18. Donat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanpa pikir panjang, Naka buru-buru kembali ke indekos. Pesan dari Wisnu tentang informasi kepindahan anak indekos, cukup untuk membuat laki-laki yang mengenakan jaket ojek itu mematikan aplikasi Kuy Jek! dan meninggalkan pangkalan. Dalam perjalanan, pikiran Naka dipenuhi pertanyaan tentang alasan kepindahan Iqbal, padahal tadi pagi mereka masih bicara.

Hari sudah hampir gelap ketika Naka tiba di indekos. Saking buru-burunya, ia tidak memasukkan Jamilah ke parkiran dan meninggalkan belahan jiwanya itu di luar gerbang. Hal ini sangat jarang ia lakukan. Kedatangannya disambut Wisnu yang baru saja keluar dari kamar.

"Tumben, cepet amat baliknya?"

Naka berjalan sambil membuka jaket ojeknya dengan gerakan sembrono. Setelah bertukar tatap dengan Wisnu, ia berbelok tajam menuju ruang tamu. "Jelasin dulu, wah! Kok tiba-tiba banget?"

Laki-laki berkaus biru dengan celana panjang itu langsung menghela napas sambil mengikuti sang kuncen kosan. "Gue juga nggak tahu pasti alasannya, cuma dia pamit mau pindah kosan. Terus katanya besok barang-barang bakal diambil bareng temennya. Kebetulan tadi papasan sama gue."

Naka memijit pelipis. Ia menyentuh layar ponsel dengan terburu-buru. Tidak lama setelah itu, ia menekan tanda pengeras suara.

"Kenapa pada kumpul di ruang tamu?" Ilham muncul dengan dahi berkerut dan tatapan heran.

Laki-laki berambut gondrong yang tengah menatap ponsel dengan sengit itu langsung bangkit berdiri. "Iqbal keluar dari kos. Nggak ngabarin gue. Cuma bilang ke Wisnu kalo dia bakal pindah."

Kakak tertua di indekos Bu Endang itu langsung menatap Wisnu yang bersandar di kursi ruang tamu untuk menuntut jawab.

"Gue baru balik dari kerja, terus ketemu Iqbal yang bawa tas ransel sama koper. Gue tanya, mau ada acara apaan sampe bawa koper segala. Dia bilangnya cuma pindah kosan." Wisnu mencoba menjelaskan situasinya.

"Saking kagetnya, gue nggak bisa nanya, cuma melongo doang. Abis itu gue langsung ngabarin Naka. Gue kira dia udah tau. Lah, malah heboh gini." Wisnu menatap Naka dengan tatapan mengejek. "Katanya kuncen kosan, tapi nggak update."

Naka langsung kepanasan. "Diem, ya, Bangsat!"

Ilham menghela napas panjang, kemudian berdeham sebelum menyerukan satu kata, "Nayaka! "

Laki-laki berambut gondrong yang masih menunggu jawab dari ponselnya itu langsung terduduk. "Maaf, Ham. Kelepasan."

Ilham melonggarkan dasinya sebelum meletakkan donat ke atas meja. "Udah, urusan Iqbal nanti kita tanya ke Bu Endang aja. Lo nggak punya kuasa buat kontrol semua anak di sini, Ka." Ilham tersenyum dengan penuh wibawa, kemudian ia menepuk pundak Naka. "Selamat sudah berhasil seminar proposalnya, ya. Gue udah panggil anak-anak buat kumpul, tapi nggak nyangka bintang utamanya malah udah di sini."

Entah karena sedang kalut atau memang tidak fokus, Naka tidak melihat kalau Ilham membawa satu kantong plastik besar dengan logo merek donat yang terkenal. "Ham."

Wisnu berdecak dan memutar bola matanya malas, "Dih, nggak usah drama. Mata lo nggak usah sok terharu gitu."

Naka langsung menatap Wisnu sengit. "Mending Ilham kemana-mana daripada lo, ya!"

Laki-laki berpipi tembam itu langsung melayangkan satu pukulan ke punggung Naka. "Tadi siang gue udah chat, ya! Nggak usah sok lupa!"

Suara keras Wisnu mampu membuat emosi Naka agak tersulut. "Chat doang, mah nggak asyik. Mana action-nya?"

Ilham menggeleng dan kembali menghela napas berat. "Lo berdua mau lanjut ribut? Kalo iya, donatnya gue kasih ke pos ronda aja ntar malem."

Naka dan Wisnu kontan menoleh kompak dan berseru. "Jangan!"

"Kami nggak berantem kok." Wisnu berseru, agak panik sedikit. Soalnya dia sudah mengincar donat tiramisu kesukaannya.

"Aguy, kayak baru kenal kemaren aja, Ham. Ini tuh, namanya love language." Naka sok menggunakan istilah yang sedang tren belakangan ini.

Ilham tertawa. Tawa itu membuat kedua lesung pipinya tercetak dalam. "Setau gue, nggak ada love language yang jenisnya kayak kelakuan kalian."

Naka nyaris tidak menyimak jawaban Ilham, kini tangannya sibuk mengetik pesan ke nomor Iqbal. Ia juga tidak sadar kalau penghuni lantai dua sudah menuju ruang tamu.

"Yah, kok Bang Naka udah di sini?" Uci langsung cemberut begitu melihat wajah Naka.

Pia yang menyusul di belakangnya juga langsung mengerutkan dahi begitu melihat Naka duduk manis di ruang tamu. "Masih sore, loh, Bang."

Lala yang berjalan terburu-buru dari arah pintu masuk juga langsung bete begitu melihat kuncen kosan sudah duduk di ruang tamu. "Kok Bang Naka udah balik?"

Naka langsung berdecak dan menatap satu per satu anggota indekos yang ada di sana. "Kalian nggak seneng amat gue ada di kos?"

Ilham sudah tersenyum geli. Ia berniat menjelaskan situasinya, tetapi tangan Wisnu lebih dulu mendarat di punggung laki-laki berambut gondrong itu.

"Ya, menurut lo aja! Ini orang-orang pada usaha buat balik sebelum magrib biar bisa kasih surprise sekalian makan donat bareng buat ngerayain sempro lo. Eh, lo malah dateng kepagian."

"Anah, siapa suruh lo ngasih info darurat ke gue!"

Ilham langsung mengambil alih kendali. "Naka, Wisnu, udah. Mending kita makan donat."

"Heran, deh, ini orang-orang udah pada tua, kok masih suka berantem nggak jelas." Uci bergumam sambil membantu Lala membuka kotak donat.

"Uci, Bang Naka denger loh!" Naka menatap adik perempuannya dengan tatapan mengintimidasi.

Gadis berambut terikat itu menunduk sambil tersenyum mengejek. "Ampun, Bang."

Satu-satunya gadis berhijab di sana langsung mengucapkan istighfar. "Bang Naka jangan sinis gitu, serem."

Wisnu yang hendak memakan donat tiramisu, kontan membatalkan niatnya hanya untuk tertawa dengan kencang sambil mengacungkan jempol. "Lala terbaik."

Naka yang berniat melayangkan serangan balasan ke Wisnu, langsung tak berkutik begitu mendapat gelengan dari Ilham ketika mata mereka tidak sengaja bertemu. Akhirnya, kuncen kosan yang batal mendapatkan kejutan itu memilih untuk memakan donat cokelat sambil menatap senyum dari orang-orang yang ada di sisinya.

Belum juga donat di mulut Naka habis, ia sudah dibuat hampir tersedak karena melihat sosok yang sepucat mayat.

Laki-laki berkulit pucat dengan pakaian serba hitam berjalan lemas di depan mereka, tanpa menoleh. Cara berjalannya sungguh tidak biasa. Gerakannya lambat seolah-olah seperti video yang diputar dua kali lebih lambat. Langkahnya juga tidak selebar biasanya, seolah-olah seluruh energi dari tubuhnya sudah habis dihisap entitas tak kasat mata.

Wisnu langsung mengumpat. "Anjir. Kenapa itu bocah?"

Mata seluruh penghuni indekos yang sedang berkumpul di ruang tamu langsung tertuju pada sosok yang menyerupai Nanang.

Namun, Naka malah menatap Ilham dengan penuh harapan. Kemudian ia berbisik, "Ham, bukan setan kan itu?"

Ilham menghela napas berat. "Bukan. Kakinya masih napak."

Pia yang memang tidak ada takut-takutnya, malah menyapa. "Sini, makan donat. Bang Naka baru seminar, kita semua dijajanin Mas Ilham donat."

Laki-laki bertubuh tinggi dan kekar itu menoleh dengan gerakan sangat lambat, kemudian menggeleng pelan. Tidak ada senyum di wajahnya.

"Wah, beneran penampakan nggak, sih? Pas banget mau magrib ini." Naka berbisik pada Wisnu.

Wisnu menggeleng. "Kayaknya galau lagi, tuh, bocah."

"Apanya yang galau? Lagi banyak duit dia. Baru banget kemaren ngisi kulkas. Kulkas indomaret aja minder sama kulkas kita yang isinya kelewat komplit." Naka masih dalam mode bisik-bisik.

"Ye! Lo kira Nanang tuh manusia jenis lo. Kalo ada duit, langsung nggak punya masalah."

Naka berdecak. "Emang, Bangsat!"

Ilham langsung berdeham keras. Bersamaan dengan itu, satu pesan masuk ke ponsel Naka.

"Gue mau kasih kabar kalo Iqbal udah pindah kosan. Alasannya nggak bisa gue kasih tahu, yang jelas kamar nomor 1 bakal dikosongin dalam minggu ini," Naka menghela napas, sebelum melanjutkan kalimatnya, "berhubung semester baru udah mau mulai, gue minta bantuan buat iklanin kosan ini, ya. Nanti gue kasih flayernya."

"Siap, Bang." Lala, Uci dan Pia kompak menyahut.

Ilham yang dapat menangkap sorot kecewa di mata Naka, segera mengeluarkan petuah bijaknya. "Namanya hidup. Ada yang bakal datang dan ada yang bakal pergi. Nggak ada yang bisa kita paksa buat tinggal. Ini bukan pertama kalinya kita ditinggalin, kan? Nanti pasti bakal ada keluarga baru yang gabung di sini, jadi nggak usah ada yang sedih, ya. Anggep aja Iqbal udah lulus dan bakal ngelanjutin petualangannya di tempat lain."

Naka mengangguk paham. Meski ia sudah berkali-kali menghadapi hal serupa, tetapi kehilangan anggota indekos sama halnya seperti kehilangan anggota keluarga. Mungkin akan terdengar berlebihan bagi sebagian orang, tetapi bagi Naka, semua orang yang mengambil bagian dalam hidupnya adalah sosok yang sangat berharga.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro