Sekat Nyata dan Maya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Total uang dari hasil galang dana kita sebulan ini ada sekitar 20 jutaan. Sesuai kesepakatan rapat terakhir, kita bakal makai uang itu buat acara santunan di Panti Asuhan Hidayatullah. Gue nargetin kalau acara ini harus bener-bener menarik dan berbobot. Kita bakal ngadain pengajian dan ngundang penceramah terkenal, terus ngasih undangan juga buat panti asuhan lain dan beberapa lembaga TPQ yang deket sama Panti Hidayatullah. Selain itu, kita juga bisa kerjasama ama UMKM sekitaran sini buat ngadain bazar, kecil-kecilan juga gakpapa."

"Jadi, acara santunan gak cuma dateng perwakilan beberapa orang, ngasih bantuan uang dan barang, udah. Kita harus punya konsep lain biar nantinya anak-anak BEM periode setelah kita bisa nyontoh. Syukur-syukur kalau acara kayak gini jadi event tahunan, dan makin berkembang tiap periodenya.” Fauzi, ketua BEM atau Badan Eksekutif Mahasiswa yang ada di kampus Kunir, menyampaikan gagasan dengan lugas di depan para anggotanya.

“Tapi kalau bikin acara segede yang ada di bayangan lo, duit 20 juta kurang, Jik,” sanggah Shela selaku bendahara organisasi.

“Kita masih punya dana beberapa juta dari kampus. Kita juga bisa ngajuin proposal kerjasama ke beberapa lembaga atau perusahaan, Shel. Jadiin mereka media partner. Kalau kita kasih penawaran yang menarik, pasti ada banyak pihak yang mau diajak kerjasama,” sahut Fauzi.

Shela menggeleng pelan, “Iya, bisa pakai cara itu, tapi kan kita juga harus liat deadline, Jik. Kemarin kita udah nentuin tanggal, dan itu tinggal sebulan dari sekarang, loh. Sementara itu, persiapan kita belum matang, masih ada banyak banget ini-itu yang harus diurus."

"Eh, maap interupsi sebentar," sela Kunir sembari mengangkat tangan, "aku ndak ikut rapat minggu kemarin, jadi ndak tahu hasilnya. Emang jadinya kita mau ngadain acara tanggal berapa?"

"Nir, please deh! Hasil rapat kan dishare di grup. Lo kebiasaan gak nyimak grup deh," sahut Karina, sang sekretaris organisasi. Ia menatap Kunir dengan raut sebal.

"Eh iyakah? Duh, maap maap, oke aku cek. Maap ya, Kar." Kunir membalas tatapan Karina dengan ekspresi bersalah. Temannya itu hanya menanggapi dengan dehaman.

Kunir membuka grup whatsapp BEM, sementara teman-temannya melanjutkan rapat. Ia menepuk dahi begitu membaca hasil rapat minggu lalu. Tanggal kegiatan BEM berbenturan dengan sebuah acara yang wajib ia ikuti.

"Eh, permisi, interupsi lagi, hehe." Kunir kembali mengangkat tangan.

"Nir, astaga! Lo mau ngomong apa lagi, sih?" sungut Karina. Ia tengah mengutarakan pendapat ketika Kunir menyela ucapannya.

"Duh, maap lagi, Kar." Kunir menatap Karina canggung.

"Udah udah, gimana? Mau interupsi apa, Nir?" Fauzi menengahi dan mempersilakan Kunir untuk berbicara.

"Anu, itu tanggal acaranya BEM barengan sama lomba MTQ-ku," ucap Kunir.

"Lomba MTQ yang lo ditunjuk jadi perwakilan kampus itu?" tanya Shela. Kunir mengangguk.

"Yahh, padahal lo mau gue daulat jadi pembaca tilawah buat pembukaan acara di panti," keluh Karina.

"Nah iya, gue kan juga butuh temen ngedekor acara, Nir. Ini se-BEM yang anak Desain Interior cuma kita, loh," sambung Shela.

"Kita kalah saing ama Pak Rektor, nih," sindir Pras, sang wakil ketua. "Kunir gak level lagi ngisi acara tingkat organisasi kampus, level dia udah tingkat nasional," lanjutnya diiringi tawa.

"Aku rukyah kamu ya, Pras." Kunir melempar Pras dengan bolpoin, "bukan gitu, cuma kan emang aku udah ngeiyain permintaannya Pak Rektor duluan. Udah didaftarin dari dua bulan yang lalu juga. Kalau aku batalin sepihak, bisa kena sanksi. Syukur-syukur kalau cuma kampus yang kena, kalau aku dapet sanksi juga gimana? Bisa balik desa sebelum waktunya, terus disuruh bajak sawah aja sama bapakku, ndak usah kuliah jauh-jauh ke Jakarta," lanjutnya dengan nada sedih yang dibuat-buat. Seisi ruang sontak BEM tertawa.

"Ya udah, gimana kalau acaranya kita undur aja?" usul Fauzi.

"Mempertimbangkan gue yang gak punya temen konsultasi buat ngedekor acara, apalagi ini acara mau dibikin sekeren mungkin, dan gue gak sanggup kalau harus mikir desain ruangan sendiri. Ditambah persiapan kita yang emang masih mentah banget, gue setuju aja sih," sahut Shela.

"Mempertimbangkan ketipisan dompet organisasi, jadi daripada kita harus bayar qori' dari luar buat baca tilawah, gue juga setuju kalau diundur. Lagian Kunir kan udah sering menang lomba MTQ tuh, syukur-syukur kalau di lomba besok dia juga menang, amiin. Ntar kalau dia yang jadi qori', pasti orang-orang mikirnya, 'Wih, keren nih acara, bisa ngundang qori'ah nasional'. Jadi, proposal kerjasama yang mau kita ajuin ke lembaga-lembaga pasti punya peluang lebih besar buat diacc. Mantep gak tuh?" Karina menatap teman-temannya dengan wajah berbinar.

Pras menepuk kepala Karina dengan gulungan kertas sembari tertawa, "Otak lo kalo pas bener ada gunanya juga ya, Kar."

"Otak lo tuh yang gak pernah ada gunanya. Dijual juga gak ada yang sudi beli." Karina membalas Pras dengan memukulkan tasnya pada lengan lelaki itu.

"Oke oke, yang lain gimana?" Fauzi mengedarkan pandangan, meminta pendapat pada seluruh anggota organisasi. Seisi ruang terlihat mengangguk dan setuju.

"Duh, aku jadi ndak enak loh ini. Masak cuma gara-gara satu orang acaranya jadi diundur sih. Aku bikinin masakan buat tebus kesalahan, ya," goda Kunir. Teman-temannya telah paham jika kemampuan memasaknya sangat memprihatinkan.

"Lo mau masak, Nir? Gak usah repot-repot deh, nih ntar anak BEM kagak jadi semangat bikin acara, yang ada pada keracunan," ejek Pras.

"Pras, besok minggu ikut aku CFD ke monas, yuk," ajak Kunir.

"Cielah, lo kalo ngajak kencan jangan di depan umum gini dong, Nir. Gak enak gue diliatin orang banyak," sahut Pras diiringi tawa.

Kunir bergidik, "Ih, pede banget! Aku mau ngajak kamu ke CFD buat beli saringan. Biar kalau ngomong bisa disaring dulu, ndak asal nyeplos."

Pras terbahak, "Oh, kirain. Noh, si Ujik matanya bentar lagi keluar denger lo mau ngajak gue kencan. Untung gak jadi."

Fauzi semakin memelototkan mata mendengar ucapan Pras. Wakilnya itu memang menyebalkan. "Kenapa gue jadi dibawa-bawa? Udah udah, ayo kembali ke pembahasan."

Pembahasan serius terkait persiapan acara kembali berlanjut. Kunir melirik jam tangan, dan tersadar jika sepuluh menit lagi ia memiliki jadwal kuliah.

“Shel, kita ada kelas loh abis ini,” bisiknya sembari menyenggol lengan Shela. Gadis itu adalah satu-satunya anggota BEM yang satu jurusan dengannya. Jurusan Desain Interior.

Shela mengangguk, “Iya, gue juga inget. Tapi bentaran ih, lagi bahas estimasi dana loh ini. Jiwa gue menggebu-gebu kalo bahas masalah perduitan.”

"Matkulnya Prof. Sadikin, Shel. Telat dua menit aja kita bisa langsung dapet C. Aku ndak mau ya, ngulang matkulnya beliau di semester depan. Ya masak jatuh ke lubang yang sama, malu sama keledai,” cerocos Kunir.

“Ih ribet, iya deh iya. Tapi lo yang ijin ke forum, gak enak gue," sahut Shela.

"Eh maap, interupsi untuk kesekian kalinya, hehe." Kunir mengangkat tangan.

"Astaga, tiga kali loh, Nir. Kantor BEM gak nyediain souvenir buat anggota yang sering interupsi apa, ya?" sungut Karina.

"Kenapa lagi, Nir?" tanya Fauzi.

"Mau ijin meninggalkan forum, Lek. Ada jam kuliah sama dosen kiler, hehe," jawab Kunir. Ia memang memanggil Fauzi dengan sebutan 'Lek' dari kata 'Paklek' yang dalam bahasa Jawa berarti paman. Entah bagaimana awalnya, namun ia nyaman dengan panggilan itu. Lelaki bernama asli Fauzi yang akrab disapa Ujik itu juga tak mempermasalahkannya.

"Oh, oke. Ya udah sono, ntar lo malah ngulang lagi semester besok,” sahut Fauzi.

"Serius boleh?” tanya Kunir semringah. Fauzi mengangguk.

"Makasih ya, Lek. Aku sama Shela ijin duluan ya, Gaes. Assalamualaikum," pamit Kunir.

Seisi ruang rapat serentak menjawab salam Kunir dan Shela, kemudian kembali fokus pada isi rapat.

*****

“Nir, hape lu berisik amat noh di atas meja,” teriak Tasya sembari melongokkan kepala. Ia yang sedang membaca materi ujian merasa terganggu dengan dering ponsel Kunir yang tak kunjung berhenti.

“Eh, ada telpon?” tanya Kunir.

"Tauk! Mau telpon, mau alarm, mau suara bom, pokoknya hape lu berisik banget dah," jawab Tasya ketus.

“Hehe, oke. Maaf ya udah ganggu kamu.” Kunir yang sedang mengerjakan tugas di ruang tamu beranjak ke kamar untuk mengambil ponselnya. Ia seketika semringah menatap nama yang tertera di layar.

“Assalamualaikum, Kang,” sapanya sembari berjalan kembali ke ruang tamu.

“Waalaikumsalam. Lagi apa, Nduk?”

“Lagi ngerjain tugas.” Kunir tersenyum. 'Nduk' adalah panggilan sayang orang Jawa untuk perempuan yang lebih muda. Ia orang Jawa, seharusnya biasa saja. Namun entah mengapa, kata 'nduk' yang keluar dari dari mulut lelaki bersuara tegas di seberang sana selalu membuatnya merasa diistimewakan.

“Walah, berarti aku ganggu?”

“Eh, ya ndak, wong udah mau selesai tugasnya. Cuma disuruh bikin contoh desain dekorasi gedung pernikahan. Tinggal ngerapiin beberapa warna yang keluar dari garis aja,” sahut Kunir cepat. Ia tak mungkin menolak panggilan dari lelaki ini.

Sampeyan lagi apa, Kang?”

“Baru aja balik dari ndalem, tadi ditimbali sama Yai.”

Kunir mengernyitkan dahi, “Ada dawuh apa? Kok sampek ditimbali ke ndalem?”

Lelaki yang kini tengah menelpon Kunir adalah Khalid, kakak kelasnya semasa nyantri di Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Ia tinggal di pesantren itu selama tujuh tahun. Tiga tahun Mts, tiga tahun MA, dan setahun usai lulus untuk fokus mengkhatamkan hafalan Qur’an. Usai mendapat ijazah khatam 30 juz bilghoib, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Jakarta, sementara Khalid tetap mengabdi di pesantren sembari kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di Salatiga. Jarak tak pernah membuat hubungan tanpa status mereka terputus. Sampai saat ini, mereka masih rajin berkomunikasi tanpa pernah terhenti.

“Sampeyan lagi pakai headset apa ndak, Nduk?” Alih-alih menjawab pertanyaan Kunir, Khalid justru memberi pertanyaan balik.

Ndak, Kang, bentar ya, tak ambile di kamar.” Kunir meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian berlari ke kamar untuk mengambil headset. Ia sebenarnya bisa saja melakukan panggilan di kamar, tapi tak tega jika harus menganggu konsentrasi Tasya.

“Halo, Kang, gimana? Aku udah pakai headset ini.”

“Habis tak kirimin gambar, Nduk, liato.” Kunir segera membuka aplikasi pesan, dan melihat gambar yang baru saja dikirim Khalid.

“Lomba MTQ mahasiswa dan umum tingkat nasional," eja Kunir pada gambar yang dikirim Khalid. "Kenapa, Kang?” tanyanya.

"Sampeyan pasti ditunjuk sama kampus buat jadi perwakilan lomba itu, to?" tebak Khalid.

"Ilmu paranormal sampeyan makin terasah ya, Kang, kok tahu aja," kekeh Kunir.

Khalid tertawa, "Makin sakti to aku?"

"Iya, aku jadi was-was, takut dijampi-jampi," sahut Kunir.

"Sampeyan ndak usah tak jampi-jampi ya wis pasti mau sama aku, Nduk. Ngapain repot-repot," kekeh Khalid.

Kunir mengulum senyum, "Kepedean sampeyan, Kang."

Khalid kembali tertawa, "Tahun kemarin kan sampeyan juga ditunjuk sama kampusnya buat ikut event kayak gitu, tapi baru jadi juara tiga. Jadi, aku yakin kalau tahun ini pasti sampeyan yang ditunjuk lagi."

"Iya, Kang, bener. Terus kenapa?"

"Pondok juga ngirim delegasi buat lomba itu, Nduk. Tadi aku ditimbali Yai, didawuhi suruh nyupiri para santri yang ikut."

"Eh, ini lombanya di Depok loh, Kang, jauh. Kenapa ndak naik transportasi umum aja? Kereta atau bis gitu." Kunir tak sampai hati membayangkan Khalid menyetir mobil Susukan-Depok. Jarak yang terlampau jauh.

"Kalau Yai sudah dawuh, aku ya cuma bisa taat to, Nduk. Semua yang dititahkan beliau itu pasti sudah dipertimbangkan matang-matang manfaat sama madhorotnya," jelas Khalid.

Kunir tersenyum. Khalid memang setaat itu pada sang guru. Wajar jika lelaki itu menjadi santri kepercayaan keluarga ndalem. Ilmunya yang tinggi diimbangi dengan akhlak yang mulia. Hal itu pula yang membuat Khalid tampak sempurna di mata Kunir.

"Iya, Kang. Eh, dari pondok siapa aja yang diberangkatkan?"

"Sarifah sama Rifka, Nduk."

"Sarifah? Sarifatul Mar'ah yang anak Boyolali itu? Sudah tak duga, anak itu suaranya buagus."

"Iya. Beberapa bulan yang lalu, Yai bikin seleksi buat lomba ini. Beliau sempat ndak yakin ada santri yang bisa kayak sampeyan. Suara cemengkling sama hafalan sampeyan yang selalu lancar itu ndak tergantikan, Nduk. Yai bener-bener merasa kehilangan. Ndilalah, Sari itu peserta terakhir. Jadi pas tiba giliran dia baca, Yai langsung sreg, langsung nunjuk dia buat jadi perwakilan. Pas ditanya-tanya sama Bu Nyai, dia cerita kalau ternyata dia anak bimbingnya sampeyan di ekstra tilawah." Khalid bercerita panjang-lebar.

Kunir terkekeh, "Iya, Kang, dulu dia anak kelasku di ekstra tilawah. Pas pertama dia tak tunjuk buat nyoba baca, aku kaget. Suaranya bener-bener bagus, napasnya juga panjang dan kuat. Jadi, ya dia tak bimbing pribadi setiap bakda asar. Anaknya cerdas, diajarin cepet paham."

"Untungnya sampeyan udah nyiapin si Sarifah sebelum boyong, Nduk. Aku ndak bayangin kalau bener-bener ndak nemuin penggantinya sampeyan."

"Pasti ada to, Kang. Setiap masa ada pemenangnya, setiap pemenang ada masanya," kekeh Kunir.

"Iya iya. Eh, ada yang manggil aku. Yawis tak tutup telponnya ya, Nduk. Sampeyan sana ngelanjutkan tugasnya. Jangan lembur sampek malem-malem, kesehatannya dijaga. Jauh dari orangtua biar ndak ngrepotin orang, Nduk,” pesan Khalid.

“Iya, Kang, sampeyan juga jaga kesehatan. Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam.”

Kunir mematikan panggilan dengan senyum terkembang. Obrolan-obrolan bersama Khalid selalu menyenangkan. Mereka memang tak pernah mengikrarkan sebuah hubungan. Namun, dari apa yang telah berjalan, Kunir dapat memastikan jika mereka memiliki kesamaan perasaan.

Kunir memang mengagumi Abey, tapi sebatas perasaan kagum pada sosok artis idola, seperti orang-orang pada umumnya. Perihal rasa yang nyata, hatinya telah terpaut pada Khalid sejak lama, dan sepertinya hal itu bukan sepihak saja.

*****

Note:
Sampeyan= kamu
Ditimbali= dipangil
Ndilalah= kebetulan
Dawuh= perintah
Yawis= ya udah
Sreg= cocok

Selamat membaca dengan penuh cinta 💛.

Jangan lupa,
Tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar, ya.

Semarang, 03 Maret 2021.
Disunting tanggal 14 Maret 2021.

Naya Zayyin

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro