saya ikut bicara. Nadia nggak salah. Saya tutor belajarnya Nadia yang ditunjuk langsung sama Pak Noval, wali kelas Nadia. Kalo Om nggak percaya bisa hubungi pihak sekolah. Bahkan sekarang juga saya bisa hubungi Pak Noval untuk bicara langsung sama Om." Evan mencoba menjelaskan. Kalau dia diam, tidak adil bagi Nadia.

"Kamu anak kecil mau ikut campur? Pergi sana!" Marco sudah gelap mata. Penjelasan Evan tidak mempan membuatnya paham. 

"Om nggak bisa mukul Nadia lagi. Yang bermasalah itu Om. Ada baiknya Om konsultasi ke psikiater," pungkas Evan dengan nada ketusnya. 

Nadia menoleh ke Evan yang berpindah posisi di depannya. Dia menghalangi Marco yang mungkin akan bertindak kasar lagi. Kali ini Nadia berharap Evan pergi, Marco akan tambah marah kalau semakin dilawan. Dia tak mau Evan terluka karenanya. Dugaan Nadia tidak meleset. Belum surut kekhawatiran Nadia, satu pukulan mendarat di wajah Evan.

Warga yang kebetulan lewat mencoba melerai. Lina yang baru sampai di rumah, terpekik mendapati Nadia dan temannya terduduk di lantai. Kepanikan langsung menguasai, dia peluk Nadia sambil menangis. Bukan kesedihan saja yang dia rasakan. Kini amarah mulai muncul dan menguasai. Selama ini dia sudah cukup bersabar menghadapi Marco. Rasa cinta dan hormatnya pada suami perlahan bukan lagi jadi prioritas. 

Lina yang biasanya patuh, tidak pernah melawan walaupun dimarahi, dimaki, kali ini dia tidak bisa diam. Bekas tamparan tampak jelas di kedua pipi putrinya. Belum korban satunya lagi yang sampai luka di ujung bibirnya. Lina menatap tajam Marco. Tanpa banyak bicara, dia maju dan menampar suaminya di depan semua orang.

Bersambung

Lina yang dari kemarin bikin gemess, sekarang mulai ada pergerakan. Good job. Suka lihat Marco kena batunya.

Eh, nggak boleh gitu, ya. Sabar sabar.

Thank you for reading, Guys. See you next.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro