Kuncup · 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi di kediaman Lafleur-Tan diramaikan dengan suara Celine yang menuruni anak tangga, lengkap dengan koper berwarna pink yang diseretnya. Remaja itu tergopoh sembari mengedarkan pandangan, berharap seluruh anggota keluarganya sudah siap juga.

"I'm all done! Aku sudah siap pergi, Mama. Di mana yang lain?"

Kenyataan yang tersaji membuat Celine cemberut. Di ruang tamu, hanya terdapat mamanya yang sibuk berkutat dengan BlackBerry di tangan.

"Ma? Yang lain ke mana?" Celine mengulangi pertanyaan, berusaha menarik perhatian sang mama.

"Kakakmu masih packing, papamu masih di toko bunga." Gabriella menjawab tanpa memutus kontak mata dari gawai.

"Hah? Kok masih di toko? Kita kan berangkat jam delapan!" Celine mengomel tak terima, terlebih lagi arloji di tangannya menunjukkan angka 7.52.

"Lagi briefing pegawai, katanya. Sudahlah, Celine, ditunggu saja. Nanti juga dia datang." Gabriella menjelaskan seakan tak ada beban sama sekali. Mendengar itu, putri bungsunya langsung cemberut.

"Mama! Kalau kita terlambat gimana?? Kan Papa yang bawa mobilnya!" Nada tinggi Celine membuat Gabriella menurunkan ponsel.

"Kalau kamu sebegitu terburu-burunya, ikut saja mobilnya Om Sakti sana."

Celine membanting kopernya hingga terjatuh ke lantai. Emosinya semakin menjadi.

"KALIAN SEMUA NYEBELIN!" jerit anak itu sebelum lari menaiki tangga ke lantai dua.

Sepeninggal putri bungsunya, Gabriella menghela napas. "Kayak nggak tau aja orang sini punya kebiasaan jam karet," gumamnya.

**

Fortuner hitam yang dikendarai Victor Lafleur menepi di depan kediaman keluarga Kuncoro, 15 menit sebelum jam sembilan. Molornya waktu tiba mereka berdampak pada mood si bungsu yang sudah resmi menjadi kacau. Celine menekuk wajah dan melipat tangan, duduk di kursi belakang, di sebelah kakaknya.

"Sudah siap semua?" Ayah Sakti mengkonfirmasi sekali lagi, memastikan anggota keluarganya sendiri sudah masuk ke dalam mobil kumbang miliknya.

"Siap Ayaaah!" Ran menjawab dengan semangat dari jendela yang terbuka. Ran melambaikan tangan kepada Celine, di mana sahabatnya itu membalas lambaian dengan minat minimalis.

"Kita bisa berangkat sekarang." Gabriella memberi instruksi dari kaca jendela yang diturunkan, tepat di sisi kiri kursi depan mobil Fortuner.

Ayah Sakti mengacungkan jempol, dan beberapa saat kemudian, mobil kumbang melaju lepas memimpin jalan. Perjalanan dua jam 45 menit menuju kota Bandung pun dimulai.

Dua mobil itu membawa dua keluarga dengan atmosfer yang sama sekali beda.

Di mobil kumbang keluarga Kuncoro, suasana riang terlihat dari kaca transparannya, di mana tampak kepala keriting Ran yang bergoyang-goyang, menunjukkan gadis itu sedang—entah menari atau menyanyi—bersama ayah bundanya di dalam mobil.

Sementara di Fortuner Lafleur-Tan yang mengekor tak jauh, suasana terasa muram. Sejujurnya, Matt tak ingat kapan terakhir kali kedua orang tuanya saling bertukar senda gurau. Ditambah lagi, mamanya adalah orang yang kelewat serius. Jarang tersenyum dan tertawa—meskipun sang papa sering melemparkan canda, rasanya jadi tak lucu di hadapan mama.

Matt mengedarkan pandangan ke luar jendela. Setengah jam perjalanan berlalu dari rumah mereka, tiba-tiba lamunan Matt buyar dan cowok itu menepuk kursi depan dengan panik.

"Ma, Mama... kita harus kembali."

"Loh, kenapa?" Gabriella mengawasi putranya dari kaca tengah. Sulung itu tidak terlalu sering mengeluarkan ekspresi ekstrim, tapi kali ini tampak jelas gurat keresahan di wajahnya.

"Dompet aku ketinggalan."

Mendadak mobil hening, namun tetap melaju tanpa mengurangi kecepatan. Butuh beberapa detik yang sunyi sebelum Matt mendapat respons, kali ini dari Victor yang sedang menyetir.

"Sudahlah, kasihan kalau keluarga Ran harus nunggu lagi," ucap sang papa.

Seketika Selin menyalak, "Yang bikin nunggu lama itu kan Papa!"

Tampaknya, si bungsu belum rela melepaskan kekesalan pagi tadi.

Matt menyandarkan diri. Tinggal tunggu hitungan detik sampai Celine membuat kegaduhan lagi, dan mamanya akan menegur, seperti yang sudah-sudah.

Cowok itu menghela napas, menelan kegundahannya sendiri. Mengunci mulut dan tidak protes adalah cara paling jitu untuk mendapat ketenangan.

"It's okay, Matteo. Semua akan baik-baik saja," ucap Gabriella, seakan paham akan kegundahan Matt mengenai dompet yang tertinggal—beserta kertas hu di dalamnya.

"Ya," jawab Matt sekilas. Dia bohong. Dia tau ini tidak baik-baik saja.

Empat tahun lebih Matt menyimpan kertas jimat dari I'ie Jia, benda yang meredam energi dan membuat cowok itu invisible, tak terlihat di mata 'mereka'.

Tak pernah sekalipun Matt berpisah dengan benda penting itu. Kini, tanpa kertas ajaib tersebut, bisa dipastikan amplifikasi teror dari semua makhluk di sudut-sudut sekeliling Matt akan terasa semakin nyata.

Cowok itu hanya bisa berharap, semoga dia mempunyai kekuatan untuk menahan diri selama liburan yang pastinya akan menjadi neraka ini.

**

Hampir tiga jam rombongan dua mobil itu melaju ke arah Timur. Semakin dekat tempat tujuan, kontur tanah semakin menanjak, sisi-sisi jalan semakin asri dengan hijau pepohonan, serta hidu udara yang semakin segar.

Vila mereka terletak di sudut kota Lembang. Bangunan dua lantai yang berdiri tunggal di sebuah bukit, menyajikan pemandangan perkebunan dan hutan pinus di segala sisi jendela. Tepat di bawah bukit itu, terdapat aliran sungai. Gemericik suara airnya terdengar hingga seantero isi rumah, bagaikan gerimis berkepanjangan yang menghipnotis tamu-tamu yang datang.

Dua mobil itu menepi di halaman yang luas, berlapiskan rumput jepang dan berbagai tanaman hias. Tampak sangat terawat. Paviliun kecil yang menjadi wilayah pengurus vila terdapat tak jauh dari sana, di seberang halaman.

Dari pintu paviliun itu, keluarlah seorang lelaki paruh baya berbadan cungkring dengan jaket dan topi rajut, menyambut rombongan keluarga Kuncoro dan Lafleur-Tan yang baru saja tiba.

"Sampurasun, selamat siang. Saya Tatang, yang jaga di sini. Ini Bapak Sakti sekeluarga, ya?" ucap lelaki itu ketika Sakti turun dari mobilnya.

Mereka lantas berjabatan tangan, diikuti Gabriella yang turun dari mobil dan mendekat. Tampaknya mama yang perfeksionis dan selalu in control ini harus terlibat.

"Iya, saya Sakti. Oh iya, perkenalkan ini..."

"Gabriella."

Lalu mereka lanjut mengobrol singkat, menunjuk-nunjuk anak-anak mereka sekilas, dan berbasa-basi mengenai perjalanan dari Jakarta. Lelaki penunggu vila menyimak dengan khusyuk, mengangguk sesekali.

"Baik Pak, Buk, ini mau langsung saja tur vilanya atau mau turunkan barang-barang dulu?" ucap lelaki bernama Tatang itu.

"Oh, ya. Masukkan barang dulu habis itu ajak kita keliling, ya, Mas—eh, Kang." Sakti memberikan cengiran ramah.

"Muhun (baik), Pak. Mangga saya bantu."

Dengan sigap Tatang membawa beberapa tas sekaligus. Matt menolak saat ranselnya hendak diminta. 'Biar saya saja', ucap cowok itu.

Di tengah perjalanan memasuki vila, Matt mendengar celetukan Om Sakti.

"O iya, Kang Tatang ini nyewakan vila sekaligus jualan cendol, ya?"

"Eh, gimana, Pak?" bingung Tatang.

"Itu, kemarin pas di forum, bilangnya ada cendol-cendol gitu. Dikira mau nawarin dagangan. Hehe."

"Oooh, Hahaha. Bukan atuh, Pak. Itu cendol yang di KasKos teh tidak bisa diminum. Ada-ada saja Bapak ini, hahahaha."

Matt tidak mengerti potongan percakapan itu, dan di mana letak lucunya. Yang jelas, duo bapak-bapak itu lanjut tertawa bersama, tak putus selama beberapa detik berikutnya.

**

Ternyata interior vila ini tak kalah megah dari bungkus luarnya. Lantai kayu, dinding ber-wallpper, perabotan antik, juga lampu gantung di ruang tengah.

Tur singkat bersama Kang Tatang memberi kesimpulan bahwa hunian ini adalah rumah sementara yang memang pas untuk dua keluarga.

Dapur, ruang makan, dan dua ruang keluarga di lantai pertama, serta empat kamar tidur di lantai kedua. Bisa dipastikan tiap orang tua menempati masing-masing satu kamar, Ran dan Celine satu kamar, dan kamar terakhir akan ditempati Matt... sendirian.

Sialan.

Sebelum menaruh tasnya di kamar, Matt menyempatkan diri mapping sedikit tempat-tempat yang harus dihindari, dan dia menyimpulkan bahwa; sungai, halaman dekat paviliun (tepatnya pohon beringin), kamar mandi di pojok lantai dua, serta... hmmm, dapur, adalah tempat-tempat yang wajib dihindari selama menginap di sini.

Tempat-tempat itu terasa 'gelap' meski mentari di luar sedang tinggi-tingginya.

Kini, Matt sudah merebahkan diri di kamarnya. Beruntung kamar ini dilengkapi jendela besar yang memberi akses sinar matahari masuk, sehingga tidak terasa lembab dan horor seperti tempat-tempat terlarang tadi.

Matt membuka jendela lebar kamarnya dan membiarkan angin pegunungan masuk. Sejuk. Belaian udara segar dengan sedikit campuran bau pinus membuat Matt menarik napas dalam-dalam, seraya perlahan-lahan kepenatan selama perjalanan mulai menguap. Dalam hitungan menit, remaja itu sudah terlelap.

"Kakak... sakit. Tolong. Tolong..."

Suara itu menggema di telinga Matt. Suara anak-anak. Asing, Matt tidak kenal suara itu. Desau angin yang menggelitik telinga cowok itu membuat kelopak matanya bergerak konstan, menandakan kesadaran yang terusik di balik tidur dangkalnya.

"Sakit, Kak... tolong... TOLONG!"

Matt membuka mata. Jendela raksasa di kamarnya menyambut dengan tampilan langit yang sudah gelap. Tepat beberapa detik setelahnya, terdengar ketukan pintu dari luar.

"Matt?" Panggilan namanya itu menyertai ketukan pintu tersebut. Cowok itu buru-buru bangkit, sepenuhnya mengindahkan kepalanya yang mulai terasa berdenyut.

"Apa?" jawab Matt ketus setelah membuka pintu, mendapati gadis berambut ikal dengan tangan masih mengepal di udara—sisa mengetuk tadi—sedang berdiri kikuk di hadapannya.

"Anu... kamu masih di kamar?" ucap Ran hati-hati.

Pertanyaan bodoh. "Kenapa?"

"Itu, dipanggil Tante Gabi buat makan malam bareng."

"Oh." Matt mendengkus lalu berjalan keluar kamar, baru menyadari bahwa dia melewatkan makan siang. Pantas saja perutnya terasa kosong.

Mereka berjalan dengan Ran yang mengekor dari belakang. Tiba-tiba Matt berhenti, hampir membuat dahi Ran menabrak punggung kokohnya.

"Kok Mama nyuruh kamu, bukannya Celine?" tanya Matt, menyadari kejanggalan itu.

"Emmm... dia lagi istirahat di kamarnya. Selin sakit dari tadi, pas baru nyampe ke sini."

"Hah? Sakit apa?" Matt mengerutkan kening.

"Pusing, lemes. Masuk angin, mungkin." Ran menjawab dari balik punggung cowok itu, terdengar tak yakin.

Aneh, selama perjalanan tadi adiknya itu tampak baik-baik saja, tidak menunjukkan tanda-tanda mabuk perjalanan juga. Lagipula, Celine adalah anak aktif dengan fisik yang jarang sekali drop.

"Ooo," gumam Matt akhirnya. Dia tak ingin berasumsi apa-apa. Biarlah semua aman tentram di permukaan.

**

Menu makan malam hari ini adalah ayam bumbu kuning buatan Tante Ajeng. Terkhusus untuk Celine, mama Gabi sengaja mengukus nasi dengan air ekstra dan menaburkan suwiran daging ayam. Bubur emergency, katanya.

Matt duduk sambil memperhatikan adiknya di seberang meja makan. Ran tidak bohong. Celine sungguh tampak pucat dan tak bertenaga. Sebuah pemandangan yang aneh, seperti bukan adiknya.

"Habiskan buburnya ya, Ma Cheri (Sayangku)." Gabriella mengelus puncak kepala gadis bungsunya. Sekilas, Matt mengagumi sisi keibuan mamanya yang jarang sekali terlihat itu. Sebuah kasih sayang yang langka.

Sayangnya, Celine tidak menjawab. Seakan tidak mendengar, anak itu hanya mencelupkan sendok ke dalam bubur, lalu mencicip ujungnya, lalu menaruh sendok ke dalam mangkuk lagi dan membiarkan benda itu tenggelam.

"Mon Dieu (ya Tuhan)," desah sang mama sebelum mengambil alih sendok Celine, lalu mulai menyuapi si bungsu. Perlahan tapi pasti, Celine membuka mulut. Bagaikan auto-pilot, remaja itu menelan makan malamnya.

Keadaan yang sepenuhnya berbanding terbalik tampak di sisi kanan Gabi. Victor Lafleur menyantap makan malamnya tanpa beban, sesekali mengecek ponselnya yang kerap bergetar—tanda ada pesan singkat yang menuntut untuk dibalas.

Matt berusaha tidak ambil pusing. Namun, saat cowok itu mengunyah suapan pertamanya, tiba-tiba terdengar suara aneh yang berasal dari Celine.

"Hueeek!"

Si bungsu memuntahkan isi perutnya. Sang mama langsung memekik dan menjauhkan mangkuk, Ran membekap mulut, dan Matt menelan kunyahan dengan susah payah.

Sementara itu, tersangka jackpot di meja makan sedang memegangi perutnya sambil merintih. Celine seperti menangis tanpa suara, tanpa air mata.

"Kenapa, Cheri (Sayang)? Perut kamu sakit, Nak??" Gabriella mengambil tisu dan mengelap sisa muntahan di dagu putrinya. Celine semakin meringkuk dan memeluk perutnya.

"Bawa ke kamar aja dia," usul Ajeng sembari menyodorkan gelas air putih.

Gabi meraih gelas itu dan coba meminumkannya pada Celine, namun anak itu sama sekali tidak merespons.

"Astaga... VICTOR! Bantu anakmu ini!" Gabriella membentak saat melihat suaminya tak kunjung berbuat apa-apa.

Mendengar itu, akhirnya Victor mengangkat wajah dari ponsel, mengantongi gawai itu, dan bergegas membopong Celine.

Tak berselang lama, hanya tinggal Matt, Ran, dan Om Sakti yang masih bertahan di meja makan.

"Ayah... aku udahan makannya." Ran mendorong piringnya yang setengah penuh. "Aku mau nengokin Celine," lanjut gadis itu.

À Suivre.
1824 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro