9. KONFERENSI TRIO A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

9. KONFERENSI TRIO A (Alim, Alay, Anarkis.)

sorry guys baru update lagi, hehe.. soalnya lagi sibuk jadi MABA nih.. tenang, Labil? udah direvisi sejak awal kelas dua belas kemarin. so, cuma nge-publish nya aja yang lama mikir. aku tuh bingung, ini itu genre-nya kan anak remaja-teenlit-but, kenakalan remaja. tapi, temen aku pada bilang cerita ini itu masuknya romance. karena banyak adegan young adult-nya. bingung, suer. aku ganti deh, pindah genre jadi romance. aku takut cerita ini dibaca sama demes-demes abg labil bawah 17 tahun. walaupun cerita ini angkat tema remaja labil, tapi aku buat cerita ini cuma mau nyampein "ini toh, anak sekarang itu. pada gak punya attitude. dan lebih mengedepankan kesenangan daripada mikir tiga kali ke depannya." and, yup! aku pasang peringatan "cerita dewasa" padahal ceritaku angkat tema kenakalan remaja anak baru masuk dunia SMA. walaupun kenyataannya gak semua kayak gitu, tapi kebanyakan kayak gitu. bingung, duh. aku lelah...

.

.

.

.

        Setelah kejadian penolakan Jane pada Rama, akhir-akhir ini Jane memutuskan untuk sedikit berjaga jarak dengannya. Terutama dia tidak ingin memutuskan pertemanan mereka. Dia menginginkan agar Fiona lah yang menjadi kekasih Rama, bukannya Jane sendiri yang hanya memanfaatkannya untuk sebagai balasan marah kepada Fiona.

"Kak, aku duluan okey!" Jane berbisik pada Jimi. Mereka baru saja sampai di depan gerbang sekolah, dengan beberapa pasang mata yang mulai jelalatan melihat Jimi barusaja memboncengi seorang siswi kelas sepuluh.

"Nanti lo pulang duluan ya, gue mau eskul basket dulu." sahut Jimi setelah adiknya turun dari motor, mereka saling memasang wajah masam, melenggang pergi ke kelasnya masing-masing.

Perjalanan menuju kelas memang sudah tidak asing lagi bagi Jane, mendapat tatapan sinis dari beberapa siswi yang tidak menyukai kedekatan Jane dengan beberapa siswa populer di SMA Dharma Bangsa. "Sabar Jane.. sabar. Usap dada aja ngadepin haters dimana-mana."

Sorakan kembali menggema di gerbang sekolah. Rey baru saja memarkirkan motornya dengan senyuman khasnya yang selalu ia tunjukan pada semua gadis yang melihatnya. Ia mengeluarkan papan skateboard miliknya, menginjak lalu menjalankannya dengan santai dan lihai. Semua siswa menatapnya kagum, berteriak histeris, saling bisik-bisik, adapula yang mencuri-curi pandang kearah Rey. Rey hanya membalasnya dengan senyuman mautnya.

Saat ia melewati gerombolan kelas sepuluh IPA satu, ia melihat salah satu siswi tengah menyapu di hadapannya.

"Hai cantik.. "

Sontak siswi itu menoleh, melihat Rey yang tengah tersenyum menyapa padanya. Siulan dan sorakan mulai menggema dari anak-anak kelas sepuluh IPA satu menggoda siswi tadi. Gadis itu mendengus kesal masuk kembali ke dalam kelas. Rey terkekeh melihatnya, merasa puas dengan semua pesona yang diwarisi oleh sang ayah.

"Aduh!"

Tiba-tiba Rey menabrak seseorang saat pandangannya masih ke belakang. Ia terjatuh terlentang di atas punggung gadis yang ditabraknya. Sontak mereka mulai menjadi pusat perhatian seluruh mata memandang.

"Aduh... bangun! Kalau jalan liat pake mata dong! Aduh... punggung gue... "

Gadis itu meringis kesakitan saat merasakan sakit di bagian punggungnya, Rey yang masih terlihat shoked berusaha berdiri hendak membantu gadis yang ditabraknya. "Sorry.. Gue gak sengaja," Rey berusaha mengangkat tubuh gadis itu, ia mendapat tatapan nanar dari gadis tersebut.

"Setan!" geram gadis itu tertahan.

"Cinta...?!" Rey terkejut melihat gadis yang ia tabrak adalah Jane. Gadis itu mulai membersihkan seragam depannya dengan menepuk-nepuk seragam tersebut.

"Sakit ya Jane? Aduh! Sorry Jane, gue gak sengaja. Mana yang sakit?" Rey mulai memeriksa seluruh bagian tubuh Jane, membuat gadis itu gemas sendiri, antara geram juga kesal dengan tingkah laki-laki itu.

"Gue. Gak. Apa. Apa. Sebaiknya lo minggir dari hadapan gue sekarang. Lo gak malu apa diliatin banyak orang! Oh! Iya, urat malu lo kan udah putus. Wajar!"

Jane berusaha mendorong tubuh Rey yang masih setia berdiri di hadapannya, namun laki-laki itu tetap bersikukuh pada posisinya sekarang. Senyuman jail mulai tersungging di bibirnya, membuat Jane terbelalak melihatnya.

"Kok kita bisa dipertemukan terus ya, mungkin ini takdir kita." ucapnya asal.

"Kebetulan, bukan takdir." Jane mendelik sebal berjalan melewati Rey yang sekarang mengikutinya menggunakan skateboard.

Rey kembali tersenyum, menatap Jane lekat "Ini kan lebih dari beberapa kali kita ketemu secara "Kebetulan" itu. Berarti itu namanya takdir. Takdir bahwa kita itu pantas jika terus bertemu, bersama, saling melengkapi satu sama lain. Lo tau apa itu takdir?"

Jane mengernyit, "Sesuatu yang pasti sudah menjadi skenario Tuhan, dan kita hanya bisa mengikuti alur hidup kita masing-masing."

Rey mengangguk, "Dan apa kebetulan termasuk takdir?"

Jane mendelik, enggan menjawab. Sampai di detik ke lima ia merasakan sesuatu yang kenyal mendarat di pipinya. Rey mencium pipinya lembut sambil memejamkan matanya pelan. Dengan cepat ia melepas bibirnya lalu tersenyum.

Jane menoleh dan melotot tidak terima, pipinya mulai memanas dan jantungnya berdebar dengan hebat tidak karuan, "REYNAND! BERANI-BERANINYA LO-"

"Ini yang disebut takdir. Lo sama sekali gak tahu kejadian ini bakal terjadi di kehidupan lo. Tepat di hari ini, lo sama sekali gak tahu, kalau gue sukses buat pipi lo merah sambil nahan malu dan marah. Dan di hari ini, lo mulai sadar, bahwa takdir itu misteri yang tidak akan pernah lo duga. Mungkin aja, besoknya lagi lo bakal dapet yang lebih parah dari ini, atau enggak sama sekali."

"REY SIALAN!!!"

Jane marah bukan main. Rey yang mengetahui itu langsung berlari menghindari amukan kejaran gadis itu sampai mereka berdua tiba di depan pintu kelas. Melihat tingkah mereka berdua, semua siswa yang mereka lewati kembali merasa risih dan iri terhadap Jane.

Saat mereka berdua memasuki kelas, perdebatan kembali menghiasi kelas sepuluh IPS satu. Adit berusaha menyelesaikan perdebatan antara Trio Alim; Arif, Iqmal, Latif dengan Trio Alay; Hira, Dea, dan Nopi. Sebutan dari anak-anak penyamun di kelas. Semua bersitegang dalam pendiriannya masing-masing, sampai Adit menggebrak meja geram membuat seisi kelas hening seketika.

"What's up guys! Pangeran kelas datang..." suara Rey mulai mengisi ketegangan kelas, semua teman sekelas mulai menyudutkan Rey untuk diam. "Okey.. gue diem, peace!"

"Reynand! Kurang ajar lo! Eh, ada apaan nih..." Jane melewati ketegangan kelas berjalan menyimpan tas birunya kemudian duduk di samping Zenita. "Ada apaan Je?" bisik Jane pelan.

"Biasalah, Latif ngomentarin rok-nya Trio Alay. Tuh..." sahut Zenita menunjukan dagunya ke arah bagian bawah tubuh Hira.

Jane mencibir, "Ada-ada aja mereka."

"Gue heran deh sama kalian, kalian tuh bisa gak berfikir dewasa. Selesain masalah itu secara baik-baik. Pake pikiran dingin. Lo lagi dalangnya, rok pendek ketat gitu lo pake. Goda iman kita juga! Dan lo juga Tif! Lo kan tahu Hira ceweknya kek gimana!" Adit menatap tajam Hira dan Latif bergantian, namun Hira kembali menatapnya tidak terima.

"Heh! Terserah gue lah! Mau gue pake apa kek, ini itu lagi kekinian tahu gak! Wajar sih ya, kita kan orangnya gaul gak kampungan kayak lo-lo semua." Hira menaikan dagunya angkuh.

"Heh! Siapa lo ngatur kita. Hih!" ujar Nopi mendelik tak suka.

Latif menghampiri Hira, "Lo itu cewek. Lo itu harusnya tutup aurat, bukannya meng-eksposnya ke lelaki lain selain suami lo. Gue paling gak suka kalau liat cewek berpenampilan melewati batas wajar. Kesannya merendahkan dirinya sendiri. Bahkan cowok bakal menilai lo nol besar, bukannya menilai lo cantik."

"Oh! Mulai ceramah kalian. Lo nggak usah menggurui gue, deh! Pak ustad juga bukan-"

"Bukannya kita menggurui lo, juga kalian teman sekelas. Kita cuman pengen lo berubah, karena semua yang berlebihan itu dibenci sama Tuhan. Lo sebagai cewek, seorang mahluk yang sangat dihormati para lelaki, harusnya menjaga diri lo seperti emas." Arif memotong sahutan Dea. Semua teman sekelas mulai mendengarkan apa yang Trio Alim katakan.

"Halah! Cuma pake ginian doang, elah.." Sahut Nopi sambil memainkan rambut cokelatnya.

"Lo tau emas kan, Nop? Cewek itu ibaratkan emas, semakin tinggi harga diri lo sebagai cewek baik-baik, semakin tinggi juga derajat lo di mata Laki-laki dunia, laki-laki nggak bakalan berani godain lo kalau lo bersikap gak pantes sebagai cewek."

"Ck! Alesan basi. Terlalu klise," Dea berdecak kesal mendengarnya.

"INGAT! Perhiasan cewek itu adalah; kaki. Contohnya lo-lo semua nih, khususnya cewek. Wangi-wangian, dada, gigi, muka dan leher, muka, tangan, mata, mulut, kemaluan, pakaian, dan rambut. Dan janganlah kalian para wanita memamerkan itu semua, HARAM HUKUMNYA!" Iqmal mulai menafsirkan apa yang dikatakannya tadi.

Semua teman sekelas mulai mengerti apa maksud dari pembicaraan Trio Alim.

Iqmal menatap teman sekelas, "Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakan perhiasannya (auratnya)."

"Terkadang, gue ngerasa kasihan liat cewek zaman sekarang."

Hira dengan dua temannya-Dea dan Nopi-tertohok dengan semua penjelasan Trio Alim. Mereka tertegun mencerna setiap kata demi kata membuat mereka sadar akan pentingnya harga diri sebagai perempuan.

Hira berjalan menghadap ke arah Latif dengan mengulurkan tangannya, tersenyum "Thanks banget udah buat gue sadar."

Latif tersenyum, membalas jabatan tangan Hira, "Udah tugas kita kali. Sebagai seorang teman, kita harus saling mengingatkan akan hal yang baik. Bukan saling menjatuhkan ke lubang yang sama."

Semua teman sekelas silih bersorak ria, siulan juga tidak lupa dari kubu pentolan seperti Rey dan Bimo didepan kelas. Adit merasa berterima kasih pada ketiga temannya-Trio Alim-yang sudah menyelesaikan permasalahannya dengan Hira, tipe gadis yang keras kepala dalam mempertahankan pendiriannya.

"Nah, enaknya kalau Latif sama Hira jadian. Saling melengkapi!" Rey berteriak lantang, membuat tawa seisi kelas pecah. Diikuti dengan siulan menggoda dari arah belakang kelas. "Eh, lupa! Jangan ah! Hira kan calon pacar gue hehe.." celetuk Rey menaik turunkan alisnya pada Hira.

"Najis!" geram Hira tertahan lalu menggebrak meja keras. "Udah puas godain guenya? So, gue sama Adit mau jemput guru dulu. Jangan berisik! Garis keras Reynand." peringat Hira tegas menatap Rey tajam. Bukan hanya Hira, Adit juga teman sekelas menatapnya tajam.

"Iya.. Gue gak bakal bikin rusuh, tenang aja.. santai.." kata Rey berusaha meyakinkan mereka sebelum akhirnya Adit dan Hira berlalu meninggalkan kelas.

"Bubar! Bubar! Balik ke kursi kalian masing-masing, kalo enggak, ya... gue bakal konser lagi nih! Satu... dua.. "

Seperti komando, semua teman sekelas kembali duduk di bangkunya masing-masing setelah mendapat intruksi dari Rey. Mereka sangat tidak menginginkan Rey menyanyi dengan suara pas-pasan yang dimilikinya. Apalagi jika sampai naik ke atas meja dengan gayanya seperti seorang vokalis band tengah berada di tengah-tengah panggung konser miliknya.

Rey berjalan menuju bangkunya tepat di belakang kelas. Saat ia berpapasan dengan Jane, ia mencubit pipi Jane gemas membuat sang pemilik pipi geram bukan main. "Rey setan!"

"Setan cinta!" Rey menjawabnya mantap. Jane menggeleng berdecak pasrah membiarkan lelaki tersebut mulai menggodanya hingga jam kegiatan belajar mengajar berlangsung.

***

Selama pelajaran sejarah berlangsung, Jane melamun, memikirkan bagaimana caranya dia mendapatkan nomor ponsel milik Rendi. Nope gebetan temen dapet, masa gebetan sendiri enggak? Tatapannya tidak tertuju pada Bu Tania yang mulai menyadari bahwa sedari tadi Jane tidak memperhatikannya mengajar.

Di sampingnya, Rey yang sedari tadi memperhatikan Jane melamun terkekeh pelan. Kedua matanya menatap lekat Jane seiring jantungnya kembali berdegup kencang.

"Jane! Lagi ngelamun ya..?" Tanya Rey sambil mencondongkan wajahnya ke arah Jane. Sontak Jane terkejut, ia segera bersikap biasa saja mulai memperhatikan ke depan.

"Masalah buat lo? Suka-suka gue dong!"

"Mikirin siapa sih? Gue ya..? Apa mikirin gimana takdir tadi?" Tanya Rey dengan sedikit menyeringai.

"Bukan! Nggak ada kerjaan banget mikirin elo, mimpi lo! Aw!" Jawab Jane disambut dengan lemparan spidol dari Bu Tania di kepalanya.

Dalam hitungan detik, semua mata menyudutkan Jane yang tengah meringis kesakitan di bagian kepala. Rey merasa bahwa dirinya tidak terima perlakuan bu Tania terhadap Jane, kembali mengambil spidol yang dilempar tadi dan melempar balik ke arah papan tulis dekat Bu Tania.

Seketika semua murid di dalam kelas termasuk Jane terbelalak kaget dengan aksi Rey tersebut. "Astagfirullahaladziim.. "

Ada yang menggeleng tidak percaya, ada yang gemas sendiri.

"Tuh setan kenapa sih! Kurang ajar bener!"

Ada juga yang mengagumi aksi berani Rey pada bu Tania. Siapa lagi kalau bukan Adit. "Edan-edan!"

"Salut... gue suka gaya lo man.. "

"Kamu.. kamu berani kurang ajar sama saya!" Bu Tania melotot, merasa dirinya sebagai guru mulai tidak dihargai oleh siswa berandalan seperti Rey. Ia membentak Rey dengan suara kerasnya hingga terdengar sampai kelas sebelah, tetapi Rey selalu membela diri dengan berbagai alasan.

"Saya tidak terima dengan sikap Ibu terhadap teman saya, saya dan teman saya juga bayar sekolah di sini. Mengajar itu bukan hanya dengan kekerasan yang diutamakan. Apa Ibu bisa gantiin kepala Jane kalo bocor gara-gara tuh spidol? Aneh, bukannya sekolah ini berakreditasi A." Dan suasana kelas pun menegang dengan perlawanan antara Bu Tania dengan Rey.

"Rey! Udahlah! Ngalah aja napa?" Adit yang semula berdecak memanas-manasi mulai ikut andil bersama Bimo berusaha menenangkan Rey.

"REYNAND! KAMU KE RUANG BK SEKARANG!!!!" Bentak Bu Tania dengan tatapan nanar. Akhirnya Rey segera dibawa ke ruang konseling dengan sedikit paksaan.

***

"Jane, kok si Rey gak balik-balik ya? Apa masalahnya belum kelar?" tanya Bimo penasaran, Jane hanya menggeleng tanda tidak tahu.

"Eh, Mo, lo kemaren pernah bolos kemana? Sampe gak balik lagi ke kelas?" Jane menghampiri Bimo dengan eskpresi penuh pertanyaan. Saat itu juga, Bimo kelabakan, ia berusaha menutupi alibinya bolos hanya untuk kesenangan semata.

"Gu-gue.. gue ke rumahnya si Rey, biasalah main pees.." bohongnya sedikit gelagapan.

"Oh.. kok kamu gak dipanggil ke BK sih?"

"Lo pengen banget ya gue ke BK? Nih.. BK nih!" Jawab Bimo gemas, saking gemasnya ia mencubit pipi chubby milik Jane. Sontak Jane meringis menyapu pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Dilihatnya geng pentolan kelas duduk di pojok kelas dengan beberapa kartu di genggamannya, wilayah sarang penyamun kelas. Ada juga yang bermain carrom ball, di depan kelas ada Trio Alay tengah bergosip ria bersama anak-anak lain, tidak lupa di samping kelas ada Trio Alim tengah menggambar kaligrafi dengan berbagai bentuk yang indah.

Jane menggeleng pelan melihat banyaknya siswa berkubu-kubu dengan kegiatan mereka masing-masing.

"Jane, lo nggak mau ke kantin? Kalo enggak, gue mau ke UKS dulu, kumpul PMR." Zenita menepuk pundak Jane pelan.

"Gue ikut! Gue mau nengok dikit ke ruang BK, liat si Rey. Bosen gue liat temen kelas kayak gini. Lo, mau ikut Bim?" Jane berdiri bertanya pada Bimo.

"Gak! Nanti gue ditangkep lagi ke ruang BK." jawab Bimo meringis ketakutan. Jane mengangguk mengerti, ia menarik lengan Zenita keluar kelas menghiraukan semua kegaduhan kelas.

Bimo mulai merasakan perasaan anehnya kembali saat ia bisa dekat lagi dengan Jane, mantan kekasihnya dulu, sekaligus cinta pertamanya.

Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Move on, Bim! Dia gebetan temen lo!"

***

"Ya udah, gue ke UKS dulu ya, bye!" Pamit Zenita memasuki ruang UKS. Jane masih dalam perjalanan menuju ruang konseling, dan saat itu juga Jane berpapasan dengan Rendi yang terlihat tergesa-gesa masuk ruang tersebut.

"Perasaan Kak Rendi sering banget ke BK, kenapa ya?" Jane mengintip dari luar jendela kaca, berusaha melihat apa yang sebenarnya terjadi pada di dalam sana.

"Jane, kamu ngapain di sini? Ngintip ya..?"

Jane menoleh ke arah sumber suara di sampingnya, ia tertangkap basah berusaha mengintip oleh Rama, membuatnya sedikit kelabakkan karena malu.

"Ng-nggak, aku gak ngintip kok. Mau kemana Kak? Kok bawa papan catur segala?" Tanya Jane gelagapan, ingin rasanya ia berlari dari hadapan Rama sekarang. Mungkin takut Rama masih mempermasalahkan soal kejadian penolakannya lalu. Kejadian tragis bagi Rama yang secara terang-terangan mengutarakan isi hatinya, lalu dipatahkan kembali menjadi berkeping-keping oleh gadis di hadapannya sekarang.

"Oh ini. Gue mau main aja.. mau ikut?"

Mendengar ajakan tersebut, Jane tampak bingung dengan pilihannya. "Gimana ya? em... iya deh, aku ikut."

"Yang bener? Lo sendirian gak apa-apa?"

"Nggak apa-apa lah, aku udah hafal sekolah ini kok! Santai aja. Yuk! "

Akhirnya Jane menyetujui ajakan Rama bermain catur di perpustakaan. Meninggalkan segala rasa penasarannya terhadap apa yang menimpa Rey juga Rendi di ruang konseling.

***

"Kamu mau melawan saya dan sekolah? Apa kamu tidak malu, baru saja kamu masuk beberapa bulan menjadi murid di sini, sudah tercatat sampai puluhan kali kamu berurusan dengan saya. Apa kamu tidak kasihan pada Rendi."

Rey mengangguk malas, menatap Pak Beni lalu Bu Tania bergiliran.

"Bukannya saya sebagai seorang murid di sini mempunyai hak untuk marah? Jika Bapak punya teman di kelas, terus temen Bapak dilempar spidol dengan keras, apa Bapak bakal diam saja. Pasti Bapak nggak terima-"

"Sudah saya duga Pak! Anak ini jika kita terus beri nasehat malah semakin menjadi. Sudahlah! Saya sudah capek ngadepin anak berandalan yang satu ini!" Bu Tania menatap Rey kesal bercampur lelah. Lelah akan sikap anak sekarang yang semaunya melawan guru, apalagi orang tua.

"Nah, itu Ibu tau. Nanti juga saya bakal tobat sendiri. Apalagi pake acara lempar-lempar spidol."

"Rey! Diem lo!" Rendi mendesis menatap Rey geram.

"Tuh kan Pak! Apa yang saya bilang itu benar! Anak ini memang tidak pernah belajar sopan santun oleh orang tuanya. Di sekolah saja sudah bergajulan kayak preman, apalagi di rumahnya. Amit-amit saya punya anak kayak dia."

"Eh Bu! Jangan bawa-bawa orang tua lah! Ibu jangan suka ngomentarin hidup orang, hidup Ibu kayak yang udah bener aja." Rey tak segan-segan menatap Bu Tania kesal.

"KAMU ITU YA! BISA DIEM GAK SIH!" Bu Tani membentak Rey dengan suaranya mencapai beberapa oktaf. Pak Beni berusaha menenangkan Bu Tania. Matanya melirik ke arah Rey di hadapannya "Kamu bisa sopan gak sama orang tua, Rey?"

"Pak, Bu, saya minta maaf sebesar-besarnya karena kelakuan Rey. Saya mohon, jangan beri dia hukuman sama skors Bu. Saya mohon maaf..." Rendi berusaha menjadi penengah antara perdebatan Rey dengan Bu Tania. Rey melengos panjang menatap Bu Tania yang mulai menimbang-nimbang permintaan maaf Rendi.

"Yang saya ingin, Reynand yang meminta maaf langsung pada Bu Tania." sahut Pak Beni mengekori Rey yang tampak biasa-biasa saja.

"Buruan minta maaf!" bisik Rendi berusaha sabar melihat sikap acuh Rey.

"Yaelah...baperan amat sih, tuh guru," Rey bergumam sembari membenarkan duduknya menghadap ke arah Bu Tania.

"Maafkan saya Bu, saya tidak janji tidak akan mengulanginya lagi. Sekali lagi saya minta maaf."

"Yang bener Rey!" Rendi mendesis kesal. Rey menatapnya jengkel kembali mengulangi permintaan maafnya.

"Maafkan saya Bu Tania, saya tidak akan mengulanginya LAGI."

Setelah diberi nasihat yang cukup keras, akhirnya Bu Tania menerima permintaan maaf Rey. dengan ditemani Rendi sebagai ketua Osis sekaligus kakak kandungnya, akhirnya permasalahan dengan Bu Tania bisa dimusyawarahkan dengan baik.

"Rey, lo jangan ulangin lagi kelakuan kayak tadi, nggak malu apa dipanggil ke BK terus?!" peringat Rendi setelah keluar dari ruang konseling.

Rey mengangguk malas, "Yayaya.. gue ngerti gue salah, ya udah gue mau ke perpus!"

Rey meninggalkan Rendi yang masih berdecak kesal karena ulahnya. Selama ini Rendi mengerti kenapa Rey selalu mencari-cari masalah hanya untuk kesenangan sendiri. Tetapi ini, melawan guru dengan aksi melempar balik spidol memang benar-benar tidak sopan, terlewat batas wajar, bahkan terkesan kurang ajar.

***

"Checkmate!" Teriak Rama bangga setelah mengalahkan Arfah-teman sekelas Rama-bermain catur, Jane yang melihatnya bersorak kagum bersama penonton lain. Semua siswa mengerumuni Rama meninggalkan aktifitas mereka-membaca-untuk melihat pertandingan selanjutnya.

"Wah-wah.. Ada apaan nih rame-rame?" seseorang berusaha melewati kerumunan penonton untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, "Oh.. Lagi pada maen catur nih. Siapa yang menang?" Rey yang baru saja datang, langsung menjadi pusat perhatian semua pengunjung perpustakaan.

"Kak Rama dong!" Jane menjawab pertanyaan Rey dengan semangat.

Rey mencibir, "Biasa aja kali, yang!"

Jane mendelik sebal mendengarnya. Seperti biasa, Jane akan mendapatkan tatapan sinis dari semua siswi di sana jika terus berdekatan dengan Rey. Risih, ia mulai mendekati Rama agar memberi kepuasan tersendiri untuk mereka.

"Bang, kita duel!"

Rey mengkode Arfah untuk segera menyingkir dari kursi pemain, Arfah menurut saja. "Kalahin si Rama oke!" bisiknya pada Rey.

"Jane, fokusnya ke gue dong! Jangan ke Bang Rama," Rey merengek ingin diperhatikan, mendengarnya Jane mendelik sebal.

"Gue fokusnya sama catur begs!"

Selama permainan berlangsung, dengan cekatan mereka beradu strategi juga taktik untuk saling menyudutkan raja mereka masing-masing.

"Skakmat! Gue menang! Bang Arfah tuh!"

Semua penonton terbelalak melihatnya. Rama seorang atlet catur di SMA Dharma Bangsa kalah telak oleh seorang pentolan sekolah seperti Rey. "Thanks Man..." Arfah menunjukkan ekspresi bangga setelah mengetahui Rama dapat dikalahkan selain olehnya.

"Ngapain sih narik tangan gue segala?!" Jane terkejut bukan main, Rey menarik lengan Jane keluar dari kerumunan penonton. "Wey! Apa-apaan sih! Lo-"

"Kita balik ke kelas. Gue baru inget kalau sekarang ada ulangan Matematika. Sayang dong kemaren malem gue belajar abis-abisan. Terlebih pelajaran Pak Deri, lo mau dikira bolos?" Rey menatapnya serius, berusaha menjelaskan apa yang baru saja diingatnya.

Jane mulai menyadarinya, ia menepuk keningnya gemas merutuki dirinya sendiri.

"Kenapa gue bisa lupa sih! Gue belum ngapalin... gimana dong.." Jane mulai resah saat ia berjalan beriringan menuju kelas. Langkahnya semakin cepat saat Pak Deri sudah berada di dekat pintu kelasnya.

"Santai aja kali, lo kan anak rajin. Pasti nempel lah dikit rumus mtk." Rey berusaha menyejajarkan langkahnya mengikuti Jane.

"Oh iya yah, gue kan anak rajin. Dari pada elo, sekolah gak jelas, hobinya buat rusuh." Jane mulai melambatkan langkah kakinya menatap Rey mengejek, yang ditatap hanya tersenyum manis berpikir keras untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.

"Kalau lo emang bener-bener jago, kita buat taruhan."

Jane menghentikan langkah kakinya sejenak, "Maksud lo-"

"Jika ulangan nanti lo yang dapet nilai besar, lo bisa dapetin apa yang lo mau ke gue. Dan jika gue yang menang, syaratnya gue minta lo harus turutin apa yang gue mau, deal?"

Mendengar penjelasan Rey, Jane mulai teringat bagaimana caranya untuk mendapatkan informasi tentang sang pujaan hati, Rendi. Terutama nomor ponsel milik Rendi.

"Maksud lo, berarti kalo gue yang menang, gue bisa dapet informasi kakak kelas gebetan gue? Gitu? Tapi.." Jane masih bingung dengan taruhan tersebut. Tapi jika dia kalah, dia takut jika Rey menang, ia akan mengajukan syarat taruhan yang mustahil Jane penuhi Kok jadi ribet gini sih, gue kan belum ngapalin. Kalau misalnya dia menang, gimana? Jane mulai meringis dalam hati.

"Apa gue harus nurut sama syarat lo tadi? Gak mungkin kan?" tanya Jane pada seorang the famous Badboy di kelasnya itu.

"Kalau gak, yah.. lo gak bisa dapet informasi soal kakak kelas gebetan lo itu." jawabnya dengan menaikan satu alisnya.

Jane terlihat bimbang dengan keputusannya sekarang, ia berpikir keras antara menyetujuinya atau tidak.

"Ya udah, gue setuju," jawabnya penuh keraguan.

"Yakin? Muka lo labil banget!"

"Gue setuju, Reynand."

Akhirnya Jane menerima persyaratan itu dengan berjabat tangan dengan lelaki tersebut.

"Ok, welcome to my games, baby..." lelaki itu tersenyum licik penuh kepuasan.

***

"Je, kok sepi amat ya?" bisik Jane menyikut lengan Zenita.

"Ya iyalah sepi, sekarang kan lagi ulangan." jawab Zenita sebal berusaha sekuat tenaga pikirannya berkutat dengan rumus yang menjadi objeknya sekarang.

Jane mendengus pasrah. Diliriknya teman sekelas tengah menghitung tanpa menggunakan contekan. Biasanya ulangan seperti ini, mudah bagi mereka untuk mencontek, atau membuka buku di bawah meja mereka. Tetapi semuanya berubah saat mereka mengikuti pelajaran Pak Deri. Pak Deri merupakan tipe guru yang selalu mengutamakan kata "Disiplin" untuk semua muridnya. Sampai semua pentolan kelas pun tidak berani untuk menentang prinsipnya itu. Karena beliau selalu tegas juga menakutkan saat mengajar.

Jane merasa menyesal karena tidak menghapal rumus matematika sebelumnya. Ia menatap lekat soal-soal itu berharap mendapat ilham. Di sampingnya, Rey sedari tadi sibuk menghitung, lebih tepatnya menggambar wajah Jane di atas kertas buram tanpa Jane ketahui. Jane meringis melihatnya, gimana kalau gue kalah? Aduh, gimana dong!

Rey tersenyum penuh arti melihat hasil gambarnya di atas kertas buram yang seharusnya dipakai untuk menghitung. Matanya melirik Jane yang tengah kalut menatap soal dengan raut wajah begitu rupa. Rey tersenyum, ia kembali melirik lembar jawaban miliknya yang masih bersih belum terisi.

"Ck! Apaan dah! Kelas matematika aja gue jarang masuk, gimana tahu ngitungnya?" tangannya dengan asal mengisi lembar jawaban sampai angka ketiga sebelum soal itu selesai. Matanya kembali melirik Jane yang kini memasang wajah serius sekaligus frustrasi, membuatnya gemas sendiri melihatnya.

"Waktunya sepuluh menit lagi, ini masa depan kalian, siapa yang ketahuan mencontek, baik itu anak perempuan atau laki-laki, Bapak akan menghukum kalian."

Jane semakin panik, ia hanya bisa mengisi sembilan soal dari dua puluh lima soal tersebut. Matanya terus mengawasi gerak-gerik Pak Deri, antisipasi saat beliau tengah berjalan menuju meja Rey.

"Apa yang kamu lakukan, Reynand?"

Rey tersadar, matanya melirik Pak Deri saat ia menggambar bentuk hati di bulatan kertas jawaban, bukan menghitamkannya. Rey nyengir, "Efek jatuh cinta, Pak. Yang penting gak nyontek, kan?"

Pak Deri mengangguk, setengah jengkel ingin menjitak darah muda di hadapannya itu.

"Adit! Adit, wey!" Jane berusaha berbisik meminta jawaban pada Adit. Harap-harap cemas ia menatap Pak Deri, semoga dia gak liat gue, doanya dalam hati. Samar-samar Adit mendengar ada yang memanggilnya dari arah belakang, saat ia menoleh, Jane melambaikan tangan padanya.

"Apaan?" bisik Adit antusias.

"Nomor tiga sama delapan apa?"

"Kurang jelas, nomor berapa?"

"Nomor tiga sama nomor delap-"

"Jane! Kamu lagi ngapain!"

Suara bariton terdengar kontras menghiasi ketegangan seluruh siswa yang tengah ulangan. Semua mata mulai menyudutkan Jane, "Sa-saya gak lagi ngapa-ngapain Pak. Sa-saya cuma.."

"Udah jelas-jelas saya lihat kamu minta jawaban ke Adit. Bagaimana kamu ini, sudah beberapa kali saya mengulang pelajaran ini masa kamu masih aja gak bisa! Sebagai hukumannya, kamu ke ruang konseling sekarang!"

Jane menunduk mati kutu, semua teman sekelas memandangnya prihatin. Termasuk Rey yang berada di sampingnya, ia menatap Jane gemas "Kenapa lo gak nanya ke gue?"

Jane menghiraukannya, ia menunduk malu berjalan keluar kelas dengan wajah penuh penyesalan.

"Waduh! Gimana nih.. kalau Rey minta yang iya-iya, eh! Yang enggak-enggak.." berbagai umpatan keluar dari mulut Jane, ia menghentakan kakinya menuju ruang konseling.

***

"Kamu kan tahu kalau Pak Deri itu gak main-main sama yang namanya disiplin. Saya bingung dengan hukuman kamu."

"Saya benar-benar lupa, Pak. Saya lupa kalau sekarang itu ulangan matematika." Jane menunduk bingung akan untuk membela diri.

"Saya akan memberi kamu hukuman, atau diskors selama 3 hari. Kamu pilih yang mana?" Tanya Pak Beni menatap Jane malas, malas memberi hukuman. Jika tidak, Pak Deri akan tetap menanyakan soal hukuman yang menjadikan siswa jengah untuk tetap disiplin sebelum melakukan sesuatu.

"Pak.. saya nggak mau keduanya Pak.. saya janji nggak bakal nyontek lagi.." Jane merengek tidak ingin mendapatkan hukuman tersebut.

"Ya sudah, besok kan acara masa tamu, penutupan MOPD nanti kamu harus ikut. Udah bayar?" mendengar pernyataan Pak Beni, Jane menatapnya tidak percaya.

"Sa-saya nggak dapet hukuman Pak?"

"Enggak, kamu ke kelas saja. Jangan lupa bayar penutupan nanti, kamu harus ikut."

"Sudah bayar Pak. Makasih Pak, saya tidak akan mengulanginya lagi, sekali lagi terima kasih. Boleh saya kembali ke kelas?" Tanya Jane sambil mencium tangan Pak Beni, Jane bersorak ria dalam hati.

"Boleh, jangan ulangi lagi, untuk seterusnya, peraturan akan tetap berlaku di sekolah ini." akhirnya Jane keluar dari ruang konseling dengan perasaan lega. Pikirannya kembali teringat pada taruhannya bersama Rey. Dia benar-benar pasrah menerima kenyataan saat mengetahui dirinya kalah telak dalam taruhan.

***

Gerimis mulai menderas saat Jane menunggu kedatangan kakaknya di depan halte bus. Ia mulai gelisah melihat hujan semakin lebat. Terlebih ia hanya seorang diri, semua siswa lain sudah mendapatkan bus jurusan rumah mereka masing-masing. Dibukanya payung dari dalam tasnya, berharap bisa pulang tanpa jemputan kakaknya.

"Bang Jimi kemana sih!" seru Jane sembari menghentakan kakinya kesal. Ia melirik kesana kemari mencari bus jurusan rumahnya yang tidak kunjung datang. "Masa gue harus pulang sendiri? Mana lagi Jeje? Aarrgghhh!!!"

Jane menggeram frustrasi. Ia terpaksa menunggu hujan reda, tapi ia ingin sekali menerobos hujan.

"Sendirian aja.. bahaya loh anak cewek nunggu sendirian.."

Jane melirik ke arah sumber suara, raut wajahnya mulai berubah drastis menjadi ketus. Jane mendelik sebal melihat sosok yang tidak asing lagi mengganggu kehidupannya selama di sekolah.

"Jadi cewek itu jangan jutek. Cepet tua!" ujar lelaki di sampingnya dengan nada mengejek. "Lagian... lo tumben belum pulang, mau nyabe di sini?"

Jane menoleh cepat, ingin rasanya ia memukul wajah lelaki ini, namun ia mengurungkan niatnya itu, "Bukan urusan lo."

Rey tersenyum, dikeluarkannya sebatang rokok dari saku celananya, lalu menyulutnya dengan korek. Jane mendelik sebal melihatnya. Rey bertingkah seperti biasanya, cuek dan santai. Dihisapnya rokok itu secara perlahan, lalu berjalan mundur menjauhi Jane.

"Tumben lo masih ada di sekolah? Biasannya kan suka ngabur gak jelas," tanya Jane ketus.

"Siapa?"

"Ya elo lah!"

"Yang nanya?"

Jane melotot geram, ia memilih duduk sedikit berjauhan dengan Rey. Melihat kepulan asap rokok yang setia keluar dari hidung dan mulut lelaki itu, membuatnya semakin tidak betah jika terus-terusan dekat dengan Rey.

"Kenapa lo nakal banget sih, Rey?"

Satu pertanyaan yang sukses menohok hati Rey tepat di titik yang paling dalam. Rey tersenyum miris, menoleh pada gadis di sampingnya itu, "Bukan urusan lo."

Jane tersenyum sinis, mengalihkan pandangannya ke arah rokok di tangan Rey, "Boleh gue nyoba tuh rokok?"

Rey menolehnya cepat, terkejut bukan main, "Nggak boleh! Ini gak baik buat badan lo."

Jane mulai mendekatinya, lalu menatapnya secara terang-terangan, "Terus? Kenapa lo ngerokok kalau itu gak baik buat badan lo?"

Gemericik air hujan membuatnya sedikit tenggelam dalam setiap tetesnya. Menghirup aroma hujan yang sialnya bercampur dengan aroma rokok di sampingnya. Jane sedikit terkejut melihat Rey berdiri, mematikan rokoknya lalu dibuang ke tanah basah dan diinjaknya sampai mati.

Jane mendongak, "Kenapa dimatiin? Sayang loh, baru aja disulut."

"Lo pasti lagi cium aroma hujan, kan?"

Tuh cowok aneh banget, sumpah! Nyebelin lagi! Jane tersenyum remeh, "Tau dari mana lo?"

Rey menoleh, lalu tersenyum, "Karena gue juga suka aroma hujan. Apalagi merasakan setiap tetesan hujan. Itu berarti lo seorang Pluviophile. Sama kayak gue." Ia melangkah mundur lalu menarik lengan gadis itu untuk berdiri, menemaninya merasakan setiap tetesan air hujan. Jane hendak berontak, namun ia mengurungkan niatnya saat Rey dengan cepat melepaskan cekalan tangannya yang kuat.

"Pluviophile?"

"Pluviophile. Sebutan bagi mereka yang menyukai kehadiran hujan. Suka mencium semerbak aroma Petrichor. Pada saat hujan turun, rinai hujan membuat tanah dan bebatuan melepaskan minyak dengan aroma atau senyawa Geosmin yang merupakan aroma khas tanah, sehingga menciptakan aroma baru yang disebut sebagai Bau Hujan atau Petrichor."

Jane ber-oh ria, "Gue baru tahu lo bisa spesifik itu ngejelasin sesuatu. Pasti searching di google." Jane tersenyum, "Entah kenapa rasanya kalau liat hujan atau aromanya itu buat gue suka. Tenang dan nyaman."

"Coba, lo rasain setiap tetesan air hujan yang kena muka lo. Rasain aja, sambil merem. Rasain..."

Jane mendelik, entah apa yang merasukinya sehingga ia menurut saja dengan apa yang dikatakan Rey. Rasanya... ia mulai memejamkan kedua matanya, merasakan setiap tetesan air yang menampar wajah lelahnya. Seperti sesuatu yang menyerbu tak terbatas, "Emang apa rasanya?" tanya-nya masih dalam posisinya.

Rey menatapnya lekat, lalu mengikuti apa yang dilakukan Jane, "Tetesan air ini bagaikan ribuan cobaan yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita hanya bisa merasakannya, mencoba menerima dan bukan melupakan. Melupakan masalah atau lari dari kenyataan itu emang susah. Tapi kalau aja lo coba mecahin masalah dan berusaha menghadapi semua cobaan yang diberikan Tuhan, gue yakin, Tuhan gak akan ngasih cobaan di luar batas kemampuan setiap mahlukNya. Dan juga gue, maupun lo."

Jane dengan setia menyimak juga memikirkan apa yang dirasakannya memang benar. Serbuan cobaan, masalah, dan ujian... jangan lari dari masalah... emang susah sih... Jane mengernyit.

Rey berdecak, "Wey! Ngerti gak?"

"ENGGAK!"

Jane tidak peduli, ia memilih beranjak pergi meninggalkan lelaki itu tanpa sedikit pun menjawab pertanyaan lelaki itu. Sontak Rey terkejut, lalu mengejarnya dan merebut payung di genggaman Jane.

"Apaan sih!" sentak Jane hendak memukul lelaki itu.

"Sepayung berdua. Kan biar so sweet..." sahutnya dengan nada menggoda.

"Najis!" Jane mendelik sebal melihat wajah lelaki di hadapannya yang luar biasa tampan itu.

Lelaki itu tersenyum, tangannya mulai menggenggam jemari Jane lalu membawanya lari menerobos hujan tanpa mempedulikan pekikkan gadis di sampingnya.

"REY...!!! Berhenti...!!!"

"Kenapa berhenti?" Rey menoleh lalu tersenyum, "Tanggung, udah basah."

Jane mendengus sebal. Rey tersenyum lebar melihatnya.

Sesampainya di gerbang rumah Jane, Rey tersenyum lalu kembali berlari meninggalkan Jane di depan gerbang tanpa pamit. Jane terkejut, ia hendak menarik tangan Rey untuk mengajaknya singgah ke rumah terlebih dulu untuk sekedar menunggu hujan. Namun ia mengurungkan niatnya, ia tersenyum melihat Rey berlari menerobos hujan dengan berteriak kegirangan.

Jane terkekeh, "Dasar Trio A ; Aneh, Absurd, Antik."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro