Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nakula dan Sadewa, pahlawan kembar dalam wiracarita Mahabharata, adalah dua pribadi paripurna yang tampan, cerdas, cerdik dan bijaksana.

Merupakan sepasang pangeran yatim piatu karena ayah mereka tewas dalam perang melawan raja raksasa, sementara ibu mereka melakukan belapati demi kehormatan kerajaan—mengakhiri hidup sendiri dalam kobaran api—membuat Nakula dan Sadewa diasuh oleh ibu angkat bernama Pritha, seorang permaisuri, bersama dengan tiga anak-anaknya. Lima bersaudara, merekalah anggota Pandawa.

Namun, kisah ini bukanlah tentang perang Pandawa melawan Kurawa. Kalian bisa saja membaca legenda Mahabharata itu di kitab besar mana saja, tapi bukan di sini.

Kisah ini adalah sisi lain dari pahlawan kembar Pandawa itu. Fragmen dari peristiwa yang tak pernah tercatat dalam sejarah manapun. Satu kejadian yang memang sengaja dilupakan. Harus dilupakan.

Sebuah aib.

Semuanya dimulai sebelum Nakula dan Sadewa menjadi pahlawan perang melawan Kurawa; sebelum Nakula sah menjadi titisan dewa penyembuh Batara Aswin; dan sebelum Sadewa dirasuki arwah suci Batara Guru.

Mereka berdua hanyalah remaja lugu, polos, dengan kenaifan yang membahayakan. Dari kepolosan mereka itu, kelak akan muncul bencana; konflik, skandal, dan karma.

Sumber permulaan kemelut ini tak lebih dari seorang gadis dayang istana ibunda ratu Pritha. Agni namanya.

Agni, seperti makna yang berarti api, adalah gadis muda yang penuh gelora. Remaja putri yang mengemban tugas memandikan dua pangeran remaja kembar selepas pulang berburu, yang disanggupinya sambil tersipu.

Pangeran muda itu tampan. Gagah. Dan perkasa. Tak pernah Agni temui tubuh pemuda yang bersih dan sesempurna ini pada pemuda desa mana pun.

Dari tugas itu, hari ke hari, sentuhan tangan Agni pada tubuh Nakula atau Sadewa—Agni tidak pernah tahu siapa yang mana, wajah rupawan mereka mereka terlalu identik—menjadi semakin... berani. Hingga pada satu titik, api itu bersambut. Entah itu Nakula, atau Sadewa. Entah kali ke berapa, dengan siapa. Yang dayang itu tahu, dia menghidupi namanya sendiri: bermain-main dengan api.

Sampai akhirnya, buah perbuatan itu pun terjadi. Agni mengandung, entah anak siapa.

Agni menebalkan nyali, mencoba meraih bapak jabang bayi tersebut. Tapi, baik ndoro (tuan) pangeran Nakula maupun Sadewa bersepakat untuk menampiknya. Tidak mengakui.

Demikian, putus sudah nasibnya sebagai dayang istana.

Setelah beberapa minggu mengumpulkan nyali, Agni menghadap ibunda ratu Pritha dengan kepala tertunduk. Malu menjalari urat-urat lehernya. Bara keberaniannya padam di hadapan sang permaisuri.

"Mohon maaf, Kanjeng Ratu... saya mohon diri untuk mangkat (pergi) dari istana...." 

Mata jeli Pritha memicing pada tubuh dayang itu. Hanya ada segelintir alasan seorang abdi istana harus mengasingkan diri dari kerajaan.

"Siapa yang menodaimu?" tanya Pritha pada dayang kerajaan yang seharusnya perawan.

"M-mboten enten (tidak ada), Kanjeng Ratu... saya...."

"Aku paling benci dengan pendusta," potong Pritha. "Terlebih lagi yang sudah kotor dan tidak bisa menjaga kehormatannya."

Agni menunduk semakin dalam. Ada tata cara seorang wanita 'dipakai' dalam strata kerajaan ini. Jika menjadi pendamping jasad, setidaknya cara mulia menjadi selir atau dinikahi lelaki biasa adalah jalan terhormat. Tugas Agni yang sesungguhnya jauh dari tingkatan itu, jelas menjegal langkahnya sendiri yang terlampau lancang. 

Inilah kenyataannya. Agni adalah pesakitan. Dia sudah terlanjur menjadi wanita hina.

"Pergilah," titah terakhir ibunda ratu Pritha, resmi melepas Agni dalam pengasingan.

**

Manusia wadon (perempuan) yang sedang hamil tua dan hidup terasing sebatang kara di pinggir hutan. 

Sebuah konsep yang menarik perhatian Parwati, ratu demit sakti mandraguna, perwujudan wanita setengah ular yang menandakan kehadirannya dengan bau anyir. Dialah penguasa hutan Sukmo Ilang, rimba yang dikenal merupakan gerbang antara dunia yang kasar dan yang halus.

'Sungguh malang. Abdi ndalem yang seharusnya bisa hidup tenang di dalam istana, harus mengais isi tanah untuk bertahan hidup...'

Bisikan itu mengalun bagai angin halus di penghujung hari saat Agni memanen singkong di halaman gubuknya. Bulu kuduk wanita itu merinding, dan dengan cepat dia tergopoh masuk gumuk. 

'Apa kamu ingin membalaskan dendammu, Nduk?'

Desisan suara itu menyisip dalam mimpi Agni yang dangkal. Perlahan wujud siluman ular dengan wajah cantik jelita menjadi jelas di kelopak matanya.

Anehnya, Agni tidak merasa takut.

"Apa maumu ...." Melihat mahkota bertahta zamrud yang bertengger di kepala berleher panjang siluman ular itu, Agni menunduk. "... Nyai?"

Parwati tertawa. Melengking. Keras. Ternyata wadon di hadapannya ini masih tahu tata krama.

"Aku ingin membantumu."

**

Aroma anyir yang menggantung tak sedikitpun mengganggu hidung sensitif perempuan hamil itu. Usaha menanam kemang-kembang wewangian seperti melati dan kemuning di halaman pondok tinggal Agni tampaknya berhasil meringankan aroma udara. Pun kehadiran Parwati tak lagi menjadi sebuah kejutan.

Apa yang diharapkan dari membangun kehidupan di tepi hutan terlarang?

Agni sengaja menyendiri dan bertapa demi mendapatkan ketenangan batin setelah badai meluluhlantakkan hidupnya. Kedatangan Parwati itu bukanlah sesuatu yang diharapkannya—pun tidak serta merta ditolak, sebab dalam bara hati Agni, masih tersimpan setitik api.

"Sungguhkan saya akan bahagia jika membalas dendam, Nyai?" Agni mulai goyah. Bersikap tenang dan ikhlas selama ini tak mampu menutup lara hatinya. 

"Hadirnya laki-laki dalam hidupmu hanya akan membawa bencana." Kalimat Parwati bagaikan mantra sekaligus kutukan yang meramalkan masa depan Agni dan keturunannya.

Agni menunduk dalam sikap berserah. Dengan perutnya yang membuncit, wanita itu melanjutkan ritual, mengatupkan tangan dan merapal mantra pemujaan Parwati di hadapan sebuah pohon besar.

Ketika tiba saatnya Agni melahirkan, hadirlah sepasang bayi kembar pengantin—laki-laki dan perempuan. 

Gurat wajah bayi laki-lakinya identik dengan sang ayah, bagaikan kembar tiga, antara Nakula, Sadewa, dan nyawa mungil yang tak akan bertahan lama.

Demi mengikat perjanjian dengan ratu demit itu, Agni mengubur hidup-hidup bayi lelakinya di bawah pohon tempat Parwati bersemayam. Sebuah tumbal, sekaligus pelampiasan dendam.

Sejak hari itu, satu ikrar berupa ikatan karma telah melilit jalan takdir Agni dan anak cucunya. Tidak ada laki-laki, terutama yang kembar. 

Sebuah alterasi nasib karena kelahiran dan kematian, anak laki-laki maupun sepasang kembar, adalah pemberian Yang Maha Kuasa. Sepenuhnya berada di luar kendali manusia, namun demikian, bukanlah kemustahilan. 

Kesaktian gaib Parwati-lah yang kelak memastikan jabang bayi laki-laki dari keturunan Agni tidak akan bisa lama menghirup napas kehidupan. 


À Suivre.
702 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro