09. Tukang Maido

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mbak Suci, dapat undangan dari pak Agus. Mau mantu anaknya yang nomor dua." Tyas, tetanggaku, mengulurkan sebuah undangan sederhana padaku. Undangan yang hanya terdiri dari selembar kertas mirip undangan tahlilan.

"Kok ya kebangeten undangannya. Ini namanya nggak menghargai yang diundang. Niat ngundang mbokya ragat," protesku.

"Yo emboh, Mbak." Tyas cuma berlalu.

====

Esoknya, Tyas kembali memberikan undangan pernikahan. Kali ini dari Pak Sugeng, juragan cengkeh di kampungku. Mantu anak tunggalnya.

"Tadi dititipi ini, Mbak. Tuh, lihat. Bagus lho undangannya. Kata tetangga, satu undangan ini harganya hampir limah puluh ribu, lho. Coba bayangkan kalo undangannya Pak Sugeng ada seribu orang, wuih, habis berapa aja, tuh."

Aku menatap undangan di tanganku dengan seksama. Tebal, elegan, ada hiasan pita-pita, warnanya keemasan. Seketika bibirku mencebik. "Halah, wong undangan wae lho kok yo mahal-mahal. Rugi. Toh habis ini juga digeletakin atau dibuang," ucapku.

Kulihat Tyas memutar bola matanya kesal.
"Undangan biasa kayak kemarin dipaido. Sekarang yang bagus pun tetep dipaido. Sakarepmu, Mbak." Ia berlalu.

====

Beberapa hari kemudian, Tyas kembali dititipi undangan untukku. Kali ini dari Bu Sukar, tetangga desa sebelah. Seingatku, tahun lalu ia sudah mantu anak pertama. Kali ini yang nomor dua. Dan ketiga anaknya yang lain masih belum nikah.

"Oalah, kok ya undangan terus," protesku.
"Bulannya baik, Mbak. Banyak orang punya gawe."
"Habis duitku buat kondangan."
"Ya kalo nggak punya duit nggak usah dateng, Mbak. Gitu kok repot."
Tyas beranjak, mukanya tampak sewot.

====

Keesokan harinya, Tyas memberikan undangan khitan dari pak Rahmat. Guru SD yang rumahnya di ujung kampung.

"Nggak usah bingung, Mbak. Orangnya nggak nerima duit ataupun kado," ucap Tyas.

"Kok bisa?"

"Tuh, ada tulisannya." Tyas menunjuk tulisan kecil di bagian paling bawah undangan.

:: Dengan tidak mengurangi rasa hormat, mohon untuk tidak memberikan kado dalam bentuk apapun.::

Bibirku mencebik. "Halah, sombong. Sok kaya, sok murah hati, sampai nggak mau terima kado. Toh paling uang yang dipake punya gawe juga ngutang," ujarku gemas.

Tyas menatapku dengan tak kalah gemas. "Salah maneeehhhhh," ucapnya.
"Mbak Suci, sampean udah nonton video yang lagi viral itu?"

"Video apa?" tanyaku kepo.

"Azab tukang maido, mati budal dewe," jawab Tyas sambil berlalu.

Aku mencebik lagi. "Nyindiiiiirrr...."

***

Selesai

~ HALA

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro