Janji?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

L'AMOUR
A Fanfiction

'
Nama, tokoh, karakter dan cerita hanya fiktif,
imajinasi penulis.

💚

Sabtu malam. Seharusnya waktu yang tepat untuk dihabiskan dengan orang terkasih, entah itu keluarga atau kekasih tapi tidak bagi Kim Do Yeon. Dia baru saja menyelesaikan jadwal rutinnya dengan ENKOTA. Sejak terakhir kali bertemu di apartemen sang kekasih beberapa hari lalu, mereka belum ada kesempatan bertemu lagi. Hanya bertukar kabar lewat ponsel pintar dan itu pun terpaut waktu karena mereka tak online secara bersamaan. Ya, Do Yeon sibuk dengan jadwal idolnya di awal tahun dan Se Riz dengan pemotretan yang padat.

Jam menunjukkan pukul 21.00 saat Do Yeon masuk ke kamarnya. Dia dan anggota grupnya baru menyelesaikan latihan koreografi. Do Yeon segera masuk ke kamar mandi. Badannya lengket jadi dia memutuskan untuk membersihkan diri sebelum berbaring. Tak lebih dari setengah jam pria itu keluar kamar dengan penampilan segar. Dia menghela napas lalu duduk di ranjang. Mata bulatnya mencari gadget biru kesayangannya lalu membuka menu pesan. Dia membaca pesan yang muncul paling atas, dari Jung Won.

Jung Won
Ini Se Riz noona bukan, Hyung?

Alis Do Yeon naik melihat foto yang dikirim member yang sudah dia anggap adik itu. Foto seorang wanita yang dia hafal memang Se Riz sedang terlihat berdua dengan seorang pria. Do Yeon menebak mereka sedang menikmati acara musik di luar.

Tanpa membalas pesan Jung Won, Do Yeon mencoba menelpon Se Riz tapi ponsel kekasihnya tidak bisa dihubungi. Do Yeon mendengkus kesal lalu bangkit dan meraih hoodie abunya sebelum meninggalkan kamar.

Dengan mobil khusus ENKOTA, Do Yeon pergi ke apartemen Se Riz. Di tengah perjalanan dia kembali menghubungi sang kekasih tapi tetap tak bisa. Pria itu lalu fokus pada kemudi dan membawa mobil yang dikendarainya di atas kecepatan rata-rata. Tak lama, dia sampai di gedung apartemen Se Riz. Setelah memarkir mobil di depan gedung, Do Yeon berjalan memasuki gedung sedikit tergesa tapi sebelum melewati meja resepsionis pria itu berbalik dan melihat sang kekasih turun dari sebuah mobil. Do Yeon mendekat untuk melihat lebih jelas. Sebelum Do Yeon melihat siapa pengemudi, mobil itu sudah pergi. Dilihatnya Se Riz tersenyum tipis dengan lambaian tangan. Diam-diam Do Yeon menghampiri sang kekasih tanpa suara. Dia berdiri tepat di belakang wanita itu dan seperti dugaannya Se Riz terkejut saat berbalik dan melihatnya.

"Aigoo kamchagiya!  Doy, kau mengangetkanku!!!"

*

"Berhentilah menjadi fotografer," ucap Do Yeon.

Se Riz menaikkan alis memandang Do Yeon. "Apa? Kau memintaku berhenti dari pekerjaanku? Kenapa?"

"Aku tak ingin melihatmu dikelilingi begitu banyak pria," jawab Do Yeon.

Alasan apa itu? batin Se Riz.

"Kau tak tahu bagaimana cemburunya aku harus membayangkan setiap hari kau bertemu dengan banyak pria. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan padamu atau kalian lakukan."

Se Riz memandang Do Yeon. "Apa yang kami lakukan? Memangnya apa yang kau pikirkan?"

Do Yeon diam. Berpikir.

"Doy, aku fotografer bukan wanita murahan seperti yang kau bilang. Aku tak akan tidur dengan model-modelku," jawab Se Riz.

Do Yeon menatap Se Riz lalu menggeleng. "Bukan itu, Se Riz. Hanya saja aku tak suka pikiranku membayangkan yang tidak-tidak. Maka dari itu berhenti saja, ya. Kumohon," pinta Do Yeon lalu meraih tangan Se Riz.

"Doy, fotografi hidupku. Aku tak mau berhenti karena alasanmu itu." Se Riz menggeleng.

"Tapi aku tak suka harus melihatmu melakukan pemotretan dengan model-model pria," ucap Do Yeon.

Se Riz menggeleng. "Tidak, Do Yeon. Itu sudah pekerjaanku dan aku tak bisa berhenti begitu saja. Lagipula jika aku berhenti kau mau menanggung biaya hidupku? Selamanya?"

Do Yeon diam menatap Se Riz. Wanita itu tertawa dalam hati. Apakah Do Yeon tak berpikir sebelum menyuruhnya berhenti?

"Akan aku lakukan," jawab Do Yeon kemudian. "Aku akan menanggung biaya hidupmu, memberimu uang saku jika kau berhenti. Aku a—"

Se Riz mengangkat tangannya di depan Do Yeon. Membuat pria itu menghentikan kalimatnya.

"Aku tak tahu kau serius atau bercanda tapi kukatakan padamu, Do Yeon. Fotografi hidupku jadi aku tak ingin berhenti. Orangtuaku saja tak berani memaksaku berhenti tapi kau? I can't."

Do Yeon menggeleng. "Kau bisa mencari pekerjaan lain, Se Riz, asal jangan fotografer."

Se Riz menghela napas lalu bersedekap menatap Do Yeon. "Kita fokus pada masalahnya. Katakan alasan masuk akal mengapa aku harus berhenti menjadi fotografer."

"Karena aku cemburu tentu saja," jawab Do Yeon.

Se Riz menatap Do Yeon. Cemburu pada model? Ayolah, DK bahkan tak pernah mempermasalahkan hal remeh seperti ini.

"Aku tak bisa menerima alasan cemburumu, Do Yeon," ucap Se Riz. "Kau tahu meskipun aku fotografer dan modelku kebanyakan memang pria tapi apakah kau pernah melihatku jalan dengan mereka? Tidak, Doy. Hubungan kami hanya sebatas fotografer dan model. Bahkan kami tak mengenal atau berhubungan di luar set pemotretan. Alasanmu cemburu tak masuk akal."

Do Yeon diam sebentar sebelum membuka mulutnya. "Tapi mengapa kau pergi dengan modelmu? Kau pergi dengan Sam bukan?"

Alis Se Riz naik. Darimana dia tahu? pikir Se Riz.

"Ada seseorang yang melihatmu pergi dengannya tadi. Benar kan? Dan kau tak memberitahuku," kata Do Yeon.

Oke, Se Riz memang tak memberitahu Do Yeon. Salahkah? Tapi apakah semua yang dia lakukan harus dia laporkan pada Do Yeon?

"Alasanku tak memberitahumu karena pasti kau sibuk, Doy. Aku tak ingin hal itu menjadi mengganggumu. Lagipula kami hanya keluar makan malam. Aku sudah berjanji padanya karena membantuku saat mobilku mogok tempo hari. Lalu kami menonton konser festival yang kebetulan tak jauh dari tempat kami makan. Itupun hanya sebentar. Tak lebih. Kau tak percaya padaku?"

Do Yeon diam. Dia masih kesal Se Riz tak jujur padanya.

"Doy, bagaimana hubungan kita bisa berjalan dengan baik jika kau tak mempercayai pasanganmu?" tanya Se Riz. "Kumohon, kurangi sedikit rasa cemburu atau posesifmu. Aku kekasihmu. Aku tak akan berani berbuat hal yang macam-macam di belakangmu. Aku mencintaimu, Kim Do Yeon. Hanya dirimu." Se Riz mencoba meyakinkan Do Yeon. Berharap pria itu bisa memahami dia dan tak marah padanya.

Se Riz meraih jemari Do Yeon lalu menggenggamnya. "Aku janji aku akan menjaga hatiku untukmu, Do Yeon."

"Benar?" tanya Do Yeon menyangsikan ucapan kekasihnya itu. "Aku cemburu dan posesif kan karena aku takut kau berpaling dariku."

Se Riz tersenyum. "Tidak, Doy.  Aku tak akan berpaling darimu. Aku janji."

Do Yeon masih ragu.

"Kau bisa pegang kata-kataku. Jika kau mendapatiku main mata dengan salah satu modelku, kau boleh memaksaku keluar dari pekerjaanku."

Akhirnya Do Yeon mengangguk. "Oke."

Se Riz menghela napas dan tersenyum.

"Tapi kau benar tak ada hubungan dengan Sam kan?" Do Yeon bertanya lagi.

Se Riz memandang Do Yeon lalu menggeleng. "Tidak, Do Yeon. Kami hanya teman," jawab Se Riz dengan nada halus. "Perlu kutelpon dia agar kau bisa bertanya sendiri apa hubungan kami?"
Se Riz meraih ponselnya tapi Do Yeon mengambil ponsel itu dari tangan Se Riz sebelum wanita itu benar-benar menelpon Sam.

"Oke, aku percaya. Maaf aku terlalu cemburu dan posesif," kata Do Yeon.

Se Riz mengangguk mengerti. "Aku tahu kau begitu mencintaiku. Tetapi bisakah kau mengurangi sedikit perasaanmu itu? Di hatiku hanya ada kau, Doy. Jadi berhentilah cemburu pada pria yang ada di sekelilingku. Toh aku tak ada hubungan lebih dengan mereka."

Do Yeon mengangguk. "Iya, maaf. Aku berlebihan." Pria itu mengerucutkan bibirnya.

"Baiklah. Ayo buat perjanjian. Kau tak akan posesif atau cemburu berlebihan padaku lalu aku akan menjaga jarak dengan teman priaku." Se Riz mengangkat kelingking kanannya yang langsung diraih Do Yeon.

"Deal," jawab Do Yeon.

"Tapi bukan berarti kau lalu bisa membatasiku," ujar Se Riz. "Aku punya beberapa teman pria yang sudah aku anggap adik sendiri. Kau tak berhak cemburu pada mereka."

"Beberapa pria?" tanya Do Yeon. Rasa cemburu kembali muncul tanpa dia minta.

"Aku dekat dengan mereka seperti dekat dengan Jung Won. Tak ada rasa lebih. Mereka hanya menganggap ku kakak. Kumohon jangan cemburu jika nanti kau melihatku jalan dengan salah satu dari mereka."

Do Yeon menghela napas. "Berpacaran denganmu tak semudah yang aku bayangkan ya," selorohnya.

Se Riz terkekeh. "Karena aku wanita yang ramah  dan populer, kau tahu?"

Do Yeon mengangguk lantas tersenyum. "Aku tahu. Aku tak akan mempermasalahkannya. Janji."

"Kalau begitu aku masuk dulu. Ini sudah malam." Se Riz memandang jam di ponselnya.

"Tapi aku belum menikmati Sabtu malam denganmu," kata Do Yeon. Dia menahan Se Riz.

"Lalu apa maumu?" tanya Se Riz.

"Biarkan aku menginap."

*

Do Yeon tersenyum memandang Se Riz yang sedang membenahi kamar kosong di apartemennya yang biasa dipakai jika ada tamu datang. Wanita itu sedang memasang seprai sebelum mengambil bantal beserta guling dari lemari.

"Tidurlah," ucap Se Riz begitu tempat tidur siap.

"Aku pikir aku tidur denganmu," kata Do Yeon menggoda sang kekasih.

"Maaf, Doy, aku bukan wanita murahan. Tak ada tidur bersama sebelum ada hubungan serius." Se Riz memandang Do Yeon.

"Hanya bercanda," sahut Do Yeon.

Se Riz tertawa dibuat-buat. "Baiklah, selamat tidur. Semoga kau nyaman tidur di tempat asing," ucapnya lalu melangkah ke pintu.

Do Yeon mengangguk. "Se Riz," panggilnya ketika Se Riz hendak menutup pintu kamar.

"Wae?"  tanya Se Riz.

"Apa kau mau pergi denganku ke rumah jika aku free?" tanya Do Yeon.

"Rumahmu?"

Do Yeon mengangguk.

"Untuk apa?" Se Riz tak mengerti.

"Ingin aku kenalkan pada ayah dan ibuku jika aku mempunyai kekasih."

~l'amour~

Se Riz membuka mata saat sinar mentari menerobos masuk melalui celah tirai jendela dan mencumbu wajahnya. Matanya menyipit, menyesuaikan cahaya yang ditangkap kornea matanya. Perlahan dia menegakkan badannya lalu menggeliat. Merentangkan otot badan yang terasa kaku sebelum turun dari tempat tidur.

Menyisir rambut panjangnya dengan jari, Se Riz berjalan menuju jendela dan membuka tirai. Sinar matahari hangat menembus jendela kaca dan menerangi kamar.

"Selamat pagi, dunia," sapa Se Riz. Dipejamkan kedua matanya menghirup udara pagi. Lalu dia membuka mata dan segera berjalan ke kamar mandi saat dia mengingat sesuatu. Do Yeon ada di apartemennya.

Setelah mencuci muka, Se Riz keluar kamar dan menghampiri kamar tamu. Wanita itu mengetuk pintu dan memanggil nama Do Yeon tapi tak ada sahutan. Hening. Apakah Do Yeon masih terlelap? Dia menengok jam dinding. 06.15. Saat dia berniat pergi ke dapur hidungnya mencium aroma sedap dari sana.

"Jangan bilang ...."

Se Riz melihat Do Yeon dengan apron tulang susu bergaris miliknya sedang menata meja dengan beberapa piring menu makanan.

"Hei, selamat pagi," sapa Do Yeon begitu matanya menangkap sosok Se Riz yang menatapnya. "Kemari, kita sarapan."

Se Riz mengangguk lalu mendekat dan menarik salah satu kursi meja makan. Dia membuka mulut melihat menu hasil prakarya tangan seorang idol Kim Do Yeon.

"Maaf ya aku menghabiskan isi stok kulkasmu. Aku ingin memasak sesuatu mumpung kau libur. Kau tak keberatan bukan?" tanya Do Yeon seraya meletakkan mangkuk berisi ayam kecap wijen ke meja.

"Justru aku berterimakasih padamu yang mau mengubah sayuran mentah itu menjadi makanan yang menggoda seperti ini. Gomawo," ucap Se Riz senang.

"Tapi mengapa kau tak membangunkanku untuk membantumu memasak?" lanjut Se Riz bertanya.

Do Yeon mengeleng. "Aku tak ingin mengganggumu." Pria itu tersenyum menatap Se Riz.

"Baiklah. Ayo makan. Kita lihat apakah kau suka masakanku." Do Yeon kemudian duduk di samping Se Riz dan meraih mangkuk di depannya. Dia mengisi nasi lalu memberikannya pada Se Riz.

"Kenapa untukku?" tanya Se Riz.

"Ladies first," jawab Do Yeon. Baru dia mengambil mangkuk di depan Se Riz dan mengisi nasi untuknya sendiri.

"Coba sup yang aku buat." Do Yeon mendekatkan mangkuk seolleotang atau sup daging sapi dengan kuah kental yang kemudian dicicipi Se Riz.

"Waw, rasanya seperti buatan eomma," kata Se Riz.

"Joha?" tanya Do Yeon yang diangguki Se Riz.

"Aku ingin mencoba itu," ucap Se Riz menunjuk gyeran mari atau telur dadar khas Korea.

Do Yeon mengangguk lalu mengambil dua potong gyeran mari dan meletakkannya di mangkuk Se Riz.

Wanita itu mencicipi menu yang dimasak Do Yeon dan menatap pria di sampingnya dengan mata membulat.

"Kenapa dengan ekspresimu? Rasanya aneh?"

Se Riz mengangguk. Membuat Do Yeon mengambil sepotong telur dadar buatannya dan mencicipinya sendiri. Tapi dia tak merasakan sesuatu yang aneh seperti yang dibilang Se Riz.

"Rasanya aneh karena terlalu enak," ucap Se Riz lalu tersenyum.

Do Yeon menggeleng lalu mencubit pipi Se Riz. "Kau ada-ada saja."

Se Riz tertawa lalu menyantap nasi dan mencoba menu lain yang dibuat sang kekasih. Dubu jorim atau tahu sutra yang dimasak dengan bumbu pedas dan bawang bombay dengan kuah. Tapi Do Yeon tak terlalu banyak memasukkan cabai karena tahu Se Riz tak terlalu suka pedas seperti dirinya.

Melihat sang kekasih mencoba makanannya dengan lahap membuat Do Yeon tersenyum di sela makannya sendiri.

"Menyenangkan rasanya sarapan seperti ini denganmu," kata Se Riz.

"Kelak kau bisa merasakan seperti ini setiap hari," jawab Do Yeon sebelum memasukkan telur dadar ke mulutnya.

"Kau mau masak setiap hari di apartemenku?" tanya Se Riz sambil menyomot sepotong paha ayam kecap wijen.

"Mungkin bukan di apartemenmu tapi di rumah," jawab Do Yeon. "Rumah kita. Saat kita sudah menikah," tambah Do Yeon membuat Se Riz tersedak.

"Uhuk. Uhuk!!!"

Se Riz meletakkan potongan daging pahanya di mangkuk lalu meraih gelas minumnya yang disodorkan Do Yeon. Sebelah tangan Do Yeon mengusap punggung Se Riz.

"Pelan-pelan makannya," kata Do Yeon.

Se Riz menoleh. "Aku sudah pelan-pelan tapi ucapanmu membuatku tersedak. Membicarakan menikah di saat sarapan. Kau pikir itu lucu?"

"Lalu kau pikir aku bercanda?" Do Yeon menatap Se Riz. "Jujur saja, selama ini aku tak pernah memikirkan menikah tapi setelah bertemu denganmu aku ingin. Kau mau?"

Se Riz bergeming. Rasanya aneh. Baru kemarin Do Yeon mengajaknya ribut dengan mengatakannya murahan dan sekarang membicarakan tentang menikah. Apakah di depannya Do Yeon yang sama? Lagipula mereka baru kenal dekat. Se Riz tak mau terlalu berharap jika nanti idol itu ternyata tak serius.

"Kau ingin menikah di usia muda?" tanya Se Riz.

"Kenapa memangnya? Lagipula usiaku tahun ini 25 tahun. Kupikir itu sudah cukup. Aku tiba-tiba ingin menikah usia muda agar aku bisa menjadi papah muda." Do Yeon tersenyum. "Aku suka anak-anak."

Ketika Se Riz hendak berkomentar, ponsel Do Yeon berbunyi. Pria itu mengalihkan atensinya dari Se Riz pada gadget miliknya yang berada di ujung meja.

"Ne, Hyung," sapa Do Yeon. Se Riz menaikkan alis lalu melanjutkan menggigit paha ayamnya tapi matanya tetap menatap Do Yeon.

"Aku menginap di rumah ... temanku," jawab Do Yeon sambil memandang Se Riz.

Wanita itu mengunyah ayamnya dengan sorot mata tajam pada Do Yeon. Rasanya sedikit kesal mendengar sang kekasih menyebutnya 'temanku'.

"Ah, iya aku ingat. Aku akan kembali ke asrama sebentar lagi," kata Do Yeon. "Iya, Hyung. Oke."

Lalu panggilan berakhir tak lama setelah itu.

Se Riz yang sudah selesai dengan daging ayamnya memandang Do Yeon ingin tahu. "Siapa?"

"Siapa lagi jika bukan leader kami nan tampan," jawab Do Yeon lalu mengambil gelas minumnya. "Dia menyuruhku pulang karena kami ada jadwal ke acara radio siang ini," tambahnya setelah meletakkan gelas di meja.

"Sekarang?" tanya Se Riz.

Do Yeon mengangguk.

"Baiklah. Selesaikan dulu sarapanmu baru kau boleh pulang," kata Se Riz.

Do Yeon menurut dan menyelesaikan makanan dengan sedikit terburu-buru.

Sebenarnya Se Riz sudah melarang Do Yeon mencuci piring kotor dan meminta pria itu langsung pulang begitu sarapan mereka selesai tapi pria manis itu bersikeras. Hingga semua peralatan kotor bertengger manis di rak, Do Yeon baru berpamitan.

"Terimakasih atas sarapan paginya," ucap Se Riz saat mengantar Do Yeon di pintu.

"Tak masalah. Aku dengan senang hati melakukannya untukmu," balas Do Yeon.

"Aku akan belajar memasak jika aku punya waktu senggang di rumah agar aku tak malu denganmu."

"Malu kenapa?"

"Yah, pikir saja. Kenapa kau yang pintar memasak bukannya aku? Jika kita menikah apa yang akan dikatakan ibumu melihat kemampuan masakku ada di bawahmu? Pasti beliau akan mengataiku istri tak berguna," kata Se Riz tiba-tiba saja terpikirkan masalah itu. Dia cemas jika calon ibu mertuanya tak suka padanya. 

Do Yeon menggeleng. "Ibuku bukan wanita seperti itu. Lagipula apa salahnya istri yang tak pandai memasak? Aku mencari istri bukan hanya untuk memasak tapi berbagi hidup denganku, berbagi kebahagiaan. Kau tinggal duduk manis di rumah menjadi ratu, lalu mengasuh dan menjaga anak-anak kita kelak."

Se Riz merona membayangkan apa yang dikatakan Do Yeon. Menikah, berbagi kebahagiaan, ratu dan mengasuh anak-anak kita kelak adalah sesuatu yang terdengar fantastis dan tak pernah dia pikirkan sebelumnya. Bahkan saat dia menjalin hubungan dengan DK, pria itu tak pernah menyinggung soal pernikahan.

Senyum terbit di bibir Se Riz.

"Aish, kenapa kita membahas menikah pagi-pagi seperti ini sih? Sudah sana pulang. Aku tak mau kau terlambat dengan jadwalmu."

Do Yeon tertawa. "Jadi kau mau menikah denganku kan? Janji?"

"Mungkin. Akan aku pikirkan nanti jika kau benar-benar serius."

💚

----
Se Riz Yoon
17.11.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp