25. Menikahlah Denganku Lagi (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jika memang aku yang telah menghancurkan hatimu, berkeping-keping. Maka ijinkan aku menyatukan kembali kepingan-kepingan itu, satu demi satu.

-------------------------------

Aku memperlambat langkah ketika menyaksikan puluhan buket bunga berjejer di sepanjang jalan menuju meja kerjaku. Mawar putih, bunga kesukaanku.

“Untukmu semua.”

Widi, salah satu rekan yang meja kerjanya bersebelahan denganku membuka suara sambil menunjuk ke arah buket-buket bunga tersebut. Aku menatapnya tak mengerti.

“Baca saja kalau tak percaya.” Ia menganjurkan sambil mengambil kartu ucapan dari salah satu buket bunga tersebut.
“Nih.” Ia menyodorkannya ke arahku.

“Orang sinting mana yang berniat memindahkan toko bunga ke tempat kerjaku?” gerutuku sambil menyambar kartu ucapan tersebut.

“Kau kenal dekat dengannya kok. Bahkan pernah ter-a-mat dekat.” Perempuan itu kembali  berkata-kata, terdengar sebal.

Bibirku berdecak sambil membalik kartu ucapan tersebut lalu mulai membacanya. Dan mataku segera membelalak.
Widi benar, pengirimnya adalah orang yang kukenal dekat, terlampau dekat malahan.

Untukmu yang tercinta, Yehana...
Dari : Aland.

Aku menatap Widi dengan kaget. “Mantan suamiku?!” teriakku bingung.

Dan ia cuma mengangguk, mengiyakan.

Oh tidak.

***

Sosok itu berdiri di sana, di sisi jalan masuk gedung. Tatapannya lurus ke arahku. Ia tersenyum lalu melambaikan tangan.

Aku berdiri, mematung, terkejut. Dan otakku masih waras untuk tak membalas senyumannya.

Beberapa tahun telah berlalu tapi sosok itu masih saja terlihat ... tampan. Tatapan matanya teduh menenangkan, senyumnya juga masih menawan.
Penampilannya masih terkesan sama. Tidak terlalu rapi dan terkesan laki-laki.

Celana linen berwarna gelap yang disetrika licin dan dipadukan dengan kemeja abu-abu dengan lengan digulung sampai siku. Kancing kemeja paling atas terbuka hingga dasi yang ia kenakan terlihat sedikit kedodoran. Rambutnya sedikit messy, dan wajahnya terlihat begitu semringah.

Damn, ia masih saja tampan luar biasa!

Aku menelan ludah dan berusaha mendapatkan akal sehatku kembali.

Oh, dia Aland, mantan suamiku.  Lelaki sempurna super tampan yang dulu pernah membuatku jatuh cinta setengah mati – meskipun sekarang masih – tapi kemudian ia menghancurkan hatiku berkeping-keping dan meninggalkanku demi wanita lain!

Tapi ... ini ibarat kau puasa selama 24 jam penuh, kemudian kau dihadapkan pada serangkaian menu berbuka puasa yang menggiurkan, lengkap dengan puding dan es buah, tentu kau ingin menyantapnya, kan?
Nah, itu yang kurasakan saat ini. Aku ingin menyantap orang ini!

“Kau menerima bungaku? Surat-suratku?”

Aku tergagap. Suara itu membuyarkan lamunanku. Dan aku baru menyadari bahwa sekarang dia sudah berdiri di hadapanku.

Kapan dia melangkah ke sini?

“Yehana?” Ia kembali memanggil, kali ini membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Aku mundur beberapa langkah dengan gugup, lalu tanpa berkata-kata aku beranjak melewati dirinya menuju trotoar untuk segera menunju halte bus.

Ia berlari mengejar. Tapi  tak menghalau, melainkan malah menyamai langkahku.

“Bisa kita bicara sebentar?” Ia kembali berkata.

“Tidak,” jawabku pendek, tanpa melihat ke arahnya.

“Please.”

“Tidak!” Aku menghentakkan sepatuku  lalu berhenti, memutar tubuhku ke arahnya dan menatapnya dengan kesal.

Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang masih sama dengan beberapa menit yang lalu. Dan tatapan itu benar-benar menggoda. Oh, orang – santapan – sialan!

“Dengar, aku tahu ke mana arah pembicaraanmu. Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku anak kecil? Kau mengirimiku berbuket-buket bunga, mengirimiku kartu ucapan dengan kalimat-kalimat manis, mengatakan kau mencintaiku, oh, rayuan gombal! Yang jelas itu semua bukan permohonan maaf, kan? Kenapa? Kau ingin kembali padaku? Apa kau ada masalah dengan perempuan itu? Apa kalian bertengkar? Atau ... perempuan itu meninggalkanmu?” Aku berdecak sinis.

“Aku sudah berpisah dengan ...”

“Jangan berani menyebut namanya di depanku!” Aku berteriak.

Aland mengangkat bahu.
“Oke,” jawabnya cepat.
“Aku bercerai dengan -- perempuan itu,” lanjutnya.

Aku terkekeh sinis.
“Sudah kuduga. Bedebah. Bajingan tengik.” Aku mengutuk lalu kembali beranjak. Dan dia tetap saja menyamai langkahku.

“Kau tak ingin tahu apa yang terjadi dengan kami?”

“Tidak,” jawabku pendek.

“Setidaknya biarkan aku menjelaskan segalanya padamu.”

“Maaf, itu bukan urusanku.” Aku menjawab tak kalah ketus.

“Beri aku kesempatan lagi, Yehana. Aku ingin menebus dosaku padamu.” Kali ini ia menarik lengan tanganku dan menatapku dengan dalam. Aku balas menatapnya dengan rahang mengeras.

“Tidak,” jawabku lagi seraya menarik tanganku dari genggamannya. Karena frustrasi, aku urung melangkahkan kakiku ke halte bus dan malah menghentikan taksi yang melintas.

Tanpa bicara, tanpa melihat lagi ke arahnya, aku segera meminta pak sopir untuk meluncur, meninggalkannya.

Well, seperti yang sudah kalian dengar, lelaki tadi memang lelaki yang pernah mencampakkanku. Dua tahun yang lalu, ia menceraikanku demi wanita lain.

Aku tidak menyalahkan sepenuhnya atas semua itu. Karena, yaa... begitulah. Waktu itu kami memang mengalami masa-masa sulit. Melewati pacaran yang termasuk singkat, hanya tiga bulan, lalu kami buru-buru memutuskan untuk menikah tanpa terlebih dahulu memahami karakter satu sama lain. Pernikahan kami waktu itu hanya didasari satu hal: Kami saling jatuh cinta setengah mati!

Tapi cinta hanyalah cinta. Ketika memasuki pernikahan yang sebenarnya, kami kewalahan. Kami sering cekcok. Memang sih kami selalu menemukan cara alami untuk berbaikan kembali.
Cinta.
Tapi itu saja tidak cukup.

Dan kemudian semua berantakan. Usia pernikahan kami baru memasuki tahun kedua ketika Aland tergoda dengan sekretaris pribadinya yang cantik, bahenol, dan ... seksi. Dan singkat kata,  dia meninggalkanku demi wanita itu.

Tapi aku sadar, sedalam apapun luka yang telah ia torehkan padaku, aku tetap saja jatuh cinta setengah mati dengan lelaki itu!

Selalu.

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro