Pemburu Cogan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by LeeAdis_

"Adis! Cogan lagi!" pekik seorang gadis manis tanpa tahu malu kepada teman di sebelahnya yang tengah asyik membolak-balik buku paket biologi.

Mereka ditugaskan secara berkelompok meneliti beberapa tumbuhan. Setiap kelompok terdiri atas dua anggota dan guru biologi membebaskan siswanya memilih anggota masing-masing. Alhasil, Adis memilih bersama gadis yang kini sibuk menjerit tidak jelas di sampingnya, Zea. Sebenarnya pilihan yang buruk bersama gadis heboh itu, namun untuk Adis yang sudah mengenal Zea selama bertahun-tahun itu bukan masalah.

"Ze, udahan dulu deh histerisnya. Tugas menanti," ujar Adis tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya. Meneliti sebuah tumbuhan hijau yang entah ia temukan di mana.

"Astaga! Banyak banget cogan di sini, Dis." Zea memegangi kedua pipinya dengan kedua mata yang berbinar senang. Adalah sebuah kesalahan membawa gadis bermanik cokelat itu ke taman yang tak jauh dari sekolah. Ia tidak akan berhenti menjerit jika mendapati pria tampan, mapan, beriman ... eh, kebablasan. Tampan saja cukup.

"Elah, lo kayak nggak pernah lihat cowok aja, Ze. Sebelah lo ini juga cogan keles," kata Adis santai.

Pletak!

"Aw! sakit, Ze," ringis Adis sambil memegangi dahinya yang memerah terkena jitakan telak dari Zea.

"Lo itu jelek. Titik nggak pakai koma." Zea berbicara penuh penekanan.

"Mau juga lo temenan sama gue," cibir Adis memasang wajah masam.

"Karena lo pintar," sahut Zea dengan entengnya. Gadis itu merebut catatan penelitian dari tangan Adis, kemudian berlari meninggalkannya sambil tertawa jahil.

"Sial! Dikata gue Einstein apa? Zea! Wait me!" seru Adis seraya menyusul gadis bersurai cokelat itu.

***

"Dis, nggak mampir dulu? Ada Bang Angga loh di dalam, dia baru datang kemaren dari Australi," tawar Zea ketika mobil yang dikemudikan Adis berhenti tepat di depan rumahnya.

"Lain kali aja deh," tolak Adis.

"Ah, ayolah. Ada oleh-oleh buat lo."

"Lain kali bisa, Ze."

"Ayo masuk bentar, Dis."

"Titip salam aja buat Bang Angga."

"Di-"

"Lo nawarin apa maksa sih?" tanya Adis kesal.

Zea menyengir polos. Niatnya hanya menawarkan, namun entah kenapa berubah jadi pemaksaan.

"Gue duluan. Titip salam aja, ya." Adis kembali menjalankan mobilnya meninggalkan kediaman Zea.

Zea mengedikkan kedua bahunya lantas beranjak masuk ke dalam rumah.

"Heh! Ngapain lo deket-deket cogan gue?" Zea yang baru sampai di ruang tamu dan melihat adegan mesra sejoli langsung menggertak dengan wajah galak yang dibuat-buat.

Bukannya balas marah, sepasang kekasih itu malah terkekeh geli.

"Udah pulang rupanya cewek gue. Sini peluk." Pria dewasa berwajah tampan itu merentangkan kedua tangannya, bersiap menerima pelukan sang adik.

"Dih!" Zea mendesis jijik. Kemudian duduk di sofa lain, mengabaikan wajah cemberut sang kakak.

"Kak Ashley masak apa hari ini?" tanya Zea pada kakak ipar yang duduk di sebelah Angga. Gadis itu mencomot pisang goreng yang sudah mendingin.

"Lihat aja ke dapur." Angga yang menjawab. Zea mendengkus sambil berlalu. Ah iya, ada yang terlupakan. "Bang! Adis titip salam, maaf nggak bisa mampir katanya!" Zea berseru dari ruang keluarga.

"Iya! Suara lo udah kayak toa aja sih," gerutu Angga.

"Gue dengar!" teriak Zea sekali lagi.

"Buset itu telinga kelelawar apa gimana sih!" sahut Angga.

"Kamu ngapain teriak-teriak juga sih, Ga?" Giliran sang istri yang memarahinya. Angga hanya cungar-cengir tidak jelas.

***

Sekolah masih lengang. Zea dan Adis sudah sampai di sekolah. Adis yang disiplin sejak SD memang tidak pernah pergi ke sekolah lewat dari pukul enam. Berbanding terbalik dengan Zea yang hobi bangun siang, mau tak mau Zea harus memaksa kedua matanya melek di pukul lima pagi atau Adis akan meninggalkannya.

"Ngapain lo?" Adis yang sedang menyapu kelas menyempatkan diri bertanya. Hari ini memang jadwal piketnya.

"Mantengin cogan," jawab Zea tanpa menoleh. Bibirnya membentuk lengkungan manis, sesekali menjerit kecil dan terkekeh. Adis yang sibuk menyapu menggeleng melihat sahabat anehnya itu.

"Nggak enak ih stalkerin cogan nggak ada cemilan. Dis, beliin pocky di Indomaret depan sekolah gih!" suruh Zea tanpa dosa. Kedua matanya masih tertuju pada ponselnya, men-scroll atas ke bawah, bawah ke atas.

"Selesaiin nyapu bentar. Ada-ada aja sih lo."

"Nih uang, kembaliannya jangan ditilep." Zea mengangsurkan uang lima puluh ribuan dan diletakkan di atas meja.

Adis menghela napas kasar. Ia mempercepat kegiatan menyapunya. Sebentar lagi siswa lain akan berdatangan, dan ia tidak ingin sibuk bolak-balik menyapu bekas pasir atau kotoran yang meninggalkan jejak di lantai bersih.

***

"Dis," panggil Zea disuatu malam saat mengunjungi apartemen Adis. Nada bicaranya terdengar sedih.

Adis yang sedang bermain rubik hanya menyahut dengan deheman. Fokusnya pada rubik tidak bisa diganggu gugat. Sejak awal ia membeli mainan itu belum pernah ia berhasil menyamakan seluruh warna yang ada di kubus kecil itu.

"Adis." Kali ini disertai dengan rengekan.

Pemuda bernetra hijau itu berdecak sebal. Mau tak mau ia harus menyimpan rubiknya terlebih dahulu. Jika ia mengacuhkan Zea, maka gadis itu tidak akan menegurnya sampai kapanpun. Pernah suatu kali Adis mengabaikan Zea karena sibuk mengerjakan tugas, gadis berambut cokelat itu nyaris sebulan tidak menegurnya, bahkan melirik pun enggan. Hingga akhirnya Adis meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

"Apa?" tanyanya dengan raut datar. Balas menatap Zea. Ia tidak menemukan wajah riang sang sahabat. Ada mendung di sana.

"Gue ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya."

"Hah?" Adis mengacak rambut frustrasi dengan ulah sahabatnya satu ini. "Lo kenapa ketularan bucin-bucin zaman sekarang sih?"

"Emang bucin zaman dulu kayak gimana?" tanya balik Zea dengan polos.

"Tauk ah," rajuk Adis. Namun tak dipedulikan Zea. Gadis itu malah berjalan pelan menuju balkon apartemen Adis.

"Eh, Ze! Mau ngapain lo?" Adis mendadak panik melihat Zea yang semakin dekat dengan balkon.

"Ze! Lo jangan nekat! Gue tau lo patah hati, tapi nggak gitu juga kali," Adis bergegas menyusul Zea yang bersiap memanjat pagar pembatas.

"Ze!" seru Adis, setengah berlari ia akhirnya berhasil meraih tangan Zea.

"Apa sih, Dis?"

"Lo nggak ada niat mau bunuh diri, kan?"

"Elah siapa juga sih yang mau bunuh diri? Gue mau duduk di sini." Menepis tangan Adis yang mencengkram pergelangan tangannya erat.

Adis menghela napas lega. "Nyokap bokap lo ke luar negeri lagi, ya?" tanya Zea memecah keheningan. Gadis itu duduk memeluk lutut. Angin malam berhembus pelan, memainkan anak rambut.

"Iya." Pemuda berambut sekelam malam itu menatap langit yang dihiasi bintang-gemintang. Menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas.

"Gue tidur di sini, ya?"

Adis tersentak. "Apaan sih? Nggak boleh. Pulang aja gih!" Adis menolak mentah-mentah permintaan aneh sahabatnya itu.

"Kalau nggak gue mati syahid nih," ancam Zea.

"Hah? Mati syahid?" Adis menggaruk kepalanya, bingung.

"Gue terjun."

Dengan sigap Adis memegang tangan Zea. "Mau apa lo?" Pemuda itu melotot galak.

"Ayolah, Dis. Gue males di rumah. Ya kali tiap malem gue nggak bisa tidur gara-gara dengar desahan dari kamar Bang Angga." Zea merinding mengingatnya.

Sontak Adis menyemburkan tawanya mendengar keluhan gadis berambut cokelat itu. Sedang Zea hanya manyun memainkan ujung rambutnya.

"Boleh ya? Ya?" pinta Zea memasang wajah paling memelas yang ia miliki.

"Nggak! Sekarang juga ayo kita pulang, gue anterin." Tanpa menunggu jawaban dari mulut Zea, Adis menyeretnya.

"Adis-"

"Ssssstt ...," Adis meletakkan telunjuk di bibir. "Nggak ada penolakan. Lo cewek main sembarangan nginap aja." Adis menjalankan mobilnya.

"Udah jangan sedih lagi. Cogan banyak. Jadi cewek jangan baperan."

"Gue blokir semua sosmed dia."

Adis menepuk jidat. Julukan untuknya jadi bertambah, Zea penggila cogan dan baperan akut.

***

"Dis." Zea mengedarkan pandangan ke sekitar dengan takjub.

"Apa lagi?" Adis menatap Zea malas.

"Banjir cogan di sini. Aaaaakk! Thank's udah bawa gue ke kafe ini." Adis memutar bola mata malas. Refleks Zea memeluk Adis yang berada di sebelahnya. Seriang itukah?

Adis tertegun dengan rezeki tak terduga itu. Lebih lama lagi gue mohon, bisiknya dalam hati. Namun Zea tidak mendengar kata hati sahabatnya itu, gadis itu melepas pelukan spontannya dan kembali menyapu pandangan ke setiap sudut kafe yang memang dipenuhi kaum adam dengan ketampanan di atas rata-rata. Malam ini puas sudah ia mencuci mata.

"Kesenangan ntar galau lagi," sindir Adis. Menyesap cappucino.

"Kalau cogan sekedar lewat sih nggak bakalan bikin gue sedih. Yang buat sedih itu dia menghilang tiba-tiba setelah muncul tiba-tiba. Dia berniat cuma mengusik hidup gue," tutur Zea, mengaduk minuman cokelat dingin.

"Serah lo deh." Adis mengambil ponsel dari saku kemejanya. Memainkan game tanpa menghiraukan Zea yang sibuk memperhatikan satu persatu pria dengan berbagai usia di kafe yang memang terkenal sebagai tempat tongkrongan pemuda-pemuda kaya dan berkelas. Bisa dibilang hanya Zea yang berjenis kelamin perempuan di tempat itu.

"Yang itu rambut klimis, umur 20 tahunan, tinggi 170 senti, tipe pria serius. Satu lagi, kalung berantai menggantung di leher, anting perak menghiasi sebelah telinganya, rambut hitam keunguan, tinggi 169 senti, umur 19 tahunan. Badboy! I like it." Zea sibuk menggumam sendiri mendikte penampilan para pemuda satu-persatu.

"Shit! Kalah lagi gue," umpat Adis. Ia mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Ze ma-" Adis tidak menemukan gadis yang tadi bersamanya. Entah lenyap ke mana gadis mungilnya itu.

Kedua irisnya berkeliaran mencari sosok perempuan satu-satunya. Dan ia menemukannya. Gadis itu tengah berbincang seru dengan beberapa pemuda tampan. Sesekali gadis bersurai cokelat itu tersipu malu. Terlihat manis.

Adis segera mendekati gerombolan itu dan menyeret sang gadis penggila cogan itu. Atau jika tidak segera dibawa pergi baperan akutnya akan kambuh lagi.

"Adis lepasin! Apa-apaan sih lo?" Suara Zea meninggi.

"Lagi-lagi lo nyari penyakit."

"Penyakit apaan? Gue cuma ngobrol sama mereka. Salah?"

"Ze, mereka cuma mau ngusik hidup lo."

"Iya. Gue tau, tapi gue tadi cuma pengen ngobrol doang. Di mana letak salahnya coba?"

"Lo nggak peka-peka juga ternyata. Gue suka sama lo, Ze."

Zea tertegun beberapa jenak. "Lo nembak gue?" tanyanya ragu.

"Nggak! Gue cuma latihan mau nembak cewek." Adis melengos pergi meninggalkan Zea yang mematung.

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro