Mekar · 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mencari momentum untuk bertemu dengan mentor barunya, Tante Ajeng, bukanlah hal sulit bagi Matt.

Sulung keluarga Lafleur-Tan ini hanya butuh menunggu beberapa hari sebelum adiknya merengek minta ditemani ke rumah Ran lagi. Dengan ringan hati, sang kakak menemani.

"Nah, ini dia yang ditungguin Ran dari tadi."

Jani yang kebetulan berada di teras menyambut kedatangan dua Lafleur-Tan bersaudara. Dia kemudian memanggil Ran, sambil menggiring mereka masuk ke dalam rumah.

"Tadi pagi Mbak baru aja selesai packing, kirain kalian nggak jadi datang. Bentar ya, tak ambilin dulu." Jani pamit sebelum pergi ke kamarnya, meninggalkan Matt yang bertanya-tanya.

"Ini ada apa, sih?" Matt menoleh pada adiknya, yang kedapatan sedang berbisik-bisik seru dengan Ran.

Si bungsu menghentikan kegiatannya untuk beralih pada Matt.

"Ini, Mbak Jani udah mau pulang ke Jogja, terus katanya dia mau bagi-bagi make-up buat aku sama Ran. Seru, kan? Eh, Koko tunggu sini aja ya, aku sama Ran mau nyusulin. Yuk, Ran."

"Tapi..." Matt diabaikan. Dua gadis remaja itu sudah hilang di balik pintu kamar tamu.

Cowok itu mengembus napas guna menahan kesabaran. Dia sebenarnya ingin menanyakan keberadaan bundanya pada Ran agar bisa segera menjalankan misi pribadinya

Sekarang, Matt hanya bisa menunggu Ran dan Celine menyelesaikan kegiatan mereka dengan sabar, supaya setidaknya bisa berbicara dengan Mbak Jani mengenai hal ini.

Sambil menunggu, Matt mengeluarkan ponselnya. Dia membuka beberapa artikel mistis dan utas di Twitter, membaca pengalaman orang-orang.

Di tengah-tengah kegiatannya itu, Matt mendengarkan suara motor yang berhenti di depan rumah ini, lalu tak lama pintu depan terbuka. Cowok yang sedang duduk di salah satu sofa ruang tamu itu langsung berhadapan dengan wanita yang sedari tadi ditunggunya.

"Lho, Matt, di sini?" sapa Ajeng sambil melepas sepatu pantofelnya.

"Iya, Tante baru balik dari kampus? Kebetulan banget, sebenernya saya ke sini juga mau ngomong sama Tante."

"Ada apa?" Ajeng duduk di hadapan cowok itu, siap menaruh perhatian.

Matt segera membuka galeri ponselnya dan menunjukkan foto penemuan di toko kepada Ajeng. Wanita itu mendekat, meneliti layar ponsel Matt selama beberapa saat.

"Ini di toko?" ulang wanita itu setelah mendengar penjelasan Matt.

"Iya. Tante tau ini apa?"

Ajeng mengangguk pelan. "Kayaknya... ini canang sari."

Mata Matt berbinar karena akhirnya mendengar jawaban pasti. "Itu buat guna-guna orang ya, Tante? Kayak love pell buat bikin orang jatuh cinta??"

"Eh? Enggak." Ajeng mengembuskan tawa. "Canang sari ini sesajen khas Bali, Matt, bermakna ucapan terima kasih sekligus berserah diri atas materi dan waktu kepada Sang Pencipta."

"Bali?" ulang Matt. "Berarti bukan Tante atau Om Sakti yg naruh?"

Praduga cowok itu berbalas gelengan kepala Ajeng. "Bukan, ini kerjaannya si Lastri. Dia asal Bali, kan? Dia juga udah ijin kok, dan kita juga fine-fine aja dia ngejalanin tradisinya di tempat kerja. Itu tandanya dia sayang sama toko kita."

Kening Matt mengerut. Memang dia sempat menaruh kecurigaan kuat pada pegawai perempuan itu.

"Sesajen kayak ginian nggak bawa efek negatif, Tante? Ini kan, ibaratnya kayak... buffet gratis, makanan buat makhluk halus. Nggak takut bakal ada yang nyangkut di toko?"

Ajeng lagi-lagi menggeleng. "Matt, kan Tante udah pernah jelasin, intention create attraction. Positif dan negatif itu kayak magnet yang saling tarik-dorong. Apa yang baik, maka akan menarik yang baik juga, menolak yang buruk."

Penjelasan itu semakin membuat Matt merengut, merenung.

Melihat remaja di hadapannya tampak tak puas, Ajeng pun melanjutkan. "Tante yakin niatnya Lastri baik, kok. Apa sih, yang kamu khawatirkan?"

Matt membuka mulut untuk menjawab, lalu menutupnya lagi. Dia berpikir ulang untuk menceritakan hal ini pada Ajeng atau tidak. Apa nggak terlalu sensitif?

Namun mendadak, Jani muncul dan bergabung ke ruang tamu, mendapati kakaknya dan Matt di sana.

"Loh, wis balik (udah pulang) Mbak? Kok aku nggak denger? Eh iya, Matt, mau minum apa? Soda? Teh?"

Matt menoleh. "Nggak usah, Tante," jawabnya.

"Anak-anak di mana, Jan?" Ajeng bertanya.

"Itu, ndek kamarku main macak-macakan (dandan-dandanan). Eh, lagi ngomongin apa sih, kok kayaknya serius banget?"

Jani yang sangat tampak ingin tahu itu pun ikut duduk, menyambut penjelasan Matt tentang duduk masalah sesajen di toko bunga dengan antusias.

"Hmmm, ya, bener. Ini bukan yang kayak kamu pikirin kok, Matt." Jani mengangguk-angguk setuju dengan kakaknya, membuat remaja di hadapan mereka memiringkan kepala.

"Memangnya Tante ngira aku mikir apa?"

"Santet, guna-guna, lintrik." Jani menjawab dengan mulut bebasnya. "Kalau niatnya mau ngirim kiriman jahat begitu, biasanya ya ke rumah korban yang bersangkutan, bukan di toko."

Matt hanya bisa menganga atas ketepatan kalimat Jani. Meskipun tidak seratus persen akurat, namun tak ayal sikap protektif cowok itu sepertinya bisa terbaca juga.

Matt pun akhirnya mengangguk saja, merasa sedikit lebih puas atas rasa penasaran yang sudah dipendamnya selama beberapa hari ini. Demikian, rasanya masih ada yang mengganjal tentang perempuan itu. Tentang Lastri.

Bertepatan dengan itu, terdengar suara Celine dan Ran dari dalam kamar Jani, memanggil perempuan itu. Sepertinya acara bermain dandan-dandanan mereka belum selesai.

Akhirnya Jani pun menyusul dua gadis itu, meninggalkan Matt dan Ajeng.

"Ya wis Le, Tante mau mandi dulu. Kamu nggak papa kan nunggui adikmu sendirian di sini?"

"Iya, tapi..." Matt berpikir. Cowok itu ingin kedatangannya ke sini mendapatkan sebuah closure yang tuntas. "Tante... sama sekali nggak khawatir sama kehadiran Lastri, ya?"

Ajeng tidak jadi bangkit dari duduknya. "Kenapa, memangnya? Kok kayaknya kamu toh yang lagi khawatir banget?"

"Yaah, kan dia perempuan sendiri, Tante. Masih muda. Satu-satunya pegawai full time yang ada di toko enam hari dalam seminggu. Terus juga dia kerja sama laki-laki yang sudah beristri, tapi istri-istrinya sibuk kerja semua."

"Oh." Ajeng terkekeh. "Kayaknya kamu nggak lagi ngomongin Om Sakti, ya?"

Seketika Matt mengangkat wajah. Perlahan sekali, dia mengangguk.

"Kamu khawatir, papamu bakal kecantol? Ada cem-ceman di toko, iya?" tebak Ajeng, tepat sasaran.

Lagi-lagi Matt mengangguk.

Ajeng pun menghela napas. Sekilas wanita itu memperhatikan sekitar, memastikan obrolan mereka aman. Setelah yakin ruangan ini hanya berisi mereka berdua, wanita itu pun melanjutkan.

"Matt, dengar ya. Selingkuh itu nggak semata-mata karena sihir aja, tapi ada juga reaksi kimiawi manusia. The magic of attraction, cinta yang bikin klepek-klepek. Bisa juga karena watak, nggak tahan ngerasa bosan, ditambah sense of commitment yang miris—nggak menghargai komitmen dengan pasangannya."

Mendengar itu, Matt tersenyum tipis. "Tante nggak membantu."

"Hahaha, kamu ini." Tawa Ajeng lepas. "Tante cuma mau ngasih tau kalau kadang manusia bisa lebih jahat dari setan," lanjutnya.

Seketika Matt terdiam. Apa teman mamanya ini tahu sesuatu?

"Kamu nggak perlu khawatir, Matt. Permasalahan seperti ini bukan porsi kamu, nggak perlu kamu khawatirkan. Kamu sebagai anak harusnya lebih fokus sekolah, belajar. Apa lagi tahun ini kamu kelas tiga."

Matt membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Cowok itu tidak jadi mengatakan bahwa bukan saran itu yang dia butuhkan untuk sekarang ini.

"Ya udah, Tante," ucap Matt akhirnya.

Kali ini Ajeng benar-benar bersiap untuk meninggalkan ruang tamu. Sambil menenteng tas kerjanya, wanita itu menyempatkan diri untuk berkata, "Oh iya, Matt, ngomong-ngomong soal belajar, kayaknya Tante punya ide."

"Ya?"

Matt bersitatap dengan ibunda Ran itu selama dua detik. Wanita itu seperti sedang menebak-nebak sesuatu.

"Hmmmm... ini tebakan Tante aja, tapi apa kamu belakangan ini sering nemani Celine ke sini supaya kita bisa ngobrol masalah mistis?"

Mata Matt sedikit membesar. Dia tidak menyangka bahwa gerak-geriknya akan terbaca semudah ini. "I-iya, Tante."

Seketik Ajeng mengangguk paham. "Gini, ketimbang bingung cari-cari alasan nemenin Celine ke sini, mending kamu jadi murid tante aja. Bilang aja ke mamamu kalau kamu mau latihan buat ujian akhir sama ujian masuk universitas. Kita bisa belajar sama-sama. Gimana?"

"Maksudnya... Tante Ajeng mau ngasih saya les privat? Jadi guru saya?" Matt berusaha mencerna gagasan ibunda Ran itu.

"Ya, benar."

"Memangnya Tante bisa ngajarin saya?"

Ajeng tertawa keras. "Matt, Matt. Kamu lupa ya sama kerjaan Tante di kampus?"

Seketika Matt ingin menepuk jidatnya. Benar juga. Tante Ajeng kan dosen.

"Gimana, mau nggak kamu?" lanjut Ajeng.

Tentu saja Matt mengangguk. "Mau Tante, mau."

Begitulah, hari kunjungan dua bersaudara Lafleur-Tan diakhiri dengan kepuasan bagi mereka masing-masing.

Celine senang karena membawa pulang blush dan lip gloss lelesan Jani, sementara Matt bisa tidur lebih tenang karena misteri yang dihadapinya mulai terasa lebih ringan.

Setidaknya, untuk pertama kali sejak waktu yang lama, Matt tidak takut menghadapi hal yang akan datang.

**

À Suivre.
1314 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro