22. Lost

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku membuka pintu ruang perawatan dan menemukan pemuda itu duduk diam di depan jendela.
Menyadari kehadiranku, ia menoleh dan tersenyum ke arahku.

"Selamat pagi, Suster." Ia menyapa ramah.

Aku tersenyum.
"Kau sudah diperbolehkan pulang 'kan hari ini?" tanyaku.

Ia mengangguk.
"Tapi keluargaku belum datang," jawabnya.

"Ayo kubantu berkemas," tawarku.

"Tak merepotkan?" Ia menatapku ragu.

Aku kembali tersenyum seraya menggeleng.
"Tidak. Aku sedang tidak repot. Lagipula, ini termasuk bagian dari pekerjaanku, kan?" jawabku.

Damar tersenyum dan menjawab, "Baiklah. Dan ... terima kasih, Suster."

Aku bergerak dan mulai membantu merapikan barang-barang.
Damar berniat membantuku tapi aku melarangnya.
"Kau duduk saja, biar aku yang berkemas. Bersantailah, tak apa-apa," cegahku.

Pemuda itu terlihat canggung, tapi akhirnya ia memilih duduk kembali di depan jendela sembari sesekali menatapku.

Damar dirawat di rumah sakit ini sejak tiga bulan yang lalu. Sebuah kecelakaan hebat yang menyebabkan kepalanya terluka sempat membuatnya koma beberapa hari. Tidak hanya itu saja, kecelakaan itu juga berhasil merenggut ingatannya.

Kata dokter, ia mengalami hilang ingatan permanen. Tidak seluruhnya, tapi Damar kehilangan kemampuan untuk mengingat semua peristiwa di dalam kehidupannya dalam kurun waktu lima tahun.

Trauma otak yang ia derita menyebabkan semua peristiwa dan kenangan yang ia alami sejak lima tahun yang lalu hilang. Lenyap tak berbekas.

"Suster ... apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Pemuda itu membuka suara.

Mendapati pertanyaan seperti itu, dadaku nyaris membuncah. Aku menggigit bibir, dan menatapnya sekilas.
"Menurutmu?" Aku bertanya balik.

Pemuda itu mengangkat bahu.
"Entah," jawabnya. "Dokter sudah menceritakan tentang keadaanku, bahwa aku kehilangan sebagian dari ingatanku. Oleh karena itulah, setiap kali bertemu dengan orang yang tak kukenal, aku selalu berpikir, apa aku mengenalnya? Apakah kami pernah bertemu sebelumnya? Apakah ...." Ia tampak putus asa.

Aku tersenyum lembut.
"Jangan memaksakan diri. Kau 'kan bisa berkenalan kembali dengan setiap orang yang kau temui," ucapku.

Ia tersenyum sambil manggut-manggut. "Iya, kau benar juga," jawabnya.

Setelah selesai membantunya berkemas, aku menatapnya lembut.
"Ada yang kau butuhkan lagi?" tanyaku.

Ia menggeleng. "Tidak, Suster. Terima kasih sudah membantuku. Aku akan menunggu keluargaku lalu pulang," jawabnya.

"Kalau begitu ...." Aku menggigit bibir, "Aku pergi dulu ya," lanjutku.

Damar tersenyum lagi dan mengangguk.
Kutatap mata coklat itu dengan saksama sebelum memutuskan untuk beranjak.
Aku tersenyum memohon diri lagi dan ia tersenyum mengiyakan.

Sesaat setelah aku menutup pintu dari luar, air mataku tumpah. Bahuku terguncang, dan isak tangisku pecah.

Sempat terpikir olehku untuk kembali menyeruak masuk lalu berteriak di hadapannya:

Damar, aku kekasihmu! Aku adalah perempuan penting dalam kehidupanmu! Kau sedang dalam perjalanan ke apartemenku ketika mengalami kecelakaan itu! Kita sudah berpacaran selama hampir tiga tahun dan kau pernah berjanji bahwa kau akan mencintaiku selamanya!

Beberapa bulan yang akan datang kita bahkan berencana bertunangan! Tapi kenapa sekarang kau melupakanku? Kenapa sekarang kau menganggap aku tak pernah ada di kehidupanmu?

Aku berpura-pura menjadi suster yang merawat dirimu dengan harapan kau mampu mengingatku. Tapi ternyata, kau tetap saja melupakanku. Menganggapku tak pernah ada dalam kehidupanmu!

Aku harus bagaimana, Damar?

Aku harus bagaimana?!

***

Aku memasuki ruang perawat dengan berderai air mata. Di sana telah menunggu keluargaku dan juga keluarga Damar. Termasuk dokter dan beberapa suster.

Kami sengaja melakukan semua ini.

Membiarkanku berpura-pura sebagai suster demi bisa dekat dengan Damar dan berharap ia mendapatkan ingatannya kembali. Dan ternyata aku gagal.

"Aku kehilangan dia," ucapku lirih. Putus asa.

"Aku kehilangan dia," ulangku dengan diselingi isak tangis.

Orang tuaku yang pertama kali menghampiriku, lalu memelukku erat. Kurasakan ibuku juga menangis.
"Kuatkan dirimu." Beliau berbisik lembut. Isak tangisku kian menjadi.

Dan aku seolah baru sadar, betapa dalam luka yang kuperoleh. Betapa menyakitkannya menjadi sosok yang dilupakan.

Tak hanya sekadar kehilangan dirinya, tapi segalanya. Kenangan manis, suka duka, tawa, pertengkaran kecil di antara kami, semuanya lenyap.

Hilang.

Tak tersisa ....

***

Selesai.

2016©Winset

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro