23. Husband Material

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku membuka mata ketika hangat sinar mentari menerpa wajah, sebagian menerobos lewat jendela kamar yang kordennya sudah tersingkap rapi.

Mengerjap beberapa kali, masih dilanda rasa malas, aku menggeliat dan meregangkan otot tubuh.
Berguling, satu tanganku menyapu sisi tempat tidur yang telah kosong.

"Sayang?" panggilku.

Aku bangkit, menarik selimut untuk menutupi tubuh, sembari menerka di mana kiranya semalam aku meletakkan pakaianku.
Apa aku melemparkannya begitu saja ke lantai?
Atau aku sempat menggantungkannya di gantungan baju?
Tidak, tidak ada.

Di lantai tidak ada, di gantungan baju juga tidak ada.

Masih dengan tubuh terbungkus selimut, aku beringsut turun dari ranjang.

"Sayang?" panggilku lagi.

Aku beranjak membuka pintu dan bergerak keluar kamar. Menyusuri lantai kayu yang dipernis mengkilat dan berusaha menemukan sosok itu berada.

Baru kemarin kami menempati rumah ini setelah sebelumnya menghabiskan waktu  berbulan madu.
Surprise ketika tiba-tiba sekembalinya dari sana, dia mengajakku kemari dan mengatakan ia telah menyiapkan sebuah kejutan.
Dan rumah ini adalah kejutannya.

Sebuah rumah sederhana dua lantai bercat hijau dengan hamparan taman bunga di sisi kanan dan kiri, serta kolam renang mungil di halaman belakang. Sungguh sebuah kado pernikahan yang sempurna.

"Kau sudah bangun?" Dan ia menyapaku pertama kali.

Aku menemukkannya di dapur, berkutat dengan makanan, telah hampir selesai menata sarapan di meja makan.

"Selamat pagi, Honey." Tak lupa ia menghampiriku, memberiku pelukan ringan sambil mendaratkan kecupan di kening.

"Kenapa kau tak membangunkanku?" protesku.

Lelaki yang telah melepas celemek di pinggangnya itu tersenyum.
"Tak apa-apa. Aku memang sengaja tak membangunkanmu. Sarapan sudah siap. Kau ingin langsung makan atau mandi dulu?" Ia menawarkan.

"Kau taruh mana baju-bajuku semalam?" tanyaku.

"Oh, itu. Aku sudah mencucinya." Ia menunjuk ke arah tempat jemuran di luar jendela yang penuh dengan baju-baju yang masih basah.

"Kau juga sudah mencuci?" Aku ternganga.

Ia mengangguk.

"Aku juga sudah membersihkan rumah. Tiga puluh menit lagi aku harus ke kantor, ada beberapa hal yang harus kuselesaikan. Tak apa-apa 'kan kalau aku meninggalkanmu? Kau bisa bersantai di rumah," ucapnya.

Aku mengangguk, sedikit keberatan. Kan kami baru menikah, kenapa ia sudah harus bekerja sih?

"Baiklah, aku akan mandi dulu." Aku berbalik.

Sekian detik aku merasakan tubuhku terangkat.
"Ayo mandi bersama." Pria itu berujar sambil terkikik manja.

***

Awalnya aku tak terlalu mempermasalahkan kebiasaan suamiku yang kerapkali mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci, memasak, membersihkan rumah, dan juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.
Tapi lama-lama, aku jengah.

Bayangkan saja, ketika aku bangun tidur, ia sudah selesai memasak, selesai mencuci, selesai membersihkan rumah. Bahkan ketika pulang bekerja, ia juga masih sempat membuatkan makan malam.
Walau sempat kuprotes, ia tetap saja melakukan semua pekerjaan itu.

"Setidaknya biar aku yang memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Itu tugasku. Kalau semua kau kerjakan, lalu aku harus apa?"

"Kau bisa bersantai," jawabnya enteng.

"Sayang...." erangku.

"Honey, ini hanya soal pekerjaan rumah. Tolong jangan diributkan. Aku hanya tak ingin kau terlalu capek, kau juga perempuan karir, kan?"

"Tapi kau juga bekerja. Aku juga tak ingin kau capek," protesku.

"Tak masalah, aku suka kok memasak, aku suka mencuci, aku suka bersih-bersih. Apa masalahnya?"

"Tapi ...."

"Makan malam sudah siap, ayo makan dulu." Ia menggamit bahuku dan mengajakku ke ruang makan. Melihat deretan hidangan yang tertata rapi di meja, aku hanya mampu mendesah.

***

Aku sampai berkonsultasi pada rekan-rekanku yang sudah menikah. Maksudnya, apa baik-baik jika seorang suami yang mengerjakan semua pekerjaan rumah?
Dan kau tahu bagaimana reaksi teman-temanku? Mereka malah bersorak.

"Harusnya kau bersyukur, Ren. Kau dianugerahi suami serba bisa seperti dia. Di tempat tidur dia oke, di dapur dia juga oke. Hidupmu beruntung. Yang perlu kau lakukan hanya bersantai. Nikmati saja."

Dan lagi-lagi aku hanya mampu memijit pelipisku dengan lelah.

***

"Besok aku yang akan memasak. Aku juga yang akan mencuci. Dan aku juga yang akan membersihkan rumah," peringatku, malam itu ketika kami hendak pergi tidur.

Suamiku menelengkan kepalanya bingung.
"Ada sesuatu?"

"Sudah, pokoknya begitu saja," jawabku kesal.

Nyatanya, pria itu tak memenuhi permintaanku.

Esoknya, ketika aku bangun tidur, dia sudah selesai memasak, sudah selesai mencuci, dan sudah selesai bersih-bersih.

"Sayang, apa masakanku tak enak?" Aku nyaris mengeram kesal.

Pria itu tersenyum lembut.
"Kenapa tiba-tiba kau menanyakannya? Aku pernah memakan masakanmu ketika kita berkencan untuk pertama kalinya. Dan jujur, masakanmu luar biasa enak."

"Lalu, kenapa sekarang kau yang memasak?"

"Mmm, itu ...."

"Dan kenapa kau yang mencuci baju? Kenapa kau yang membersihkan rumah? Kenapa kau yang mengerjakan semua pekerjaan rumah?!"

"Honey, ada apa denganmu?"

"Aku yang harusnya bertanya, ada apa denganmu?!"

Dan akhirnya, pertengkaran di pagi hari itu tak bisa dihindari.

"Kau menyuruhku bersantai, sementara kau yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dan jujur itu melukai harga diriku sebagai perempuan, sebagai seorang istri ...."

"Renata...."

"Aku sampai bertanya pada diriku sendiri, apa aku tak pintar memasak hingga kau yang harus melakukannya? Apa aku tak pandai membersihkan rumah hingga kau yang melakukannya? Apa aku tak pintar mencuci baju hingga kau juga yang harus melakukannya?"

Suamiku menggeleng. "Bukan begitu."

"Lalu apa?!" Aku nyaris menjerit. "Memasak, mencuci, mengerjakan pekerjaan rumah, itu tugasku. Kalau kau yang melakukan semuanya, lalu aku harus melakukan apa?"

Kami berpandangan.

"Sayangku ..." Ia memanggilku lembut. "Aku tak tahu kenapa kau harus meributkan hal seperti ini?"

"Karena aku bingung. Kenapa kau berperilaku seperti ini?" Kedua mataku basah.

Hening.

Pria itu mendesah, tetap memandangku lembut.

"Sayang, kau adalah putri yang begitu berharga bagi ayah dan ibumu. Mereka memperlakukanmu dengan baik, memperlakukanmu seperti putri, mati-matian membuatmu bahagia. Ketika kita akan menikah, ayah dan ibumu menitipkanmu padaku. Memintaku untuk menjagamu, memperlakukanmu dengan baik, dan membahagiakanmu. Jadi, hanya ini yang bisa kulakukan," ucapnya. "Aku bukan pria kaya yang berpenghasilan milyaran, aku bukan pangeran yang punya seluruh isi dunia untuk bisa kuberikan. Tapi satu hal yang pasti, I wanna treat you like a queen. My queen, and the only one," lanjutnya.

Dan dadaku berdesir mendengar penuturannya.
Terharu.

"Aku tak ingin kau lelah, aku tak ingin kau terlalu capek menjalani kehidupan rumah tangga kita. Aku ingin kau bisa bersantai dan hidup bahagia bersamaku. Lagipula, aku suka memasak untukmu. Aku suka mencuci bajumu. Aku juga suka membersihkan rumah ini untukmu. Aku ingin kau senang," ucapnya lagi.

"Bukan karena kau tak suka masakanku?" tanyaku.

Pria itu menggeleng.
"Bukan. Masakanmu enak. Tapi aku lebih suka memasak untukmu."

"Bukan karena aku tak pandai mengurus rumah, kan?"

"Bukan juga. Kau pandai mengurus rumah dan juga mengurus suami." Ia tersenyum.

"Kalau kau mengerjakan semua, lantas aku harus melakukan apa? Setidaknya kita bisa berbagi tugas. Kau yang memasak, aku yang membersihkan rumah. Atau sebaliknya. Jangan suruh aku bersantai karena aku bukan ratu. Aku istrimu," ujarku.

Suamiku tersenyum lembut sambil melangkah mendekat.
"Kau sudah punya tugas yang lebih penting." Ia membelai pipiku, lagi-lagi tersenyum penuh arti. Lembut, menyejukkan.

"Apa?"

"Melayaniku di tempat tidur dan melahirkan anak-anakku."

Dan sebuah ciuman tanda cinta kuterima di bibir.

***

Selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro