Kuncup · 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil kumbang yang disupiri Sakti Pamungkas membelah jalanan Jakarta. Ayah Ran itu baru saja menjemput anaknya dari mal.

Di bangku kiri depan, Matt sedang memandang ke luar jendela. Sementara di belakang, Ran dan Selin duduk bersisian, membahas acara menginap mereka malam nanti sebagai tebusan maaf Selin yang tanpa sengaja menelantarkan Ran di bioskop.

"Besok minggu, begadang boleh kan, Yah?" tanya Ran dari kursi belakang, bersahut dengan gumaman 'he'em' yang merupakan persetujuan dari Sakti.

"Yess!" Kali ini Ran beralih pada Selin. "Aku nanti pengen pinjem komputer buat namatin DreadOut, boleh ya?"

"Hiiih, nggak mau! Takut!" Selin langsung menolak mentah-mentah ide tersebut.

Belakangan ini, Ran memang sedang terobsesi dengan gim karya anak bangsa yang sedang mendunia itu. Memang sih, ceritanya bagus dan bikin penasaran, tapi penampakan setan-setannya itu lho! Selin nggak mampu.

"Kalau mau main game hantu-hantuan, main aja sendiri! Aku tinggal tidur." Selin mengultimatum.

Rah tersenyum kecut. Andai laptop orang tuanya lebih canggih dan kuat mengoperasikan gim itu, maka Ran tidak perlu mengharap-harap pinjaman komputer yang ada di rumah Selin.

"Ya udah, nonton drakor aja, mau?" tawar Ran kemudian.

"Drakor apa?"

"Master's Sun."

"Yaaah... hantu lagi." Selin meniup poninya.

Ran hanya tertawa pelan dari kursinya, memikirkan bagaimana menggoda Selin semalaman bisa jadi lebih menyenangkan daripada bermain DreadOut atau menonton film horor. Selin mengingatkan Ran pada bibinya yang ada di Jogja, Bulik Jani. Mereka sama-sama penakut.

Sementara di kursi depan, Matt yang diam-diam mendengarkan, tanpa sadar berdecak pelan.

Ran dan obsesinya pada makhluk astral. Entah kabel mana yang terputus dari jaringan otak gadis itu, hingga bisa-bisanya dia mengabaikan logika untuk menghindari bahaya, dan malah menaruh minat lebih terhadap mereka.

Matt curiga ini karena Ran belum pernah melihat wujud asli makhluk-makhluk itu saja. Ran bisa saja hanya sekadar penasaran. Mungkin rasa penasaran yang tidak tuntas berhasil membuat gadis keriwil itu jadi kurang waras.

Entah bencana apa yang akan terjadi jika Ran sampai tahu rahasia besar Matt, kenyataan yang dipendamnya dalam-dalam di balik sikap dingin dan tak acuhnya. Ah, jangan sampai. Pasti kacau.

Mendadak lamunan Matt harus terputus saat ia terlonjak, merasakan rusuknya dicolek dari samping. Sakti tersenyum ke arahnya. Mobil mereka sedang berhenti tepat di bawah lampu lalu lintas yang menyala merah.

"Jangan ngelamun terus, Matt, nanti kesurupan lho," ujar Sakti.

Matt tersenyum kaku. "Ya, Om."

Sambil menunggu arus lalu lintas lancar kembali, Sakti melanjutkan obrolan. "Kamu pasti heran ya, kok yang jemput kalian dari mal itu Om, bukannya papamu?"

"Mmmm... sedikit." Matt mengaku. "Memangnya Papa ke mana, Om?"

Matt memutuskan untuk merespons lemparan topik dari Sakti, sekadar demi mengalihkan pikirannya dari adik durhaka yang sukses membuatnya 'mengasuh' Ran selama di mal tadi. Matt belum sempat memarahi Selin. Mungkin nanti di rumah.

"Papa kamu nggak bisa jemput karena dia lagi ada interview pegawai baru di toko bunga." Sakti menjawab sambil menginjak gas.

Mobil mereka sedikit terlonjak saat Selin, dari bangku belakang, tiba-tiba mendorong tubuhnya di antara kursi depan.

"Om! Mau dong, ke toko!" pekik Selin dengan girang.

"Heh! Bocah, nyambung aja. Nggak denger tadi katanya Papa sibuk interview di toko?" Matt mendelik ke arah adiknya, membuat si bungsu mengerucutkan bibir.

"Kan bisa ditungguin...." Selin memainkan nada bicaranya dengan manja. "Ya Om ya? Aku pengen ke toko bunga kita, boleh ya?"

Sakti terkekeh mendengar ocehan sahabat putrinya itu.

"Ya, ya, boleh. Toh ini searah juga kita. Matt, nggak masalah kan, kalau kita mampir dulu? Selin kayaknya mau lihat hasil buruan Om dari Bumiaji, nih."

Alih-alih Matt, malah dua gadis di kursi belakang yang menyahut.

"Om dari Malang?!"
"Ayah kapan ke Bumiaji-nya??"

Selin dan Ran berseru hampir bersamaan. Sakti tertawa lebar melihat antusias dua putri di bangku penumpang itu. Dua-duanya mengindikasikan satu nada protes yang sama: kenapa mereka tidak diajak mengunjungi kecamatan penghasil mawar terbesar di Indonesia itu.

Pasalnya, sakti sudah menggembar-gemborkan tempat-tempat strategis yang memproduksi bunga segar langsung dari petani selama beberapa minggu terakhir; Malang, Bogor, dan Bandung. Menjadi kota dengan lokasi terjauh—di bagian Timur Jawa—Malang adalah opsi paling tidak menguntungkan dari segi transportasi.

Namun, ada faktor tertentu yang membuat Sakti menaruh minat pada kecamatan daerah Batu itu. Bagi Ran dan Selin, faktor ketertarikan Sakti pasti tidak jauh beda dari asumsi menyenangkan mereka: liburan.

"Ayah, kan rencananya kita ke Bumiaji itu kulakan sambil jalan-jalan! Kok Ayah tega sih, ke sana duluan? Lagian kapan ke sananya, kok cepet??" protes Ran, kekecewaan berkolaborasi dengan nalarnya, menuntut penjelasan sang ayah.

"Iya nih, Om. Padahal kan udah rencana dari jauh-jauh hari kita mau liburan sama-sama...." Selin menimpali.

"Tenang dulu...." Sakti menjawab sambil sesekali melirik kaca spion kanannya. Mereka sedang berbelok di tikungan dekat tempat tujuan mereka.

"Ayah itu borong bunganya dari online, Ran... tuh, baru sampai tadi pagi. Sekarang sudah siap kirim, tadi dibantu Buk Mina buat rampungin karangannya. Banyak banget order-an yang masuk," papar Sakti dengan semringah. Dia menyebut nama ART yang biasa membantu di rumah keluarga Lafleur-Tan.

"Itu sebabnya Om Sakti dan Papa hire pegawai baru di toko bunga, ya? Butuh tenaga ekstra?" Matt bertanya sambil mengingat-ingat potongan informasi sebelumnya.

Ah, ini berarti kabar baik. Jika mereka membutuhkan pekerja tetap selain Buk Min, itu berarti bisnis papanya sedang berkembang.

"Ya, betul," jawab Sakti.

"Is it all roses? Ada sisa nggak, Om??"

"Kebanyakan, iya. Mawar. Kayaknya ada beberapa tangkai yang jadi surplus, Sel, nggak kepake. Kamu mau bawa pulang? Taruh kamar?" tanya Sakti.

"Iya!" jawab Selin antusias.

Banyak hal yang membuat Selin bersemangat. Selain idol K-pop, pakaian cantik, aksesori, dan kelincinya Song Mi-jin, Selin juga sangat menyukai bunga-bungaan.

Semenjak berteman dengan Ran, Selin sering mengagumi hasil tangan Om Sakti berupa kebun bunga di rumah mereka.

"Di komplek ini cuma rumah kamu yang tamannya mirip kebun raya, Ran!" puji Selin suatu siang, sambil menikmati es markisa gula pasir di teras rumah sahabatnya itu.

Peraturan di rumah Ran melarang keras siapa pun untuk memetik tumbuhan hidup, membuat Selin tak habis akal dan mengumpulkan rontokan bunga cempaka dan sedap malam untuk dirangkai menjadi flower crown, sebuah mahkota yang mempercantik hasil swafoto Selin untuk dipajang menjadi foto profil di sosial media.

"Tubereuse ini wanginya nempel di rambutku sampai besok malemnya lho, Ran! Wanginya enak banget. Coba aja kalau ada shampo bau ini, pasti aku beli. Apa deh nama Indo-nya bunga ini? Sedap malam, ya?" ucap Selin di lain waktu.

Ran juga kerap mendapati Selin menata sisa-sisa bunga dari toko mereka ke dalam vas bening berisi air, diletakkan di dalam kamarnya. Setiap minggu, isi bunga di sana bisa berbeda-beda, dengan berbagai macam warna.

"Nah, kita sampai."

Suara Sakti bagaikan komando yang mempersilakan penghuni mobil untuk keluar. Ran dan Selin berjalan beriringan, sementara Matt turun tak lama setelahnya.

Papan sign yang tergantung di balik pintu kaca menampilkan tulisan 'tutup', lantai bawah pun terlihat sepi. Pintu tidak terkunci, dapat dibuka dengan mudah oleh Selin yang tiba pertama.

"Halooo... Papa?" panggil Selin begitu memasuki toko.

"Lagi keluar kali, ya? Harusnya sih interview-nya udah selesai," sahut Sakti yang baru masuk toko. "Ke mana ya, kira-kira," lanjutnya dalam gumaman.

Matt yang baru masuk langsung berinisiatif mengecek lantai dua, tempat yang difungsikan menjadi kantor dan tempat istirahat alakadarnya. Namun saat baru menaiki dua anak tangga, langkah Matt terhenti tatkala ia berpapasan dengan seseorang.

Seorang perempuan yang baru pertama kali dilihatnya. Perempuan berwajah Indonesia asli, tidak begitu tinggi, namun dalam sekali kedip saja Matt sudah bisa menilai kalau wajahnya manis—setidaknya, tampang di atas rata-rata.

"Eh...," refleks perempuan asing itu.

Matt bangkit dari keterkejutannya dengan cepat.

"Siapa kamu?" tanya cowok itu.

"Sa... saya Lastri."

"Siapa??"

"Oh! Sulastri, ya? Salah satu pelamar yang mau kerja di sini?" Suara Sakti memperjelas situasi. Matt menoleh ke arah belakang, tempat lelaki itu berdiri.

"Kamu yang diwawancara terakhir, kan? Baru selesai? Lama juga, ya...." Sakti kembali berucap sambil mengecek arlojinya.

"Iya, Pak. Tadi ditanya-tanya lumayan banyak sama Pak Victor," jawab Lastri, membuat Sakti mengangguk-angguk paham.

"Papa ada di atas?" sela Matt, membuat Lastri mengalihkan pandangan padanya.

"Ya?" bingung Lastri.

Melihat kebingungan perempuan itu, Sakti mengintervensi. "Eeee, ini anaknya Pak Victor."

"Oooo...," gumam perempuan itu. "Pak Victor ada, di atas. Emmm... saya permisi dulu nggih, Pak, Dek... mari."

Perempuan muda itu menunduk hormat sebelum hengkang dari toko. Matt tak putus memandangi punggungnya hingga menghilang di belokan jalan.

"Dia... calon pegawai tadi, artinya berdua aja di toko ini, sama Papa?" Matt beralih ke arah Sakti yang sedang melayani Selin, memilah-milah sisa mawar potong.

Perkataan Matt barusan berhasil menghentikan kegiatan mereka berdua.

"Hmmm... kayaknya, iya. Tapi—"

"Berapa lama, Om?" potong Matt.

"Apanya berapa lama, Matt?" Suara lain memotong percakapan itu.

Victor Lafleur sudah berdiri di anak tangga terakhir.


À Suivre.
1390 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro