Bibit · 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yogyakarta, 1999

Purnama. Bulan menyala terang menerangi sebuah hunian.

Antik, mahal, dan tua. Itulah yang terpancar dari perabotan dan tata ruang sebuah rumah bermodel Joglo Pangrawit, bangunan yang konon hanya dihuni oleh para bangsawan priayi, dengan empat tiang di setiap mata anginnya, soko guru. Rumah itu permai dengan halaman luas yang rindang dan padat pepohonan, layaknya hutan mini, dengan taman bunga yang tampak terawat di halamannya, juga gazebo.

Berdiri megah dan kukuh sendirian, rumah itu terpisah dari pemukiman desa—seakan sengaja diasingkan di tengah belantara—menyendiri di antara perkebunan dan lahan tebu yang menjadi pusat penghidupan mereka.

Temaram lampu kuning menerangi sebuah kamar tidur. Kamar yang tergolong luas, dengan lemari kayu jati ganda berukiran khas Jepara menggagahi sudut ruangan, dan ranjang kayu dengan kasur yang dibungkus seprai satin merah delima, tampak rapi tak tersentuh. Sepasang bantal menandakan penghuni kasur itu tidak tidur sendirian, melainkan juga berpasangan.

Pot kaca tinggi dengan potongan bunga sedap malam menguarkan wangi dari atas nakas sisi ranjang. Bau yang pekat dan magis, menyusup halus ke dalam penciuman seorang wanita muda yang kini terpekur duduk menghadap meja belajar. Wangi itu merupakan pertanda—ada yang datang.

Kertas-kertas berserakan di atas meja kayu gaharu berpelitur. Buku-buku dengan guratan textliner Stabilo kuning menyala, jurnal-jurnal dan artikel ilmiah berisi materi Antropologi dari berbagai sumber terbuka, siap untuk dibaca.

Sebuah buku binder yang padat dengan tulisan tangan berdiri kukuh di atas semua kekacauan itu, bagaikan kitab sakti yang menjadi inti sari dari riset dua tahun yang dilakukan oleh sang empunya kamar. Wanita itu.

"Ajeng... Sri... Kuncoro...."

Nama itu menyisip di pendengarannya bagai embusan angin. Pemilik nama itu, Ajeng, sengaja menebalkan telinga. Dia menahan lehernya agar tidak menoleh ke arah jendela, tempat dari suara itu bermuara.

Sialnya, hidung bangir Ajeng tak bisa bohong. Aroma sedap malam itu semakin menusuk, begitu kental.

"Ajeng, mreneo (kemarilah)...," panggil suara itu lagi. Halus, namun mendesak. "Kulo... badhe sumerep... pandharanmu (aku ingin melihat perutmu)."

Refleks, Ajeng menyentuh perutnya. Buncit, dengan dua janin kembar bersemayam. Bidan menyebutkan bahwa Ajeng mengandung bayi kembar pengantin, laki dan perempuan.

Ajeng buru-buru menarik napas, lalu menghela dengan perlahan sebagai usaha untuk menenangkan diri. Bersamaan dengan itu, sensasi kencang menjerat pinggangnya. Wanita itu mengerang sedetik, namun buru-buru bisa menguasai diri. Kontraksi.

"Mrene (kemari), Ajeng...," panggil suara itu lagi. "Kulo rencangi... icalaken laranipun (aku bantu hilangkan sakitmu)."

Alih-alih merespons, Ajeng buru-buru meraih sebuah buku yang terletak di sudut meja. Wanita itu membolak-balikkannya, menelisik baris demi baris satu bab buku karangan Koentjaraningrat—bapak Antropologi Indonesia—yang menjadi rujukan daftar pustaka skripsinya. Fokus. Jangan pedulikan.

"Ajeng...."

Abaikan.

"A... jeng...."

"OPO SEH, ASU!!!" jerit Ajeng ke arah jendela, akhirnya. Kesabaran si calon ibu muda habis terkuras oleh perpaduan distraksi dan juga kontraksi.

Mendapat respons dari manusia tujuannya, sosok itu tertawa menang, dan seketika menyingkap wujudnya di balik tirai putih yang tertiup angin. Nyata senyata-nyatanya.

"Hi-hi-hi-hi...."

Wajah pucat tanpa kehidupan itu menyeringai, dengan surai hitam bagai tirai kelam yang menyembunyikan kepala rusak menganga.

Bajunya lusuh, berwarna merah, bercampur bercak darah. Tangan iblis itu menggenggam—menggendong—sesuatu, dekat dengan perutnya sendiri, bagaikan menimang bayi. Tapi itu sama sekali bukan bayi. Sekali lihat saja, siapapun bisa tahu bahwa gundukan itu, daging yang membusuk dan berliku itu, adalah isi dari perutnya yang terkoyak lebar.

Ajeng melotot, menantang. Wanita itu sama sekali tidak gentar. Matanya sudah terlampau akrab dengan berbagai sosok dan makhluk tak berbentuk, terbuka lebar sejak dia remaja—sejak mens pertama—sama seperti semua anggota keluarganya. Keluarga Kuncoro.

"Pergi sana, Kuntilanak!" hardik Ajeng ketika melihat iblis itu bergeming. "Kamu nggak akan dapat apa yang kamu cari di sini!"

Membalas perkataan Ajeng, sosok itu malah kembali tertawa. Nyaring. Melengking.

Mendadak, pintu kamar di belakang Ajeng terbuka.

"Ada apa kok berisik, Mbak? Lah—si Kunti masih getol nungguin, toh?" Suara seorang gadis muda terdengar di telinganya.

Ajeng memutar mata. "Ngebatu banget. Nggak mau pergi dia, Jan. Cara ngusirnya gimana, sih?" ujarnya pada Anjani, sang adik.

"Itu tandanya lahiranmu sudah mepet mungkin, Mbak. Aku telepon Mbak Nining dulu kali, ya? Nanyain cara ngusir yang bener." Jani bergegas keluar kamar lagi setelah menyebut nama kakak sulung mereka, Ayuning.

Dari luar kamar, Jani lanjut berceloteh, "Aku panggilkan Ibu juga ya, Mbak? Buuuk!"

Tak berselang lama, pintu kembali terbuka. Wanita paruh baya dengan rambut tergulung yang memutih sebagian memasuki kamar. Sebuah gelas belimbing berisi cairan bening tergenggam di tangannya.

"Astaghfirullah! Ajeng, sek didedepi, tho (masih ditungguin, toh)? Sakti mana? Kamu sudah kebelet mbrojol dari sore, kok dia malah ngilang?" Rentetan kalimat itu keluar dari mulut sang ibu saat matanya tuanya menangkap sosok di balik jendela.

"Lagi jemput bidan, Buk." Ajeng menjawab dengan tenang sembari membalik halaman buku.

Baru beberapa detik menata napas, kegaduhan kembali memasuki kamarnya.

"KATANYA SURUH BACA AYAT KURSI, MBAK!" Jani menyalak dari ambang pintu. Kabel spiral telepon rumah terolor panjang, dengan gagang yang tertempel di sisi wajahnya.

"Piye (gimana), Mbak Ning? Oh, iya... iya... allahu laa ilaha illa—aduh aku lupa lanjutannya. Ck, iya, Mbak! Aku bisa ngaji, kok! Lupa itu kan sifat manusiawi. Hih, kok malah marah ke aku? BUUUKKK, BILANGIN MBAK NINING JANGAN NGOMEL-NGOMEL, DONG!" Si bungsu menjerit dan mengacungkan gagang telepon ke arah ibu mereka.

Wanita paruh baya itu tak mengindahkan teriakan Jani. Mulut keriputnya sedang berkomat-kamit di atas gelas kaca yang dibawanya, menghadap lurus ke arah jendela.

"... Walaa ya'uduhu hifdzuhuma wahuwal 'aliyyul 'azhiim." Potongan akhir ayat itu lolos dari mulut sang ibu. Satu langkah maju, makhluk di balik jendela mundur selangkah. Mata merah itu balas menatap sang ibu, marah.

"Ngaliho (pergilah)!" tegas Ibu sambil memercik air dari dalam gelas. Seketika makhluk itu mengerang kesakitan.

Jani menonton dengan senyum puas, lega karena kekesalannya tersalurkan. Sementara Jani, yang masih menggenggam gagang telepon, hanya bisa menonton dengan mata berbinar, layaknya cheerleader yang memberikan dukungan pada atlet kesayangan. Go, Ibuk, go-go-go!

"Kamu ndak papa, Nduk?" tanya Ibu seraya membalik badan. Tangan keriput wanita itu membelai perut Ajeng, seakan memastikan jabang bayi cucunya masih selamat.

Ajeng mengangguk. Namun detik berikutnya, ia mengerang. Kontraksi, lagi.

"Wis meh iki (sudah hampir ini). Ibu siapkan baju ganti sama air hangat dulu. Jani, kamu kancani (temani) mbakmu di sini, jangan ditinggal sendiri!" perintah Ibu sebelum bergegas keluar kamar.

Jani memanyunkan bibir, melirik ke arah Ajeng dengan gagang telepon masih menempel di telinga.

"Mbak Jeng, sini o, ini Mbak Nining mau ngomong," panggil si bungsu sambil mengulurkan gagang telepon tak jauh dari pintu. Kabel spiral itu sudah terolor maksimal, memaksa Ajeng bangkit dari singgasana kursi belajarnya.

"Halo, ya, kenapa Mbak?" sapa Ajeng pada kakak sulung mereka, Nining, di ujung sambungan sana.

"Wa'alaikum salam," sarkas suara Nining dari seberang, menyindir adiknya karena menjawab telepon tanpa salam. "Kamu baik-baik, Jeng? Masih diincer, ya? Mau tak kirimin bantuan dari sini?"

Ajeng terkekeh mendengar tawaran Nining. Kakak sulungnya itu tinggal di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Pasuruan, menikah dengan seorang gus—anak kiai—di sana, yang tentunya mempunyai bala tentara gaib yang cukup overpower untuk sekadar meringkus kunti nakal keras kepala.

"Nggak usah, Mbak," tolak Ajeng.

"Yawis. Kamu jaga diri baik-baik, ya? Jangan diem-diem terus, jangan ngelamun, apa lagi kamu kalau sudah baca buku wis mendem (sudah tak sadar) kayak orang siap kesurupan...."

"Iya, Mbak—"

"Jangan putus baca-bacaan. Selawat, istigfar, sama kalau perlu setel kaset murottal Al-Qur'an di kamar. Kamu punya wudu kan? Salat dua rakaat, minta dimudahkan. Dengar, Ajeng?"

Rentetan instruksi itu membuat Ajeng meringis. Telinga dan pinggangnya terasa gempor dihantam Nining dan kontraksi bersamaan. "Iya, iya," potong Ajeng saat mendengar ocehan Nining masih berlanjut.

Serrr

Seketika Ajeng merasakan sesuatu yang basah dan hangat mengaliri pahanya. Banyak, berangsur-angsur, dan tidak berhenti.

"Eh—Mbak Ning, sek ya, aku tutup dulu. Ini... air ketubanku pecah."

Mata Jani membulat melihat keadaan kakaknya itu. Otomatis, mulut nyaring si pandu sorak langsung memanggil, "IBUUUUK!!!"

Menit-menit berikutnya dilalui Ajeng dengan berbaring di atas ranjang. Bantal menopang punggungnya yang semi-tegak, kain sewek batik membungkus kaki polosnya. Kontraksi datang silih berganti. Wangi bunga sedap malam masih semerbak, menandakan bahwa tamu tak diundang di luar sana masih setia menunggu.

Ajeng tahu, meskipun sudah diusir, makhluk keras kepala yang mengincar isi rahimnya itu tetap berjaga di balik jendela. Makhluk setipe itu adalah jenis kunti yang paling persisten dalam mencapai tujuan. Bayi manusia.

"Mana Sakti? Belum datang juga?" tanya Ibu yang tergopoh masuk membawa termos air panas dan baskom air.

Ajeng hanya bisa mengangguk pasrah saat mengawasi ibunya yang mulai sibuk dengan segala persiapan; termos, baskom, handuk bayi, selimut.

Tak berselang lama, akhirnya suara mesin motor terdengar memasuki halaman rumah. Serta-merta cahaya di mata Ajeng kembali cerah.

"Itu Mas Sakti, Buk!" pekik Jani dari ambang pintu.

Butuh beberapa detik sebelum derap langkah memasuki kamar Ajeng. Wanita itu tersenyum lega saat mendapati Sakti datang menuntun Bu Bidan dengan tergesa.

"Waduh, sudah siap sekali, ya? Ketuban wis pecah? Coba, saya lihat dulu Bu Ajeng, sudah buka berapa...." Bidan itu mendekat ke arah ranjang.

Lagi-lagi Ajeng menganggukkan persetujuan. Telapak tangan Ajeng yang terbuka langsung disambut genggam oleh sang suami. Mereka berbagi pandang sedetik. Setitik air lakrima menetes dari ekor matanya, yang langsung disambut usapan sigap ibu jari Sakti.

Lelaki itu tahu, sang istri setengah tak rela melepaskan janin mereka lahir ke dunia. Ajeng belum rela kehilangan.

"Nggak papa, Bunda. It's okay. Kamu bisa," bisik Sakti tepat di telinga istrinya. Panggilan sayang yang mereka rencanakan saat awal kehamilan Ajeng itu sukses membuat wanita itu meringis. Bunda. Ah, semakin berat rasanya.

"Bisa, ayo. Kita harus ikhlas. Nggak akan hilang semua." Sakti kembali berbisik, membuat Ajeng mendongak untuk menerima kecupan di kening dari suaminya.

Tatapan teduh Sakti menghujani Ajeng, tak pernah gagal memberikan kedamaian setiap kali wanita itu menatapnya. Dalam mata itu, Ajeng juga menemukan kekuatan. Ya. Bisa.

Bersamaan dengan instruksi bidan, Ajeng menelan ludah, lalu mulai mengejan. Berat.

Sebab wanita itu tahu, seperti nasib seluruh jabang bayi kakak, adik, paman, kakek, dan seluruh pendahulu bayi laki-laki Kuncoro yang gagal hidup lewat semalam setelah dilahirkan, kutukan keluarga ini juga membuat salah satu bayinya tidak akan selamat.


À Suivre.
1613 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro