19. Aku, Kamu, Teman Masa Kecilmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pria bermata bening yang biasanya tersenyum ceria itu kini diam membisu tak berdaya. Duduk mematung di ujung bangku taman, sementara aku duduk di sisi yang satunya.
Sudah hampir setengah jam sejak ia mengungkapkan maksud hatinya, kami sama-sama berdiam diri.

Sekilas bisa kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Sementara aku? Air mataku sudah jatuh berderaian tanpa mampu kubendung.

Ia ingin putus. Keinginan yang masih tak dapat kuterima. Bagaimana ia bisa berniat mengakhiri hubungan tiga tahun ini dengan cara yang begitu saja?

Danu bilang, dia ingin mengakhiri hubungan kami karena akan dijodohkan dengan perempuan lain oleh orang tuanya. Seorang sahabat dari masa kecil.

Bukan. Ini bukan hanya sekadar soal perjodohan yang diatur oleh orang tuanya.
Aku tahu Danu pemuda baik hati, patuh pada orang tua. Namun jika hanya dipaksa menikah dengan perempuan lain, aku yakin ia akan menolak dan tetap memilih untuk berada di sisiku.

Tapi ...

"Dia sakit ... " Suaranya serak. "Perempuan yang akan kunikahi sedang sakit parah, sekarat. Kanker, stadium akhir. Umurnya takkan lama lagi---,”

"Manusia tak tahu rencana Tuhan. Bisa saja ada keajaiban hingga gadis itu bisa sembuh dan selamat," potongku.

Dia menatapku pilu lalu menggeleng pelan. "Tidak akan ada," desisnya. "Tidak akan ada keajaiban untuk dirinya. Penyakit itu sudah terlalu parah dan ia takkan selamat."

"Kalau begitu, aku akan menunggumu sampai dia ... " Aku menelan ludah. "Mati."

"Yen, please .... "

Kami berpandangan lekat. Dan air mataku kembali menitik.

"Bahkan jika dia ... mati, aku takkan sanggup untuk kembali padamu. Aku tak pantas setelah ... setelah aku memutuskan untuk meninggalkanmu demi dirinya." Kali ini suaranya bergetar.

Dan hatiku rasanya tercabik-cabik.

"Kenapa kau tega melakukan ini padaku ...?" tanyaku lirih. "Kenapa ...?"

"Karena aku tak ingin dia meninggal dengan penuh penyesalan." Tatapan mata bening pemuda itu menembus langsung ke manik mataku. "Dia sekarat. Impian terbesarnya sebelum meninggal adalah ia ingin menikah. Dan aku takkan sanggup membiarkan ia mati sebelum impiannya terwujud. “Yen .... " Ia menarik napas berat, putus asa. Perlahan pemuda itu bangkit, terhuyung ia berlutut di hadapanku.
"Yena …. " Ia kembali memanggil lirih seraya menggenggam erat kedua tanganku. Bahunya terguncang. "Kumohon." Pandangan kami kembali terkunci.  "Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Banyak hal yang ingin kusampaikan padamu. Tapi ... aku tak tahu harus mulai dari mana. Jadi ...." Suaranya nyaris tercekat. "Hanya ini yang bisa kulakukan padamu. Berlutut di hadapanmu dan meminta maaf padamu," ucapnya lagi.

"Kumohon maafkan aku."

Tangisnya pecah. Pemuda itu mencium tanganku berulang-ulang, menumpahkan isaknya di sana.

Aku hancur.

Kami hancur.

***

Aku mengumpulkan keberanianku untuk menemui gadis yang sakit itu. Dan di sinilah aku sekarang.  Diam-diam datang di rumah sakit tempat ia dirawat.

Aku baru saja sampai di kelokan lorong pertama ketika tanpa sengaja tatapan mataku menangkap sosok Danu sedang duduk di bangku taman. Di sampingnya, seorang gadis bertubuh ringkih duduk di kursi roda. Ia terlihat pucat, dan rapuh. Sebuah topi rajut menutupi kepalanya. Topi itu hanya sekedar aksesoris untuk menutupi kepalanya yang gundul karena proses kemoterapi.

Sesekali gadis itu tampak tertawa kecil ketika Danu mengatakan sesuatu padanya. Entah apa yang ia ceritakan, tapi aku bisa melihat dari raut mukanya bahwa gadis itu ... tampak bahagia.

Aku menelan ludah. Air mataku nyaris tumpah.

Alih-alih menyapa mereka, aku memutuskan untuk berbalik dan melangkah pergi. Langkah kakiku bergerak cepat menyusuri lorong rumah sakit.
Nyaliku ciut. Tempat ini, dan juga keberadaan Danu di sana membuat dadaku sesak. Yang terpikir olehku adalah segera menyingkir dari tempat ini.

Ini menyakitkan. Tapi melihat sekilas kebersamaan Danu dan gadis itu, sekarang aku memahami keputusannya.

Karena Danu terlalu baik hati.

Ia ... terlampau baik hati.

Sepanjang perjalanan pulang aku meratap. Air mataku tumpah sudah. 

Dan, I’ll be okay. Is that you want me to say?

Yeah, but not today.

***

2016©Winset

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro