24. Dua Pacar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


:: Jika bisa mendapat dua, kenapa harus pilih satu? ::

------------

Sosok itu berdiri di depan pintu apartemenku dengan senyum sumringah.

"Rea, halo..." Ia menyapa dengan hangat sembari mengacak rambutku dengan lembut, lantas mendaratkan ciuman ringan di puncak kepalaku.

Aku mengerjap, merasa sedikit terkejut dengan kedatangannya.
"Kenapa kau tak memberitahu dulu kalau mau datang kemari?" tanyaku, berusaha menyembunyikan keterkejutanku.

Josh terkekeh kecil seraya kembali mengacak rambutku lalu menyeruak masuk ke apartemen. "Kejutan. Segeralah berganti baju, aku ingin mengajakmu jalan-jalan," ucapnya.

Kedua mataku kembali mengerjap.

Mengajakku jalan-jalan?!
Waduh, gawat! Pekikku dalam hati.

Kenapa Josh bisa ke sini mendadak begini? Biasanya dia selalu memberitahu terlebih dahulu kalau mau datang, atau bahkan ingin mengajakku jalan-jalan.
Bagaimana ini? Aku kan sudah berjanji untuk keluar dengan ...

"Apa kau akan berdiri di depan pintu seperti itu terus?" Josh bersuara setelah menghempaskan tubuhnya di sofa.
Aku tergagap.
"Ah, i-iya."
Aku buru-buru menutup pintu dan segera berbalik, menghambur ke arah pemuda itu dan bergelayut mesra di lengannya.

"Kenapa kau tidak memberitahu dulu kalau ingin mengajakku jalan-jalan?" protesku.
"Kan aku sudah bilang, aku ingin memberimu kejutan." Josh menjawab seraya mencubit hidungku dengan gemas.
"Iya sih, tapi waktunya tidak tepat. Aku sudah terlanjur punya janji dengan rekan kerjaku. Ada yang harus kami selesaikan siang ini," ujarku manyun seraya melirik ke arah ponselku yang tergeletak di atas meja kerja.

Ponsel itu berkedip-kedip, terlihat seperti ada telepon masuk.

"Hari ini kau mestinya libur, kan? Kenapa kau tetap berkutat dengan pekerjaan?" tanya Josh lagi.

Aku hanya mengangkat bahu menanggapi pertanyaannya.
"Aku karyawan biasa, Josh. Dan tugasku adalah melaksanakan pekerjaanku dengan sebaik mungkin," jawabku seraya beringsut.

Dan dengan langkah sealamiah mungkin, aku bergerak meraih ponselku dan buru-buru membaca beberapa pesan di kotak masuk.

--Di mana kau? Lama sekali. Aku sudah berada di tempat janjian sejak tadi. 10 menit lagi kau tak muncul, akan kujemput kau di apartemenmu.--

Dan isi pesan singkat itu sukses membuatku blingsatan.
DIA AKAN KEMARI?!!
DUH, GIMANA INI??!!

"Ya sudah, aku yang akan mengantarkanmu ke tempat janjian dengan rekanmu," ujar Josh kemudian.
Dan aku membelalak ke arahnya. "TIDAK!" pekikku, otomatis.

Josh mengernyitkan dahinya, nampak heran dengan reaksiku yang sedikit berlebihan.

"Mm, maksudku ... kau tak perlu mengantarkanku. Aku ... akan ke sana sendiri." Aku menyeringai.

"Rea, kau baik-baik saja, kan?" Josh menyipitkan matanya. Dan lagi-lagi aku hanya mampu tersenyum kaku. Senyum kaku itu berubah mengerikan ketika aku kembali membaca pesan singkat di kotak masuk.
--Aku akan ke apartemenmu,--

Oh, shit!

Dengan gemas aku membalas pesan singkat tersebut.
--Aku akan ke sana, kau tak perlu datang ke apartemenku.-- balasku.

"Sudah kubilang, biar aku saja yang mengantarkanmu. Sekalian aku pulang." Josh berujar tenang tetap dari sofa kesayangannya.

Aku tersenyum. "Josh, kau tak perlu mengantarkanku. Sekarang kau pulang saja, nanti malam aku akan ke apartemenmu, aku janji." Dengan jemari yang sibuk mengutak-atik ponsel, aku berusaha 'mengusir' Josh dengan halus.
"Sekarang pulanglah dulu, aku perlu bersiap-siap."

"Kau yakin tak mau kuantarkan?"

"Tidak, sungguh."

"Janji kau akan ke apartemenku nanti malam?"

"JANJI."

Dengan raut muka yang tampak kecewa, Josh bangkit. Dan sesaat sebelum ia keluar dari apartemenku, ia kembali berujar, "Aku menunggumu di apartemenku, Rea." Dan ia kembali mengecup puncak kepalaku dengan lembut.
Aku mengangguk dengan mantap.

Sekian detik setelah dia pergi, aku blingsatan. Jumpalitan ke sana kemari, berganti baju, berdandan secepat mungkin, lalu segera meluncur keluar.

Menemui pacarku yang lain.

**

Kai duduk dengan gusar di salah satu bangku taman ketika aku sampai di sana.
"Ah, kau lama sekali, Re. Aku hampir karatan menunggu kedatanganmu." Ia menyambutku dengan nada protes.

Aku tersenyum seraya berjingkat ke arahnya. "Sorry," ucapku.
Dan segera aku bergelayut mesra di lengannya.
"Tiba-tiba saja aku ada urusan mendadak. Maaf ya, Sayang," ucapku lagi dengan mimik selucu mungkin hingga menimbulkan senyum di bibir Kai.

"Jadi jalan-jalan, kan, Sayang?" tanyaku antusias.

Kai tersenyum."Tentu," jawabnya.
"Yuk." Ia bangkit, menggenggam erat tanganku, lalu berjalan dengan antusias menyusuri jalanan taman, meneruskan agenda kencan kami.

Well, dia Kai, pacarku.
Dan yang tadi datang ke apartemenku, Josh, dia ... juga pacarku.

Mm, bagaimana ya menjelaskannya? Pokoknya aku memang punya dua pacar. Aku menduakan mereka.

Dulu pertama kali mengenal Josh, aku mengira dia adalah satu-satunya pria tertampan, terbaik, teristimewa, sepanjang masa!

Tak pernah terpikir sedikitpun bahwa aku akan jatuh cinta lagi pada pria lain. Hingga akhirnya aku bertemu Kai, pemuda  kharismatik bermata indah dan bersuara lembut. Kehadirannya di kehidupanku seolah menyihirku begitu saja hingga aku terpesona.

Dan seolah semua memang sudah harus terjadi, tiba-tiba saja Kai mengatakan kalau ia jatuh cinta padaku.

Awal berkenalan dengan pemuda itu aku memang tak bilang padanya bahwa aku sudah punya pacar. Dan itulah mungkin yang membuatnya berani untuk menyatakan cinta padaku.
Dan, ya, begitulah. Aku menerima cintanya.

Sudah hampir satu tahun ini aku sukses berpacar ganda, tanpa mereka ketahui.

Mudah? Tidak.

Aku harus pintar mengatur waktu agar jadwal kencan kami tidak bentrok dan mereka tidak saling bertemu satu sama lain. Dan percayalah, ini tidak mudah. Butuh-keahlian-khusus!
Trust me.

Mungkin ini memang terdengar kejam dan tidak adil bagi mereka. Tapi jujur, aku tidak bisa kehilangan mereka berdua.

Rasa cinta yang kurasakan pada Josh, sama besarnya dengan rasa cinta yang kurasakan pada Kai.
Ibaratnya Josh tangan kiri, dan Kai tangan kanan. Dua-duanya penting, tak bisa kupilih salah satu.

Sebenarnya sempat terpikir olehku untuk menyudahi semua drama ini dan mengaku pada mereka bahwa aku menduakan. Tapi jika aku melakukannya, maka mereka akan membenciku dan meninggalkanku.

Dan aku belum siap.
Aku belum siap kehilangan mereka.

**

"Ada satu tempat lagi yang ingin kukunjungi denganmu." Kai melingkarkan tangannya di bahuku. Senyumnya menawan, dan kedua matanya berbinar indah, seperti biasanya.

Aku tersenyum kaku.
Gawat, aku sudah berjanji untuk berkunjung ke apartemen Josh. Jika aku terlambat datang ke sana, maka pemuda itu akan heboh menelponku, lalu mencariku, di manapun aku berada.

"Hanya sebentar saja kok, janji." Kai seolah menangkap kegundahan hatiku. Aku tersenyum lalu mengangguk. "Oke," jawabku.

Dan akhirnya kami melanjutkan acara jalan-jalan kami. Kai mengajakku ke sebuah kafe. Dia bilang, ada yang ingin ia sampaikan.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku sembari mengaduk-aduk minumanku. Kai terdiam sesaat.
"Re..." panggilnya lirih. "Sampai kapan kau akan memperlakukan kami seperti ini?"

Gerakan tanganku yang sibuk memutar-mutar sedotan, terhenti. Kutatap pemuda tampan di hadapanku itu. "Maksudnya?"

Pemuda itu menarik napas berat. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," dengan dagunya, ia menunjuk ke arah sisi lain. Sisi di mana seorang pemuda muncul dari sana.
Aku ternganga.

Josh!

Pemuda itu melenggang dengan tenang, lalu duduk di kursi yang berada di hadapanku, tepat di samping Kai.

Aku menelan ludah.
"Bagaimana kalian...?" Kalimatku tertelan kembali ke tenggorokan. Dua pemuda itu saling tatap sesaat, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arahku.

Dan aku seolah tak punya muka untuk bertemu dengan mereka.
Jika bisa, aku berharap bahwa tanah yang ada di bawahku terbelah, lalu menelanku hidup-hidup kemudian membawaku ke mana saja.
Asal tidak di sini.

"Sejak beberapa bulan yang lalu, kami sudah tahu bahwa ternyata kau menduakan kami." Josh membuka suara. Kali ini pemuda yang biasanya ceria itu tampak serius. Dan aku kembali menelan ludah, nyaliku ciut.
Tamat sudah riwayatku!

"Aku curiga karena kau kerap terlalu asyik dengan ponselmu yang satunya. Ponsel yang kau beli sejak beberapa bulan yang lalu, dan kau seolah menganggapnya sebagai benda keramat. Tanpa sepengetahuanmu, aku membuka ponselmu dan menemukan percakapanmu dengannya," Ia menunjuk ke arah Kai dengan dagunya. "Dan akhirnya aku menelponnya, mengajaknya ketemu, dan kami berbicara panjang lebar, secara gentle. Dan akhirnya kami tahu bahwa kau telah membodohi kami berdua," lanjutnya.

Aku menunduk. Air mataku nyaris tumpah.

"Maafkan aku," ucapku lirih. "Tapi aku tak berniat membodohi kalian atau bahkan mempermainkan kalian. Aku hanya merasa terlalu mencintai kalian berdua dan tak ingin kehilangan kalian." Aku memberanikan diri menatap dua pemuda yang berdiri kaku di hadapanku.

"Aku memang tak pantas menerima maaf dari kalian setelah apa yang kulakukan pada kalian. Kalian boleh membenciku, menghinaku, tapi apa yang kurasakan pada kalian itu tulus. Ini memang terdengar kejam dan tak adil, tapi ... tapi aku benar-benar mencintai kalian berdua. Aku ... tulus." Air mataku menitik.

Ah, terserah. Aku tak peduli pendapat mereka tentangku, aku tak peduli walau pada akhirnya mereka akan meninggalkanku, tapi setidaknya, aku sudah bicara jujur.

Dua pemuda itu berpandangan lalu kembali menatapku dengan tatapan intens.
"Re, kami sudah berbicara dan sepakat tentang beberapa hal," ujar Kai.
Josh mengangguk, mengiyakan.

"Kita tidak akan putus," lanjutnya.

"Maksudnya, kita bertiga tidak akan putus." Josh ikut bersuara.

Kedua mataku mengerjap.

Maksudnya?

"Sama seperti dirimu yang mencintai kami dengan tulus dan tak mau kehilangan kami. Kami juga begitu. Kami sama-sama mencintaimu dengan tulus dan sama-sama tak ingin kehilanganmu. Jadi, kami tak keberatan untuk berbagi."

Kedua mataku kembali mengerjap.
Eh?
Ber ... bagi?

Josh dan Kai kembali berpandangan sesaat, sebelum akhirnya tatapan mereka kembali padaku.
"Jadi intinya, kita bertiga tidak akan putus. Aku dan Kai sudah bicara banyak hal dan kami sepakat untuk mengatur jadwal kencan agar adil. Hari senin hingga rabu kau akan berkencan denganku, sedangkan hari kamis hingga sabtu kau akan berkencan dengan Kai. Cukup adil," urai Josh.

Aku membelalak.
T-tunggu dulu!

Maksudnya mereka tak keberatan berbagi dan tetap menghendaki hubungan kami berlanjut seperti sedia kala? Mereka bahkan sudah membagi hari kencan?

What the ....HELL?!!

Alih-alih mengamuk dengan ide gila mereka, aku malah bertanya, "Lalu hari minggu?"

Mereka berpandangan kembali lalu tersenyum ke arahku. "Hari minggu, kita akan kencan bertiga."

Aku terperangah.

"WHAAATTT??"

**

Selesai.

^^ Cerita ini brojol lebih dahulu dari Drakor Jealousy Incarnate. Saya tulis sebagai wujud kekesalan saya karena setiap kali nonton drama, selalu saja ada tokoh pria baik yang tersakiti. Ihiirr...

Cerita ini hanya bertujuan untuk menghibur. Jangan ditanggapi terlalu serius. Hehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro