26. Menikahlah Denganku Lagi (2 - End)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku terperangah menyaksikan taburan kelopak bunga mawar di sepanjang koridor menuju ruang kerjaku.

Kelopak mawar, asli! Membentang dari ujung lorong hingga ujung yang satunya. Bisa kau bayangkan itu?

Taburan kelopak mawar putih di sisi kanan dan kiri, sementara bagian tengah dipenuhi mawar merah yang sengaja dibentuk dengan bentuk – hati. Dan tepat di tengah-tengah bunga berbentuk hati itu, ada kelopak mawar putih yang ditata menjadi tulisan.
Mau tahu tulisannya apa?

A loves Y
Forever

Perlu kujelaskan inisial huruf tersebut? ‘A’ berarti Aland, dan ‘Y' berarti Yehana, aku.

Nah, sudah jelas ‘kan berarti siapa pelaku tindakan norak, alay bin jablay seperti ini?

Ya Tuhan, aku mendesis dalam hati.

“Ya Tuhan.” Widi yang berdiri di sampingku, seolah ingin mengulangi desis hatiku. Ia juga tak kalah terperangah. “Yehana, ini benar-benar...”

“Ya, ya, ya, aku tahu. Ini norak, ini sinting, ini lebay, ini benar-benar ...”

“Tidak. Justru sebaliknya. Ini benar-benar ... romantis.” Widi terkikik.

Aku menatap sahabatku itu dengan alis bertaut.
What?
Romantis?
Oh, please deh. Orang sinting mana yang masih melakukan cara norak seperti ini untuk menarik perhatian seorang perempuan.

“Mana petugas kebersihan?! Singkirkan benda-benda konyol ini, segeraaa!” Aku berteriak seraya melangkahkan kakiku menyusuri taburan bunga itu sambil sesekali menyurukkan ujung sepatu ke gundukan bunga berbentuk hati. 
Berantakan, biarkan saja.

“Yehana, apa yang kau lakukan? Bunga itu cantik.” Widi berteriak histeris.

Aku menatapnya kesal. “Cantik? Ini mengganggu. Panggil petugas kebersihan untuk membersihkan semua ini. Se-ge-ra.” Rahangku mengeras.

“Kau tak ingin tahu siapa yang melakukan hal manis seperti ini?” Bu Ayu, atasanku, muncul dari balik pintu.

“Tak perlu memberitahuku siapa orangnya, Bu. Saya sudah tahu,” jawabku.

“Aku yang memberinya ijin untuk melakukan ini. Menata bunga dengan manis seperti ini.” Ia melanjutkan.

Keningku mengernyit, menatap perempuan setengah baya itu dengan tak mengerti. Beliau hanya mengangkat bahu cuek.

“Well, dia bilang dia sedang mencari cara agar kau mau bertemu dan berbicara dengannya. Dan cara ini yang ia pilih. Romantis, kan?” ucapnya lagi.

Aku menggigit bibir.
“Oke, maaf, Bu. Ini takkan terulang, saya jamin. Saya akan meminta padanya untuk tidak melakukan hal-hal memalukan seperti ini lagi. Ini benar-benar ---”

“Tunggu. Jangan temui dia dulu, oke?” Bu Ayu memotong kalimatku.
Eh?

“Kau tahu, belakangan ini kita semua sedang kelelahan karena pekerjaan yang begitu menumpuk. Berada di kantor benar-benar ... membosankan. Tapi akhir-akhir ini suasana kantor berubah menjadi begitu feminin, harum, ceria dan ... romantis. Semua ini berkat ratusan buket bunga yang telah dikirimkan oleh mantan suamimu. Jadi, jangan temui dia dulu agar dia terus rajin mengirimkan bunga ke sini. Selain karena menambah keindahan, bunga-bunga yang ia kirimkan cantik sekali.” Beliau tersenyum manis. Aku melongo.

“Buatlah dia agar rajin mengirim berbuket-buket bunga ke sini sekitar seminggu lagi. Taburan bunga seperti ini juga malah bagus. Oke?” Bu Ayu kembali tersenyum tanpa dosa lalu berbalik, dan tubuhnya menghilang di balik pintu.

Aku menoleh ke arah Widi dengan bingung, sahabatku itu hanya terkikik seraya mengangguk. Ketika aku membuang pandanganku ke sepanjang lorong, beberapa kepala menyembul dari jendela dan juga pintu.

Mereka menatapku, tersenyum, lalu juga mengangguk.

Senyuman mereka seolah mengatakan: KAMI SETUJU. BUAT MANTAN SUAMIMU MENGIRIM BUNGA KE SINI SELAMA SEMINGGU. ATAU APA SAJA, TERSERAH. KAMI BUTUH HIBURAN. TITIK.

Bahuku terkulai lemas. Frustrasi, aku mendengus kesal seraya mengacak-acak rambutku yang tadinya sudah tersanggul rapi. 

Ini yang sableng siapa sih?

***

Aku tetap ngotot untuk menolak bertemu dan berbicara dengan Aland. Dan edisi buket bunga – beserta taburannya itu – telah terjadi persis selama seminggu.

Mungkin karena merasa cara seperti itu tak mempan, Aland mengubah strategi. Tidak lagi menggunakan bunga, tapi kali ini menggunakan: Band.

Kami tercengang ketika keesokan paginya, kami menemukan sebuah stage megah yang telah berdiri di halaman gedung. Stage itu nyaris sebesar stage mini konser band-band indie ternama. Di stage itu tertulis dengan jelas sebuah pesan yang ditulis dengan huruf kapital : UNTUKMU TERCINTA, YEHANA.

Penyanyi band membawakan lagu-lagu dengan begitu apik. Dan lagu-lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu-lagu dari band favoritku, Maroon 5.

Mulai dari lagu This love, Lucky Strike, Makes me wonder, Never gonna Leaves This Bed, Won’t Go Home Without You, One More Night hingga Maps.

Dan mereka menyanyikan lagu-lagu itu secara medley dari sejak kantor dibuka hingga ditutup, selama 3 hari!
Bisa kau bayangkan itu?

Reaksi teman-teman sekantor? Oh, jangan ditanya lagi. Mereka girang bukan kepalang. Mendapat hiburan gratis, itu dalih mereka. Beberapa orang bahkan mengusulkan untuk mendatangkan Maroon 5 yang asli. Sinting!

:: Aku akan selalu mengganggu kehidupanmu sampai kau jenuh. Sampai kau mau bertemu denganku, berbicara denganku, dan memberiku kesempatan untuk kembali padamu. Tak jadi soal bila aku harus bangkrut untuk melakukan itu semua.::

Itu pesan singkat yang kuterima dari Aland setelah edisi band tetap tak membuatku luluh.

Tapi keesokan paginya, kesabaranku nyaris habis ketika aku menemukan sebuah papan reklame terpampang di depan kantorku.

Sebuah papan reklame sebesar papan reklame rokok yang biasa terpasang di pinggir jalan. Barisan kalimat tertulis dengan (lagi-lagi) huruf kapital di sana.

AKU MENCINTAIMU, YEHANA. KEMBALILAH PADAKU.

Dengan kesal, aku mengambil ponselku dan menelpon lelaki itu.

“Di mana kau?!!” Aku segera berteriak begitu panggilanku diterima.

“Kau ingin menemuiku?”

“DI MANA -KAU -SEKARANG?!” jeritku.

“Hotel Royal, VVIP room.”

Tanpa berkata-kata lagi, panggilan kuakhiri dan aku segera berlari memanggil taksi.

***

Begitu pintu dibuka, aku segera menyeruak masuk, mendorong tubuh Aland dan memukul dadanya berkali-kali.

“Kau sinting! Kau gila! Kau bedebah! Kenapa kau lakukan ini padaku?! Kenapa?!” Pukulanku kembali bersarang di dadanya yang bidang.

Ia mengenakan t-shirt lengan pendek berwarna putih. Tak berusaha menghindari pukulanku sama sekali.

“Aku membencimu. Kau bajingan tengik! Kenapa kau harus muncul lagi di hadapanku!” Kali ini suaraku bergetar.

Aku sadar air mataku sudah mengalir deras. Dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya tangisku pecah. Pukulanku yang tadinya membabi buta kini melemah. Kedua lenganku terkulai.

Tanpa mengatakan apapun Aland bergerak, meremas bahuku lalu meraih tubuhku ke pelukannya.

Ia membelai kepalaku dengan lembut. Dan aku menangis di dekapannya, air mataku membasahi kaos t-shirtnya.

Adegan itu berlangsung beberapa menit. Aku menangis, dan Aland menenangkanku.

“Duduklah.” Suaranya pelan. Ia membimbingku duduk di sebuah sofa yang berada di dekat jendela. Lelaki itu menyentuh pipiku dan membantu menghapus air mataku.

“Mau minum?” Ia kembali bertanya lirih. Aku menggeleng.

“Sekarang, bisa aku bicara?” Ia menelengkan kepalanya dan menatap lurus ke arahku dengan tatapan lembut. Aku sesenggukan, lalu mengangguk.

Aland meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya erat.
“Aku memang bersalah padamu, Sayang. Sebuah kesalahan fatal. Dan aku ingin menebusnya, dengan cara apapun, dengan seluruh hidupku,” ucapnya.

“Aku sudah berpisah dengan wanita itu, sejak satu setengah tahun yang lalu. Hubunganku dengannya hanya bertahan 6 bulan. Karena akhirnya aku sadar, perempuan yang aku cintai adalah kau. Bukan dia.” Ia mengelus punggung tanganku dengan lembut.

“Sejak berpisah dengannya, aku senantisa mencari kabar tentangmu secara sembunyi-sembunyi. Aku tahu kau tidak pernah berkencan dengan lelaki manapun sejak bercerai denganku. Hal inilah yang membuatku mantap untuk datang padamu lagi. Aku tidak malu untuk mengemis cinta padamu. Karena kenyataannya memang ... aku masih  mencintaimu. Jadi, tolong beri aku kesempatan. Aku ingin kembali padamu.” Lelaki itu mengecup punggung tanganku dengan lembut.

Aku tak segera menjawab.

Aku menggigit bibirku, lalu menggeleng pelan. “Aku tak bisa,” jawabku lirih.

“Kenapa?” Lelaki itu mempererat genggaman tangannya. Aku kembali menggeleng.

“Kau sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping, Aland. Jadi tak ada lagi yang bisa kuberikan padamu,” jawabku.

“Karena itu, biarkan aku menyatukan kepingan-kepingan itu lagi, satu persatu. Aku yang telah menghancurkan hatimu dan biarkan aku yang memperbaikinya.” Ia menjawab dengan tulus. Aku terdiam.

Perlahan aku melepaskan genggaman tangan Aland lalu bangkit.

Aku beranjak menuju dekat jendela dan membuang pandanganku, menatap hamparan gedung yang menjulang di mana-mana.

“Kenapa kau tinggal di sini?” tanyaku kemudian. Tiba-tiba aku seolah baru tersadar dengan keanehan ini. Kenapa Aland menginap di hotel? Toh ia punya apartemen yang jaraknya hanya sekitar dua puluh kilometer dari sini.

“Aku sudah tak punya apa-apa lagi.” Lelaki itu menjawab enteng. Aku terbelalak.
Hah?

Serta merta aku memutar tubuhku dan melihat lelaki itu sudah berdiri di hadapanku.

“Apa maksudmu? Kau bangkrut?” tanyaku to-the-point.

“Tidak, itu ...”

Aku melotot. “Tunggu! Apa jangan-jangan kau bangkrut, lalu datang kepadaku? Begitu? Apa perempuan itu sudah menguras habis semua hartamu?” Aku nyaris kembali berteriak.

Aland tersenyum lalu menggeleng. “Tidak, bukan seperti itu.”

“Lantas?” Aku bertanya tak sabar.

“Aku sudah menjual semuanya. Properti, rumah, vila, apartemen, mobil, aku sudah menjualnya, semuanya. Tak ada lagi yang tersisa.”

“Apa maksudmu tak ada lagi yang tersisa? Kenapa kau lakukan itu? Apa kau punya banyak utang? Kau bangkrut? Kau ...?”

“Uang hasil penjualannya sudah aku transfer ke rekeningmu.”

“Iya, tapi tetap saja ....” Aku melotot dan kalimatku terhenti. “KAU BILANG APA?!!” Aku berteriak.

Aland manggut-manggut.
“Semua uangnya sudah aku transfer ke rekeningmu. Kau tak tahu?”

Aku melongo. “Kapan?”
Setelah bercerai, aku memang tak pernah membuka rekening lamaku.
Aku memutuskan membuat rekening baru untuk melupakan segalanya. 

“Beberapa waktu yang lalu.” Aland menjawab enteng.

“Kenapa?"

Ia mengangkat bahu lalu bergerak mendekat, meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya erat.

“Karena aku ingin mempercayakan hidupku padamu. Jadi aku memberikan semua yang aku punya. Jiwa, raga, harta benda, semuanya,” ucapnya lagi.

Aku mematung, bingung. Apa-apaan ini?

“Lalu pekerjaanmu?” tanyaku kemudian.

“Masih. Aku masih punya pekerjaan yang mapan. Sekarang, hanya itu yang aku punya. Percayalah, gajiku masih lebih dari cukup untuk menghidupimu,” jawabnya.

“Jadi, menikahlah denganku lagi, Yehana.” Ia menatapku dengan penuh harap. “Kumohon,” lanjutnya.

Aku tak segera menjawab. Hening sesaat.

“Kau akan menyatukan kembali serpihan hatiku yang telah hancur berkeping-keping?” Akhirnya, pertanyaan itu yang meluncur dari mulutku.

Aland mengangguk.

“Bahkan jika itu akan membutuhkan yang lama?”

Lelaki itu kembali mengangguk.

“Aku akan menyatukannya, perlahan-lahan, satu demi satu, sampai hati itu utuh kembali. Tapi kau harus berjanji, jika hati itu telah kembali utuh, kau harus membiarkanku memilikinya, selamanya,” jawabnya.

Kami berpandangan. Aku terdiam. Tapi Ia tahu, diamku berarti ‘ya’.

Lelaki itu beranjak, mengecup bibirku sesaat. Bukan sebuah ciuman kemenangan, bukan pula ciuman posesif. Ciuman itu berlangsung pelan dan ringan. Sebuah ciuman yang menandakan bahwa, masalah di antara kami diselesaikan secara alami.
Cinta.

Ya, karena masih ada cinta di antara kami.

“Dan bagaimana kalau kau mengkhianatiku lagi?"

“Tendang saja bokongku.” Ia menyeringai.

°°°

Selesai.

Hai, untuk sementara sampai sini dulu aja ya. Ntar kalau ada waktu, baru dibikin cerbung. Hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro