14. Urut Absen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Astuti menatap Prasetyo dengan penuh harap. Lelaki yang telah dipacarinya selama hampir 8 tahun itu hanya terdiam.

“Gimana mas? Mas Pras sudah bilang ke orang tua mas tentang rencana pernikahan kita?” Astuti membuka suara. Prasetyo tak segera menjawab. Ia membalas tatapan Astuti lalu menggeleng perlahan.

“Maksud Mas?” Astuti bertanya keheranan.
“As, aku sudah bilang pada orang tuaku untuk melamarmu agar kita bisa segera menikah dulu. Tapi....”
“Ditolak lagi?” Astuti memotong dengan cepat. Prasetyo mengangguk lemah hingga membuat perempuan di sampingnya menghela nafas panjang, kecewa.

“As, kumohon mengertilah posisiku. Mengertilah keadaan keluargaku. Aku masih punya 3 kakak laki-laki yang belum menikah dan orang tuaku melarangku untuk mendahului mereka. Kamu sendiri kan tahu, kedua orang tuaku kejawen sekali. Mereka tidak akan mengijinkanku menikah sebelum kakak-kakakku menikah. Intinya, aku nggak boleh ‘nglangkahi’ mereka. Nggak baik katanya.”

Astuti tertawa sinis, tanpa menatap lelaki di sampingnya.
“Nunggu giliran? Maksud Mas, urut absen gitu?”
Prasetyo mengangguk.
“Nunggu sampai kapan, Mas?”
“Aku nggak tau, As. Aku nggak bisa memastikan. Aku mengharapkan pengertianmu, keikhlasanmu untuk menunggu.” Prasetyo meraih tangan Astuti, tapi perempuan itu menyentakkannya. Sekarang ia menatap lelaki itu dengan tatapan tajam.

“Menunggu sampai kapan? 3 tahun? 4 tahun? Atau 5 tahun? Kenapa bukan Mas saja yang mencoba mengerti posisiku? Umurku sudah hampir 30 tahun! Dan kita sudah berpacaran sekian lama, tapi seolah-olah hubungan kita tak beranjak kemana-mana. Aku malu dengan tetanggaku. Apa kata orang-orang nanti tentang aku dan keluargaku. Bisakah mas mengerti posisiku?” Astuti seolah menantang.

“Aku nggak bisa apa-apa, As. Aku nggak mungkin melawan kehendak orang tuaku, aku tak mau kuwalat. Mereka tetap tak akan mengijinkan kita menikah, jika ketiga kakakku belum menikah. Dan aku takkan menikah, tanpa restu dari orang tuaku!” Prasetyo menjawab tak kalah sengit.
Astuti merasakan hatinya remuk redam.

“Oke,” perempuan itu meraih tasnya.
“Mau kemana kamu?” Prasetyo sempat menarik lengan tangannya.
“Aku muak dengan semua ini, Mas. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.” Ia menepis tangan Prasetyo lalu melangkah meninggalkan lelaki tersebut.

Jujur, Astuti merasa kecewa dan terpukul. Ia tak menyangka perjalanan cintanya akan menemukan batu sandungan yang demikian besar. Batu sandungan yang membuat langkahnya tertatih-tatih dan membuat kepalanya pusing tujuh keliling!
Menikah, adat jawa, urut absen, aduh, apa-apaan semua?
Prasetyo dan Astuti memang sama-sama orang Jawa asli. Dan dalam kepercayaan orang jawa, saudara yang lebih tua harus menikah dulu. Dan inilah permasalahannya: urut absen!

Prasetyo anak ragil dari 4 bersaudara. Dan kakak-kakak Prasetyo semuanya masih lajang. Dan jika ia ingin berkeluarga, ia harus menunggu sampai kakak-kakaknya menikah terlebih dahulu. No excuse!

Sementara Astuti sendiri anak sulung dari 2 bersaudara, dan tentu saja keluarganya sendiri menghendaki agar ia segera menikah mengingat umurnya yang tak bisa lagi dikatakan muda.

Selain itu, terkadang timbul perasaan risih pada diri Astuti manakala  teman-temannya (yang hampir semuanya sudah berkeluarga) bertanya kapan ia menikah. Tak jarang pula bapak dan ibunya memberikan nasihat padanya untuk menyudahi  saja hubungannya dengan Prasetyo. Lebih-lebih ketika beberapa hari yang lalu datang seorang pemuda yang merupakan putra dari salah satu teman bapak Astuti, datang padanya dengan maksud meminangnya.

“Nduk, bukannya bapak ndak suka dengan Prasetyo. Jujur, sebenarnya bapak senang sekali dengannya. Dia pemuda yang sopan, baik dan bertanggung jawab. Terus terang, bapak sreg dengannya. Hanya saja, keadaannya berbeda. Kamu pasti tahu apa yang bapak maksudkan. Lagipula, umurmu semakin bertambah. Perempuan ndak baik menikah telat. Bahaya buat kehamilanmu nanti. Bapak juga ngerti banget posisi Prasetyo. Sulit baginya untuk menikahimu jika ketiga kakaknya belum menikah. Bapak juga ndak mau kalo ia mendahului kakak-kakaknya dan menikah tanpa restu orang  tua mereka. Itu ndak baik, nduk...”
Itu kalimat bapak Astuti yang membuatnya semakin putus asa.

“Jadi, saya harus bagaimana pak?” Perempuan itu bertanya lemah.
“Ikhlaskan saja Prasetyo. Barangkali dia memang bukan jodohmu. Lepaskan dia, dan terimalah pinangan Budiman. Bapak tahu ini sulit bagimu. Tapi menurut bapak, ini jalan terbaik untukmu, untuk kalian berdua.”
Astuti terdiam. Pikirannya berkecamuk. Ayahnya benar, ia memang harus membuat keputusan. Apapun itu.

***

Prasetyo menatap Astuti dengan tatapan sayu. Dadanya bergetar. Ada semacam rasa sakit di sana, hingga membuat dadanya sesak.

“Astuti, apa tekadmu untuk berpisah denganku sudah bulat?” Ia bertanya dengan suara parau. Astuti mengangguk. Bersamaan dengan itu, air matanya menitik.
“Apa kesabaranmu untuk menunggu sudah habis?” Prasetyo kembali bertanya, kali ini dengan suara bergetar. Dan Astuti kembali mengangguk, lemah.

“Aku lelah menunggu, mas. Terlalu lelah. Barangkali ini yang terbaik untuk kita, meski ini menyakitkan.” Suara Astuti nyaris tertelan oleh isak tangis. Prasetyo menelan ludah. Dan ... ada kristal-kristal bening di sudut matanya.

“Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Tapi mungkin cinta memang tidak harus di akhiri dengan kebersamaan. Kita akan sama-sama terluka, tapi yakinlah, waktu pasti akan menyembuhkannya. Semoga Mas mengerti dengan keputusanku.” Astuti melanjutkan.
Prasetyo mengangguk-angguk.

“Maafkan aku, As.”
“Aku juga minta maaf ya, Mas.”
“Semoga kau bahagia.”
“Dan semoga kau juga bahagia.”

Keduanya kembali berpandangan. Kristal-kristal bening di sudut mata Prasetyo menitik, dan tangis Astuti pun pecah.
Dan di sore hari yang mendung itu, mereka menghabiskan waktu dengan sama-sama menangis.

***

selesai

Wiwin Setyobekti
Juni, 2007

Pernah dimuat di Media Jatim tapi lupa edisi berapa. Haha..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro