10. MALAM NISTA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mohon ditanggapi dengan bijak.

.

.

.

10. MALAM NISTA

Tibalah saat penutupan MOPD dengan acara menginap di sekolah, mengadakan berbagai acara yang diselenggarakan para anggota Osis untuk menghibur semua para siswa baru. Jane segera bergegas dengan menggunakan baju bebas yang dikenakannya. Penampilannya sangat mengundang perhatian yang melihatnya. Kaus tanpa lengan berwarna biru tua, dibalut menggunakan kardigan berwarna biru muda. Celana jeans pendek sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Dengan mengait tas punggungnya yang kecil yang bisa memasukan perlengkapan menginap dengan rapi, ia berjalan menghampiri Jimi.

"Bang, gue berangkat duluan aja ya, soalnya Fio udah nunggu di depan." Jimi mengangguk, tanda mengiyakan.

"Hati-hati. Lo pake baju kayak kekurangan bahan gitu," Jimi menatap tak percaya penampilan adiknya, yang pasti mengundang perhatian yang melihatnya. "Ganti."

"Males ganti lagi, ah. Mamih mana?" Jane mulai menyapu pandangannya ke seluruh ruangan mencari sosok Ibunya.

"Ganti baju lo!"

Jane mendelik kesal, "Males. Mamih mana?"

"Lo budek atau apa, sih! Ganti baju lo, Jane!"

Tidak ada jawaban. Jane menanggapi kekesalan kakaknya dengan decakan sebal. "Gue bisa jaga diri. Santai aja, kali. Mamih mana?"

"Mamih baru aja pergi ke restoran. Udah, nanti gue bilangin kalau lo udah berangkat. Hati-hati di jalan! Awas banyak terong! Punya adek kok bebal nya ya ampun. Merde! (Tuhan;bahasa Prancis)"

"Ya udah, gue berangkat ya Bang!"

"Kalau ketemu Tasya, salam cinta dari gue! Eh, Gina-gina! Kalau enggak.."

Jane berlalu menghiraukan teriakan Jimi untuk menyampaikan salam pada Tasya. Ia segera menemui Fiona yang masih setia menunggunya di depan rumah.

"Yuk Fi!"

***

"Fi, gimana soal Kak Rama? Apa dia ngerespons perasaan lo?" Jane mulai membuka pembicaraan, sebelumnya mereka saling tenggelam dalam pikiran masing-masing, seiring perjalanan mereka menuju sekolah.

"Entah kenapa semenjak seminggu lalu, dia emang balas sms aku dingin banget. Terus jarang dibales lagi, tapi semakin lama dia jadi ramah gitu, sms sering dibales, terus kayak berubah gitu, tapi aku seneng sih... jadi temen curhatnya doang.." jawab Fio menerawang ke depan sambil tersenyum. Senyuman antara senang dan sedih, bimbang akan tindakan yang selalu membuatnya heran sendiri. Dibohongi dengan semua tipu muslihat yang diciptakan ilusinya sendiri, membuatnya kesal untuk kesenangan orang lain.

"Syukur deh kalau gitu, ya udah lo harus tetep berjuang ok!" Jane memberi semangat. Dalam hatinya, ia sangat merasa bersalah. Berusaha mengumpankan perasaan sahabatnya hanya untuk membalas rasa kesal semata. Rasa bersalah yang mulai menyelimuti pikiran juga emosi yang mengalahkan logika karena tersulut api emosi.

"Makasih ya Jane. Sorry waktu itu gue ngasih alamat lo sama nomor lo ke Rey. Sorry gue baru cerita sekarang. Sorry juga kalau gue udah dapet nope Kak Rama dari Rey sebelumnya, gue bener-bener nyesel, gue minta maaf Jane." mendengar pernyataan tersebut Jane hanya menggeleng pelan.

"Gue tau lo pasti kesel, marah, silahkan. Gue siap buat lo marah-marah sama gue sekarang, asalkan perasaan gue sekarang udah lega. Karena mengakui kesalahan itu gak gampang, jujur itu sulit, tapi bangkai tetap saja bangkai. Jika dikubur pun, aroma busuknya pasti tercium juga."

Fiona menunduk malu, perasaannya mulai terkuak seiring waktu mulai membuka kebenaran, kelegaan mulai menyeruak di hati Fiona saat semuanya telah ia ceritakan pada Jane.

"Nggak apa-apa. Gue marah, ya pasti. Kepalang kesel malah. Manusiawi. Tapi yang penting lo udah mau cerita semuanya ke gue. Gue seneng kok kalau lo bisa buat Kak Rama peka sama perasaan lo. Itu yang buat gue lega." Jane merangkul Fiona dengan mencubit pipinya gemas.

"Makasih ya, Jane! Lo emang sahabat terbaik gue!"

Setelah mengobrol lama dalam perjalanan ke sekolah, akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah dengan banyak siswa berkumpul di sana, mendengarkan Rendi yang sedang memberi intruksi selama acara menginap di sekolah.

Jane menghampiri gerombolan kelas sepuluh IPS satu. Jane yang sedari tadi memperhatikan Rendi mulai dari atas kepala sampai ujung kaki, membuat Jane berdecak kagum sendiri melihatnya. Kekaguman serta rasa suka yang meluap-luap mulai mempengaruhi pikirannya. Hanya Rendi lah lelaki idaman hatinya, semua kriteria ada pada lelaki tersebut.

"Keren banget Kak Rendi! Nggak pake seragam makin kece badai! Ck! Aku padamu Bang..." Gumam Jane dengan menepuk pundak Zenita berkali-kali.

"Hiperbola lo mulai kumat, Jane." Zenita berusaha menenangkan Jane agar fangirling-nya berkurang saat mengagumi sosok Rendi.

"Aduh...! Kalian apa-apaan sih! Nyeruduk orang sembarangan!" Jane mengaduh geram saat dilihatnya Trio Anarkis (Rey, Bimo, Adit) yang baru saja menabrak punggungnya kasar.

"Sorry cinta, aku nggak sengaja. Seratus persen asli!" Jawab Rey di belakang Jane dengan memperhatikan penampilan Jane dari bawah sampai atas seperti singa yang siap menerkam. Tatapannya membuat Jane bergidik ngeri lalu menutup kedua mata Rey menggunakan telapak tangannya.

"Liat apaan! Otak mesum!"

Rey menatapnya gemas, "Salah sendiri pake baju gini. Tuh liat! Fiona serba tertutup!" tunjuk Rey ke arah Fiona di seberang barisan kelas sepuluh IPA empat.

Jane tertohok, "Hak gue dong pake baju apa!"

Sementara Adit yang sedari tadi membenarkan kacamatanya menyuruh mereka agar berhenti berbicara, "Jangan berisik wey! Dewasa dong!" bisiknya pelan.

"Hai Jane, hehe.. sorry Dit! Peace! Cuma nyapa doang.. " Bimo nyengir kuda saat Adit melemparkan tatapan tajam padanya. Jane yang melihatnya berdecak kesal sambil menggelengkan kepala.

"Ya sudah, sekarang kalian masuk ke kelas masing-masing, simpan barang bawaan kalian, langsung masuk ke lapang, saksikan acara pementasan sampai larut malam nanti okey!"

Teriakan Rendi pada microfon seolah memberikan semangat baru bagi semua siswa baru. Semua siswa berbondong-bondong mengikuti intruksi sang ketua Osis untuk segera memasuki kelas mereka masing-masing.

Jane menarik lengan Zenita segera menjauh dari kerumunan, menghindari para pentolan kelas yang selalu menggodanya semau mereka. Ia juga tidak ingin kena masalah dengan Trio Alim yang selalu memberinya pencerahan atau ceramah dadakan. Apalagi dengan Trio Alay yang pasti berkomentar heboh setiap berpapasan dengan mereka.

Jane sangat anti dengan kubu-kubu di dalam kelas. Menurutnya mengurangi kebebasan untuk berteman. Membentengi prinsip sendiri untuk selaras dengan teman sealirannya sendiri. Apa hanya karena perbedaan pendapat atau kesukaan, membuat kita membatasi diri untuk bergabung menjadi satu. Berteman tanpa alasan tertentu.

"Katanya Jane, sekolah kita bakal undang Band Kotak, lho!" Mendengar itu, Jane masih saja memasang wajah memelas, menghiraukan semua perkataan Zenita saat mereka sudah tiba di kelas.

"Baguslah.. Je, entah kenapa perasaan gue gak enak ya? Dari tadi semenjak Rey liatin gue dari bawah sampai atas, ya gue takutlah! Kayak gak pernah liat cewek aja." jawab Jane bergidik sambil meletakan tasnya di atas meja kelasnya.

"Mungkin dia kebelet suka sama lo Jane, atau lo punya masalah apa gitu? Sama dia? Sesuatu... " Tanya Zenita mengingatkan Jane dengan syarat taruhan kemarin.

"Mungkin, yuk kita ke lapang! Sebelum semua kubu ada di kelas!" Jane menarik tangan Zenita keluar kelas, berusaha menghindari para kubu kelas, juga menghindari Rey yang selalu membuat pikirannya terus diselimuti syarat taruhan yang akan Rey tentukan.

***

Selama pementasan berbagai band yang diundang dari luar sekolah, Jane, Fiona, dan Zenita masih dalam kerumunan konser besar-besaran di lapang sekolah. Mereka saling menganggukkan kepala seiring dengan alunan musik yang menggema ke seluruh penjuru sekolah. Tepat di puncak acara, Band yang sedari tadi ditunggu-tunggu akhirnya memasuki panggung. Dentuman suara drum mulai menggema seantero sekolah saat Band Kotak membawakan lagu yang berjudul Beraksi dengan meriah. Semua siswa kembali bersorak semangat, mengikuti aliran musik keras dengan melompat-lompat bernyanyi ria.

"Gue ke toilet dulu ya, panggilan alam." mendengar Jane melenggang pergi, Zenita dan Fiona mulai menatapnya antusias.

"Kita antar, okey!"

"Gak usah. Gue kebelet banget soalnya," Jane melambaikan tangan, lenyap di antara hamparan manusia.

Riuh sorakan semua siswa kembali menggema saat Band Kotak mulai membawakan lagu Terbang. Hamparan manusia di tengah lapangan kembali menggila. Begitu juga dengan anak-anak anarkis yang mengisi wilayah bagian depan panggung. Adit melepas kacamata minusnya ikut bersorak ria bersama Bimo dan anak-anak kelasnya. Rambutnya terlihat acak-acakan tidak serapi biasanya. Membuatnya terlihat sangat aneh dan sedikit...nakal. Sebaliknya dengan Rey. Ia menganggap acara ini membosankan. Sembari meneguk vodka berukuran kecil selundupannya, Rey memutuskan untuk pergi menuju toilet.

"Lo mau kemana?" tanya Bimo masih menikmati alunan musik. Sesekali melihat ke arah tempat anak-anak perempuan berdiri, mengamati Jane dari kejauhan.

"Bosen. Gue mau ngadem dulu," Rey menjawabnya sedikit linglung.

"Ngadem apaan lo? Woy!"

Rey menghiraukan teriakan Bimo, berjalan menuju toilet melewati puluhan, mungkin ratusan penonton yang masih semangat menonton konser. Matanya sempat melihat Hira yang tengah berduaan bersama Rizki di kerumunan dengan tangan yang saling bertautan. Ia berdecak kagum, "Calon pacar gue direbut orang."

***

"Leganya.." setelah Jane keluar dari toilet, ia segera membasuh muka di depan wastafel. Berusaha menghilangkan rasa kantuk yang menyerangnya. Sayup-sayup masih terdengar suara musik lagu Terbang bersama riuh sorakan heboh dari luar toilet. Gadis itu menghela napas berat, berniat untuk kembali melihat konser bersama kedua temannya di lapangan.

Mendengar suara pintu tertutup keras seperti dikunci, Jane melihat ke arah sumber suara. Ternyata Rey baru saja masuk ke dalam toilet dengan sedikit sempoyongan, aroma rokok begitu menyengat saat ia menghampiri Jane yang langsung menatapnya ngeri penuh pertanyaan.

"Ngapain lo di sini?" Tanya Jane sedikit ketakutan.

"Eh, Jane... gue kira siapa. Gue bosen di sana terus..." jawab Rey dengan senyuman menggoda.

"Terus, kenapa lo masih di sini? Lo salah masuk toilet!"

Rey tertegun. "Ini toilet cewek?"

Jane mengangguk menatap awas lelaki di depannya.

"Bagus kalo gitu, hehe.."

Jane meneguk ludah, melihat Rey menampilkan seringaian aneh padanya. "Lo sinting kali ya, pergi sana!"

"Jane, biasa aja kali, santai aja. Rasa bosan gue hilang saat gue liat lo di sini, sekalian pengen nagih syarat taruhan." Rey berjalan mendekati gadis itu, menyudutkannya di wastafel dengan menahan kedua tangan Jane menggunakan kedua tangannya lalu mengusapnya lembut.

Jane terbelalak kaget. Ia berusaha menjauhkan wajahnya saat Rey mulai mendekatkan wajahnya yang kini hanya berjarak satu jengkal dengannya. Mata bertemu dengan mata. Jane menatap mata Rey yang semakin gelap, gelap akan hawa nafsu bercampur gairah yang meluap-meluap saat senyuman jail tersungging di bibir lelaki itu.

Tubuh Jane menegang, ketakutan semakin menyelimuti perasaan gadis itu, berusaha menetralisir detakan jantungnya yang berdegup kencang. "Syarat? Terus, apa syarat yang lo mau?" Tanya Jane sedikit memberontak.

"Syaratnya..." Rey mendekatkan wajahnya ke arah telinga Jane. Hembusan napas Rey melumpuhkan gadis itu, rasanya lututnya mulai melemas seperti jeli. "I want you tonight.."

Jantung Jane seperti hampir copot saat mendengar apa yang diinginkan Rey tersebut. Kecupan yang baru saja mendarat di cuping telinganya sontak membuatnya sangat ketakutan dan memberanikan diri untuk tidak terlihat kaget maupun takut. Kedua tangan Rey mulai mengelus kedua pundaknya-terlebih menggunakan kaus tanpa lengan-sesekali membelai rambut gadis itu secara halus.

"Gimana ya..? Kita kan masih kelas sepuluh, masih kecil. Terus nanti yang menang banyak kan elo.." jawab Jane sedikit menggoda Rey dengan mendekatkan wajahnya kembali ke arah Rey. Jane pun menyadari bahwa Rey pasti sedang terpengaruh alkohol, karena baunya sangat tercium dari mulutnya. Namun ketampanan Rey semakin bertambah berkali-kali lipat di matanya. Okey, fix. Gue mulai gila. Batinnya miris.

"Santai aja kali. Okey, nanti gue bakal kasih informasi soal gebetan lo itu, sampe nopenya gue bakal kasih, deal?" Tawar Rey masih dalam posisinya.

Sejenak Jane tampak memikirkan bagaimana caranya agar bisa terbebas dari cengkraman Rey.

"Mungkin, okey deal, tapi lain kali aja ya.. "

Jane melepas cengkraman Rey hendak pergi meninggalkan lelaki itu, tetapi Rey kembali mencegat gadis itu dengan kunci pintu yang masih setia berada di genggamannya. Jane mendengus kesal, ia tidak ingat jika pintu toilet dikunci. Dasar, Rey setan! Geramnya tertahan.

"Sayang mau kemana? Ini adalah kesempatan terbatas, mumpung kita lagi berdua di sini, malam ini," Rey kembali menggoda Jane dengan mendekatkan wajahnya, berusaha mendorong tengkuk Jane agar mendekat ke arahnya.

"Apa lo nggak mikir bagaimana akibatnya? Apa lo bakal tanggung jawab? Terus lo bakal mikir masa depan lo sama gue nanti bakal kayak gimana? Gue tau lo orang kaya Rey, tapi harga diri lebih tinggi nilainya daripada uang dan harta. Lo mikir gak sih kalau misalnya kita ngelakuin hal itu, terus kecelakaan. Gimana perasaan bokap-nyokap lo nanti?" Jane berusaha menyadarkan pikiran Rey, namun percuma. Rey tidak dalam keadaan sadar, dia terkena pengaruh alkohol. Mana bisa ia mencerna beberapa kalimat atau penjelasan yang mungkin membuatnya semakin menjadi.

"Santai aja lagi, orang lain nggak bakal tahu. Soal tanggung jawab, gue janji, gue bakal bertanggung jawab atas dasar gue yang mau, bukan lo yang mau." Rey menjawab dengan tatapan menerawang.

"Tapi kenapa lo mau banget sama gue?" Tanya Jane penasaran. Pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati Jane. Sampai kapan ia terus-terusan menjadi incaran Rey dimulai dari pertemuan pertamanya saat MOPD sampai sekarang.

"Karena... setiap gue deket sama lo, ataupun debat sama lo, gue ngerasa ada yang aneh sama perasaan gue sendiri. Darah gue melonjak pengen banget gue nyentuh lo, apalagi sentuh hati lo yang sekarang suka sama orang lain. Ya gue makin penasaran sama lo." jawab Rey sambil melirik ke sekujur tubuh Jane dari atas sampai bawah. Jane mendengus kesal, gak sopan liatin gue kayak gitu lagi!

"Gue bakal lakuin apa yang lo mau sekarang, tapi lo harus tanggung jawab!" entah apa yang merasuki pikiran Jane sekarang, ia mulai mendekatkan wajahnya pada Rey, memegang tengkuk Rey agar dia semakin mendekat ke arahnya. Deruan napas kedua remaja labil itu semakin dekat saat pikiran Jane mulai gelap, gelap akan rasa penasaran yang mulai menyelimuti logika dan perasaannya sendiri.

"Jangan takut.." jawab Rey dengan tatapan liarnya sementara Jane menutup matanya merasakan sentuhan tangan Rey berusaha menyampirkan rambut yang menghalangi pundak gadis itu. Tangannya mulai mengelus pundak gadis tersebut. Mereka saling memejamkan mata siap menerima resiko. Bibir mereka saling bersentuhan, saling mengalirkan semua partikel-partikel kehangatan yang mulai memanas menyeruak di sekujur tubuh mereka.

Jane menangis dalam hati, ia merelakan ciuman pertamanya kepada lelaki berandalan seperti Rey. Rey memeluknya mesra, sedangkan kedua lengan Jane mulai melingkari leher lelaki tersebut. Jane terlena, mengikuti permainan lelaki itu. Mereka mulai kehilangan akal sehat, lupa akan segala-galanya. Bibir mereka saling berpagutan dengan rakus seiring jantung mereka yang mulai berdegup kencang membuat mereka semakin lupa diri.

Rey melepas pagutannya, menelungsupkan wajahnya di tengkuk gadis itu. Ia pikir dengan cara itu bisa menghentikan deru napasnya yang semakin menggila. Jane menggigit bibir bawahnya kuat berusaha menahan suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya saat Rey mulai menciumi tengkuk dan lehernya dengan intens. Rey menggeram gemas saat mendengar suara desahan gadis di pelukannya.

"Rey... please, stop." Jane berusaha memohon agar Rey menghentikan aktifitasnya sebelum terjadi hal yang tidak diinginkannya.

Jane tersadar. Ia langsung mendorong tubuh Rey menjauh dengan tatapan mengejek. Berusaha menahan deru napasnya yang mulai tersengal-sengal, ia menangis dalam hati menyesali perbuatan tidak senonoh yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.

"Rey.. lain kali aja..huh. Badan lo bau alkohol!"

Itulah satu-satunya alasan yang keluar dari mulutnya, barusaja ia merasakan bagaimana rasa manis, pahit, bercampur aroma rokok dari mulut Rey.

Rey tertegun, sama halnya seperti Jane, ia berusaha mengendalikan detakan jantungnya. Berusaha kembali tersadar dari kelakuan bejatnya tersebut.

"Ya udah, sekarang lo sebutin nama gebetan lo siapa, gue belum tahu siapa gebetan lo?" Tanya Rey berusaha terlihat tenang, wajahnya memerah, tubuhnya gemetar tidak karuan.

"Namanya Rendi, Ketua Osis. Mungkin lo boleh ambil tuh ceweknya, lumayan lah dari pada gue.."

Mendengar kata Rendi sang etua Osis sekaligus nama kakak kandungnya, Rey terkejut bukan main. Hatinya berdesir perih dan terasa sangat sakit. Ia tidak menyangka, bagaimana bisa Jane berusaha mendapatkan informasi kakak kandungnya hingga rela mengorbankan segalanya. Termasuk kehormatan gadis itu sendiri.

"Tapi gue ingin sebelum kita melakukannya, gue pengen nope gebetan gue harus ada secepatnya, atau sampe gue pacaran!" Jawab Jane setelah pintu tersebut Rey buka dengan lemas. Jane menatap Rey mengejek, "Satu hal lagi, lo lupa gak bawa pengaman." Akhirnya Jane berlari dari toilet secepat mungkin menemui Zenita dan Fiona yang sedari tadi masih bekerumun di depan panggung konser.

"Anjing!" Dibantingnya kunci toilet itu ke lantai. "Kenapa gak cowok lain sih! Kenapa harus Rendi yang lo suka!"

Rey geram bukan main, ia mematung tak berdaya mengingat semua perkataan Jane yang dengan mudahnya mematahkan hati juga semangat untuk mendapatkan hati gadis itu. Rey terduduk lemas saat waktu mulai menyadarkannya untuk menerima kenyataan. Entah kenyataan manis yang harus membuatnya bahagia saat kakaknya mempunyai gadis yang menyukainya, atau kenyataan tragis menimpa relung hatinya tanpa ia duga, tanpa aba-aba, tanpa direncanakan sebelumnya. Sungguh kebetulan yang sangat mengejutkan.

***

"Dari mana aja lo?" Tanya Fiona dan Zenita bersamaan, wajah mereka masih bersemangat di banding Jane yang mulai pucat.

"Toilet." jawab Jane dengan napas tersengal-sengal.

"Lama amat di toilet? Sick? Terus kenapa lo lari-lari?" tanya Fiona penasaran, kembali merangkul Jane.

"Nggak.. gue emang lagi sakit perut, terus gue-gue barusan liat kuntilanak di toilet, terus gue lari.. huh.." Bohongnya dengan tatapan horror dari kedua temannya yang langsung bergidik ketakutan.

"Wajar ajalah.. sekarang kan jam... sepuluh malem. Ih.. serem coy.." jawab Zenita melirik jam swiss-nya.

"Eh, bentar, itu.. kenapa?" Fiona menujuk ke arah leher Jane yang sebagian memerah, "Di cium nyamuk, lo?"

Jane terdiam. Mengusap lehernya pelan. Memejamkan mata mengingat kejadian panas beberapa menit lalu, "Ya. Nyamuk berengsek yang diem di toilet tadi."

"Ya udah lo sama kita aja, nanti kalo mau ke toilet lagi, kita anter deh, okey!" Fiona menepuk pundak Jane, menyeretnya kembali melihat konser dengan menyanyi bersama

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro