Bibit · 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yogyakarta, 2010

"Good afternoon, Class. Today, we will learn about art and family. Kita akan belajar seni sekaligus peran anggota keluarga, ya!"

Suara renyah Miss Erin disambut riang oleh seisi ruang kelas empat. Termasuk di antaranya adalah gadis kecil dengan rambut keriting alami yang dikuncir tunggal, duduk sendirian di bangku pojok paling belakang. Nama panjang bordiran di saku seragam kecilnya terbaca; Rantika Arum Kuncoro.

Suasana ruang kelas sekolah dasar berbasis internasional, SD Pararaton, tampak cerah dan meriah dengan eksistensi Miss Erin yang menyenangkan, sukses membuat mata pelajaran Kesenian yang padat materi itu tidak terasa membosankan.

Lima belas menit dibutuhkan Miss Erin untuk menjelaskan beberapa istilah dalam dwibahasa yang sedikit banyak sudah diketahui oleh Ran: ayah, ibu, kakak, bibi, dan masing-masing perannya. Miss Erin lantas meminta murid kelas tersebut untuk menggambar setiap anggota keluarga mereka pada kertas HVS yang sudah disediakan.

"Jangan lupa digambarnya sesuai pekerjaan orang tua kalian masing-masing ya, Class! Minggu lalu kita sudah belajar tentang profesi, kan?" imbuh Miss Erin sebelum membagikan kertas. Sepertinya tugas menggambar kali ini akan menjadi lebih menantang.

Ran menggumamkan kata 'terima kasih' saat Miss Erin menyerahkan kertas bagiannya. Pikiran gadis kecil itu mulai berkelana membayangkan visual anggota keluarganya.

Di satu lembar kertas, coretan tangan Ran dengan tulisan kapital terbaca Bunda, Ayah, Ran, dan Kangmas. Empat anggota keluarga inti yang namanya ditulis paralel di bagian atas. Supaya tempatnya pas, pikirnya. Pada lembar di baliknya, karena tidak cukup, Ran baru mengimbuhkan dua orang tersayang yang tinggal satu atap dengannya: Eyang Putri dan Bulik Jani.

Sedetik Ran menimbang-nimbang apakah harus menambahkan keluarga jauhnya, Bude Nining, ke dalam gambar. Namun gadis itu mengurungkan niat. Kalau gambar Bude, harus gambar Ais, Fatimah, sama Pakde Haji juga. Males, ah!

Menit berikutnya, Ran sudah asyik tenggelam sambil menggumamkan nada lagu 'Kelinciku' sambil menebalkan sketsa orang-orang terdekatnya di atas kertas. Saat mewarnai gambar itu, Ran mulai membayangkan wajah mereka satu per satu.

Gambar pertama, Ayah.

Ayah kerjanya jadi agen real estate, alias jualan rumah. Biasanya pakai celana dan sabuk warna cokelat. Kadang-kadang memakai dasi kalau ada acara open house. Ran biasanya ikut, mengunjungi rumah-rumah bagus yang tak pernah lama mereka singgahi.

Dengan gesit, Ran menggambar sosok Ayah yang tinggi, sambil membawa kumpulan kunci-kunci yang banyak-seperti yang Ayah punya di rumah. Kunci rumah-rumah yang mau dijual orang, katanya.

Di sebelah Ayah, Ran mulai menggambar Bunda.

Bunda itu... pintar. Suka belajar, dan suka menyuruh Ran belajar. Wajar sih, Bunda kan dosen, yang sependek pemahaman Ran, adalah guru yang 'mengajar di sekolahnya orang-orang besar'. Sabar dan sayang pada Ran, tapi kadang-kadang juga menyeramkan kalau lagi marah. Apa, ya, kata Ayah? Tegas? Ajek? Ya, begitulah.

Sesuai pekerjaannya, Ran menggambarkan Bunda dengan setelan kerja yang sering dilihatnya setiap pagi: rok selutut dan baju kemeja, juga sepatu yang ada hak tingginya.

Ran menggambar penggaris tergenggam di tangan Bunda, seperti bayangannya akan sosok guru. Padahal Ran tidak yakin, di sekolah orang besar gurunya membawa penggaris atau tidak.

Setelah Bunda, ada namanya sendiri tertulis di sana. Ran.

Gadis kecil itu menggambar dirinya sendiri versi memiliki telinga kelinci dan buntut bulat. Wajar, sebab kelinci adalah hewan favoritnya. Sebuah improvisasi imajinatif dari otak kecil yang kreatif.

Hehe, ternyata jadinya lucu. Ran lantas menambahkan fitur itu ke Ayah dan Bunda di gambar; kuping, kumis, dan buntut kelinci. Jadilah ini keluarga kelinci.

Setelah puas dengan potret diri dan orang tuanya, Ran beralih ke spot terakhir di halaman itu. Kangmas.

Ini yang paling sulit. Sebab, Ran tidak tahu bagaimana perawakan Kangmas itu. Ran selalu mendengar dari cerita-cerita keluarganya; dari Bunda, Eyang Uti, Bude Nining, dan Bulik Jani, bahwa Ran punya saudara kembar-kakak-laki-laki.

Tapi, kakak Ran itu, yang sering disebut Kangmas oleh Bunda, meninggal saat dia lahir. Stillborn, katanya. Jadi, sampai hari ini, Ran tidak tahu wujud Kangmas itu seperti apa.

Ran membayangkan, jika memang Kangmas itu saudara kembarnya, berarti wajahnya mirip dengan dia. Cuma bedanya, Kangmas laki-laki.

Mungkin, kalau saja Kangmas hidup, Ran tidak akan duduk sendiri di meja ini. Mungkin mereka sedang menggambar bersama, dengan versi gambar Kangmas berupa keluarga dinosaurus alih-alih kelinci, seperti yang sering Ran lihat digambar anak laki-laki.

Atau, mungkin-minimal jika Ran bisa melihat Kangmas seperti Bunda, Eyang Uti, Bulik Jani, dan semua anggota keluarganya yang lain, yang bisa jelas melihat arwah orang yang sudah mati, maka... Ran tidak akan begitu kesepian.

"Ih, si Pitik Walik (ayam keriting) gambar apaan? Kok elek (jelek)?!"

Ran mendongak untuk mendapati Bino, salah satu perundung di kelasnya, sedang menunjuk-nunjuk kertas gambarnya setelah melontarkan ejekan khas mereka. Pitik walik, merujuk pada rambut keriting gadis kecil itu. Ran menunduk, tersadar dia baru menggambar kerangka stickman pada sosok Kangmas.

"Ini bukan jelek. Ini cuma belum jadi," ralat Ran membela diri. Matanya melirik sekilas ke depan kelas, mendapati kursi guru kosong. Miss Erin pasti keluar lagi, seperti kebiasaannya setelah memberi tugas. Pantas saja Bino bisa jalan-jalan dan beraksi.

"Didi! Lihat sini, deh! Gambar e Pitik Walik uwelek pol (jelek sekali)!" Bino memanggil perkara.

Didi adalah keponakan kepala sekolah SD Pararaton ini. Ran tahu, Didi tidak segan-segan melakukan apa saja sesuka hati, seolah-olah sekolah ini miliknya. Ditambah lagi, semenjak Ran duduk di kelas satu, dia sudah menjadi target santapan aksi bully dari Didi, Bino, dan geng mereka.

Jangan cari masalah sama dia, Bunda pernah mengingatkan.

Ran hanya bisa menahan emosi saat beberapa detik kemudian Didi sudah berdiri di samping mejanya. Pandangannya mengejek dan menelisik kertas gambar gadis kecil itu.

"Udah jelek, salah pula. Kamu itu anak tunggal, he! Nggak punya saudara!" Didi menunjuk gambar Kangmas yang setengah jadi.

"Aku punya saudara, kok! Kakak kembar!" Ran mengelak, tak tahan untuk mengunci mulutnya. Maaf, ya, Bun. Tapi Bulik Jani bilang Ran harus bisa membela diri.

"Mana? Kok kakak kamu nggak sekolah? Dasar tukang ngapusi (bohong)!" Itu Bino yang menanggapi.

"Aku nggak bohong." Hidung Ran kembang kempis, menahan amarah. "Kakakku beneran ada, kok! Dia cuma meninggal waktu lahir...."

"HIIII! HANTU!" Bino beralih pada Didi. "Hih! Jangan ditemenin si Rantika, Di! Dulure medhi (saudaranya hantu)!"

Kepolosan Bino membuat Didi tertawa. "Bukan hantu beneran kok, No. Rantika ini emang aneh kok. Masa nggak tau sih, kalau sudah mati ya artinya sudah nggak ada? Dia itu nggak punya saudara. Dia anak tunggal!"

Ran bisa merasakan wajahnya memanas. Matanya merah dan bengkak, sudah siap meluapkan tangisan. Kangmas itu ada beneran! Bunda selalu cerita, kok!

"Oalah... pancene (dasar) anak dukun!" Bino mengimbuhi.

"Hahahaha!" Gelak Didi dan Bino menggema di kepala Ran saat dua bocah rundung itu sudah berjalan kembali ke meja mereka.

Lebih dari rasa dongkol, emosi, dan amarah, Ran merasa sangat... bingung. Mau tak mau dia bertanya-tanya dalam hati, apakah benar dia anak tunggal? Tapi, bukannya anak tunggal itu artinya anak satu-satunya, lahir sendiri tanpa adik dan kakak? Bagaimana dengan Ran, yang jelas-jelas lahir didahului Kangmas?

Perlahan, sambil melanjutkan gambaran Kangmas yang didominasi kostum kelinci, kebimbangan Ran mulai berubah menjadi rasa sedih.

Mungkin, kalau Kangmas masih hidup dan satu kelas dengan Ran saat ini, maka Kangmas bisa membela Ran dari rundungan Didi CS.

**

"Jelangkung, jelangset... di sini ada pesta. Pestanya kecil-kecilan. Datang tak dijemput, pulang tak diantar...."

Kor suara bocah-bocah itu terdengar ragu dan bergetar. Satu suara yang paling lantang, Didi, mengomando mereka untuk mengulangi mantra yang sama.

"T-tapi nanti nek (kalau) beneran didatangi medhi (hantu)... piye (gimana), Di? Kita taruh boneka Jelangkung ini di tas dia aja kayaknya wis cukup, deh...," protes salah seorang bocah perempuan dengan rambut dikuncir tinggi. Riri, gadis kecil itu, adalah sepupu sekaligus personil terbaru geng Didi di SD Pararaton, juga anak kepala sekolah SD ini.

Saat itu jam istirahat. Didi mendapatkan ide cemerlang untuk mewarnai hari-harinya sebagai pem-bully ketika melihat Ran meninggalkan kelas untuk jajan di kantin.

"Ah! Takutan! Tenang aja, ibu sama neneknya itu dukun, tau. Dukun! Mereka pasti bisa kalau cuman ngelawan setan Jelangkung begini tok!" balas Didi arogan.

"Tapi... kalau jelangkungnya malah nempel ke kita, piye, Di?" Bino, tangan kanan Didi, ikut mengomentari. Seketika Didi dan Riri berbagi pandang.

"Ya sudah, nggak usah dibacain mantra lagi. Cepat taruh di bangkunya si Pitik, sana!" Didi menyerah.

Dengan tergesa, Bino memungut boneka kayu itu-dengan kepala tempurung kelapa, badan berupa potongan bambu sejengkal tangan, dan kain putih sebagai baju-dan menyelipkannya di laci bangku Ran.

Tepat beberapa detik berselang, bel masuk berbunyi lantang. Gerombolan itu bubar jalan.


À Suivre.
1346 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro