Kuncup · 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat bersenang-senang, anak-anak!" Victor Lafleur melepas tiga remaja tanggung di pelataran drop-off mal sambil tersenyum.

Selin membalas dengan layangan kiss bye ke arah papanya, Ran melambaikan tangan, sementara Matt mengantongi kedua tangannya dalam saku jaket.

Victor membunyikan klakson saat mobilnya beranjak pergi. Kendaraannya tidak bisa berlama-lama menepi, sebab jalur elevasi satu arah itu sudah padat dengan mobil lain yang mengantre.

"Duluan. Udah ditunggu. Nanti kalau udah siap pulang, chat aja." Matt berkata satu detik setelah mobil papanya menghilang.

"Arasseo, Oppa." Selin mengiyakan dengan bahasa Korea, membuat Matt memutar mata.

Sepeninggal Matt, Selin langsung berfokus pada Ran.

"Oke, sesuai rencana kita, masih ada dua jam sebelum film dimulai. Nanti kita ketemu sama anak-anak VIP langsung di bioskopnya aja. Meanwhile, kita jalan-jalan dulu ke...?" Selin melirik sahabat berambut ikalnya itu, yang balas menatap ragu.

"Fresh market?" tanya Ran.

"Yaa—eh, enggak dong! Kita belanja wortelnya Micin pas mau balik aja. Sekarang kita liat-liat baju dulu, bentaran aja, gimana?"

"Ya, boleh." Ran menurut.

Satu jam kemudian, sudah ada empat shopping bag yang bergelantungan di lengan Selin. Semua milik Selin, sebab Ran berkali-kali menolak tawaran sahabatnya itu untuk mengambil beberapa baju.

"Nggak enak, ah, sama Om Vic. Lagian nanti Bunda pasti marahin aku lagi kalau nerima baju dari kamu. Inget kan, waktu dulu, kita sering tuker-tukeran baju buat dipinjem dan Bunda—"

"Ran, please deh...." Selin berkata seraya tangannya gesit memilah rak baju. "Aku 'tuh bisa liat, kamu dari tadi bolak-balik ngelirik dress putih tulang yang digantung di situ. Kamu boleh bohong pake mulut, tapi mata sama bahasa tubuh juga bisa ngomong jujur."

Ran langsung kicep.

Selin benar, Ran sudah jatuh cinta pada terusan berwarna putih yang terbuat dari bahan katun itu selama 45 menit terakhir.

Ran pikir, model dan kain baju itu sangat ringan, nyaman, sekaligus elegan, cocok dipakai untuk acara apa pun, mulai dari kondangan hingga rebahan.

Cantik dan fungsional.

Ran sudah membayangkan dirinya mengenakan baju indah itu saat menginap di rumah Selin. Dengan demikian, perawakan Ran tidak akan terlalu terbanting dengan si princess Lafleur-Tan, dan dia juga akan lebih percaya diri, tidak segan saat berpapasan dengan Matt di rumah mereka.

Eh, kok jadi mikir ke sana?

"... hoi, Ran!"

Gadis itu berkedip. Tampaknya Selin sudah memanggil-manggilnya sedari tadi.

"Y-ya?"

"Ukuran baju kamu M, kan? Eh... apa S, ya? Coba sini-sini, kita cocokin." Selin berkata seraya mengambil salah satu baju dari hanger. Baju terusan idaman Ran.

"Sel... nggak usah." Ran berusaha mengelak, namun Selin lebih gesit meraih pergelangan tangannya.

"Cobain doang, nggak dosa!" ujar Selin sambil mendorong Ran ke arah ruang pas, lengkap dengan dua potong baju idaman dengan ukuran berbeda.

Seperempat jam kemudian, Ran dan Selin keluar dari toko pakaian itu. Lima shopping bag diborong oleh Selin, tak satu pun berisi baju putih idaman Ran.

Ran telah sukses menolak habis-habisan tawaran Selin tadi. Tampaknya rasa takut dan sungkan didikan Bunda lebih kuat ketimbang keinginannya berpakaian cantik.

"Sel, tunggu bentar." Ran memanggil saat dirasanya ponsel bergetar di dalam saku.

"Siapa?" tanya Selin.

"Mama kamu." Ran menunjukkan layar ponsel yang sedang menyala, terdapat panggilan masuk berkedip di sana, dengan nama kontak terbaca 'Tante Gabi'.

"Angkat, angkat, buru!" Selin mendesis, membuat Ran mengangguk dan buru-buru menempelkan gawai tersebut di telinganya.

"Haloh, ya Tante... mmm, iya. Iya ini lagi sama Selin, kok. Oooh... iya. Iya, he'em...."

Tak sampai dua menit percakapan telepon itu, dan selama itu pula, Selin tak putus memperhatikan mimik Ran dan nada bicaranya.

"Apa katanya?" Selin tak sabar.

"Kita disuruh mampir Gramed, Sel. Suruh beli buku latihan soal." Ran menjawab seraya kembali mengantongi ponselnya.

"Aduuuh, tuh kan, mamaku jadi galak masalah sekolah, ketularan mama kamu." Selin menggerutu, sementara Ran hanya nyengir mendengarnya.

"Lagian nggak salah juga, kok. Kita kan udah kelas tiga." Ran berkata seraya menyamakan langkah mengiringi Selin.

Mereka berdua sedang menuju foodcourt, destinasi awal setelah belanja baju.

"Ya tapi kan kita udah les hampir tiap hari, dari pagi sampe sore, belum lagi malemnya kadang disuruh belajar bareng. Padahal kan kalau kita sleepover niatnya mau main, ya kan?"

Lagi-lagi, Ran hanya bisa nyengir. Omelan Selin terus berlanjut saat mereka memesan makanan—Selin burger sapi, Ran nasi ayam Hainan—dan tampaknya tidak akan berhenti sampai mereka selesai bersantap siang.

Sepertinya, jalan-jalan hari itu juga merupakan sarana bagi Selin untuk menumpahkan rasa lelahnya atas belajar. Sementara Ran, seperti biasa, menjadi tempat sampah yang menampung semua keluhan.

Saat menuju toko buku untuk melaksanakan perintah Tante Gabi, Ran dan Selin berpapasan dengan segerombolan remaja berwajah familier. Geng VIP.

"Gila lo ya, jalan sendiri-sendiri. Gabung lah, gabung!" Olivia si ketua geng langsung menyandera lengan Selin yang bebas dari keranjang belanjaan baju.

"Iya, nih! Film kita mulainya masih setengah jam lagi, masih ada waktu buat beli boba." Monic menanggapi.

"Kita juga lagi pada mau foto-fotoan di photobooth situ, loh... eh, liat nih, Sel." Carol mengaduk sesuatu di dalam tas tote-nya, lantas menunjukkan benda itu ke Selin. Sebuah lightstick berbentuk mahkota berwarna kuning. Atribut resmi penggemar BigBang.

"Omo, omo!" Selin megap-megap. "Ini... official kan, ini? Yang dari Jepang kemarin bukan, sih? Mau foto-foto pake ini?"

"Iya!" jawab Olivia. "Kita mau nyetok foto untuk di-upload ke Twitter kalau salah satu member ada yang ultah. Nanti caption-nya gini... 'saengil chukkae (selamat ulang tahun), Oppa! We are VIP Indonesia'! Gitu."

"Sumpah demi apa?! IDE KALIAN KEREN BANGET! Untung aja pas kita ketemu di sini. Bakal nggak rela banget kalau kalian sampe foto-foto tanpa aku! Apa lagi nanti kalau di-notice sama member BigBang beneran... aaaaah, bisa mati kecewa aku!" ujar Selin.

Keriuhan kelompok remaja itu kian tergusur saat mereka melangkah kompak ke sisi lain mal di lantai itu, arah photobooth.

Ran yang sedari tadi tersisihkan menahan lidah untuk tidak mencampuri pembahasan mereka. Gadis itu sudah belajar dari kasus terdahulu, bahwa jika dia berbicara tanpa diminta, maka tatapan sinis dan abaian akan menjadi respons untuknya. Pasif agresif. Tidak menyenangkan

"Loh, Ran, kok diem? Ayo, nggak ikut foto bareng?"

Teguran Selin itu otomatis membuat Ran tergagap. Seluruh member geng VIP kompak diam, melempar pandangan bergantian ke arah belakang kepala Selin dan juga Ran. Pandangan tak setuju.

"Emmm... ng-nggak perlu, deh. Aku ke Gramed aja, beli buku soal yang disuruh mama kamu. Kalian... kalian foto-foto aja, nggak papa. Biar hemat waktu." Ran tersenyum dengan cepat, membuat alis Selin tertekuk.

"Yakin?" tanyanya.

"He'eh," jawab Ran.

Selin menggumamkan kata 'ya udah' pelan sembari membuka dompetnya, menyerahkan kartu kredit milik papanya pada Ran.

"Langsung ketemu di bioskop berarti, ya?" ucap Selin.

Ran menjawab dengan anggukan patuh.

**

"Posesip amat si, Par... lepasin tuh si Babang Ganteng, kasian doi kebelet pipis," ujar satu remaja cowok.

"Tauk ni Varda, gandol mulu ke Matt," sambung temannya yang lain.

Varda terkekeh. "Ya habis, kapan lagi coba Pangeran Tan mau diajak jalan-jalan. Mumpung ada kesempatan dikit, hehehe...."

Matt hanya tersenyum tipis, menyembunyikan kerisihannya atas gelagat Varda yang dengan ringan menggaet lengannya, sepenuhnya abai akan personal space dan ketidak nyamanan Matt.

"Jangan lama-lama, ya, pipisnya!" ujar Varda saat akhirnya melepas Matt, yang dibalas dengan lambaian tangan seadanya.

Matt dan rombongannya berpisah setelah menuruni eskalator lantai bioskop. Varda telah menyandera lengan Matt sejak menit pertama mereka duduk di depan layar raksasa. Kini, Matt sedang mencari cara untuk hengkang dari mereka. Walaupun sejenak, tak apa. Yang penting Matt bisa kembali mengumpulkan kewarasannya.

Rencana Matt untuk berlama-lama di toilet seketika bubar saat ia mendapati hantu tanpa wajah sedang berjongkok di pojok wastafel. Memang kamar mandi itu letaknya paling pojok, dekat tangga darurat, sehingga Matt tidak menyalahkan makhluk itu—yang kemungkinan besar tidak menemukan tempat singgah—untuk nyempil di sudut mal.

Akhirnya Matt memutuskan untuk hengkang. Jangan sampai hantu itu sadar bahwa Matt mampu melihat sosoknya, lebih-lebih nempel dan mengikuti. Pait-pait-pait!

Ketika baru saja keluar dari toilet, Matt merasakan sakunya bergetar dan langsung bernapas lega karena Selin baru saja mengirimkan pesan yang dapat menjadi alasan untuk lepas dari Varda dan antek-anteknya.

[Photo]

[Oppa, tolong beliin baju ini buat Ran. Dia suka banget tapi kayaknya tadi nggak enakan sama aku. Jadi nolak terus. Rencananya mau aku kasiin pas dia ultah aja. Beliin ya oppa? Nanti uangnya diganti pake uang papa.]

Matt tersenyum melihat terusan berwarna putih yang difoto oleh Selin, lengkap dengan nama toko hingga ancer-ancer lokasi raknya. Di dalam kepalanya, Matt sudah memikirkan berbagai kalimat alasan untuk dilontarkan ke Varda.

Sori, Var, aku disuruh beli barang titipan adik... tidak, tidak, kurang urgen.

Var, sori, harus cabut dulu. Ini disuruh ambil barang titipan adik, harus sekarang juga karena... temannya adikku, yang dititipin, yang kerja di toko itu, mau ganti shift.

Matt mengangguk puas sembari menyempurnakan skema dustanya, saat tanpa sadar ia melewati dinding kaca di sisi sebuah toko buku.

Matanya menangkap sosok familier yang sedang membolak-balikkan sebuah buku di antara rak novel bergenre horor. Kantong belanja berlogokan toko buku yang sama tersampir di lengan gadis itu. Rambut ikal terjun menutupi sebagian wajahnya yang sedang menunduk, bagaikan tirai yang membatasi fokusnya dengan dunia luar.

"Ran?" celus bibir Matt tanpa sadar.

Dia buru-buru mengecek arlojinya. Hmm, aneh. Film yang seharusnya ditonton oleh anak itu dan Selin sudah mulai sepuluh menit yang lalu.

Tanpa pikir panjang, Matt berjalan memasuki toko buku itu.

"Ngapain?"

Ran terperangah saat mendapati Matt sudah berada di balik bahunya. "K-kak—eh, Matt...."

"Kenapa sendiri? Selin mana?"

"Nonton... kayaknya." Ran menutup pelan novel yang ada di tangannya, lalu mengembalikan buku itu ke dalam rak semula.

"Kok kayaknya? Kamu kenapa nggak ikut?" Matt memicingkan mata.

"Eng... itu...."

"Kamu ditinggal sama mereka?"

Pelan, pelan sekali, Ran mengangguk.

"Kok bisa?" tanya Matt.

Ran menyodorkan tas belanjaan bukunya ke hadapan Matt dengan hati-hati, membiarkan cowok itu melongok ke dalam dan menemukan beberapa buku bank soal Ujian Nasional.

"Disuruh beli itu?"

Ran mengangguk.

"Terus pas ke bioskop, mereka nggak ada?"

Lagi-lagi, Ran mengangguk. "Udah aku tungguin lama padahal...."

"Nggak ditinggalin tiket, gitu? Biasanya kan dititipin di konter tempat beli tiketnya."

Ran menggeleng. "Udah aku tanyain, nggak ada."

"Chat?"

"Nggak dibales."

"Telepon?"

Ran meringis. "Nggak deh... kalau hape Selin bunyi di tengah-tengah studio, kasian, nanti malu-maluin. Udah nggak papa, Kak, aku juga nggak begitu suka sama filmnya, kok."

"Emang film apaan sih?" Matt mengerutkan kening.

"Fifty Shades...," gumam Ran.

Matt sukses menyamarkan tawanya dengan dehaman. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa Selin, adik kecilnya yang polos dan menyebalkan itu, bisa memilih film adaptasi novel erotika yang sedang ramai di jagad maya. Atau malah sebenarnya Selin nggak tau? pikir Matt.

Apa pun itu, tidak penting untuk sekarang. Matt harus memfokuskan pikiran dengan situasi saat ini. Sebab selain misi membeli baju idaman Ran yang sudah positif gagal, Matt juga tampaknya akan terjebak 'mengasuh' Ran selama—setidaknya—satu jam ke depan.

Ahhh, sial! Belum lagi....

Tok-tok!

Kereta pikiran Matt terhenti saat ketukan terdengar tepat di sebelah mereka, pada dinding kaca pembatas toko.

Di sana, sudah berdiri Varda dan teman-temannya, kompak melambai-lambai pada Matt—separuh isyarat untuk memanggilnya keluar.

Matt melirik sekilas ke arah Ran, yang tampak menciut di tempatnya berdiri.

Tanpa Matt sadari, tatapan tajam Varda lurus menembus tembok kaca, tak lepas memindai sosok Ran, dari atas ke bawah.

Pandangannya tidak suka.


À Suivre.
1727 mots.

btw ini dress yang ditaksir Ran. cantek, tak?

sampe sini belum kesampean tuh si Ran bawa pulang ni baju.
kira² dia jodoh nggak ya sama baju ini? 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro