15. TERKURUNG DILEMA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MEDIA: JANE ALEXA DEMETRIA (PERWAKILAN BANGSA KIDS JAMAN NOW VERSI ANAK LABIL?)

15. TERKURUNG DILEMA

Hembusan angin pagi telah membawa kebahagiaan untuk semua insan yang tengah siap memulai aktifitas.

Jane menggeliat saat jam bekernya mulai mengganggu pendengarannya sekarang. Gadis itu mengerang, mengerjapkan kedua matanya berusaha mengumpulkan nyawanya. Tatapannya kini beralih pada bungkusan kado yang di simpannya di atas meja belajar malam tadi. Ia belum sempat membuka kado tersebut karena masih menyimpan rasa marah pada lelaki yang mendatanginya semalam. Jane menyingkirkan selimut lalu berjalan ke arah meja belajarnya itu. Duduk di kursi hendak membuka bungkusan tersebut.

"Angin dari mana tuh cowok ngasih beginian. Ck!"

Jane berdecak tidak percaya sambil menyobek semua bungkusan kado tersebut. Tatapannya terhenti saat melihat sebuah boneka kartun Stitch berukuran kecil yang sangat menggemaskan. Jane tersenyum. Senyuman rasa suka yang teramat dalam. Ia menyukai boneka tersebut. Terlebih dengan warna biru yang identik, warna kesukaan gadis itu.

"Aaaa... lo kenapa ngasih boneka yang luar biasa lucu ini, cowok tengil! Gue suka tau gak!"

Jane memeluk boneka tersebut dengan erat. Sampai ia merasakan ada secarik kertas yang menempel di belakang boneka tersebut. Jane tersenyum saat melihat tulisan ceker ayam milik lelaki itu.

Gue gak tahu harus nulis apaan di sini. Gue gak bisa buat kata-kata kayak pangeran di novel-novel roman. Gue bingung. Gue cuma pengen lo senyum. Udah itu aja yang gue mau sampein. Aduh! Gue bolot amat nulis yang gak penting di atas. Pokoknya lo jangan ketawa kalau gue nulis beginian. Pokoknya gue bingung.

"Sok-sok an pake surat segala. Dasar cowok aneh!" Sedetik kemudian tawa gadis itu berderai. Jane menyimpan kertas tersebut di atas meja belajarnya. Menyimpan boneka tersebut pada kasurnya dengan penuh kasih sayang. Tidak henti-hentinya ia tersenyum setelah membaca surat tersebut. Sampai menyelesaikan aktifitas paginya dengan senyuman. Membuat Julia dan Jimi mengernyit heran melihatnya.

"Kenapa lo? Kesambet apaan senyam-senyum gak jelas gitu? Absurd banget hidup lo-"

"Gue lagi bahagia. Please, jangan rusak kebahagaiaan gue pagi ini ya, Bang Jimi yang cakep. Pokoknya gue lagi bahagia." potong Jane saat berjalan menuju meja makan. Jimi mendengus geli melihat tingkah Adiknya yang tidak biasa itu.

"Kenapa kamu senyam-senyum terus? Hm..?" Julia bertanya saat Jane barusaja duduk di kursi meja makan. Menikmati setiap sajian masakan yang dibuat Ibunya.

"Enggak kenapa-napa kok, Mih." Jane menggeleng pelan, berusaha kembali untuk bersikap biasa saja. Namun pagi ini, ia sangat bahagia setelah mendapat kejutan sederhana. Bagaimana tidak, Jane masih saja teringat akan surat yang ditempel Rey pada boneka itu.

"Oh, iya. Mungkin sekarang waktu yang tepat buat Mamih cerita sama kalian."

Kedua putra putrinya menatap Julia penasaran, "Cerita apa Mih?" tanya Jimi sebelum akhirnya melahap suapan terakhirnya.

"Begini, kalian kan sudah besar, sudah berfikiran dewasa. Kalian tahu kan kalau Mamih udah jadi singleparent selama sebelas tahun. Jadi, Mamih mau minta izin sama kalian. Apa kalian.. mengizinkan Mamih untuk.. "

"Nikah lagi?" tanya Jimi menaikan satu alisnya. Sedangkan Jane hanya diam memperhatikan.

"Iya Jimi.. Jane. Gimana... keputusan kalian..?" Julia bertanya hati-hati.

Jimi menoleh ke arah Jane yang sama menoleh ke arahnya. Mata mereka menyorotkan rasa kesal juga tidak terima dengan keputusan Ibunya tersebut. Namun di sisi lain, mereka merasa kasihan dengan pengorbanan sang Ibu yang rela banting tulang tanpa ditemani seseorang yang setia menjadi suami yang setia berada di sampingnya. Bisa menggantikan posisinya agar Ibunya bisa beristirahat dari kesibukannya dalam dunia restoran.

"Menurut mamih?" tanya Jane mengernyit. Jimi menatap Julia tajam seolah-olah tidak menginginkan hal itu terjadi.

Julia menghembuskan napasnya pasrah, walau bagaimana pun, kedua putra-putrinya itu tidak akan menyetujui keputusannya itu. Julia memang mencintai Alex, bahkan sangat mencintai Alex. Sulit sekali untuk menemukan sosok seorang lelaki yang mempunyai kepribadian sama dengan Alex di mata Julia. Maka dari itu, ia bertekad untuk memutuskan menikah untuk kedua kalinya dengan seseorang yang akan menerimanya apa adanya. Di usianya yang hampir menginjak kepala empat, Julia memang masih terlihat awet muda. Walau pun ada sebagian kecil kerutan di wajah anggunnya.

"Terserah kalian. Mamih cuma minta izin dari kalian, sebelum ada seorang lelaki yang siap menggantikan posisi Papih kalian."

Jimi berdecak kesal, "Mih! Gimana pun caranya, gak ada yang bisa gantiin posisi Papih di mata Jimi sama Jane. Tapi.. kalau misalnya ada yang bersedia serius sama Mamih, apa boleh buat. Jimi gak bisa larang. Mamih punya hak."

Jane tersenyum, menambahkan "Iya, Mih. papih memang nggak ada gantinya. Tapi.. aku dukung kok! Aku gak bakal larang."

Julia menatap kedua anaknya antusias, bisa-bisanya mereka mengerti perasaan Ibunya saat ini. Julia tersenyum penuh rasa syukur, takut jika keputusannya ini memang salah.

"Makasih ya, Mamih Cuma pengen nanya aja."

"Yah.. kirain udah taken di belakang kita. Jadi Jimi bisa ajak dia buat ketemu malam nanti." Jimi mendengus kesal, hendak berdiri sesudah menghabiskan sarapan paginya. Diikuti Jane setelahnya.

"Belum Jimi, Mamih cuma nanya. Antisipasi lah.. "

Jimi cemberut, sedangkan adiknya mengait tas birunya hendak menyalami Julia diikuti Jimi setelahnya. Mereka berpamitan hingga akhirnya berangkat sekolah bersama. Berkali-kali Jimi membahas tentang pria kriteria sang Ibu, Julia, di sepanjang jalan pada adiknya. Jane hanya bisa mengiyakan semua ucapan Kakaknya itu walau pun dalam hati, ia sangat malas menanggapi. Pikirannya kembali pada dua topik saat tiba di sekolah. Surat ancaman dan mengambil kembali ponselnya yang hilang.

Jane mendengus kesal saat melirik Kakaknya yang kini berganti pacar saat dilihatnya Jimi merangkul gadis lain dengan panggilan "Sayang Dian" yang membuat wajah gadis di rangkulannya itu semakin memerah karena malu.

"Dasar playboy kelas teri!"

Jane memalingkan wajahnya kesal, memikirkan bagaimana Kakaknya bisa sampai tega memainkan perasaan banyak perempuan, terus mematahkan banyak hati tanpa sebab.

Gimana nasib Kak Tasya? Apa hubungannya cuma seminggu? Sebulan? Atau.. cuma selingan doang? Berengsek banget tuh cowok! Ck! Sialannya itu Abang gue! Batin Jane tidak suka.

Gadis itu berjalan meninggalkan gerbang sekolah hendak menuju kelasnya, sepuluh IPS satu. Seperti biasa, Jane pasti dibuat risih tiap kali ia berpapasan dengan beberapa siswi yang tidak suka dengan berita simpang siur tentang kedekatannya dengan Rama dan Jimi. Belum lagi urusannya dengan sosok Reynand.

Jane mendengus pasrah, ini bukan kemauannya. Ini hanya kebetulan semata. Jane sama sekali ingin mempunyai kehidupan normal dimasa SMA nya. Tapi takdir memanglah takdir. Jane menerimanya dengan lapang dada, mengingat dirinya hanya seorang gadis yang masih labil dalam bertindak. Apalagi ditambah kertas ancaman itu, batinnya semakin ciut saat dirinya merasa semakin mengabaikan isi surat tersebut.

Kali ini pikirannya terus saja diisi oleh perkataan lelaki itu di malam tadi. Kata-kata yang membuatnya seolah tidak akan membuatnya merasa sendiri saat ia membutuhkan sandaran ketika jatuh. Sosok seorang yang membuatnya sekarang ingin ia temui. Bukan karena rasa sayang dan cinta, tapi seseorang yang tidak pergi saat kita jatuh. Bukan hanya menemani di saat senang saja, tapi juga di saat sedih. Teman memang selalu berusaha membuat kita tersenyum, senyuman itulah yang menjadi kunci emas kebahagiaannya.

"Eh! Lo yang pake tas biru rambut dikepang! Sini!"

Lamunan gadis itu membuyar, menoleh ke arah sumber suara di belakangnya. Seseorang dengan suara khasnya memanggil ciri-ciri gadis itu dengan nada tegas. Jane tersenyum ketar-ketir saat melihat Rendi yang barusaja memanggilnya untuk menghampirinya. "Sini cepet!"

Gadis itu mengernyit, melihat perubahan sikap Rendi yang menjadi ketus. Berbanding jauh saat pertama kali mereka bertemu, apalagi saat Rendi memintanya mengikuti eskul Pecinta Alam.

"Ada apa Kak?" tanya Jane setelah sampai di hadapan Rendi. Wajahnya terlihat seram, dingin, datar, tidak seramah biasanya. Jane berusaha menatapnya secara terang-terangan. "Kak Rendi manggil saya?"

"Kamu tuli atau buta atau gimana sih? Seenaknya aja kamu lewat gitu aja. Mana tas kamu?"

Kenapa lo gak peka sih, Jane! Raziaan coy! Dharma Cup udah lewat, elah... Gadis itu melepas tas punggungnya, diberikannya pada Rendi. "Nih.. "

Rendi melirik Jane sejenak, lalu ia mengobrak-abrik seluruh isi tas gadis itu. Berharap mendapati barang-barang yang tidak lazim dibawa ke sekolah. Kali ini para anggota Osis memang gencar terhadap sikap para penyamun yang selalu seenaknya membawa rokok, bahkan merokok di sekitar sekolah. Apalagi di dalam kelas. Ada juga anak perempuan yang kesehariannya biasa memakai lipstick dan make up tebal yang jelas-jelas dilarang untuk dipakai di sekolah.

"Aman.. Gak bawa alat make up?" tanya Rendi sekali lagi.

Jane yang sedari tadi memperhatikan lelaki idaman di hadapannya langsung terbelalak kaget saat Rendi mencondongkan wajahnya ke arahnya. Jane menelan ludahnya sulit, berusaha menghilangkan rasa panas di pipinya sekarang.

"Sa-saya gak terlalu suka make up. Saya gak punya,"

"Saya tanya kamu bawa, enggak! Bukannya suka atau enggak! Saya nggak peduli kamu suka atau tidak." Rendi menjawab tegas pernyataan Jane, membuat gadis itu sedikit meringis ketakutan mendengarnya.

"Nggak bawa Kak! Asli!"

Rendi menatap gadis itu tajam, kembali menutup resleting tas tersebut lalu ia kembalikan pada Jane.

Gila-gila-gila! Tegas banget tuh cowok! Bayangkan! Gue itu cewek! Udah dibentak sangar kayak gitu! Apalagi sama cowok? Mantap jiwa.

"Udah Kak?" Jane meringis saat Rendi masih menatapnya, mending dikacangin deh, daripada diliatin kayak gini mah. Kesannya horror.

"Kamu ikut eskul pecinta alam kan? Kenapa jarang kumpul? Apa.. gak pernah absen pacaran sama Jimi?" Jane mengernyit, bukan masalah ia mengikuti eskul atau tidak. Tapi hubungannya disangkut pautkan dengan Jimi. Rendi berdecak, "Apa sih bagusnya Jimi. Playboy gitu masih aja kamu ladenin,"

"Maksud Kak Rendi apa, ya? Iya, saya emang jarang latihan eskul. Tapi hubungannya sama Kak Jimi, apa?"

Rendi menatap Jane malas, "Mungkin aja waktu lo tersita gara-gara main sama dia. Dan lo lupa kalau lo itu punya kegiatan di sekolah."

Jane terkejut, "Kak, itu alasan yang paling gak masuk akal. Dan ini nggak ada hubungan apa-apanya sama Kak Jimi. Saya ingatkan ya Kak Rendi yang terhormat; jangan pernah bilang Kakak saya itu playboy atau apapun yang buat saya sakit hati mendengarnya sebagai Adik. Adik kandung Kak Jimi. Permisi."

Jane melenggang pergi menuju kelas meninggalkan Rendi yang masih mematung, berusaha mencerna apa yang dijelaskan gadis itu. Jane? Adiknya Jimi? Setahu gue Jimi gak pernah cerita kalau dia punya adik.

"Kenapa Ren? Sejak kapan lo mulai ngobrol panjang waktu raziaan? Apa.. lo naksir sama dia?" Gina berjalan menuju Rendi yang masih berfikir keras, mengingat hubungan Jane dengan Jimi yang tidak ia ketahui.

Rendi menoleh, "Dia.. Adiknya Jimi Gin. Jimi punya adik perempuan!"

Gina terkejut. Sedetik kemudian ia kembali menunjukan ekspresi biasa saja menanggapi sesuatu tentang Jimi. "Oh.. punya adik."

Rendi geram dengan jawaban gadis di hadapannya, "Dia gak pernah cerita, Gina..."

Gina menaikan satu alisnya, "Ya terus? Udahlah! Jangan bahas yang gak penting! Gue gak tahu dan gak mau tahu!"

Rendi menghela napas berat, memikirkan Gina yang masih tidak terima dengan keputusan Jimi untuk meninggalkan mereka. Rendi tahu, Gina masih merasa bersalah mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Termasuk dirinya sendiri. Mencintai sahabat sendiri memang lebih berbahaya resikonya dari pada mencintai musuh sendiri. Putusnya ikatan tali persahabatan memang menjadi resiko paling berat saat salah satu dia ntara mereka menyukai satu sama lain. Apalagi menyukai satu orang yang sama, membuat sahabat sendiri serasa menjadi rival sendiri, dan melupakan semua kebaikan yang pernah sahabat kita beri.

"Gue bener-bener minta maaf Jim. Gara-gara gue, semuanya udah berubah total. Seratus delapan puluh derajat lo berbeda dari lo yang dulu."

***

Jane barusaja memasuki kelas. Tatapannya menyapu seluruh ruangan mencari seseorang yang telah membuatnya tersenyum sepanjang pagi. Namun senyuman itu memudar saat ia mendengar perkataan pedas dari mulut lelaki yang selama ini ia kagumi. Rendi telah membuatnya kecewa setengah mati. Jane pikir Rendi tidak akan menyangkut-pautkan selama masih dalam urusan eskul dengannya. Tapi menyangkut Jimi, Jane merasakan hal yang ganjil antara Rendi dan Jimi. Jane merasa Rendi dan Jimi itu sama. Membenci satu sama lain. Ia menghembuskan napas berat saat berjalan menuju bangkunya. Melirik ke arah meja yang berada disampingnya, kosong.

"Jane, lo berangkat bareng Kak Jimi lagi?"

Jane menoleh, mendapati Zenita yang membuatnya terkejut saat melihatnya. Ada beberapa luka lebam dibagian wajahnya. Seperti luka pukulan juga tamparan yang membuat sudut bibirnya terluka. Zenita tersenyum miris, mengangguk bahwa keadaannya baik-baik saja.

"Lo kenapa Je? Siapa yang buat lo kayak gini? Cerita sama gue!"

"Jane, jangan pake toa, bisa?"

Jane berteriak histeris, bertanya mengapa Zenita sampai seperti itu. Mendengar teriakan Jane, seisi kelas mulai menatapnya sengit, merasa terganggu. "Sorry.. " Jane memberi tanda damai dengan mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. Semua temannya kembali melanjutkan aktifitasnya masing-masing tanpa menghiraukan kondisi Zenita yang seharusnya mengundang banyak perhatian seseorang yang melihatnya.

"Gimana gue gak histeris Je! Lo, lo kayak gini kenapa? Hah? Jawab gue! Cerita sama gue!"

Zenita mendengus pasrah melihat ekspresi khawatir sahabatnya itu. Namun Zenita merasa enggan untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Mengingat kejadian semalam yang membuatnya seperti itu. "Gue... gak bisa cerita sama lo."

Jane mendengus gemas, kali ini gadis itu membenarkan posisi duduknya menghadap ke arah Zenita. Ia memegang kedua tangan Zenita, antisipasi jika sahabatnya itu kabur saat didesak untuk bercerita.

"Emangnya kenapa gak bisa cerita, masalah keluarga lo?"

"Hm.. "

"Cerita sama gue, ingat, gue sahabat lo. Sandaran lo saat lo jatuh, saat lo sedih, saat lo susah. Seorang sahabat gak akan pernah ninggalin temannya di saat rapuh. Berusaha buat ada di saat lo lagi butuh. Berusa-"

"Udah-udah! Kenapa lo mendadak orasi gak jelas sih! Mau dengerin gue atau enggak!" potong Zenita tak sabaran.

"Iyalah! Itu gunanya teman. Selalu ada saat lo senang atau susah." Jane berseru semangat saat Zenita hendak menceritakan curhatannya.

Zenita menghembuskan napasnya berat, berusaha menahan air mata yang bisa saja terjatuh tanpa aba-aba saat bercerita. Di sisi lain, Adit tidak sengaja mendengarkan pembicaraan mereka di depan mereka. Berhubung bangkunya di depan Jane, ia memanfaatkan kesempatan itu.

"Gue.. gue dipaksa buat.. jual diri sama Om gue, Jane. Bokap Nyokap gue punya hutang banyak sama dia. Bayangin Jane, 7 miliar. Uang dari mana tuh! Perusahaan bokap gue bangkrut. Nyokap gue frustrasi, apalagi nasib Bokap. Gue, sebagai anak tunggal cuma bisa apa. Tiap hari gue liat mereka adu bacot gara-gara hutang. Dan lo tahu Jane, Om gue itu siapa?"

Jane menggeleng, sibuk menyimak.

"Bokapnya Hira."

Jane terkejut, kini ia menoleh ke arah Hira. Gadis itu tengah menyanyi ria dengan kedua teman setianya. Berjoget mengikuti alunan musik dangdut yang selalu menghidupkan suasana kelas menjadi lebih berwarna. Adit yang mendengarnya ikut melirik Hira tidak percaya.

"Jangan ember, okey. Hira itu sebenernya anak haramnya Om gue. Married by accident. Itu semua rahasia keluarganya Hira. Kalau aja gue diancam sama dia, gue jamin, berita tentang dia anak haram pasti udah nyebar! Dan sayangnya, gue gak bisa. Gue masih berpikir dua kali kalau mau ngelakuin sesuatu. Gue sekarang miskin, Jane! Kalau aja gue gak mau jual diri, ataupun rela dinikah siri sama om-om konglomerat, rumah gue jaminannya."

Miskin dari mana! Rumah gedong gitu! Adit mendengus tidak mengerti.

Jane kembali menatap Zenita, berpikir bahwa Zenita mempunyai ikatan darah dengan gadis biduan kelas itu. Tapi mengapa Hira selalu mengejek, atau merendahkan saudaranya sendiri. Jane mengerti maksud Zenita, bahwa alasan mengapa terkadang di saat Hira barusaja memasuki gugus dua, ia selalu membawa Zenita kemana-mana bersamanya. Alibi menutupi rasa bencinya dengan selalu dekat bersama saudaranya di hadapan semua orang. Dan sekarang, Hira lebih mengacuhkan Zenita setelah menemukan beberapa teman barunya yang sepaham dengannya. Zenita sadar diri, ia tidak lagi dibutuhkan Hira untuk menutupi alibinya. Dan memilih untuk sebangku dengan Jane.

"Gue setengah percaya sih. Gue tahu, alesan kenapa Hira sebegitu benci sama lo. Tapi kenapa, kenapa Om lo sebegitu jahatnya nyuruh lo jual diri?"

Zenita mendengus pasrah, "Lo pikir cari uang 7 miliar itu gampang Jane? Hm.. nggak. Sekarang lo pikir, gimana kalo gue kerja sebagai sales? Gaji gue tetep aja jauh dari kata miliar. Jadi kasir minimarket? Bisnis baju atau tas online? Jadi pembantu di rumah konglomerat sekali pun, gak akan bisa sentuh kata miliar."

Jane berdecak kesal, mengusap wajahnya frustrasi. Ia menoleh ke arah samping. Bangku Rey masih kosong. Hanya satu tas yang terduduk manis di atas kursi. Tas Bimo.

"Gue gak bisa ngapa-ngapain sekarang. Mungkin Tuhan gak adil buat gue-"

"Lo jangan pernah salahin takdir Tuhan, Je! Bagaimanapun, Tuhan nggak akan ngasih cobaan melebihi batas kemampuan manusia itu sendiri. Lo jangan gegabah nuduh yang enggak-enggak kayak gitu. Okey, mungkin sekarang lo itu lagi diberi cobaan. Bukannya Tuhan gak adil sama lo. Justru itu, Tuhan kasih lo cobaan buat lo bisa terus inget sama Tuhan. Berdoa sama Tuhan."

Zenita menunduk, airmatanya kini membanjiri pipinya. Bahunya naik turun saat tangis mulai menguasainya. Dengan cepat Jane mengusap punggungnya lembut. Mendekati Zenita lalu memeluknya dengan erat. Mungkin ini rasanya dengerin curhat orang, gue ngerasa kasihan banget sama Jeje. Gimana kalo itu nimpa gue? Gue pasti mati muda mikirin duit miliaran itu darimana.

"Sabar ya Je.. gue pengen lo jangan sampai jual apa pun milik lo yang berharga itu. Gue gak bisa bayangin nantinya gimana."

"Gue gak mau Jane.. hiks.. gue.. gak bisa.. " Zenita menangis di pundak Jane, melepas segala beban hidupnya saat semua orang tidak ada yang peduli pada penderitaanya. Jane merasa geram sendiri, melihat temannya menangis di pelukannya, tidak ada yang peduli sama sekali. Teman sekelasnya terlihat acuh mengetahui Zenita menangis sesenggukan. Sesekali mengangkat bahunya tidak peduli. Serasa tidak ada apa-apa di dalam kelas.

Adit mendengar semuanya, ia bingung setengah tidak percaya. Lelaki itu kembali menggunakan earphone berusaha untuk berpikir, bagaimana hidup Zenita ke depannya jika harus seperti itu keadaannya.

Untuk kesekian kalinya, Jane kembali melirik bangku di sampingnya, kursi Rey masih kosong. Tuh cowok kemana sih. Gue butuh banget lo Rey. Semuanya gak ada yang peduli. Gue gak mau lo pergi Rey. Gue butuh lo sekarang.

"Je, gue bakal berusaha bantu lo buat lunasin semua hutang bokap nyokap lo. Asal lo terus aja berusaha dan berdoa sama Tuhan. Gue yakin, Tuhan akan melancarkan usaha lo. Demi menjaga kehormatan lo."

Zenita menarik tubuhnya dari pelukan Jane, berusaha menyeka matanya yang basah. Jane menatap manik mata Zenita, menemukan berbagai luka juga pahitnya hidup yang menimpanya selama ini. Jane tersenyum hangat, berusaha membuat sahabatnya tegar untuk menghadapi cobaan hidup yang menimpa keluarganya. Juga batinnya.

"Lo cengeng banget sih Je, lebay!"

"Lo juga kepo-an amat jadi cewek! Ya ini risikonya! Gue mewek!"

Jane tertawa, membuat Zenita ikut tertawa. Jane merasa lega sendiri, melihat sahabatnya kembali bangkit dari keterpurukannya.

"Makasih ya Jane, lo mau dengerin curhatan gue."

Jane berdehem, "Ehem! Gak gratis!"

Zenita mencubit pipi Jane gemas, "Mata duitan! Matre lo!"

"Nggak ada yang gratis di dunia ini sayang. Semua serba bayar. Serba berharga. Zenita Putri. Toilet umum aja bayar."

Zenita sebal sendiri mendengarnya, mendelik. Jane tersenyum, dengan cepat ia menggelitik pinggang Zenita membuat gadis itu tertawa lepas berusaha melepas gelitikan maut Jane. Hingga akhirnya mereka tertawa bahagia selama guru belum memberi pengajaran di kelas mereka.

***

"Reynand..?"

Hening.

"REYNAND BIMA FEBRIAND!"

"Nggak ada, Bu.."

"Nggak masuk, Bu.. "

"Go home, Bu.. "

Bu Tania sedang mengabsen beberapa siswanya, kebiasaan sebelum di mulainya kegiatan belajar mengajar. Terdengar dengusan kesal dari Bu Tania saat mengetahui muridnya yang satu itu tidak masuk pelajarannya. Hari ini bangku Rey terlihat masih kosong, Bu Tania menatap seluruh siswa meminta penjelasan.

"Maksudnya go home itu bolos? Atau gak masuk dari awal sebelum bel masuk?"

"Dari sebelum bel masuk." celetuk Kisha polos.

Bu Tania mendengus kesal, "Terus, kenapa kalian bilang go home!"

Sedetik kemudian tawa seisi kelas berderai, menyadari kecerobohan mereka dalam menyampaikan informasi.

"Dari sebelum saya masuk atau saat saya masuk dia sudah nggak ada? Adit?"

Saat Adit hendak memberi penjelasan, Hira dengan cepat mengangkat tangan menjelaskan mengapa Rey tidak bisa hadir hari ini.

"Rey izin lomba bu, lomba skateboard tingkat kota. Di Bandung."

Adit yang tidak terima penjelasannya direbut sang rival. Ia menatap Hira sengit. Yang ditatap hanya memasang senyum penuh kemenangan. Membuat Adit geram bukan main.

Sementara di sisi lain, Jane mengerut menatap bangku kosong di sampingnya itu. Kenapa Rey nggak ngasih tau gue? Kenapa dia tinggalin gue gitu aja? Jane mendengus memalingkan muka ke arah Bu Tania kembali.

"Lomba skateboard? Emang dia bisa skateboard?" Bu Tania bertanya heran, seolah-olah tidak percaya dan merasa aneh dengan penjelasan Hira.

"Rey itu jagonya, Bu! Ibu liat aja di mading sekolah. Tiap minggu eskul jurnalis di sini paling up to date soal Rey! Setiap pagi kan dia suka bawa skateboard ke sekolah. Dari gerbang ke kelas maksudnya." Hira kembali menjelaskan. Kini melirik Adit yang masih menatapnya sengit. Hira tersenyum penuh kepuasan melihatnya.

Seolah-olah tidak percaya dengan berita yang disampaikan, Bu Tania menggeleng pelan, kembali melanjutkan mengabsen setiap murid yang hadir dalam pelajarannya.

"Anak itu.. ckckck.. ya sudah, buka tugas presentasi minggu kemarin."

Jane melengos panjang, dikeluarkannya buku Sejarah miliknya dari dalam tas. Sesekali ia melirik ke arah bangku kosong di sampingnya. Atau mendapati Bimo secara tidak sengaja menatapnya, membuat Jane cepat-cepat menyuruh Bimo untuk fokus terhadap aktifitasnya sendiri, tidur di jam pelajaran.

Bimo mulai memperhatikan Bu Tania di depan kelas, sesekali mengutak-atik ponselnya tidak peduli. Bu Tania yang melihat aktifitas Bimo langsung menggebrak meja Hira dengan keras. Membuat Hira dan Kisha di hadapannya terkejut bukan main, bahkan Hira hampir menjerit sebelum akhirnya Kisha menutup mulutnya tanpa disuruh dua kali.

"Albimo Windarta! Saya ingin kamu buka pintu lalu tutup pintu dari luar. Sekarang!"

Gebrakan kedua bahkan lebih keras dari sebelumnya di hadapan Hira. Gadis itu meringis ketakutan, sama seperti teman sekelasnya. Bimo yang tertangkap basah memainkan ponselnya hanya mengeluarkan senyuman manis pada Bu Tania, melirik sekilas ke arah Jane lalu berdiri berjalan keluar kelas tanpa merasa takut atau malu. Semua teman sekelas menatapnya tidak percaya, bahkan Bu Tania tidak habis pikir melihat kelakuan anak didiknya yang terlanjur kurang ajar.

Bu Tania berusaha sabar juga tegas dalam menghadapi murid berandalan seperti itu. Sudah hampir puluhan tahun Bu Tania mengajar, baru kali ini ia merasa perilaku dan sikap anak zaman sekarang mulai kurang menghargai tatakrama sopan santun pada orang tua. Bahkan tidak banyak di antara anak-anak jaman sekarang lebih memilih cuek atau berpura-pura tidak mengenal saat berpapasan dengan guru mereka. Bahkan tidak segan-segan melapor hal yang wajar pada pihak berwajib jika guru melakukan hal yang seharusnya menjadi pembelajaran bagi anak didiknya itu. Seperti bentakan, cubitan, atau jeweran.

"Selesaikan tugas kalian hari ini, tidak ada kata tapi-tapian."

Selama Bu Tania mengajar, kini Jane melirik ke arah bangku di sampingnya. Dua-duanya kosong. Hanya ada satu tas di sana. Tas Bimo yang pemiliknya sekarang entah kemana. Jane mendengus, melirik ke arah Zenita yang tengah sibuk mencari jawaban soal-soal presentasi kelompok sesuai barisannya. Kebetulan Jane satu baris dengan Adit, jadi ia hanya bersantai-santai saja jika ada Adit yang sudah mahir dalam mencari jawaban. Begitulah jika kerja kelompok, hanya satu-dua orang saja yang berpikir dan mencari jawaban, sementara anggota lain hanya ikut tumpang nama saja. Jika tidak, hanya dengan bayaran semata, namanya pasti sudah tertera di dalam tugas.

***

Jam istirahat pertama berbunyi, Jane segera beranjak dari kursi untuk segera membawa ponselnya kembali. Jane menoleh ke arah Zenita, sahabatnya itu masih berkutat dengan catatannya yang tertinggal saat Bu Tania menjelaskan dengan intonasi yang keras juga cepat. Membuat semua siswa yang memperhatikannya sedikit kesal saat Bu Tania menulis beberapa materi di papan tulis dengan cepat. Satu menit saja tertinggal menulis, tulisan tinta tersebut sudah terhapus diganti dengan tulisan yang baru.

Jane menyapu pandangannya ke seluruh ruangan kelas, hanya ada Trio Alim yang masih berdiam diri di dalam kelas. Ingin rasanya Jane bertanya mengapa mereka tidak pergi ke kantin atau keluar kelas jika merasa bosan.

"Kalian kenapa gak ke kantin?"

Latif menoleh, "Gue lagi puasa. Mereka berdua juga." menunjuk ke arah Iqmal juga Arif di sampingnya. Jane ber-oh ria. Tersenyum lalu berdiri hendak pergi keluar kelas.

"Mau kemana lo?"

Jane menoleh ke arah sumber suara, Zenita "Ke toilet. Lo mau ikut?"

"Gak, deh! Makasih. Masih beberapa lembar lagi tulisan Bu Tania yang belum gue tulis."

Jane mengangguk, berjalan keluar kelas hendak menuju toilet tanpa ditemani siapa pun. Jane berharap bahwa ponselnya dalam keadaan baik-baik saja. Perasaannya mulai tidak enak, ia melihat toilet laki-laki dalam keadaan sepi. Tidak ada satu orang pun yang ada di dalam toilet. Jane mendesah lega, ia tidak perlu merasa malu bertemu dengan anak laki-laki jika ia sengaja memasuki toilet yang tidak seharusnya ia masuki.

"Toilet ujung.. "

Jane berjalan menuju toilet paling pojok, perasaannya semakin tidak enak saat langkahnya terhenti di depan pintu toilet. Tangannya mulai memegang kenop pintu hati-hati, tubuhnya bergetar dengan hebat. Keringat dingin mulai membanjiri telapak tangannya.

Tanpa disadari, sekelompok orang menghadang Jane dari arah belakang. Menutup kedua mata gadis itu dengan kain, membekap mulutnya, menyeretnya ke dalam toilet tersebut dengan kasar. Jane berusaha berontak sekuat tenaga, namun nihil. Kekuatan satu orang melawan tiga orang memanglah pasti kalah. Jane merasakan punggungnya terdorong membentur water closet di belakangnya. Rasa nyeri mulai menjalar saat dirinya mulai merasakan jambakan keras di rambutnya. Ia meringis kesakitan berusaha untuk menjerit sebisa mungkin, menendang-nendang kakinya sekuat tenaga untuk mengenyahkan seseorang, ah tidak, mungkin beberapa orang di hadapannya sekarang. Dagunya mulai terasa sakit saat dipaksanya untuk menghadap keatas. Pada seseorang yang tengah berhasil membuat mangsanya tidak berdaya.

Sementara beberapa orang tengah berjaga di pintu utama toilet. Memastikan bahwa tidak boleh ada anak laki-laki yang masuk ke dalam toilet tersebut. Sebelumnya mereka melancarkan aksinya dengan menempelkan kertas peringatan pada pintu tersebut. TOILET RUSAK. Sehingga siswa laki-laki merasa kebingungan dan akhirnya melakukan aktifitas alamiah tersebut di toilet lain. Maka berjalan muluslah aksi mereka untuk menyantap mangsanya secara leluasa tanpa takut diketahui siapa pun.

Jane merasa kewalahan, matanya mulai berkhianat. Kali ini rasa sakit yang dirasakannya mulai membuat air matanya membanjiri kain penutup matanya. Semua orang di sana tersenyum penuh kepuasan.

"Lo mau hape lo balik ke tangan lo? Hm..?"

Jane mendongak, mulai menebak siapa pemilik suara lembut namun beracun tersebut. Kedua kaki Jane mulai menendang si pemilik suara tersebut di hadapannya. Namun dengan cepat, Jane kembali meringis kesakitan saat dagunya mulai kembali ditarik paksa untuk mendongak ke atas. Menghadap seseorang yang menjadi objeknya kali ini.

"Mmmbbbpp!!!"

"Apa..? Lo mau teriak? Silahkan.." gadis di hadapan Jane mulai melipat kedua tangannya di depan dada, menurunkan wajahnya tepat di samping telinga Jane, "Sayangnya percuma."

Jane menangis dalam diam, berusaha memikirkan caranya untuk lepas dari kekangan para gadis di hadapannya.

"By the way. Gue udah cek ponsel butut lo itu. And gue udah gatel banget pengen nampar lo yang udah buat perhitungan terselubung dengan gue! Lo.. emang bener-bener sampah! Lo berani-beraninya deket-deket sama Rey! Pulang bareng lagi! Lo kegatelan banget jadi cewek! Oh! Yang lebih pantas buat lo, hm.. jalang sampah!"

Satu tamparan keras mendarat mulus di pipi kanan Jane. Jane meringis kesakitan merasakan perih juga panas di pipinya yang mulai memerah. Jane sudah tidak kuat lagi, ingin sekali ia membalas semua perlakuan gadis di hadapannya itu.

Sialan tuh cewek! Gue jamin, gue bakal bales semua orang yang bully gue sekarang! Jane semakin berusaha berteriak. Kedua kakinya semakin gencar menendang siapa pun yang berada di hadapannya. Tidak sengaja bekapan tangan di mulutnya terlepas, membuat Jane leluasa memanfaatkannya dengan berusaha berteriak meminta tolong namun nihil, beberapa tamparan kembali menghantam pipinya.

"Tolong!!! Tolong!!! Aaaa...!!!"

"Sialan banget lo jadi jalang! Heh!" Geram dan amarah mulai menguasai pikiran gadis itu. Satu, dua bahkan beberapa kali tamparan keras mulai terdengar mengisi setiap sudut ruangan toilet.

"Rasain lo! Hahahahaha...!!!" Tawa sarkatis mulai berderai saat Jane merasakan sakit yang luar biasa di berbagai titik pusat nyerinya.

Jambakan dan tamparan semakin menjadi saat gadis iblis itu mulai menyerangnya secara membabi buta. Jane merasa lelah, ingin sekali ia berlari dan tertidur sejenak dari aktifitas ini. Merasa sekujur tubuhnya yang mulai melemas akibat perlakuan gadis iblis itu terhadapnya. Rasa perih mulai mendominasi di sekitar sudut bibirnya.

Cairan merah kental mulai mengalir membuat tetes demi tetes di setiap kerah seragam putih milik Jane. Rasanya gelap. Kegelapan mulai menyelimuti saat cahaya remang-remang di kelopak mata mulai mengabur. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Tubuhnya yang mulai lemas, membuatnya ingin beristirahat sejenak. Rasanya terbang. Ia tidak lagi mendengarkan suara hinaan juga cacian yang dilontarkan para gadis iblis itu. Hatinya menari, meloncat ria saat mengetahui dirinya mulai tak sadarkan diri.

Resah dan gelisah mulai terhempas begitu saja saat waktu yang dinanti-nanti tiba. Tiba untuk dinikmati. Rasa perih, sakit dan nyeri hilang begitu saja. Tawa hambar mulai berderai dalam hatinya, ingin sekali ia tidur dan beristirahat lebih lama. Menyembuhkan semua masalah yang selalu membelenggu takdirnya.

"Hei, jalang! Bangun! Malah tidur lo! Bangun!"

Satu tamparan keras kembali mendarat mulus dipipi kanan Jane, "Hei bitch! Bangun lo!"

Tidak ada respon, gadis iblis itu menyiram air keran pada sekujur tubuh Jane. Membuat sekujur tubuhnya basah sampai-sampai Jane kembali tersadar dari pingsannya. Rasa dingin mulai menyengat saat ia merasakan basah di sekujur tubuhnya. Ia menggigil kedinginan. Jane menggigit bibir bawahnya kuat, tubuhnya mulai bergetar hebat.

"Sebagai ucapan perpisahan, gue ingatkan sekali lagi. Jangan pernah lo deket-deket lagi sama Rey. Gue gak peduli lo mau deket sama cowok famous lain di sekolah. Gue cuma peringatin lo buat jauh-jauh dari Rey. Gue gak mau lo rebut dia dari gue, ngerti?" dia menyumpal kembali mulut Jane dengan kain, "Oh! Satu lagi," suara benda yang dibanting dengan keras seperti pecahan kaca mulai terdengar kontras di hadapan Jane, "Hape butut lo!" tanpa berfikir panjang gadis bengis itu mulai menginjaki ponsel Jane yang sudah pecah tidak berwujud. Jane menangis dalam diam, berdoa agar gerombolan gadis bengis di hadapannya segera meninggalkannya.

"Guys! Kita cabut!"

Jane mendengar suara derapan sepatu mulai menjauh dari tempatnya berdiam diri. Ia menghela nafas lega, mengingat ia tidak perlu lagi merasakan tamparan keras dari tangan seseorang yang membuatnya benci setengah mati. Mungkin ia tidak mengetahuinya, tetapi siapa sangka, dewi fortuna lebih berpihak padanya. Mereka yang menindasnya dengan sadis tidak menyadari bahwa ada CCTV di setiap toilet sekolah.

Jane tertawa sarkatis dalam hati, ingin sekali ia melihat siapa dalang dibalik semua ini. Jane berusaha sekuat tenaga melepas ikatan tangannya yang melingkar di leher water closet, namun nihil. Satu-satunya cara lain adalah menendang dengan brutal pintu toilet di hadapannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro