Bibit · 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ran berjalan meninggalkan gerbang SD Pararaton dengan jejak air mata mengering di kedua pipinya. Tangan kanannya menggenggam boneka jelangkung. Langkah kakinya panjang-panjang dan tampak terburu-buru, setengah berlari. Ran ingin cepat-cepat enyah dari sini.

Penampakan bocah SD dengan boneka pemanggil hantu di tangan otomatis menjadi pemandangan gratis setiap orang yang lewat—kebanyakan adalah siswa lain SD Pararaton, yang memang sudah termakan gosip sebaran Didi CS bahwa Rantika Arum Kuncoro adalah anak keluarga dukun.

Butuh menebalkan mental agar Ran tidak terisak lagi sepanjang perjalanan pulang. Sesampainya di halaman rumah, barulah emosinya tumpah.

"HUAAAAA!!!" Ran memuaskan tangisnya begitu tiba di pendopo depan rumah Joglo Pangrawit itu.

Bunda tampak melepas sepatu kerjanya, menandakan baru saja tiba dari kampus. Eyang Putri sibuk menyiram tanaman di taman depan, sementara Bulik Jani baru saja melepas kacamata baca dan menggenggam bendelan skripsinya yang tercoret revisi di mana-mana, dengan judul 'An Analysis of Supernatural Power in R. L. Stine Novel Series: Fear Street Based on Javanese Belief'.

Semua orang itu—minus Ayah yang sedang dinas di kantor real estat—sontak memperhatikan Ran yang kacau-balau.

"D—Didi... ngilokno (mengolok-olok) Ran di depan anak-anak sekelas...." Gadis itu menjelaskan sambil terisak.

Sudah jadi konflik bertahun bahwa Ran tidak cocok satu lingkungan dengan Didi, keponakan kepala sekolah. Bagaikan predator dan kelinci jinak, Ran tidak bisa melompat terlalu jauh. Empat tahun gadis kecil itu menahan diri, baru kali ini keluarga Kuncoro melihat ulah Didi separah ini.

"Terus ini bonekanya kenapa dibawa pulang tho, Nduk?" tanya Eyang Putri sambil meraih jelangkung dari tangan mungil Ran.

"Itu... apa... ada yang nempel, Yang Uti...?" tanya Ran dengan mata berkaca-kaca.

Sang Eyang meneliti boneka tersebut, lalu menggeleng perlahan.

"Ndak ada apa-apa ini, Nduk. Mboten enten sing katut (tidak ada yang terikut), manggilnya kurang niat." Serta-merta nenek Ran membuang boneka kayu itu ke sudut halaman, tempat daun-daun kering sudah tertumpuk dan siap dibakar.

"Beneran, Yang Uti?" Mata Ran masih tertuju pada boneka yang kini berstatus sebagai onggokan sampah. "Nggak ada arwah yang... kepanggil? Kangmas, misalnya?"

Sang nenek hanya menggeleng dengan pandangan sedih bercampur khawatir. Wanita tua itu sudah kepalang hafal dengan pribadi Ran yang selalu mengharap kehadiran sosok kakak, atau teman, atau apa saja—bahkan dedemit.

Ajeng, ibunda anak itu, berjongkok di depan buah hatinya dengan pandangan mata yang tak kalah khawatir.

"Ran beneran nggak apa-apa?" tanya Ajeng.

Ran hanya menunduk. Lalu perlahan, anak itu mengumam, "Bun... Ran nggak boleh pindah sekolah, ya?"

Dari dalam ruang tamu rumah, melalui pintu kayu ganda yang terbuka, Bulik Jani memperhatikan drama itu dengan air muka masam. Dia sendiri sudah lupa harus merevisi skripsi di bagian mana.

**

Sebagai bungsu dari dua kakaknya; Ayuning dan Ajeng, Anjani merasa kehadiran keponakan kecil di rumah itu—Ran—jelas menambah keramaian, mewarnai hidup yang biasanya membosankan. Seperti mendapatkan teman bermain yang membenarkan sikap kekanak-kanakan Jani, bulik (ibu cilik) calon sarjana dan keponakan SD-nya itu satu frekuensi.

Awalnya, Jani berpikiran seperti orang dewasa biasa, bahwa ultimatum bocah berusia sebelas tahun tak akan mempunyai efek begitu besar dalam pengambilan keputusan orang tuanya.

Terlebih lagi Jani juga tahu, ibu mereka sangat kontra saat anak perempuannya harus pindah rumah karena berkeluarga. Kakak sulungnya saja, Nining, harus membujuk sang ibu selama bertahun-tahun sebelum dilepas pindah ke Pasuruan.

Tapi malam ini, pada hari Sabtu yang larut di halaman belakang rumah keluarga Kuncoro, tempat di mana Jani mengajak Ran menonton langit malam dengan gemerlap bintangnya, tampaknya jalan pikiran bulik tersebut akan terbukti salahnya.

"Kamu nggak takut gelap, Ran?" tanya Jani saat keponakannya itu merebahkan tubuh di rerumputan, beralaskan kain sewek batik yang diambilnya dari kamar.

"Nggak gelap kok, Bulik. Tuh, langitnya terang." Ran menjawab dengan berani, merujuk pada purnama yang bulat sempurna. Sepertinya gadis kecil itu sudah menguap laranya.

"Hmmm... kalau sama hantu, nggak takut? Ada genderuwo yang ngeliatin kita dari tadi dari atas pohon itu, tuh." Jani menunjuk ke sudut halaman, tempat pohon beringin bertengger gagah.

Ran mengikuti arah telunjuk Jani, merengut karena tak bisa melihat apa-apa. Seketika bau kentang rebus mengudara, menandakan penunggu pohon itu terpanggil ke arah mereka.

Jani bergidik, tak pernah bisa biasa melihat sosok berbulu itu. Sang bibi jadi sedikit menyesal menggoda keponakan dengan menyebut-nyebut si penunggu pohon. Mereka mudah sekali terpanggil. Diomongin saja langsung nyamper. Hiiih.

"Kan kita dijagain Mbah Wek?" balas Ran, mengacu pada sosok penunggu rumah keluarga Kuncoro yang tergolong baru karena dikirim dari Pasuruan setelah Ran lahir, sebab kata Bunda dan Eyang Uti, ada hantu kunti jahat yang terus-menerus meneror Ran saat masih bayi, membuatnya panas demam tak berkesudahan selama berhari-hari.

Sosok kakek berjenggot putih yang biasa dipanggil 'Mbah Tuwek' itu adalah opsi pamungkas untuk menanggulangi gangguan itu. Bude Nining yang membantu mengirim sesosok penjaga gaib, yang kini sedang duduk di emper rumah dan terkekeh karena di-notice oleh Ran. Meskipun Ran tidak bisa melihat, namun gadis kecil itu 100% percaya karena aura positif Mbah Tuwek selalu membuatnya merasa sedang dijaga.

Jani melirik sekilas, merasa ditertawai oleh sosok kakek itu karena sang penjaga enggan terjun ke halaman dan mengusir tamu tak diundang, terlepas dari panggilan batin Jani yang sudah meraung sejak beberapa detik tadi, minta diselamatkan. Pasalnya, makhluk tinggi hitam berbulu dari pohon beringin itu berjalan kian mendekat, membuat pekat bau kentang semakin tercium.

Mampus aku, pikir Jani.

"Ran, kamu hafal surat-surat pendek, kan? Coba baca," perintah Jani seketika, sambil memejamkan mata saat genderuwo itu sudah berjarak sejengkal dari wajahnya, siap merunduk dan mengendus rambut bibi muda itu.

"Emmm... kenapa, Bulik? Kita beneran dilihatin, ya? Eh, apa genderuwonya malah sudah sampai sini? Dia di sini ya, Bulik Jani? Di deket sini?"

Ran bangkit dan mulai mengendus, mencari sumber bau kentang rebus yang semakin menusuk hidung. Jani bergidik dan buru-buru mencegah saat tangan Ran hampir menggapai gimbal rambut (atau bulu dada?) sang genderuwo.

"Gilo (jijik)!" desis Jani sambil mulai komat-kamit merapal ayat suci. Ran tertawa pelan melihat bibinya ketakutan atas aksinya sendiri.

Beberapa detik kemudian, bau kentang berangsur hilang. Jani bisa melihat makhluk berbulu itu beringsut mundur, memudar menjadi noir, kembali ke pohon beringin kekuasaannya.

"Hiiihhh! Dasar ponakan aneh, sama setan kok nggak ada takut-takutnya." Jani menggelengkan kepala, melemaskan leher belakangnya yang masih kaku dan bergidik.

Ran semakin tertawa. "Bulik Jani juga aneh! Penakut, tapi suka njarak (cari gara-gara)."

Jani kehabisan kata-kata. Tak disangkanya, Ran kecil yang selama ini masih bayi, sekarang sudah pintar memutar balikkan kata. Ajaran siapa, ya?

"Hehehe. Lucu tapi, ya. Nanti Ran pasti kangen main sama Bulik Jani, meskipun sering ketemu medhi (setan), tapi penakut."

"Hah? Maksudnya? Kamu ini ngomong apa, tho... kayak mau ke mana aja." Jani mengelus tengkuknya yang masih sedikit merinding. Sisa energi makhluk hitam berbulu itu masih terasa.

"Lho, Ran kan mau ke Jakarta. Masa' Bulik Jani nggak tau?"

"What?!" Jani serta-merta menoleh pada keponakannya. Gadis kecil itu menatapnya balik dengan mata bundar yang jujur.

"Iya, kata Bunda, nanti Ran boleh pindah sekolah ke Jakarta kalau naik kelas lima."

What the hell?! batin Jani sambil membelalak tak terima. Setengah menit kemudian, dia sudah mengemas kain sewek yang menjadi alas, dan menyeret Ran masuk ke dalam rumah.

**

"MBAK AJENG APA-APAAN SIH, KOK NGGAK BILANG KALAU MAU PINDAH?!"

Ran hanya melongo menontoni Bulik-nya yang berteriak sedemikian lantang. Mungkin benak kecilnya bertanya-tanya, apa paru-parunya tidak pecah? Apa tenggorokannya tidak sakit?

"Mbak mau ngelanjutin kuliah S-3, Jan," ucap Ajeng pada adik bungsunya itu, membuat Jani menghela napas tak rela. Timing mereka memang sempurna. Hebatnya juga, Ajeng dan Sakti berhasil meyakinkan ibu mereka, terlihat dari respons Eyang Uti yang tampak tenang menyeruput wedang uwuh.

"Terus... aku nggak dikasih tau, gitu?" Akhirnya Jani mengeluarkan unek-unek hati.

"Ya ini Mbak mau ngasih tau kamu...."

"Ish, Mbak!" Jani semakin emosi. Tanpa aba-aba, perempuan muda itu langsung memeluk kakak sulungnya. "Bisa nggak sih ngasih taunya itu jangan ndadak begini? Aku kaget, tauk! Nggak siap, nih!"

"Lho, nggak ndadak, kok. Masih satu semester lagi," jawab Ajeng.

"Ck! Tapi tetep aja... satu semester lagi aku udah nggak bisa mainan sama Ran." Jani beralih menatap keponakannya.

Mata polos Ran yang menatap balik, serta merta membuat emosi Jani redup tak berbekas.

"Tapi... kalau dipikir-pikir lagi, it is for the best, sih," lanjut Jani setelah menatap bocah itu beberapa saat.


À Suivre.
1320 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro