14. MALAM KEPASTIAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

14. MALAM KEPASTIAN

Detakan jarum jam mulai menunjukan pukul sembilan malam, Jane tengah asyik menonton film Thailand kesukaannya; First Love (Crazy Little Think Called Love) tanpa ditemani ibunya yang sudah terlelap dalam tidur. Julia barusaja tiba di rumah tepat pukul tujuh tadi. Rasa lelah dan penat membuat Julia lebih memilih untuk segera tidur lebih awal. Sebelumnya, Jane sempat memasak menu makan malam kesukaan ibunya, gadis itu tersenyum puas saat mengetahui makanannya mendapat pujian dari seorang chef ternama di kota tersebut. Julia menyukai masakannya.

Seperti suara motor yang dijalankan keluar garasi, Jane langsung mengintip melalui celah gorden jendela. Ia menyipitkan matanya saat melihat Jimi hendak keluar rumah dengan berjalan mengendap-endap berusaha mengeluarkan motor besarnya tanpa menimbulkan suara.

"Pasti Abang gue mau balapan lagi, ckckck.. gak kapok apa." Jane bergumam sebelum akhirnya Jimi masuk ke dalam rumah.

"Jane, lo jangan aduan okey, gue janji pulang jam.. satu-an. Hati-hati di rumah."

"Ye.. harusnya gue yang bilang hati-hati. Semoga selamat di jalan ya.." Jane menjawab sesaat sebelum ia menahan lengan kakaknya itu. "Gue takut lo kenapa-napa lagi Bang.. gue gak mau lo kayak gini terus.. "

Jimi melepas cekalan tangan adiknya berlalu tanpa sedikit pun menoleh ke arah adiknya yang kini berusaha menahan airmatanya yang mulai menetes. Sungguh, Jane sangat mengkhawatirkan Jimi setiap malam. Ia tidak menginginkan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada kakaknya. Mengingatkannya kembali pada almarhum ayahanda tercintanya dulu.

Pagi yang cerah, hari dimana Jimi barusaja memasuki kelas satu di sekolah dasar. Senyumannya yang manis semakin menghiasi wajah tampannya pagi ini. Semua anggota keluarga kecil Demetria tengah menikmati sarapan paginya di meja makan. Dengan secangkir kopi juga koran yang menjadi objeknya kali ini, Alex berusaha menahan tawa melihat tingkah kedua putra-putrinya yang tengah beradu argumen tentang kesan hari pertama sekolah bagi anak sulungnya itu.

"Jane, kamu itu masih kecil. Belum waktunya sekolah. Cita-citamu aja belum jelas." ujar Jimi melahap nasi gorengnya menatap adiknya jengkel.

"Aku punya cita-cita kok! Papih .. Kak Jimi tuh!" Jane merengek tidak terima mengadu kepada Alex yang kini tengah bersiap menyantap sarapannya setelah Julia telah menyelesaikan aktifitas memasaknya. Julia dan Alex tertawa melihat tingkah menggemaskan kedua buah hatinya itu.

"Jimi, jangan terus godain Adek kamu! Dan kamu Jane, jangan biasakan untuk selalu mengadu kepada siapa pun tentang urusanmu. Jangan terlalu bergantung pada orang lain. Kalau kamu terus-menerus bergantung pada orang lain, dan orang yang terus kamu percayai itu meninggalkanmu gimana? Belajarlah mandiri. Jadi jangan biasakan dikit-dikit mengadu, dikit-dikit bilang Papih, bilang sama Mamih, selesaikan urusan Jane sendiri tanpa berlari dari masalah. Oke?" Alex berusaha mengusap rambut putrinya halus. Jane mengernyit, cemberut. Dan akhirnya mengangguk mengerti.

"Tos dulu dong!" Alex bertos ria dengan Jane yang kini tersenyum sumringah.

"Kamu juga Jim! Jangan pernah buat Adik kamu nangis. Lindungi dia dan lindungi perasaan semua orang yang kamu sayang. Jangan sampai kamu nyakitin perasaan orang lain, walau pun kamu suka diejekin orang di sekolah, dikata-katain orang di sekolah, biarin aja. Biarkan anjing menggonggong, kafilah akan tetap berlalu. Coba aja kalau kamu ditembak sama ultraman, tapi kamu masih hidup, namun terasa sakit. Siapa yang dipenjara?"

"Ultraman lah! Dia kan yang nembak aku! Ya aku balas lagi nanti!"

"Jangan pernah balas kejahatan dengan kejahatan lagi. Jangan balas kebencian dengan kebencian lagi, jangan balas keburukan dengan keburukan lagi, itu namanya pengecut. Bukan pemberani. Coba, kalau kamu tembak balik, nanti kamu sama-sama dipenjara, gimana?" jelas Alex tersenyum pada Julia. Jimi mengernyit heran, sementara Jane berusaha mencerna apa yang dikatakan Alex tersebut.

"Ya terus? Ultraman enak dong keliaran bebas dimana-mana. Dia kan jahat!"

Alex tersenyum, "Tuhan yang akan balas kejahatan seseorang kepada kita. Tuhan maha mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah. Kejahatan dibalas dengan kebaikan, itu baru pemberani. Sekeras-kerasnya batu, jika terus saja ditetesi air hujan, ia akan terkikis juga. Sama dengan kerasnya hati seseorang. Sekeras-kerasnya hati seseorang, jika kita terus saja membalas kejahatan orang dengan kebaikan, sedikit demi sedikit hatinya akan luluh juga. Sama kayak Mamih kalian dulu."

"Aku?" tanya Julia terkejut.

Alex tersenyum, menggenggam jemari istrinya erat.

"Dulu Mamih kalian itu juteknya minta ampun. Sampai Papih berusaha mati-matian buat ngejar Mamih kamu, membuatnya luluh secara perlahan. Sampai akhirnya Mamih kalian mau menerima papih yang bergajulan dulu."

Julia tersenyum, "Udah lah Alex, jangan dibahas. Sekarang, kalian habiskan sarapan kalian oke!"

"Yes Mommy!" ucap Alex, Jimi, dan Jane bersamaan.

Waktu pun berjalan begitu cepat. Tepat saat Jimi pulang sekolah bersama teman-teman tetangganya, ia menemukan banyak sekali orang berkerumun tepat di halaman rumah dengan menggunakan pakaian serba hitam. Ia menoleh kesana-kemari hendak mencari ibu juga Adiknya. Dengan langkah cepat ia berlari menuju taman di dekat rumahnya untuk mencari Adiknya. Ternyata Jane masih bermain ria dengan teman-temannya. Anak itu terkejut dengan kedatangan Kakaknya yang langsung menarik lengannya tanpa ampun.

"Apa-apaan sih Kak! Aku lagi main-"

"Rumah kita kenapa banyak orang?" Jimi memotong semburan kekesalan Adiknya. Kini kedua Kakak-beradik itu berusaha menerobos beberapa tetangga yang mengerumuni rumah mereka dengan ekspresi gelisah juga sedih.

Tangisan juga suara lantunan ayat-ayat suci mulai terdengar dari ruangan rumah mulai menghiasi pendengaran kedua kakak beradik itu. Karena penasaran, mereka berlari ke arah Ibunya yang tengah menangis di hadapan jasad sang suami tercinta. Alex dengan kain kafan yang melapisi seluruh tubuhnya yang kaku. Matanya yang terpejam dengan damai, senyuman yang terukir di bibirnya yang pucat. Julia memeluk kedua buah hatinya dengan erat, berusaha meyakinkan bahwa ayah mereka baik-baik saja.

"Mih.. Papih kenapa? Papih.. hiks.. jangan bilang Papih mau ninggalin kita Mih.. hiks.. Papih jangan pergi.. hiks.. " Jimi yang tidak terima denga kepergian Alex yang tiba-tiba berusaha memeluk Ayahnya, namun dengan cepat Julia menariknya kembali.

"Ayah mengalami kecelakaan.. hiks.. Kecelakaan beruntun.. hiks.. saat hendak menjemput kamu ke sekolah.. hiks.." Julia mengeratkan pelukannya tidak kuasa menahan tangis.

"Papih.." Jane menatap Ayahnya sejenak. Barusaja tadi pagi ayahnya bercanda gurau dengannya, memberi nasihat kepadanya, mengantar Kakaknya ke sekolah, selalu membubuhkan kecap ke dalam nasi gorengnya, karena Alex merupakan pecinta kecap.

Airmatanya yang mulai membanjiri kedua pipinya membuatnya tidak rela melepas kepergian Ayahnya dengan memeluk kembali jasad Ayahnya. Julia berusaha menenangkan kedua anaknya, namun naas, Julia tidak kuasa melihat kedua buah hatinya menangisi suaminya itu. Jimi mulai memeluk Adiknya berusaha membujuk sang Ayah untuk kembali pada mereka. Namun hanya raungan tangisan yang mulai menyelimuti atmosfir keluarga yang ditinggalkan.

Sama seperti maut, rizki, atau pun jodoh. Kita harus mengikhlaskan segala sesuatu kembali kepada tempatnya semula. Ke tempat yang seharusnya. Cinta dan kehidupan hanya titipan sang ilahi. Ketampanan, kekayaan, semua hanya titipan Tuhan. Mengikhlaskan kepergian seseorang memanglah sulit, bahkan sangat sulit. Namun, Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk mahluknya. Ia akan memberikan pengganti yang lebih baik. Yang menurutnya baik untuk kita, walaupun kita sering menyebutkan bahwa itu bukan keinginan kita.

Jimi melenggang pergi membawa motor besarnya menuju tempat tujuannya. Dimana para pembalap motor jalanan yang sering mengadu kecepatan motor mereka dengan hadiah yang selalu menjadi incaran mereka. Kepulan asap rokok juga minuman keras mulai berbaur dengan udara di sekitar. Jimi melangkahkan kakinya ke salah satu stand kopi terdekat. Matanya menatap seluruh pembalap yang sudah siap dengan beberapa wanita penghibur di rangkulan mereka. Jimi tersenyum sinis melihat sang rival barusaja memarkirkan motornya tepat di samping motornya. Rendi yang menyadari bahwa motornya berada di samping motor milik Jimi langsung memutar balik mencari tempat lain untuk memarkirkan motornya.

"Sadar diri.. cih!" Jimi berdecih. Tatapannya kini tertuju pada seorang lelaki berwajah sangar tengah berjalan ke arahnya. Terdapat beberapa tindik di bagian telinga lelaki itu.

"Hei King! Siap buat dapetin itu.." lelaki bertindik itu menunjukkan telunjuknya ke arah mobil sport mewah berwarna merah.

Jimi memang sudah mendapat julukan "King" di tempat mereka balapan liar. Karena hampir semua pembalap liar di sana mendapat kekalahan telak jika melawan Jimi. Namun Jimi tidak pandai menunjukkan bahwa dirinya selalu menjadi pemenang jika bertaruh dalam balapan. Jimi menatap mobil itu datar, menoleh ke arah lelaki bertindik di sampingnya.

"Mobil? Bukan duit? Bukan cewek lagi? Yussy?"

"Kali ini, Yussy udah punya pacar, katanya. Murahan banget tuh cewek. Mau-maunya aja jadi bahan taruhan selagi gak punya duit."

Jimi ber-oh ria, "Ya udah, kita mulai sekarang."

***

Suara bel rumah berbunyi nyaring malam itu. Jane yang sedari tadi masih asyik dengan filmnya segera berjalan untuk membuka pintu rumahnya. Dengan malas ia menghentakan kakinya berjalan ke arah pintu. Siapa sih malem-malem gini datang ke rumah? Siang kan bisa! Rutuk Jane sebelum akhirnya membuka pintu tersebut.

Seketika Jane terkejut bukan main saat ia membukakan pintu. Dengan cepat ia menutup pintu kembali dengan perasaan was-was juga terkejut melihat siapa di balik pintu itu.

"Jane! Buka dong.. Ini gue. Bukan setan. Tapi kalau di kelas sih suka dipanggil setan. Setan cinta maksudnya. Jane.. Jangan ditutup, elah.. apalagi hati lo, susah dibukanya.. "

Jane mengerjapkan matanya berkali-kali. Kali ini ia membukakan pintu dengan hati-hati. Perlahan namun pasti. Jane mendapati Rey tengah berdiri dengan senyuman khasnya. Berbagai bingkisan juga seikat bunga mawar merah semua berada di pangkuannya. Gadis itu berusaha mati-matian menelan ludahnya sulit saat melihat mahluk Tuhan yang luar biasa sialan tampan di hadapannya. Yang mungkin saja jika fansnya melihat idolanya sekarang, mereka akan belingsatan tidak karuan. Rambutnya yang klimis khas pomade mulai menarik perhatian gadis itu sekarang.

"Gitu dong.. udah cakep gini masa di simpen di luar,"

"Lo ngapain malem-malem dateng ke rumah?"

"Ada perlu, penting."

"Ya udah. Masuk." Jane mempersilakan Rey untuk memasuki rumah. Sesaat gadis itu malu sendiri, karena penampilannya yang acak-acakan seperti bangun tidur. Masih lengkap dengan baju tidur bermotif Rillakuma yang melekat di tubuhnya yang kecil.

"Ini semua bingkisan khusus spesial untuk kamu Jane, tapi.. bunga nya khusus buat Ibu kamu. Eh! Ibu mana? Udah pulang?" tanya Rey melihat sekeliling rumah, berharap sang Tuan rumah menyambut kehadirannya.

"Udah pulang, tadi jam tujuh. Mamih gue udah tidur, makasih ya.. makasih loh.. " Jane tersenyum menerima semua bingkisan itu lalu di simpan di salah satu kursi terdekat.

"Kalau gitu, salam buat nyokap lo.. Udah dua kali loh gue nanya nyokap lo mana. Kapan lagi coba ketemu sama pemilik restoran J.A yang terkenal itu."

Jane terkekeh, "Lebay!"

Rey menatapnya sayu, "Apalagi ngapelin anaknya kayak gini."

"Ngapel?" tanya Jane polos.

Rey menggaruk tengkuknya salah tingkah.

"Terserah deh! Mau minum apa?" Tanya Jane malas.

"Kalau bisa, teh botol aja deh!"

"Rumah gue bukan kantin! Air putih aja, repot amat."

"Kan barusan lo yang nawarin gue?" Rey bertanya heran.

"Kan gue Tuan rumahnya." Jane melenggang pergi menuju dapur.

"Kok, kesel ya?" Rey mulai berdecak kagum melihat penampilan Jane dengan memakai baju tidur dan rambutnya yang tergerai acak-acakan. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan, melihat berbagai bingkai foto keluarga yang terpajang di dinding rumah yang terbilang mewah.

Tatapannya terhenti pada satu foto keluarga kecil beranggotakan empat manusia dengan senyuman penuh kebahagiaan di setiap raut wajah mereka. Rey tersenyum pahit saat mendapati sosok pria yang fisiknya hampir menyerupai Jimi. Sosok yang membuatnya teringat akan keluarganya yang masih utuh. Hati Rey mencelos sakit, mengingat pria itu sudah lama tiada. Meninggalkan putrinya yang cantik tepat di usia yang masih menginginkan rasa disayangi oleh sosok seorang ayah. Lamunannya terhenti saat melihat sosok malaikat kecil pria yang sudah lama meninggalkan keluarga kecilnya itu menghampirinya dengan senyuman simpul.

"Nih.. silahkan diminum." Rey tersenyum jail dan meminum setengah air putih yang disuguhkan Jane.

"Lo mau minum?" Tawar Rey menyodorkan gelasnya ke arah gadis itu.

Dengan cepat Jane menggeleng, "Gue gak haus."

"Serius? Mau nggak? Dari pada ngambil yang baru.." paksa Rey mendekati gadis itu.

"Nggak Rey, itu gelas bekas mulut lo, nanti-"

"Nanti kita ciuman secara tidak langsung? Gitu?" Tanya Rey memotong penjelasan Jane, Jane menggidikkan bahunya merasa jijik. "Padahal kita udah ngelakuin lebih dari itu loh, coba gue itung... berapa kali ya?-"

"Baru satu kali, Rey.." potong Jane refleks, meraih salah satu bantal sofa di dekatnya, lalu memeluknya.

"Emang maunya berapa kali? Sama yang kemaren minuman gue direbut itu apa?" Tanya Rey mendongakan wajahnya sambil menaik-turunkan alisnya ke arah Jane, sontak Jane melemparkan bantal tersebut ke arahnya.

"Sialan! To the point, kenapa lo malem-malem dateng ke sini?" tanya Jane merasa jengkel sendiri jika terus-terusan meladeni sikap lelaki di hadapannya itu.

"Gue sengaja ke sini karena gue mau ngomong sesuatu sama lo, penting! Tadi siang gue lupa soalnya," Jawab Rey sembari merogoh saku celananya hendak mendapati ponselnya.

"Gue mau tanya, apa benar lo yang sms gue?" Rey memberikan ponselnya pada Jane. Gadis itu mengernyit, menerima ponsel tersebut menatap layar ponsel dengan teliti.

"Siapa yang bajak hape gue! Sumpah! Gue gak mungkin sms kayak beginian! Apalagi sama lo, Rey! Aduh! Nggak banget sumpah! Sialan!" Jane terkejut bukan main.

Hampir saja ponsel milik Rey mencium lantai dengan mulus saat tangan gadis itu melemas seketika. Untungnya sang pemilik ponsel dengan sigap menangkap ponsel tersebut dengan cepat. Rey menatap Jane sengit, mengusap ponselnya pada dada kirinya. Hampir aja ponsel gue mampus! Batinnya tidak terima.

"Terus, hape lo mana?"

"Ha-hape gue sebenernya... Nggak ada. Hape gue gak ada waktu gue balik ke kelas sehabis perlombaan basket."

Crap! Rey menghembuskan napasnya lega saat mengetahui bukan gadis itu yang mengirimkan pesan nista tersebut.

"Gue gak tahu hape gue sekarang kemana. Hilang tanpa jejak. Perasaan gue, semua temen sekelas itu pada ke lapang semua. Gak ada yang diem di kelas. Kecuali elo yang kabur!" Jane menatap Rey tajam, hendak meminta penjelasan.

Rey mengerut, "Kok lo nuduh gue? Kan gue yang dapet sms. Masa gue sendiri yang sms. Buang-buang waktu banget bajak hape orang. Bentar, hape lo pake password gak?"

Jane melengos panjang, "Enggak."

"Jane-jane... makanya kalau punya hape tuh pake kode!" Rey menggeleng tidak percaya.

"Hape gue gak ada privasinya kali. Emangnya elo? Kemarin lo kabur kemana? Ketemuan sama Yussy-yussy itu? Itu sama aja buang-buang waktu lo tau gak!"

"Kenapa lo marah?" Rey mengernyit tidak mengerti.

"Gue gak marah. Lo nya aja yang gak ngerti," Jane mendelik sebal saat mengetahui Rey bolos hanya karena bertemu dengan Yussy.

"Jane, gue serius-"

"Gue lebih seribu rius Reynand!" gertak Jane dongkol. Rey semakin tidak mengerti kenapa Jane bisa semarah ini hanya karena alasan bolosnya bertemu dengan Yussy.

"Lo ngapain aja sama si Yussy? Bisnis? Atau.. kurang belaian?" tanya Jane sarkatis, membuat Rey sedikit terkejut mendengarnya.

"Bentar, dari mana lo tau kalau gue ketemuan sama si Yussy? Pake embel-embel kurang belaian lagi-"

"Adit bilang ke gue." Jane memotong pertanyaan Rey. Jane mendelik sebal saat Rey semakin menampilkan wajah tidak mengertinya.

Gadis itu menggeram gemas, "Sebentar. Gue mau ambil sesuatu dulu. Pikir aja baik-baik kenapa gue marah." Jane melenggang pergi menuju kamar, mencari tas punggungnya yang berwarna biru. Ia mengobrak-abrik isi tas tersebut, mencari sesuatu yang akan ia bicarakan dengan lelaki yang mulai berpengaruh dalam kedamaian-nya di sekolah.

"Ini dia.. " Jane menarik kertas tersebut, berlari kembali menuju ruang tamu. Rey yang masih bingung kenapa gadis itu bisa-bisanya marah jika ia bersama gadis lain kini membenarkan posisi duduknya saat Jane kembali duduk di sampingnya.

"Nih! Tadi siang gue nemu ini di dalem tas."

Jane memberikan kertas itu pada Rey. Sesaat Rey mengernyit heran menatap Jane, "Apaan nih?"

"Baca sayang!"

Rey tergelak, "Lo barusan bilang apa? Sayang? Aduh! Gue baper.."

"Cepet baca, setan!"

Rey tersenyum penuh arti, sebelum akhirnya membaca isi surat tersebut yang membuatnya geram bukan main. Rahangnya sedikit mengeras, tatapannya tajam, membuat gadis di sampingnya mulai ketakutan mengingat amarah lelaki itu saat aksi baku hantam siang tadi.

Jane menelan ludahnya sulit, menatap Rey lekat. Harap-harap cemas ia mengetahui siapa yang menulis surat ancaman itu. "Lo tahu, itu tulisan siapa?" tanya Jane hati-hati.

Rey mengangguk, meneliti semua isi tulisan itu layaknya detektif profesional. Jane membulatkan matanya kagum. Ia menggeser posisinya mendekati Rey.

"Lo tahu? Siapa?" Jane menatapnya penuh harapan.

Rey tersenyum penuh arti lalu menggeleng, "Enggak."

"Setan. Lo bener-bener gak tahu atau pura-pura bego sih!" sembur Jane dongkol.

"Gue bener-bener gak tahu. Asli." Rey menjawab santai meletakan kertas itu di atas meja. Jane yang terlampau sebal juga kesal menarik kertas tersebut, meremasnya dengan sadis.

"Lo mau gue buat kayak kertas ini? Malem ini?" Jane mengancam dengan menatap tajam Rey, memperlihatkan gulungan kertas kusut di telapak tangannya.

"Mau.."

"Lo emang bener-bener setan Rey!" Jane menggeram marah hendak berdiri meninggalkan Rey kembali menyimpan kertas tersebut. Namun dengan cepat Rey mencekal lengan gadis itu untuk duduk kembali. "Mau kemana? Jangan tinggalin gue mulu.. Duduk." tatapannya yang sendu membuat gadis itu meleleh di tempat. Pasrah dengan semua perintah Rey padanya.

"Jane, lo masih inget sama syarat taruhan kemaren?"

Jane menatapnya horror, "Jangan bilang lo mau itu dari gue. Gak! Gue bakal teriak sekarang!"

"Ck! Elah... gue bakal ngasih tawaran baru sekarang,"

Jane menaikan satu alisnya, membuat kadar kecantikannya bertambah saat Rey melihatnya. "Apa?"

Rey menghirup napasnya dalam-dalam, sebeluma akhirnya sebuah kalimat tanpa jeda meluncur mulus dari mulutnya.

"JANE ALEXA DEMETRIA HARUS MENGERJAKAN SETIAP TUGAS SEKOLAH REYNAND BIMA FEBRIAND SATU SEMESTER PENUH TANPA PENOLAKAN."

Jane melotot. Mulutnya setengah terbuka karena saking terkejutnya dengan syarat yang diberikan Rey padanya.

"Anjir! Lo bercanda kan, Rey?"

"Gue serius Jane."

Jane mendengus tidak terima. Melengos panjang, malas menerima syarat tersebut.

"Lo tega banget Rey. Rupanya aja malaikat, hatinya.. bener-bener iblis!"

Rey terkekeh melihat reaksi gadis di sampingnya itu. "Kenapa? Hm..? Keberatan?"

"Apa bisa nggak harus satu semester penuh? Yang ringan-ringan napa!" Jane memukul pundak Rey keras, membuat Rey semakin terkekeh mendengar keluhan gadis itu.

"Ringan? Lo gak denger tadi apa yang gue bilang "Gak ada penolakan" ngerti?"

Jane mendengus pasrah, menyenderkan punggungnya pada sofa. "Mau lo apa sih, Rey? Lo itu datang tanpa diundang ke hidup gue, sukses ngerusak kedamaian hidup gue. Dan sekarang, keuntungan buat gue itu apa?"

Rey tersenyum simpul, "Gue bakal bantu lo buat dapetin informasi soal gebetan lo itu. Catat. Itu keuntungan lo selama lo ngerjain semua tugas sekolah gue."

"Lo serius? Nope, alamat, pin, id line, foto, biodata, semuanya tentang Kak Rendi lo bakal kasih itu ke gue?" tanya Jane histeris.

Rey mengangguk samar, "Hm.. " menjawab dengan gumaman.

Jane yang terlanjur senang tersenyum sumringah. "Okey! Gue bakal kerjain semuanya kalau gitu. Selama ada keuntungan tersendiri buat gue."

"Hm.. "

Rey berusaha mati-matian mengeluarkan senyuman palsu saat mengetahui seberapa bahagianya gadis itu saat mendapat keuntungan untuk mengoreksi semua hal tentang Rendi. Kakak kandungnya sendiri. Rey berusaha menghilangkan rasa sakit yang tiba-tiba saja menyeruak di relung hatinya saat ini. Mencari topik yang membuatnya bisa mengalihkan perhatian gadis itu dari topik sebelumnya.

"Jane, gue mau tanya sama lo. Soal.. " pertanyaan Rey tergantung saat ia mulai tidak tega untuk melanjutkannya.

"Apa?"

"Soal.. almarhum ayah lo. Gue bener-bener gak tahu sebelumnya-"

Jane tersenyum kecut, "Nggak apa-apa. Santai aja.." gadis itu menunduk membenarkan posisi duduknya.

"Jane.. lo-"

"Gue itu anak cewek yang haus akan perhatian orang tua, termasuk.. sosok seorang ayah. Ayah. Ayah yang selalu menjaga gue kala gue selalu main di tepi sungai dekat taman dulu. Selalu berkata bijak saat gue berantem sama Kak Jimi. Selalu mengalah saat berdebat sama Mamih gue. Pokoknya nggak ada lelaki yang bisa gantiin posisinya di mata gue. Sosok seorang Ayah yang selalu menyembunyikan amarahnya dalam diam. Berusaha tegar untuk tidak menangis di depan anak-anaknya. Berusaha banting tulang untuk menjamin kehidupan keluarga kecilnya. Kedudukan Ayah memang nomor kedua setelah Ibu. Ayah.. gue kangen sama sosok Ayah.. "

Perlahan Rey mulai menyadari bahwa gadis di sampingnya itu sangatlah rapuh. Bahkan lebih rapuh darinya. Rey merasa hatinya ikut menangis dalam diam. Bagaimana jika ia bernasib sama dengan gadis di sampingnya itu? Ditinggal pergi sang ayah saat masih berusia lima tahun. Rey mengusap pundak gadis itu perlahan. Berusaha menguatkan kesedihan yang menyelimuti pikiran gadis itu.

"Selintas gue ngerasa iri sama orang-orang di luaran sana. Mereka selalu tertawa lepas, merasakan kebahagiaan saat bersama Ibu dan Ayah mereka. Bahkan saat gue pulang sore ataupun malam, gue selalu berharap Ayah gue bisa jemput gue waktu itu. Ataupun di saat gerimis hujan. Yang gue tunggu hanyalah jemputan seorang Ayah, dengan senyuman hangatnya, menarik gue ke dekapan hangatnya, dengan payung di genggamannya bawa gue menerobos hujan sambil tertawa lepas. Merasakan jutaan tetesan air hujan yang setia jatuh menyentuh kulit. Rasa dingin yang menusuk lenyap hanya karena dekapan seorang Ayah. Seseorang yang buat gue nyaman, yang bisa gue anggap sebagai teman curhat gue waktu dulu suka diejek temen-temen. Dan sesaat, gue ngerasa iri sama lo, Rey." Jane menghembuskan napasnya berat, berusaha menahan butiran air mata yang sukses mengalir di pipinya.

Rey terdiam. Tangannya beralih untuk menyandarkan kepala gadis itu pada bahunya. Berusaha memberika ketenangan juga sandaran sementara saat gadis itu mulai merasa rapuh.

"Kedua orang tua lo masih lengkap. Semuanya sibuk bekerja buat kehidupan sejahtera lo kelak. Gue sempet marah saat lo merasa orang tua lo tega menelantarkan lo sama orang lain. Coba lo pikir Rey, mereka itu masih peduli sama lo. Kehidupan lo. Berusaha buat lo mandiri. Bukannya biarin lo bertindak semakin buruk. Gue tau, semua orang tua ingin sekali memberikan yang terbaik untuk anak. Dan sebaiknya, lo jangan buat mereka kecewa karena kelakuan lo sendiri. Buat mereka bahagia Rey.. Ibu lo.. dan Ayah lo. Selama mereka masih ada.. gak kayak gue.. "

Rey terdiam. Berusaha mencerna apa yang dikatakan gadis itu sebelumnya. Kali ini Jane menangis dalam diam. Hanya linangan air mata yang kini menemaninya mengurangi rasa sakit pedihnya takdir baginya. Memeluk erat-erat kepedihan dunia yang telah memisahkannya dengan seseorang yang sangat berarti baginya. Ayah.

Rey merasakan simpati yang teramat dalam pada gadis itu. Perlahan ia mendekatkan bibirnya ke arah puncak kepala gadis itu. Mengecupnya lembut penuh kasih sayang.

Jane masih terdiam, berusaha menghentikan air matanya yang terus berjatuhan. Sampai akhirnya ia merasakan sesuatu yang lembut berada di pipinya. Seseorang tengah mencium pipinya dengan lembut membuatnya menatap ke arah kecupan itu berasal.

Jarak yang sangat dekat. Sesaat mereka bertatapan, entah apa yang merasuki pikiran gadis itu. Jane memejamkan matanya pasrah saat bibir Rey menyentuh bibirnya lembut. Berusaha mengalirkan partikel-partikel kehangatan pada gadis itu.

Sepuluh detik berlalu, Rey tersadar dengan apa yang diperbuatnya. Dengan cepat ia menjauh, melepas Jane begitu saja sambil berdiri membelakangi gadis itu. Jane mengernyit, hatinya masih rapuh. Menatap sendu punggung lelaki di hadapannya.

"So-sorry Jane, gue berengsek banget sama lo barusan. Tampar gue, Jane."

"Jangan pergi Rey.. "

Rey enggan menoleh, ia masih merasa bersalah dengan perbuatannya. Sampai akhirnya ia merasakan pelukan hangat seseorang dari belakang. Jane menyandarkan kepalanya pada punggung lelaki itu, membuat si pemilik punggung semakin tidak kuasa untuk tidak meninggalkannya, "Janji, jangan pernah tinggalin gue.. "

Suara lirih itu membuat Rey gemas sendiri. Sudah cukup ia membuat gadis itu semakin mencapnya sebagai lelaki terberengsek untuknya. Perlahan Rey melepas pelukan itu lalu menoleh pada Jane. Menatap manik mata gadis itu yang mulai gelap akan kesedihan yang menyelimuti batinnya.

"Gue janji. Gue gak akan pernah ninggalin lo, Jane. Sorry, gue gak bisa lama-lama di sini. Soal surat ancaman itu, lo jangan takut. Ada gue."

Jane tersenyum samar, "Thanks." sebelum akhirnya menatap Rey tajam. Perubahan raut wajah yang sangat drastis mengingat baru saja mereka melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan.

Rey mengerut, "Kenapa mendadak horror-"

"Pulang sono! Mau digerebek warga?!"

Rey terkekeh, "Biarin. Biar sekalian dikawinin, tanpa biaya lagi."

Jane mendengus sebal, ditatapnya Rey berjalan menuju halaman rumah. Menyalakan motor hendak memakai helm.

"Hati-hati Rey!"

Rey menoleh, mengangguk. Motornya kini melaju meninggalkan halaman rumah gadis itu. Membelah keheningan jalan di tengah sunyinya malam. Jane mengusap dadanya pelan, berjalan mengunci pintu rumah kembali menonton filmnya yang masih diputar. Pikirannya masih melayang setelah mendapat ciuman dari lelaki yang setia mendengarkan curhatnya. Tanpa sadar ia menyentuh bibirnya pelan, menggeleng tidak terima dengan kenyataan bahwa dia terlalu terbawa suasana saat itu. Ingatannya tentang syarat taruhan mulai membuatnya geram. Marah bercampur kesal mengingat begitu banyaknya Rey menumpuk tugasnya selama ini.

"Dasar setan iblis!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro