16. STOP PENINDASAN!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

16. STOP PENINDASAN!

Semilir hembusan angin menerpa wajah Rendi saat mengamati beberapa siswa yang tengah berbondong-bondong berjalan menuju kantin. Surganya anak sekolah yang selalu menjadi santapan waktu jam pelajaran kosong. Ada yang berlari-lari dengan candaan menuju kantin, ada yang diberi siulan atau godaan pada setiap anak perempuan yang cantik dan yang mempunyai tubuh ideal. Santapan para penyamun sekolah yang selalu membuat kerusuhan jika keadaan kantin yang ramai dengan adik-adik kelas baru mereka. Memanggilnya, berusaha meminta uang jajan mereka dengan tatapan mengintimidasi.

Dasar anak kelas dua belas. Rendi berdecak kesal saat sang adik kelas dengan mudahnya memberikan beberapa lembar uang dari saku seragamnya. Rendi geram bukan main, rahangnya mengeras seiring langkah kakinya mulai beranjak menuju sarang penyamun itu. Kini pentolan-pentolan itu menyadari bahwa ada seseorang yang tengah berjalan ke arah mereka. Seseorang yang sangat "Anti" bagi mereka.

Rendi menatap mereka tajam, namun yang ditatap hanya tersenyum tidak suka.

"Balikin duitnya, gak ada kerjaan banget malakin Adek kelas. Gak dikasih uang jajan lo sama bokap nyokap lo!"

"Bacot lo! Sok-sok an jadi pahlawan kesiangan! Gak punya kaca lo di rumah! Jangan dulu kasih kita nasehat basi lo. Liat. Adek. Lo. Sendiri. Si Rey lebih milih kayak gue, atau sok ber-attitude kayak lo?"

Rendi menelan ludahnya sulit, merasa tertohok dengan pernyataan pedas tersebut. Ia berdecih, "Balikin."

"Ck! Dasar bego! Sebelum lo terlalu bolot berkepanjangan, gue saranin. Lo. Liat. Adek. Lo. Sendiri."

Rendi merasa geram sendiri, lebih baik menjauhi mereka yang selalu menancapkan beberapa pertanyaan tajam di lubuk hatinya. Batinnya yang selalu membela semua perilaku adiknya di depan semua orang. Ia menarik sang adik kelas menjauh dari mereka. Adik kelas itu mengernyit, namun lebih memilih menyetujui semua tindakan Rendi yang lebih memilih mengalah daripada terus-terusan memperpanjang masalah. Api dibalas dengan air. Emosi dibalas dengan ketenangan.

"Kak, makasih ya udah belain saya-"

"Berapa uang lo yang kena palak?" tanya Rendi pada intinya.

"Ti-tiga puluh ribu Kak.. " adik kelas itu menunduk malu.

Rendi merogoh sakunya, diberikannya satu lembar uang berwarna biru pada adik kelas itu. "Nih. Jangan takut sama mereka. Lain kali, berani aja kalau emang kamu merasa kamu bener. Gak usah takut sama berandalan kayak gitu."

Adik kelas itu kelabakan, dengan cepat mendorongnya kembali pada Rendi. "Gak usah Kak. Nggak apa-apa-"

Rendi menatapnya tajam, "Ambil."

Adik kelas itu meringis ketakutan, ia berpikir keras saat memilih menerimanya atau tidak. "Gak usah Kak, sa-saya mau ke kelas!" adik kelas itu berlari menjauh dari hadapan Rendi. Berusaha melupakan apa yang terjadi di antara mereka semua. Semua yang barusaja melibatkannya dengan pertikaian sengit antara sang ketua Osis dengan para penyamun kelas kakap.

Rendi mendesah, menggeleng tidak percaya saat dilihatnya adik kelas itu lari terbirit-birit menolak pemberiannya. Rasanya sungguh melelahkan. Ia berjalan kembali menuju kelasnya, dua belas IPA satu.

Kebetulan, Rendi berjalan berpapasan dengan Jimi yang tengah bergandengan tangan dengan seorang gadis tanpa merasa malu tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Matanya melirik gadis yang berada di sampingnya, gadis yang selalu berbeda-beda di setiap tahun, bulan bahkan bisa saja setiap minggu Rendi melihat kekasih mantan sahabatnya itu berbeda-beda.

"Apa lo liat-liat cewek gue! Gak cukup lo rebut cewek orang, heh!" mendengar celetukan Jimi, Rendi kembali tertohok. Ingin rasanya ia melayangkan beberapa pukulan tepat di rahang Jimi. Namun ia berusaha menahannya. Citranya sebagai Ketua Osis haruslah menjadi contoh baik bagi semua siswa di sekolahnya.

"Gue cuman pengen ngasih tau aja sama pacar lo, lo jangan sampai jadi bahan koleksinya Jimi setiap bulan, bahkan setiap minggu."

Jimi mengumpat geram hendak memukul rivalnya itu, namun dengan cepat sang kekasih menahannya aksinya itu. "Nggak usah diladenin. Kalau kamu gak berniat kayak gitu, ya jangan marah. Kamu serius kan sama aku..?"

"Iyalah sayang!" Gak! Lo sama aja kayak yang lain. Sampai kapan pun, gue gak akan pernah lupain janji gue waktu itu. Nama Gina akan tetap bertahta di hati gue. Sampai kapanpun!

"Jimi Alexi Demetria. Lo punya Adik perempuan?"

Pertanyaan Rendi membuat Jimi tergelak, ia menoleh ke arah Rendi dengan tatapan sengit. "Bukan urusan lo." Merangkul sang kekasih untuk segera pergi dari hadapan rivalnya itu.

Lengang. Rendi menatap dua punggung sepasang kekasih itu mulai menjauh dari pandangannya. Pikirannya mulai bertanya-tanya mengenai hubungan antara Jimi dengan adik kelasnya, Jane. Rendi kembali mengingat saat Jane menanyakan dimana kelasnya di ruang konseling dulu. Ia sama sekali tidak menyadari dengan nama belakang gadis itu yang sangat mirip dengan mantan sahabatnya itu.

"Jimi Alexi Demetria, dan Jane Alexa Demetria. Yah.. Alex Demetria. Pemilik restoran J.A yang terkenal mewah dan berkelas di kota Jakarta. Istrinya yang bernama Julia Dewi menjadi saksi bisu penerus bisnis restoran itu. Semuanya gue tahu, kecuali berita tentang Jane."

Rendi berpikir di sepanjang jalan, langkahnya terhenti saat mendengar gebrakan keras di dekat toilet siswa laki-laki. Gebrakan itu semakin keras juga semakin melamban saat ia mulai berjalan mendekati toilet. Dilihatnya pintu tersebut telah meninggalkan bekas kertas yang terkelupas setelah ditempel sesuatu. Dengan cepat ia memasukinya tanpa aba-aba.

Tatapannya mulai menajam saat dilihatnya pintu toilet paling ujung seperti ada yang menendang-nendang pintu tersebut dengan brutal. Rendi berlari berusaha mengamati pintu tersebut. Dengan hati-hati ia memutar kenop pintu, membukanya secara perlahan. Matanya membulat saat didapatinya seorang perempuan tengah terduduk basah kuyup dengan ikatan di pergelangan tangan dan kakinya. Mulut dan mata yang tertutup lilitan kain membuat gadis itu tidak mengetahui siapa yang telah menemukannya dalam keadaan seperti itu.

"Ya Tuhan! Siapapun lo, gue gak tahu lo kenapa! Kenapa lo bisa kayak gini!"

Rendi panik, dengan gerakan cepat ia melepas ikatan tangan gadis itu di leher toilet. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu bergetar menggigil menahan dinginnya air yang membasahi sekujur tubuhnya. "Lo gak apa-apa? Hah? Siapa yang buat lo kayak gini hah?"

Jane tertegun saat mendengar suara yang begitu familiar baginya. Rendi membuka penutup matanya dengan perlahan. Jarak di antara mereka semakin menipis membuat Jane belingsatan merasakan kembali degupan jantungnya yang semakin cepat. Mata bertemu dengan mata, Rendi terbelalak kaget melihat gadis yang tengah duduk tidak berdaya ini adalah adik dari mantan sahabatnya itu.

"Jane.. lo, lo kenapa bisa kayak gini? Siapa yang buat lo kayak gini?" Rendi melepas bekapan mulut Jane, "Badan lo kayaknya panas, lo demam."

Jane hanya mengangguk pasrah, merasakan getaran-getaran aneh saat keningnya merasakan hangatnya telapak tangan Rendi. Tubuhnya yang lemas membuatnya jatuh ke dalam dekapan lelaki itu. Gelap. Jane kembali tidak sadarkan diri. Membuat Rendi semakin panik di sana. "Jane!"

Rendi semakin panik, tatapannya terhenti pada ponsel yang pecah di lantai toilet. Tanpa berpikir panjang ia memasukan ponsel tersebut ke dalam saku celana. Mengangkat sebelah tangan gadis itu untuk merangkulnya, tangan kanannya mengangkat punggung gadis itu, dan tangan kirinya mengangkat bawah lutut gadis itu. Rasanya mudah, mengingat gadis di pangkuannya memang memiliki tubuh yang mungil. Rendi tak segan-segan menendang pintu yang menghalangi akses jalannya keluar dari toilet.

Beberapa pasang mata mulai menyudutkannya menjadi pusat perhatian di sepanjang koridor sekolah, mengingat ia tengah membawa Jane menuju UKS. Ia sama sekali tidak peduli dengan teriakan juga siulan yang menggodanya disepanjang jalan. Membuatnya semakin geram dan mempercepat langkahnya untuk segera sampai UKS.

Sialan! Gerutu Rendi saat melihat teman-temannya tengah menggodanya, bukan membantunya.

Sesampainya Rendi di tempat tujuan, dengan cepat ia membaringkan gadis itu dengan hati-hati. Rasanya seragam miliknya ikut basah karena terus menempel dengan gadis itu. Wajah Jane terlihat putih pucat, tubuhnya terasa panas. Rendi berdecak kesal saat tim P3K barusaja memasuki UKS.

"Kalian itu kemana aja, sih!" Rendi menatap tajam beberapa anggota P3K itu, salah satu dari mereka mulai mengintrogasi Rendi.

"Dia kenapa bisa kayak gini Kak?"

"Gue gak tahu apa-apa. Yang jelas, dia pingsan di toilet cowok. Kedua matanya ditutup, mulutnya dibekep, tangannya diiket di leher toilet. Gak tahu kenapa dia udah terbujur kaku, dengan baju basah kayak gitu."

Rendi memberikan penjelasan pada adik-adik kelas sebelas yang tengah menangani Jane yang masih tidak sadarkan diri.

"Tapi Kak, liat deh! Pipi, sudut bibir, sama kerah bajunya. Banyak tetesan darah. Rambutnya yang acak-acakan, kemungkinan besar dia korban bullying. Dan, kalau Kak Rendi nemu dia di toilet cowok, kemungkinan besar juga.. dia.. korban anak cowok. Kakak tahu kan maksud aku apa?"

Rendi kembali mengusap wajahnya kasar, mengingat sekolahnya tidak pernah ada kasus pembullyan selama ini, apalagi kasus pemerkosaan. Ia mendengus kasar, mengacak rambutnya frustrasi.

Salah satu petugas itu menutup tirai UKS hendak menyuruh Rendi untuk segera meninggalkan tempat itu. "Kakak tunggu di luar sebentar, dia mau aku ganti bajunya. Coba deh, Kakak kasih tahu temen-temennya. Siapa tahu temen-temennya punya baju ganti buat dia."

Rendi mengangguk, berjalan keluar ruangan hendak menuju kelasnya. Dengan langkah cepat, ia segera membanting pintu kelas mencari sosok yang sangat penting bagi Jane.

"Jimi mana?"

"Tumben lo nyari gue?"

Jimi muncul dari arah belakang, berasal dari arah loker di belakang kelas. Rendi menatapnya tajam, "Adek lo pingsan di toilet cowok. Tadi gue udah bawa dia ke UKS. Dia butuh baju ganti sekarang, bajunya basah kuyup. Gue gak tahu pelakunya siapa."

Seperti petir menyambar hatinya, Jimi menatap Rendi meminta penjelasan yang lebih jelas, hatinya mencelos sakit saat diketahui adiknya dikabarkan tidak sadarkan diri di toilet laki-laki. "Adek gue? Ma-maksud lo-"

"Jane, dia butuh baju ganti sekarang!"

Jimi panik, matanya melirik kesana kemari hendak mencari bantuan kepada teman-temannya di kelas yang mempunyai baju ganti bagi adiknya itu. "Woy! Siapa di sini yang bawa baju ganti dua! Gue pinjem satu buat Adek gue!"

Jimi menggeram frustrasi. Rendi berusaha melirik ke sana kemari, ternyata tidak ada satu pun teman di kelasnya yang membawa seragam ganti. Seketika seseorang melempar seragam putih abu-abu di atas meja di hadapan Jimi. Jimi tertegun, mendongak ke arah si pelempar baju itu.

"Cepet ke UKS! Kasihan Adek lo!"

Dinding keegoisan Jimi mulai runtuh seketika saat didapatinya Gina tengah melipat kedua tangan di depan dengan jawaban ketusnya yang khas. Dan untuk kali pertamanya, Jimi tersenyum penuh rasa terima kasih pada sosok malaikat di hadapannya itu. "Thanks!"

Jimi berlari keluar kelas menuju ruang UKS mencari keberadaan adiknya. Gina mematung, ia masih tidak percaya kenapa dirinya harus membantu lelaki yang selama ini membuatnya kesal setengah mati menghadapi sikap lelaki itu. Melihat senyuman yang selama ini dirindukannya, membuatnya bingung sendiri. Rasa rindu mulai menyelimuti akal sehatnya. Ia merasakan tepukan di pundaknya.

"Gue gak salah liat kan? Lo gak mimpi kan?" tanya Rendi menatapnya penuh harap.

Gina menggeleng, menatap Rendi tajam. "Gue sadar sepenuhnya Ren,"

Rendi tersenyum ketir, "Kalau gitu, kita ke UKS sekarang."

***

Jimi menggenggam tangan Jane setelah aktifitas menggantikan baju Jane yang basah. Ia menyesali perbuatannya, kenapa gue gak bisa jaga adek gue sendiri? Gue emang tolol! Bego! Goblok! Jimi merutuki dirinya sendiri saat melirik sudut bibir adiknya yang sedikit sobek akibat beberapa kemungkinan; tamparan, pukulan, dan luka senjata tajam.

"Kayaknya Jane habis dipukul atau ditampar habis-habisan Kak. Dari sudut luka nya sih gitu. Dan lebih mencurigainya lagi, dia itu korban pembullyan atau.. korban anak cowok, Kak."

Jimi menoleh ke arah petugas yang tengah mengobati luka di sudut bibir adiknya itu. Ia berpikir keras, berusaha memperkirakan mengapa adiknya bisa sampai seperti ini. Yang ia ketahui, Jane sepertinya tidak mempunyai masalah dengan beberapa anak di sekolah.

Pertama; adiknya terbilang acuh dan cuek, kedua; ketus. Jika dibandingkan dengan yang selalu dikeluhkan adiknya mengenai sekolah, pasti tentang bocah iblis menyebalkan itu. Siapa lagi kalau bukan Rey.

Jimi mendengus kesal, mungkin alasan dari semua ini ada sangkut pautnya dengan bocah iblis itu. Ia kembali meneliti raut wajah adiknya yang mulai memberikan reaksi kecil, berusaha mengerjapkan mata, tersadar dari pingsannya. Jimi mengelus puncak kepalanya lembut menatap adiknya penuh rasa khawatir.

"Udah bangun?"

Jane menatap Jimi heran, barusaja ia menatap Rendi, sekarang berganti menjadi kakaknya yang menyebalkan itu.

"Kak Rendi... mana?"

Jimi mendengus, "Huuh! Gue hampir jantungan denger lo abis kayak gini! Eh.. lo malah nanyain si kutukupret! Minum."

Jimi berusaha membantu adiknya untuk duduk, diraihnya gelas berisi teh manis untuk diminum adiknya. Jane menyipitkan matanya saat menyesap teh manis itu, barusaja kakaknya perhatian padanya.

Tidak lama kemudian dua orang manusia tengah berjalan ke arah mereka. Dua orang yang selama ini menjadi sosok paling mengerikan bagi kehidupan Jimi. Namun Jimi merasakan sesuatu yang aneh di lubuk hatinya. Tangannya mendekap adiknya kedalam pelukannya saat Rendi dan Gina sudah berada di hadapannya.

Jane menatap kosong sang malaikat penyelamatnya itu. Diliriknya Gina tengah melipat kedua tangannya dengan senyuman hangat yang tercetak di bibirnya.

"Masih pusing?" tanya Gina lembut. Jane meringis, "Sedikit. Ngomong-ngomong, Kak Rendi yang bawa aku tadi."

"Oh... " ucap Jimi dan Gina bersamaan. Mereka sempat saling tatap sejenak, lengang. Rendi berusaha mencairkan suasana canggung di antara mereka.

"Itu, bibir kamu udah diobatin? Kenapa sampai bisa gitu sih?" Rendi duduk di samping ranjang, satu kakinya ditekuk dan satunya dibiarkan lurus.

Jane mengangguk, masih dengan tatapan kosong, "Bang, ini udah diobatin belom?"

Jimi mendengus, "Tau tuh!"

"Sikap nyebelinnya gak pernah hilang ya. Jimi.. Jimi.. " Gina memutar bola matanya malas.

Jane mengernyit, kenapa juga kak Gina ada di sini? Hubungannya sama gue apa? Kenapa juga Kak Gina kayak yang udah kenal lama aja sama abang gue? Tanda tanya besar di antaar ketiga orang ini.

"Lo jangan ikut campur," Jimi melempar tatapannya pada Jane. "Lo cuma pahlawan kesiangan doang."

"Lo-" Gina menunjuk geram, "Bener-bener gak tahu cara berterima kasih!" Gina melirik Jimi sengit, lalu menatap Rendi, "Gue balik!"

Gina melenggang pergi dengan membanting pintu UKS dengan keras. Semua yang berada di sana merasa kaget dengan suara bantingan pintu tersebut. Rendi yang hendak menyusul kembali Gina merasakan hangatnya tangan Jimi yang menahannya. Rendi mengerti maksud Jimi, ia kembali duduk di pinggir ranjang, membiarkan Jimi berlari menyusul Gina pergi.

Jane semakin berpikir keras, berusaha menebak apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Ingin sekali ia bertanya pada Rendi, namun ia mengurungkan niatnya itu. Ia tidak ingin mengetahui apa yang seharusnya ia tidak ketahui antara ketiga siswa populer di sekolahnya. Terlebih perasaannya masih terguncang karena takut dengan kejadian yang barusaja menimpanya.

"Gak semua hal yang perlu kamu tahu." Ucap Rendi tiba-tiba, seolah-olah membaca pikiran gadis itu. Rendi tersenyum hangat saat Jane berusaha mengenyahkan sifat rasa ingin tahunya itu.

"Makasih Kak."

Jane membenarkan posisi duduknya sejenak, menatap Rendi yang kini terasa aneh baginya. Bagaikan mempunyai alter ego, Tadi pagi dia bagaikan iblis yang super horror. Dan sekarang, dia bagaikan malaikat penyelamat yang selalu baik pada semua orang. Ck!

"Kamu tahu siapa yang ngelakuin ini semua?"

Jane mengernyit, berusaha mengingat siapa yang membuatnya seperti ini, namun nihil. Hanya suara derapan sepatu dan pemilik suara lembut berhati iblis itu.

Jane menggeleng pelan. Menatap kosong Rendi. Jiwanya masih berada di dalam toilet, masih terasa sakit yang menjalar di sekitar wajah juga punggungnya.

"Jane, apa suara sepatunya banyak? Berarti lebih dari satu orang."

Jane mengindahkan penjelasan Rendi. Menunduk, melihat nametag yang berada di sebelah kanan seragamnya.

GINA PUTRI KARTADIREJA

"Seragam ini punya Kak Gina." Kata Rendi tiba-tiba, membaca pikiran Jane. Jane semakin bingung, barusaja Jimi mendapatkan seragam ini dengan mudah, yang pasti ia tidak mempunyai masalah dengan si pemilik baju itu. Tapi semenjak beberapa menit lalu, kakaknya seperti tidak menerima kehadiran Gina mentah-mentah.

***

Gina mempercepat langkahnya menuju taman belakang sekolah, berusaha menahan bendungan air mata yang bisa saja jatuh mengalir di pipinya. Gadis itu menghentakan kakinya kesal mengingat perlakuan mantan sahabatnya itu yang begitu menyebalkan.

"Tuh cowok kenapa sih! Baru kali ini gue ngerasa sakit hati gara-gara omongan doang! Cih!"

Gina berdecih, duduk di salah satu kursi taman belakang sekolah. Suara derapan sepatu mulai menyadarkannya untuk menoleh ke arah sumber suara. Gina mendelik sebal melihatnya, bangkit dari duduknya hendak meninggalkan seseorang yang kini menahan tangannya. Gadis itu semakin geram, berusaha melepas cekalan tangan lelaki di belakangnya itu.

"Gin, gue.. minta maaf,"

"Gue cuma pahlawan kesiangan doang."

Jimi menarik kedua bahu Gina untuk menatapnya. Gina menatapnya tajam, sedetik kemudian Gina menangis. Bahunya naik turun berusaha menahan semua rasa sakit hati melihat lelaki di hadapannya.

"Gin.. gue bener-bener minta maaf. Gue-"

"Mau lo apa sih Jim! Apa gue sebegitu hina di mata lo, sebegitu jijik buat lo, sebegitu benci lo sama gue Jim.. sampai gue sama Rendi gak boleh sahabatan lagi sama lo.. hiks.."

Jimi menunduk, hatinya mulai kembali teriris saat mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Jimi menggeleng, terlalu sakit untuk diingat kembali. Zat-zat memori yang mengingatkannya kembali pada kenangan pahit yang menusuk hati.

Gina menunduk, berusaha melepas kedua tangan Jimi di bahunya. Tangannya begitu bergetar, seakan-akan tangisnya begitu menguasai relung hatinya.

"Sampai kapan pun, gue gak bakal lupain janji gue sama lo. Walau pun setiap kali lo liat gue sama cewek lain, tapi, nama lo gak bakal terhapus dari hati gue." kata Jimi lirih. Pasrah melepas kedua tangannya dari bahu gadis di hadapannya. "Dan gue gak bakal lupa, malam perpisahan itu-"

"Stop it Jimi! Gue gak mau bahas masa lalu! Gue tahu, gue salah. Gue.. Bener-bener marah sama lo!" Gina memukul bahu Jimi lemas. Isakan tangisnya membuat semua siswa yang berlalu lalang di sana melihat ke arah Jimi. Menuduh Jimi telah membuat gadis itu menangis.

"Silahkan Gin, lo marah okey! Bahkan, gue lebih marah sama lo! Oh! Marah terlalu dangkal, gue terlanjur benci!"

Suara keras Jimi membuat semua siswa yang menyudutkan mereka mulai menggeleng tidak suka, melihat si Cassanova itu telah menyakiti hati gadis itu. Mereka kembali mengacuhkan kedua muda-mudi ini yang masih dalam tahap penuh ketegangan.

"Gue benci kalau sebenernya gue gak bisa lupain lo Gin.. gue bener-bener benci!" Jimi berkata lirih, membuat Gina semakin larut dalam tangisan. Tangisan pilu karena rindu. Rindu seseorang yang selama ini dekat, namun serasa jauh untuk dijangkau. Dekat, namun tidak tergenggam. Dekat, namun sulit untuk dimengerti.

"Gue juga benci sama lo Jim.. gue benci!"

Jimi mengelus puncak kepala Gina lembut, bergetar. Tersenyum sinis, "I hate you, but I love you."

Jimi mengacak rambut Gina. Gina yang masih menunduk menangis langsung menghambur memeluk jimi erat, bahkan sangat erat. Melepas semua kerinduannya selama ini. Rasa rindu yang meledak di waktu yang telah menjadi skenario Tuhan.

Gina merasakan betapa hangatnya dekapan Jimi, sudah lama ia menantikan momen seperti ini. Tidak ada topeng palsu yang selalu menjadi senjata andalan di antara keduanya. Kini hanya rasa hangatnya rindu yang membuatnya semakin ingin memberhentikan waktu. Gina mulai merasakan bahunya basah. Jimi menangis. Gina menelungkupkan wajahnya, merasakan getaran-getaran aneh dalam hatinya.

Jimi berusaha menahan air mata rasa syukurnya kali ini, namun pertahanannya runtuh saat Gina memeluknya erat. Seperti takut kehilangan. Jimi membalas pelukannya, mengelus setiap helai rambut gadis di pelukannya, membiarkan gadis itu mendengar setiap degupan jantungnya.

"Gue kangen sama lo Jim.. lo gak kangen sama gue?"

Jimi bisa mendengar suara Gina yang terdengar lirih. Gadis itu mendongak, menatap Jimi dengan mata sembabnya. Jimi merasakan dadanya terasa basah, mungkin karena air mata gadis itu yang membasahinya.

"Menurut lo? Lebih malah.." Jimi tersenyum, kembali memeluk Gina. Gadis itu kembali merasakan hangatnya dekapan Jimi. Seseorang yang sampai detik ini merindukannya, sekaligus membencinya.

"Gin, gue minta tolong sama lo."

"Apa?"

"Cek CCTV toilet cowok, dan gue pengen lo seret semua orang yang berani-beraninya nyakitin adek gue."

Gina tertawa hambar, "So easy dude! Give me a time."

***

"Apa! Jane pingsan gara-gara dibully!"

"Yang bener lo, ah!"

"Serius, Nyet! Jangan buat orang jantungan apa!"

Adit mendesah geram, "Gue serius! Jane sekarang ada di UKS, dia baru aja di bully sama geng Elisa. CCTV di toilet yang jadi bukti!"

Semua teman sekelas terkejut bukan main saat Adit menceritakan perihal Jane yang barusaja terkena musibah, begitu juga dengan Zenita dan Bimo. Mereka tidak terima dengan perlakuan yang menimpa teman sekelasnya tersebut.

Zenita menatap Adit meminta penjelasan. "Dit! Apa Kak Jimi tahu?"

Adit mengangguk, "Dia tahu. Dan sekarang, Elisa and the genk lagi disidang sama bang Jimi di ruang bk."

Bimo berdiri, melirik teman sekelas, "Gue mau, kalian ikut gue ke UKS sekarang."

***

Suara gebrakan meja mulai terdengar kontras di dalam ruangan yang berisi hanya beberapa orang saja. Jimi menggeram marah saat melihat reaksi tanpa dosa dari adik kelasnya yang sudah mencelakai adik satu-satunya itu. Beberapa kali Jimi mengeluarkan kata-kata kasar dan menunjuk-nunjuk Elisa di depan beberapa guru di sana. Elisa hanya menunduk, merasa dirinyalah yang semakin disudutkan banyak orang di sana.

"Elisa, saya benar-benar marah dengan perlakuan kamu kali ini. Penindasan itu sama sekali bukan karakter atau sifat ciri khas seorang remaja atau pelajar seperti kamu. Ini.. memang bisa dikatakan kasus kriminal. Dimana kamu berusaha untuk membuat atau melakukan kekerasan dan menyakiti orang lain. Dengan disengaja, apalagi terencana. Saya tidak bisa lagi kasih kamu toleran-"

"Pak, anak ingusan kayak gini jangan dikasih toleran-toleran segala! Saya bener-bener marah Pak! Kalau bisa, saya akan laporkan ini kepihak yang berwajib. Ini.. bener-bener kasus penindasan yang tidak bisa didiamkan saja Pak! Mungkin bukan Adik saya saja yang kena tindas sama anak setan kayak manusia ini, Pak!"

Jimi menunjuk Elisa berkali-kali, rasanya muak jika Jimi melihat gadis di sampingnya itu lama-lama. Inginnya ia melempar Elisa ke danau yang penuh dengan buaya buas, atau meninjunya secara brutal di tempat. Jimi tidak peduli jika dia anak perempuan. Ah.. rasanya Jimi ingin sekali membalas perlakuan gadis jahanam di sampingnya itu.

"Pak, jangan laporkan saya Pak. Kak, saya bener-bener nyesel Kak,"

Jimi tertawa hambar, tangannya gatal sekali untuk melempar gadis di sampingnya itu ke danau yang penuh dengan buaya buas itu, "Hahaha.. apa kata lo? Jangan laporin? Enteng bener lo ngemeng! Apa lo gak pernah mikir, gimana kalau lo ada diposisi Adek gue kayak tadi? Hm.. mampus-mampus lo di toilet gak bakal ada yang tahu. Dan lo masih mau bilang jangan laporin? Cewek hina!"

Elisa semakin menunduk, jantungnya berdebar begitu hebat saat mendengar semua perkataan Jimi di sampingnya. Ia benar-benar terasa asing, rasanya semua tindakan yang telah ia lakukan tidak akan menjadi masalah sebesar ini. Elisa benar-benar menyadari bahwa semuanya itu murni kesalahannya sendiri. Kejahatan yang telah direncanakannya memang benar-benar membuatnya jatuh kelubang yang tengah ia gali sendiri. Senjata makan tuan, pribahasa yang paling tepat untuk nasibnya sekarang.

"Kenapa diem? Hm...? Gak mau gue laporin lo ke polisi? KPAI? Sadar kalau lo sebenernya cewek jahanam yang punya sifat kerusakan jiwa, sampai kalap buat nyelakain seseorang?"

Jimi kembali menohok Elisa yang tengah berusaha menahan air matanya sekarang. Entah air mata penyesalan atau merasa bersalah. Air mata ketakutan. Ketakutan yang membuatnya semakin merasa tertekan dengan semua tuduhan yang menyerbunya secara tanggap dan tepat. Gadis itu menelan ludahnya sulit. Merasa ruangan ini telah membuat semua orang di sini merasa tegang akibat ulahnya dan amukan Jimi di sampingnya. Semua guru-guru merasa gemas sendiri dengan aksi diamnya Elisa. Kepala sekolah di hadapannya mulai mengusap wajahnya frustrasi, berusaha meminta penjelasan akurat Elisa dan menenangkan emosi Jimi yang kini mulai mencapai titik paling tinggi.

"Baik, kalau misalnya ini keputusan paling berat yang pernah saya buat, saya akan mengirim surat pemanggilan orang tua kalian besok pagi. Jika kamu, Elisa, membuang surat tersebut, saya tidak akan segan-segan untum menelepon langsung orang tua kamu, Elisa. Dan kemungkinan besar.. Drop out akan menunggumu nanti. Video berdurasi sembilan menit itu.. Penindasan terhadap seseorang, apalagi terencana akan saya tindak lanjuti sebisa mungkin di sekolah ini. Dan bisa saja kasus ini menyebar luas di beberapa sekolah lain yang membuat siswa-siswa di sana merasa enggan untuk sekolah. Karena, ya.. ancaman gila yang membuat siswa itu merasa takut dan trauma masuk sekolah. Sangat tidak bisa kami biarkan."

Jimi menatap Elisa sengit, sedangkan yang ditatap semakin menunduk saat mendengar suara Pak Kepala Sekolah seperti badai petir baginya. Surat pemanggilan orang tua. Elisa berusaha bersikap acuh dan tegar menghadapi semua risiko yang kini menjadi tanggung jawabnya. Semua temannya telah menyepakati perjanjian dengan Elisa sebelumnya, jika mereka tertangkap dalam melakukan aksinya, maka dirinyalah yang akan bertanggung jawab atas rencana laknatnya itu.

Elisa mendesah pelan, ia tidak ingin melihat wajah marah Jimi di sampingnya, atau pun guru-guru yang berada di dalam sana. Rasanya ia ingin mengubur diri sedalam-dalamnya daripada mendapat cemoohan yang sudah siap menunggu kedatangannya di luaran sana. Rasa malu yang mulai menyeruak membuatnya semakin merasa tertekan.

"Dan saya akan pastikan Pak, dia.. dia akan mendapatkan balasan yang pantas didapatnya selama menerror Adik saya selama ini. Surat ancaman, dan pembullyan, benar-benar buat saya ingin bunuh dia Pak-"

Emosi Jimi mulai menyelimuti akal sehatnya. Kali ini tangannya mencekal tangan Elisa dengan keras, menatapnya nanar hendak melayangkan tinju paling mematikan pada gadis itu. Elisa menjerit ketakutan, membuat Pak Kepala Sekolah dengan cepat menahan lengan Jimi dengan kuat.

"Jimi! Kamu jangan gegabah! Simpan emosi kamu! Kita selesaikan dengan kepala dingin!"

Mendengar bentakan Pak Kepala Sekolah, Jimi membuang napas kasar. Ia kembali duduk dengan menghempaskan cekalan tangannya dengan kasar. Elisa meringis kesakitan dibuatnya.

"Ya sudah, Jimi, kamu balik ke kelas, pulang bareng Adek kamu. Jangan sampai kamu berusaha cegat Elisa dimana-mana. Awas kamu!"

Jimi melirik Elisa sekilas, kembali menatap Pak Kepala Sekolah. "Saya nggak janji Pak. Saya permisi."

Jimi berdiri memberi salam pada Pak Kepala Sekolah sebelum meninggalkan ruangan tersebut. Sebelumnya ia sempat menendang kursi Elisa dengan keras, sampai akhirnya keluar dari ruangan tersebut dengan raut wajah penuh kemenangan.

"Gimana Jim? Lo gak adu jotos kan tadi sama Pak Kepala Sekolah?" tanya Gina berdiri di ruang tunggu, diikuti Rendi di belakang.

Jimi mendengus pasrah, "Gak ada jotos-jotosan. Tenang aja. Semua tergantung keputusan orang tua besok."

Gina dan Rendi mengusap dada merasa lega, Jimi menepuk pundak Gina dan Rendi bersamaan. "Thanks!"

Mereka semua tersenyum, "Sama-sama, New Bestfriend."

***

Kerusuhan mulai mengisi ruangan serba berwarna putih itu. Ada yang sibuk memainkan barang-barang UKS, ada yang sibuk mengobrol tentang obat-obatan, ada yang sibuk sendiri dengan ponselnya masing-masing, dan yang terakhir sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan di pinggir-pinggir ranjang.

Jane masih menatap kosong. Tidak ketinggalan kehebohan Hira dengan suara membahananya membuat seisi UKS semakin ricuh saat semua teman sekelasnya datang melihat kondisinya.

"Lo gak diapa-apain kan, Jane?" tanya Zenita pelan, "Maksudnya.. gak sampai buat lo trauma kebangetan gitu..? Aduh, gue khawatir banget sama lo, harusnya gue ikut sama lo ke toilet."

Jane menggeleng, enggan menjawab.

"Jane! Gue sama yang lain kaget banget denger lo abis sama gengnya Elisa! Cabe-cabean itu emang gak tahu malu ya!" kata Hira dengan berusaha menatap tajam Bimo dan pentolan kelas lainnya yang tengah mencoba beberapa stetoskop (alat pendeteksi jantung) dan spignamometer (alat pengukut tekanan darah). "Heh! Lo-lo semua bisa diem gak sih!"

Semua menggeleng kompak, "Enggak."

Hira berdecak kesal, "Adit! Lo juga jangan tiduran di kasur kayak gitu dong! Respect dikit kali kalau ada temen yang lagi kena musibah!"

Adit mengernyit, "Respect? Lo gak ngaca Ra. Lo sendiri gak pernah respect tuh sama perasaan sepupu lo sendiri? Tadi dia nangis cuma ditemenin sama Jane, dan elo? Hellow! Kemana-Aws!" Adit meringis kesakitan saat Hira mulai memukul pundaknya dengan wajah merah padam.

"Mulut lo terlalu naif buat ngomong Dit. Itu bukan urusan lo, dan jangan pernah ikut campur soal kehidupan gue!"

"Ciee.. kena marah.. Adit atuutt.." Bimo mencolek tangan Adit dengan tatapan menggoda. Sontak Adit melayangkan tatapan tajam pada Bimo Diem Nyet!

Jane semakin merasa tertekan melihat semua teman sekelasnya sudah mengacak-acak bahkan mengotori ruangan UKS. Semua petugas UKS termasuk Zenita sendiri merasa kesal dibuatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro