Mekar · 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Demi menyambut tahun ajaran baru, Victor Lafleur membawa anak-anaknya untuk belanja keperluan sekolah—tas, buku tulis, hingga alat tulis yang baru. Ran turut serta diajak oleh paman yang dermawan ini.

"Papa! Mampir toko dulu ya, Pa? Aku mau minta bunga sisa!" Celine berujar dari kursi belakang, dengan semangat menubruk sandaran kursi papanya yang sedang menyetir. Beruntung mereka sedang berhenti di lampu merah.

"Harus sekarang?" tanya Victor balik sambil melirik dari kaca rear view. Dia bersitatap dengan anak bungsunya yang menyajikan tatapan yakin.

"Kamarku butuh bunga baru, Paaa," rengek Celine.

Dari kursi depan, Matt terdengar mendenguskan napas sambil menggumam pelan. "Lama lagi deh."

Semetara Ran, di kursi belakang samping Celine, hanya diam dan menonton drama keluarga ini sambil minum smoothie sisa makan siang di mal. Hari-hari dengan keluarga Lafleur-Tan selalu ramai dan menyenangkan baginya.

"Ya, ya, kita mampir sebentar saja." Akhirnya Victor menyerah, mengarahkan mobil mereka ke toko bunga kolaborasi ayah Ran dan Om Vic itu.

Lima belas menit kemudian, mobil mereka sudah terparkir di halaman toko.

Celine berlari dengan semangat memasuki pintu yang berdenting saat dibuka. Ran mengekor tak jauh di belakangnya, tertular excitement untuk mencari sisa-sisa rangkaian bunga.

Victor langsung melipir ke kafe seberang toko untuk membeli kopi dengan langkah terburu-buru, sementara Matt yang melihat papanya bersikap aneh itu hanya bisa memandang dengan mata menyipit.

Si sulung Lafleur-Tan lantas menyusul adiknya masuk ke dalam toko. Dia mendapati Celine dan Ran sudah sibuk memilah beragam bunga di meja kayu, dan seorang karyawati mengawasi dua gadis itu seketika membuat Matt tertegun. Dia Lastri.

"Koko, mau ke mana?" tanya Celine begitu melihat Matt hendak berjalan meninggalkan ruang utama toko, tampak ingin naik ke lantai dua.

"Ke... itu, bentar." Matt menunjuk tangga sembarangan. "Kamar mandi."

"Oooh. Oke!"

Sementara Celine kembali sibuk merangkai bunga, Matt bisa merasakan pandangan Lastri berlabuh agak sedikit lama kepadanya. Terlalu lama.

Cowok itu pun mempercepat langkah kaki menaiki anak-anak tangga.

Ruangan istirahat kosong sama sekali. Jendela yang ditutup kain berwarna putih, juga sebuah air purifier yang menguarkan wangi-wangian rempah menyambut penciumannya. Sekilas Matt menyapukan pandang ke seisi ruangan. Bulu kuduknya meremang.

Sesuatu terasa berbeda, tidak sama seperti saat terakhir kali Matt mengunjungi toko ini beberapa minggu lalu. Ada yang salah dari tempat ini.

Intuisinya tertarik pada pintu yang tertutup, akses menuju balkon. Sekarang jam empat sore, matahari masih tinggi, sehingga Matt punya keberanian lebih untuk mengikuti kata hatinya melangkahkan kaki ke sana.

Hidung cowok itu mengerut tatkala bau rempah air purifier mulai berganti ke sesuatu yang lain. Penciumannya menangkap sesuatu yang harum, sedikit menyengat, dan tak pernah dia temui sebelumnya.

Apa yang kamu sembunyikan, perempuan aneh?

Matt tidak mampu menahan batinnya bertanya-tanya. Diraihnya kenop pintu balkon itu, yang ternyata tidak dikunci, dan perlahan, cowok itu mendorongnya hingga terbuka.

Matahari sore Jakarta menyambutnya, bersamaan dengan awan putih abu-abu yang mengambang di kejauhan.

Tapi fokus Matt tetap terarah pada satu hal; satu aroma, yang kini semakin kuat. Cowok itu tercengang saat mendapati dari mana sumber bau-bauan itu berasal.

Di sudut balkon, terletak di antara pot-pot tanah liat, ada sebuah sesajen dengan 'mangkuk' segi empat yang terbuat dari janur kuning, diisi pinang, kapur, kelopak mawar dan dupa bakar yang mengeluarkan aroma pekat.

Matteo bisa merasakan tenggorokannya tercekat—sukar menelan ludah. Setelah beberapa saat berusaha memproses apa yang ada di depannya, cowok itu merogoh saku untuk mengambil ponsel, lalu memfoto benda yang ditemuinya di sudut balkon itu.

Selama mengambil beberapa foto, dia mendadak bersyukur karena mereka mengunjungi toko sebelum gelap. Entah makhluk apa saja yang akan mengerumuni asap dupa itu ketika waktu magrib tiba. Matt bergidik membayangkannya.

Akhirnya setelah merasa puas mengumpulkan bukti, cowok itu menutup pintu balkon dan beranjak turun ke lantai bawah, berniat segera mengajak adiknya pulang.

Namun saat menjejaki anak tangga pertama, cowok itu mendadak menghentikan langkah karena hampir saja menabrak seseorang yang tiba-tiba berpapasan dengannya. Lastri.

"Lho, sudah selesai ke kamar mandinya, Mas?" tanya pegawai toko bunga itu dengan senyum semanis gula Jawa.

Sikap ramah itu tidak serta-merta melelehkan pertahanan Matt, alih-alih malah membuatnya semakin siaga.

"Iya, Mbak," gumam cowok itu. "Saya... turun dulu. Celine sudah selesai kan?"

"Belum, itu masih bikin-bikin sama anaknya Pak Sakti. Mereka nanyain Mas, makanya saya susul ke sini." Perempuan muda itu menunjuk ruang bawah dengan ibu jari.

"Oh." Cowok itu kemudian mengangguk paham dan buru-buru turun. Dia tidak suka lama-lama bersitatap dengan pegawai ayahnya itu. Ada sesuatu tentang perempuan itu yang membuatnya enggan bercengkerama.

**

Malam hari di kediaman megah keluarga Lafleur-Tan, Matt masih terjaga di dalam kamarnya, memain-mainkan ponsel yang layarnya gelap sambil melirik jam dinding. Hampir pukul sepuluh. Mamanya belum pulang.

Cowok itu lantas memutuskan untuk menunggu di lantai bawah, berniat menyalakan TV agar rumah tidak terlalu sepi. Ternyata, dia sudah keduluan seseorang. Adiknya ada di sana, duduk sambil menggenggam remote, mengganti-ganti saluran.

"Celine? Kok belum tidur?" Suara Matt membuat adiknya menoleh.

"Koko...." Remaja itu menoleh, seketika jemarinya berhenti menekan-nekan tombol remote. "Iya, aku nggak bisa tidur. Papa belom pulang."

Memang setelah makan malam, papa mereka keluar lagi dengan mobilnya, entah pergi ke mana. Si sulung lantas duduk di samping adiknya, menemani bocah yang kini melanjutkan petualangan antar-saluran TV.

Dua menit penuh Matt menunggui Celine yang akhirnya berhenti di saluran kartun, menonton tanpa banyak bicara. Celine tampak benar-benar menikmati tontonannya, sementara pikiran Matt berkelana ke tempat lain.

Cowo itu kembali fokus ketika mendengar suara mesin mobil dari depan rumah. Mobil mamanya, orang yang sudah ditunggunya sedari tadi.

Ketika Gabriella baru saja menjejaki ruang tamu, Matteo sudah menyambutnya dengan derapan angkah yang terburu.

"Mama," panggil putra sulung itu. "Aku mau menunjukkan sesuatu."

Gabi melirik sakilas sebelum melempar pelan tasnya ke atas sofa. 

"Nggak bisa besok saja? Mama capek sekali, tadi menemani tur tamu negara sampai malam, nggak bisa langsung pulang karena masih ada urusan sama Bang Melvin."

Wanita itu memijit pelipisnya, memberikan putranya sedikit gambaran akan hari yang berat. Belakangan, Matt sering mendengar nama yang disebut-sebut mamanya sebagai notaris yang mengurus harta gono-gini itu. Mama sedang bersiap-siap.

"Sebentar aja, Ma. Lihat ini...." Matt menyodorkan ponsel dari sakunya, menampilkan sebuah foto di galeri gawai itu.

Gabi memicingkan mata lalu meraih ponsel putranya, mulai menggeser gambar beberapa kali. "Apa ini?"

Matt mengangkat bahu. "Aku nemuin itu di balkon toko. Menurut Mama, apa ini..." Cowok itu tidak berani mengeluarkan kata guna-guna.

Dia berusaha membaca ekspresi mamanya, entah apa yang disimpulkan dalam kepala wanita itu. Mama bukan orang yang percaya ginian, tapi dia pasti ngerti.

"Hmmm," gumam Gabi sekilas. Wanita itu lalu mengembalikan ponsel putranya.

Melihat tidak ada respons serius, Matt coba sedikit mendorong. "Qu'en penses-tu (gimana pendapatmu), Mama?"

Gabriella menipiskan bibirnya, seakan berpikir, lalu menatap Matt sekilas. "Toko bunga itu kan tanggung jawab papamu dan Om Sakti. Jadi, apapun yang terjadi di dalam sana, nggak ada sangkut pautnya sama Mama."

"Ma...." Matt hendak protes, kecewa.

"Matteo, ingat," potong Gabi. "Yang andil di sana bukan hanya papa kamu, melainkan juga Om Sakti."

Penekanan di kalimat akhir sang mama berhasil membuat Matt bungkam. Segala sesuatu yang bersangkutan dengan keluarga rekan papanya itu memang sering menimbulkan tanda tanya. Untungnya, belakangan ini Matt seakan mempunyai kunci jawabnya.

"Ya udah. Aku naik dulu." Cowok itu pamit pada sang mama, dengan niatan dalam hati akan secepatnya menunjukkan bukti gambar temuannya tadi pada Tante Ajeng. Dia yakin, perempuan itu pasti punya penjelasan yang lebih memuaskan.

Satu hal yang Matt tidak tahu malam itu, bahwa sang papa tidak pulang semalaman.

Lelaki itu bermalam di tempat lain, yang membuat tak hanya Gabriella gelisah menahan cemas dan perasaan marah yang terpendam, tapi juga Celine, yang masih menunggu papanya pulang sampai tertidur di depan TV.

**

À Suivre.
1234 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro