19. Kue Ulang Tahun

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari-hari sibuk Naka tidak ada habisnya. Setelah seharian dibuat sibuk karena pekerjaan, kuliah dan masalah di indekos, laki-laki berambut gondrong itu akhirnya bisa punya waktu luang ketika nyaris tengah malam. Setelah mandi, Naka membuat dua gelas kopi. Mandi malam hari adalah kegiatan rutin yang bakal jadi bahan mengomel Wisnu saban hari. 

"Lo kalo mau ngajak nongkrong bisa milih jam yang agak ngotak dikit nggak?" Wisnu menggerutu sambil memegang gelas kopinya yang masih berasap dengan kedua tangan. 

Naka berdecak. "Anah, siapa yang ngajak lo?"

Laki-laki berbibir tipis itu menyeringai. "Emang siapa lagi yang mau nemenin lo? Sengaja banget bawa dua gelas kopi terus ngetok kamar gue? Mana itu rambut masih basah. Gila lo emang, bukannya dikeringin dulu, ini malah basah-basah dibawa main. Kalo sakit lagi, gue nggak bakal mau ngurusin. Mana Nanang sibuk, ...."

"Cuma ngetok, nggak ngajak." Belum juga Wisnu selesai mengomel, Naka langsung memotong setelah menyeruput kopi, seolah semua omelan sahabatnya itu hanya angin lalu. 

Kesabaran Wisnu yang setipis tisu sangat diuji. Ia menurunkan tudung hoodie, kemudian berkacak pinggang. "Lo mau ngajak ngobrol apa berantem?"

Naka yang berdiri sambil bersandar di tembok dekat pot bunga Ilham langsung menghela napas berat. "Tadi gue agak marah sama costumer. Padahal beliau baik banget."

Alis tebal Wisnu tertaut, "Anjir, siapa ini? Jangan-jangan sugar granny?"

"Bangsat banget emang mulut lo!" Naka langsung menggeleng pelan.

"Sumpah, yang itu? Kenapa lo sampe marah, biasanya jinak kalo sama orang-orang bau duit."

Naka bercerita tentang wanita yang menyelesaikan masalahnya dengan uang. Seumur hidup, Naka tidak pernah sekalipun berusaha menyelesaikan masalahnya dengan uang. Jangan ditanya kenapa, jelas karena uangnya tidak ada. Bagi Naka, uang malah menjadi masalah terbesarnya. Sedari kecil ia terbiasa hidup sangat hemat. Mungkin tidak bisa dibilang hemat juga, soalnya tidak ada uang yang bisa dihemat. Naka terbiasa dengan prinsip, yang penting hari ini bisa makan dulu.

Wisnu tersenyum tipis. "Gue agak ngerasa bangga dikit, sih. Mungkin orang-orang kayak kita emang gampang tersinggung kalo udah berurusan sama uang. Tapi, Ka, menurut gue, lo juga harus liat dari sudut pandang beliau. Bisa jadi, beliau emang beneran tulus dan berniat bantu lo. Cuma mungkin caranya aja nggak cocok." Wisnu meletakkan gelas kopinya, kemudian menatap langit. "Gue jadi inget pas bokap-nya Nanang mau beliin lo motor baru."

"Wah, kalo itu beda urusan. Itu, mah, emang bapak dia yang bangsat." Naka mengumpat dengan penuh nafsu. 

"Nayaka!" Suara rendah yang sarat wibawa itu langsung membungkam Naka, hanya sebentar karena setelah itu laki-laki bertampang preman itu malah berteriak heboh layaknya baru melihat setan. Naka buru-buru berlari menuju kursi yang diduduki Wisnu.

Wisnu segera menepis tangan kuncen kosan yang hendak memeluknya. Kemudian, ia bicara dengan nada sangat tenang. "Ilham, itu Ilham."

Sosok laki-laki yang tadinya tidak terlihat, berjalan keluar dari area yang sangat gelap. Tidak seperti biasanya, Ilham masih mengenakan setelan kantornya, lengkap dengan jas dan dasi yang masih terpasang rapi. Meski pakaiannya kelewat rapi, tetapi wajah laki-laki berlesung pipi itu menyiratkan kalau isi kepalanya sedang berantakan.  

Naka langsung mengembuskan napas lega. "Buset, ganteng amat."

Baru saja laki-laki yang mengenakan setelan itu menyunggingkan senyum, Naka malah cengar-cengir sambil menunjuk. "Bajunya maksud gue."

Wajah ramah Ilham langsung berubah galak. Lebih galak daripada terakhir kali Naka kena semprot karena bertengkar dengan Wisnu. "Baju doang?"

Naka langsung salah tingkah, ia tidak menduga kalau pertanyaan se-absurd itu bisa keluar dari kakak tertua indekos yang biasanya selalu penuh wibawa dan sarat kearifan. "Muka lo kan gitu-gitu doang."

"Ya, kan, nggak perlu disebut bajunya aja yang ganteng!" Suara Ilham agak meninggi. Kemudian, laki-laki yang lebih tinggi dari Naka itu langsung turun dan meninggalkan dua adiknya yang masih melongo tidak percaya.

Naka sudah lupa dengan apa yang mereka bicarakan sebelumnya. Ia mencondongkan badannya ke arah Wisnu dan berbisik, "Aguy, orang galau emang suka ngegas, ya, Nu?"

"Tergantung, ada yang galau diem, tapi disenggol ngebacok, sih." Wisnu melipat tangan di dada, kemudian melotot pada teman yang masih ogah diakui sahabat itu. "Ngomong-ngomong, urusan UKT lo udah beres?"

Senyum Naka mengembang. Ada lega bercampur bahagia terpancar dari mata dan bibirnya. "Udah, aman semua. Bahkan gue dikasih pinjem laptop penelitian Pak Bahar."

Begitu mendengar ucapan Naka, tangan Wisnu langsung melayang dan mendarat di punggung sahabatnya. "Kalo udah ada laptop segala, kenapa lo malah ngajak nongkrong, bukannya nulis skripsi!"

"Anah, lawang." Laki-laki berambut gondrong itu mengusap punggungnya yang baru mendapat hadiah pukulan superpanas. "Udah gue kerjain, Bangsat! Ya, kali gue ngerjain itu mulu. Bisa-bisa lupa dunia gue."

Wisnu berdecak. "Dih, apanya yang lupa dunia? Tadi aja lo sama Ayu jenguk Yoyo bareng, kan? Sok lupa dunia, lupa dunia."

Naka auto cengar-cengir. "Ya, kan, Ayu dunia gue."

Satu pukulan kembali mendarat di punggung Naka. "Skripsi lo tuh, beresin!"

Naka mengaduh. Pukulan kali ini lebih keras dari sebelumnya. "Sakit, wah!"

"Biar lo sadar!" Wisnu kontan melotot begitu Naka menyipitkan mata. "Apa? Mau bales?"

Naka melayangkan tinjunya ke udara. "Kalo bukan sahabat gue, abis lo."

Wisnu langsung buang muka. "Nggak usah ngaku-ngaku."

***

Setelah mendapat wejangan dari Wisnu semalam, tiba-tiba saja ada pesan masuk dari nomor nenek kaya raya tempo hari. Pesan itu berisi permintaan untuk membeli buah ceri dengan spesifikasi khusus. Tadinya Naka berniat menolak, tetapi begitu mengingat kalau ulang tahun Ayu tinggal seminggu lagi, ia langsung menerima pekerjaan itu.

Ternyata hari sudah menjelang sore ketika Naka keluar dari kamarnya yang sudah serupa kandang karena kelewat berantakan. Ia tidak begitu peduli pada buku, lembar kertas serta alat tulis yang berserakan, satu-satunya hal yang ia amankan hanya laptop penelitan Pak Bahar. Ia memasukkan laptop itu ke lemari dan menguncinya dengan benar. Saking terbiasanya tidak mengunci kamar, dua hari yang lalu ia meninggalkan laptop begitu saja. Untungnya ada Widhi -anak lantai dua- yang sadar dan mengingatkan Naka kemudian.

"Kuncen kosan akhirnya keluar juga." Sapaan basa-basi yang kelewat basi, keluar dari mulut Nanang yang cengar-cengir sambil mengawasi adiknya yang tengah jadi primadona di indekos Bu Endang.

"Berisik!" Naka berdecak dan menatap Nanang sengit. Namun, tatapannya langsung berubah begitu melihat gadis kecil yang rambutnya dikucir dua. "Abang Naka mau keluar, Adek mau dibeliin apa?"

"Es krim buat anak-anak satu kosan enak kayaknya, Bang." Sudah pasti yang menyahut bukan gadis kecil nan imut, tetapi gadis besar yang tidak ada imut-imutnya.

"Pia, kalo mau buat Abang bangkrut nggak gini caranya." Naka menghela napas sebelum menyunggingkan senyum ramah pada gadis kecil yang matanya menatap heran pada perdebatan tak penting yang terjadi di hadapannya. "Nanti Abang bawain jajan, ya."

Setelah berkeliling di beberapa mal yang menjual buah segar, akhirnya Naka berhasil menemukan buah ceri yang diminta. Perburuannya memakan waktu hampir 2 jam. Seolah-olah ceri tersebut adalah harta karun.

Begitu tiba di rumah mewah milik nenek, Naka langsung memarkirkan Jamillah dan berjalan menuju pintu utama. Tidak seperti sebelumnya, kini ia disambut langsung oleh nenek.

"Selamat sore, Bu. Ini pesanannya." Naka menyodorkan plastik berisi ceri.

Wanita itu tersenyum hangat. "Kan, saya sudah bilang, panggil nenek saja, Nayaka." Plastik itu berpindah tangan. "Ayo, masuk."

Naka menahan diri agar tidak masuk hanya sekadar untuk melihat-lihat. "Saya langsung pamit pulang saja."

Ada sorot kecewa di mata wanita itu, kemudian dalam sekejap, ia kembali tersenyum. "Tunggu sebentar, saya ambilkan bayarannya, ya."

Laki-laki berambut gondrong itu mengangguk dan tetap berdiri di tempatnya. Ia sempat melongok ke bagian dalam rumah. Ternyata ada sebuah foto keluarga yang menggantung di ruang tamu. Ada tiga orang dalam foto tersebut. Sepertinya sepasang suami istri dan satu orang anak. Naka mengerjap beberapa kali sebelum memvonis dirinya sendiri. "Kayaknya mata gue udah minus. Masa segitu aja nggak keliatan." Ia mengucek mata. "Aguy, rata semua itu muka."

Naka masih sibuk sendiri ketika nenek kembali bersama dengan asisten rumah tangga yang membawa dua bungkusan besar. Terlihat seperti ada dua kotak pada masing-masing goodie bag tersebut.

"Nayaka, ini ada sedikit kue."

Naka tidak langsung menerima bungkusan itu. Ia mundur satu langkah, kemudian bicara dengan nada sesopan mungkin. "Maaf, Nek, saya lebih suka dibayar pakai uang."

Wanita itu tersenyum. Masih sehangat sebelumnya. Hanya dengan melihat senyum itu, ada hangat yang mengalir di hati Naka. "Maaf, maksud saya bukan seperti itu."

Wanita itu mengambil alih bungkusan dan memberikannya langsung ke tangan Naka. "Ini bonus." Kemudian ia mengeluarkan amplop yang terlihat tebal. "Ini bayaran untuk cerinya. Bolehkan saya kasih bonus?"

Naka masih melongo, agak salah tingkah sedikit. "Boleh. Boleh aja, tapi ini kebanyakan."

"Bisa kamu bagi-bagi ke teman ojek atau teman kos kamu. Saya suka buat kue, tapi nggak ada yang makan."

Laki-laki yang masih mengenakan jaket Kuy Ojek! itu hanya bisa tersenyum canggung. Dalam hati ia sudah bertanya-tanya, apakah tampangku sangat patut dikasihani?

"Nayaka, kalau ada waktu, mau belajar buat kue?"

Ada apakah gerangan? Pertanyaan ini sungguh tiba-tiba. Naka langsung memikirkan berbagai macam kemungkinan. Apakah nenek yang ada di hadapannya kini tengah mencari penerus atas resep-resep mutakhir yang ia miliki atau belajar membuat kue hanyalah sebuah alibi untuk bisa menemuinya secara rutin?

"Saya hanya butuh teman, siapa tahu kamu tertarik untuk membuat kue? Tenang, jasa kamu akan saya bayar."

Naka langsung teringat pada Ayu yang sebentar lagi akan berulang tahun. Ia langsung mengangguk. Kalau seperti ini, sekali dayung dua pulau terlampaui. Membuat kue untuk Ayu, sekaligus dapat uang tambahan.

"Oke, setiap hari Sabtu, bisa?"

Naka mengangguk, kemudian ia bicara dengan suara pelan. "Kalau saya buat kuenya sendiri, boleh?"

Nenek langsung tersenyum. "Sangat boleh."

Senyum Naka mengembang. Ia sudah terbayang ekspresi bahagia Ayu ketika menerima kue buatan tangannya. "Nanti saya beli bahannya sendiri."

"Pakai bahan di sini juga tidak apa-apa. Bahan yang kita beli kemarin masih banyak." Nenek tersenyum lebar. "Kamu mau menemani saya saja, tidak ternilai harganya."

Naka tidak tahu lagi harus berkata apa, ia langsung buru-buru pamit. Ia sangat senang membawa dua bungkusan besar berisi kue. Anak-anak di indekos pasti sangat senang. Saking banyaknya, ia berniat mampir ke pangkalan yang ada di depan Belva Tower.

***

Ulang tahun Ayu memang masih tiga hari lagi, tetapi semangat Naka untuk mencari kado sudah membara. Ia sudah menandai beberapa toko di mal yang menjual barang-barang lucu. Setelah  mendapat amplop tebal dari Nenek, ia bisa berjalan di toko elit dengan percaya diri.

Naka berniat membelikan gelang atau gantungan kunci couple sebagai hadiah tambahan. Kalau hadiah utamanya, ia sudah mengutus Uci untuk check out tas gemas pilihan Ayu. Laki-laki yang tidak mengenakan jaket Kuy Ojek! itu langsung berubah pikiran begitu melihat deretan anting-anting dan ikat rambut yang menurutnya akan cantik ketika dikenakan Ayu. Sepertinya hadiah tambahan untuk Ayu akan sangat banyak. Berhubung dompet Naka sedang tebal-tebalnya, ia juga berniat membelikan beberapa pernak-pernik untuk adik-adiknya di indekos.

Belum juga Naka memilih salah satu pernak-pernik untuk masuk ke keranjangnya, ia sudah terfokus pada sebuah gelang manik-manik perpaduan warna merah muda dan biru. Desainnya sangat unik, ukurannya juga minimalis. Kalau Ayu yang mengenakan pasti sangat cantik.

Tangan Naka meraih gelang itu, tidak lebih cepat dari tangan lain yang juga meraih gelang yang sama. Mata Naka langsung menyipit, hendak mengeluarkan kata-kata tidak pantas yang sudah memenuhi kepalanya. Tentu saja ia hampir mengumpat karena gelang itu hanya tersisa satu. Namun, semua kata-katanya harus tertahan di tenggorokan begitu ia melihat sosok yang tengah memegang gelang itu.

Detak jantung Naka semakin cepat. Udara yang memenuhi dadanya seolah-olah memberontak hingga menimbulkan sakit yang tidak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata. Tangannya gemetar dan berkeringat.

"Kamu mau gelang ini juga?"

Satu kalimat itu mampu membuat mata Naka terasa sangat panas. Ia berusaha mengendalikan diri dan segera pergi dari sana tanpa berkata apa-apa.

***
Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro