(Hrr) Kami

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by Reonereym

"Umi, berikan aku kertas lebih banyak."

Jika satu ruangan dengan pacar dan mengerjakan tugas bersama, apa sih reaksi kalian?

"Umi, mana kertasku?"

Kalau aku, kesal. Tahu kenapa?

"Umi!"

Kubanting tumpukan kertas ke meja orang di depanku. Kesal.

Alasannya karena ... kalau berdua, pasti ada orang ketiga. Layaknya dia, gadis yang kuberi kertas tadi.

Aku menghempaskan diri ke kursi perpustakaan dan mengumpat di dalam hati, sementara lelaki di sampingku hanya bisa memberikan senyum miris begitu saja.

"Harusnya kau menolaknya datang jika tidak nyaman," bisik lelaki itu, lebih tepatnya dia lah pacarku, Hikaru namanya.

"Senpai¹, kalau aku menolak, bagaimana jadinya nasibku?" balasku kesal, kemudian mengambil pensil dan kembali bekerja pada tugas yang terbengkalai.

Study-date yang kurencanakan hancur begitu saja ketika teman sekelasku menemukan kami di perpustakaan. Dia langsung berteriak dengan suara nyaringnya ketika aku, Si Kutu Buku, berduaan dengan Hikaru-senpai, Si Ketua OSIS. Kami yang awalnya belajar dengan tenang, harus menerima Si Anak Kepala Sekolah yang menyebalkannya setengah mati belajar bersama kami.

Parahnya, gadis itu—namanya Miyabi—berusaha mencari perhatian! Aku ingin menarik tangan Hikaru-senpai pergi, tapi gadis itu mengancam akan melapor pada ayahnya soal kami.

Mati saja kau, batinku menahan amarah ketika melihat gadis itu tersipu-sipu melihat Hikaru-senpai melirik ke arahnya.

"Umi, kau salah tulis."

Aku melihat jari Hikaru-senpai menunjuk tulisan di buku paket, dan dia memindahkan jarinya ke buku tulisku. Ah benar, salah tulis. Aku tidak fokus karena kesal pada gadis itu. Ini semua gara-gara Miyabi!

"Ah benar, maaf hehe. "

Saat aku menghapus bagian yang salah, kurasakan puncak kepalaku ditepuknya dengan perlahan. Hikaru-senpai  tertawa kecil, kemudian berbisik lagi, "Lebih teliti lagi, Chibi²."

Walau aku diejek pendek olehnya, entah saja aku jadi senang dan malu.

"Ugh! Hikaru-senpai, ajari aku soal yang ini juga dong!"

Juga rasa senang itu menguap begitu saja. Aku menyipitkan mata pada Miyabi yang memberikan senyuman mengejek. Yang benar saja, dia cari perhatian lagi!

Hikaru-senpai melirikku, kemudian menaikkan kacamatanya sembari kembali memandang gadis itu. "Sebenarnya ... jawaban soal itu sudah ada di depanmu, Miyabi. Halaman buku paket yang kau buka memberikan jawabannya dengan jelas."

Kena kau!

Miyabi membelalakkan matanya tak percaya dan buru-buru menatap buku paket di depannya. Aku tertawa terbahak-bahak di dalam hati, senang kalau dia mempermalukan dirinya sendiri.

Sedangkan Hikaru-senpai menelengkan kepalanya ke arahku. "Oh kau sudah selesai ya? Berkemaslah dulu, jadi nanti kita tinggal pulang saja."

Benar, kalau aku berkemas dulu, nanti hanya perlu menjauhkan Miyabi dari pacarku jadi kami bisa pulang berduaan. Haha ide yang bagus!

Aku memasukkan buku paket yang sudah kupinjam serta semua peralatan ke dalam tas dan menatanya dengan rapi. Sementara itu, Miyabi menatap diriku dengan sorot mata tajam.

"Umi, temani aku ke toilet ya!"

Tiba-tiba saja Miyabi berdiri dari kursinya dan menggandeng tanganku sehingga aku dengan terpaksa harus berdiri pula. Tidak bisa berkata apa-apa, aku ditariknya keluar dari perpustakaan, meninggalkan Hikaru-senpai sendirian.

Ketika sampai di luar, aku mengibaskan tangannya kuat. "Apa maumu, Miyabi?" tanyaku seraya mendesis kesal.

Miyabi melipat tangannya di depan dada, ekspresi ramah yang dibuat-buat luntur berganti menjadi sinis. "Sejak kapan Hikaru-senpai jadi pacarmu?"

Hmph, jadi kau iri ya?

"Satu bulan yang lalu." Aku menjawab pendek, mencoba menghiraukan mulut iblisnya yang mengeluarkan kata-kata berbisanya.

"Ya ampun, kenapa kau bisa jadi pacarnya? Padahal aku juga cantik. "

Ingin sekali kutarik rambut coklatnya yang dicat itu dan kuacak-acak agar tidak indah lagi. Dasar, jangan sok cantik dong! Memangnya perlu sekali ya rupa cantik agar dapat pacar keren?

"Dia yang menyatakan perasaannya padaku, jadi jangan salahkan aku ya," ejekku balik, kututup senyum jahat di balik buku novel yang kubawa.

Kesinisan Miyabi semakin menjadi ketika dia mendecih di depanku dan menggerutu sendiri. Akhirnya aku bisa memukulnya balik haha!

Kami diam kemudian, tidak bicara lagi ketika sampai di toilet yang sepi. Senja yang jingga terpancar dari jendela di koridor memberikan udara dingin di tempat ini entah kenapa. Miyabi masuk begitu saja ke toilet sedangkan aku masih terdiam merasakan hawa mengganjal.

Ada yang di toilet selain kami atau itu cuma perasaanku?

"Kenapa diam? Cepat masuk! "

Miyabi berseru lagi, memecah keheningkan itu hingga aku tersadar dari duniaku sendiri. Aku mengikutinya masuk ke kamar mandi dan melihat Miyabi membuka pintu bilik paling pojok.

Sebelum menutup pintu itu, Miyabi menunjukku dan mengancam, "Kalau sampai pergi, awas kau! "

Aku tidak membalasnya dan hanya memberikan wajah kesal, lalu pintu itu dibanting dan tidak ada lagi suara yang muncul selain napasku dan sayup-sayup suara angin di luar jendela.

Kuhela napas dan berjalan dalam diam menuju wastafel. Novel di genggaman kuletakkan perlahan, keran yang berdecit kuputar perlahan, kemudian air dingin mengalir dari pipa besi itu. Ugh, hawa di toilet sudah aneh, ditambah air wastafel juga dingin, kenapa mendadak senja di toilet jadi seperti ini?

Aku menyapu pandang ruang toilet yang cukup luas. Bilik yang tersedia ada 7 dan Miyabi ada di paling pojok. Sungguh hanya kami berdua kan yang ada di dalam? Ataukah ....

Ada yang bersama kami di sini?

Seerrrr ....

Aku mendengar suara menyiram toilet. Ayolah ... tetap positive thinking ... itu pasti Miyabi ....

Seketika detak jantungku berpacu dan aku buru-buru menatap bilik di mana Miyabi berada. Dia masih diam dan perasaanku tidak enak. Kumohon keluarkan suara menyebalkanmu jadi aku tahu aku tidak sendirian di sini!

"Miyabi? "

"...."

Jangan diam saja dong! Aku takut nih!

"Miyabi, kau mendengarkanku?"

"Jangan berisik! Aku sedang buang air tahu!" teriaknya. "Umi, lempar kami³ dari atas! Di sini habis!"

Syukurlah dia masih menjawab, walau akhirnya aku juga harus mengikuti perintahnya yang kembali memupuk emosiku.

Aku membuka laci wastafel dan menemukan beberapa gulungan tisu toilet. Kumengambil satu dan kulempar gulungan itu melewati pintu bilik. "Tisu toiletnya sudah kulempar ya!"

Miyabi tidak menjawabku dan aku kembali menunggu. Rasa janggal itu kembali membuat bulu kudukku berdiri. Perasaan tidak enak semakin terasa dan aku jadi tidak tenang karena itu. Mengatasi rasa takut, aku berjalan menuju bilik toilet dan membuka pintunya satu-persatu. Kucoba bersenandung pelan agar tidak terbawa suasana, dan melihat realita bahwa semua toilet yang kubuka kosong nan hampa.

Mencapai bilik keenam, detak jantung mulai mendesir. Isi bilik keenam memang kosong, tapi aku menyadari ada yang salah. Aku mendongak, menatap lampu di langit-langit yang masih memancarkan sinarnya.

Lampunya tidak padam, lampunya masih bersinar. Iya ... walau sinar itu meredup ....

Aku sadar hal itu, buru-buru berlari ke saklar lampu dan menekan-nekannya. Lampu itu padam dan menyala, namun ketika sinar itu kembali, cahayanya semakin padam.

"Miyabi, kau sudah selesai!?"

"...."

Oh tidak, kenapa kau diam!?

Aku mengetuk bilik toilet Miyabi, kembali memanggilnya. Kami harus keluar dari toilet secepatnya, sebelum sesuatu yang buruk terjadi!

"Minta ... kami ...."

Suara itu pelan, tapi itu suara adalah suara perempuan. Itu ... Miyabi kan?

"Tisu toiletnya habis lagi, Miyabi?"

"...."

Ini tidak beres.

Aku mengambil tisu gulung lagi dari laci wastafel, kemudian melemparkannya ke dalam bilik ketujuh. Aku bisa mendengar suara tisu itu jatuh ke lantai bilik dalam.

"Kau mendapatkannya?"

"...."

"Miyabi!" panggilku seraya mengetuk pintu bilik. "Miyabi, jawab aku! "

Dia tidak menjawab. Aku menggigit bibir bawah, mulai khawatir pada teman di dalam bilik ini. Tanganku mengepal, bersiap untuk menghantam pintu di depan untuk melihat keadaan sebenarnya.

Brak!!

.

.

.

Oh Tuhan.

Yang kulihat di dalam bilik itu adalah, ada sebuah tangan dari dalam toilet, menarik rambut coklat Miyabi ke dalamnya. Tangan itu membuat kepala Miyabi nyaris masuk total ke dalam toilet duduk di depanku.

"Ini kami yang kuminta ... bukan kertas ...."

Tangan itu ... meminta rambut ....

"KYAAAAAAA!!!! "

*****

1. -senpai : panggilan untuk kakak kelas
2. Chibi : ejekan untuk orang bertubuh pendek
3. Kami : kosakata bahasa jepang yang memiliki tiga arti : kertas [紙], rambut [髪], dan juga Tuhan [神].

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro