17. BROKEN HOME

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MEDIA: REY DAN JANE (PERWAKILAN SEBANGSAT KIDS JAMAN NOW)

17. BROKEN HOME

Semilir angin malam menusuk kulit, gedung-gedung tinggi menghiasi jalanan Jakarta tepat di pukul sembilan malam. Suara gerungan motor lelaki itu mulai memecah sepinya jalan. Lampu jalan menjadi temannya saat ini.

Rey semakin mengencangkan laju motornya menuju rumah. Perjalanan yang cukup menyita waktu saat mengunjungi kota dengan julukan Bandung Lautan Api itu. Kali ini ia pulang dengan membawa piala juga papan skateboard baru yang mengkilap dengan berbagai aplikasi relief warna, hadiah dari perlombaan skateboard tingkat kota tersebut. Senyumannya tidak pernah hilang saat mengetahui ia dapat merebut juara kedua.

Setelah sampai di depan rumah, ia memasukan motornya ke dalam garasi tepat di samping rumah. Rey membuka pintu utama rumah dengan semangat.

"Assalamualaikum! Hellow Bik Yonse! Dan Abang gue tersayang! Liat pangeran rumah bawa a.. pa..?"

Saat Rey memasuki rumah dengan ekspresi cerianya mengacungkan piala juga skateboard barunya, hatinya mencelos sakit saat melihat kedua orangtuanya telah menunggunya tepat di ruang keluarga. Ah.. Orang tua, sosok ibu dan ayah yang seharusnya dirindukan oleh anaknya jika mereka sudah lama tidak berjumpa kembali dengan sang anak. Rey menatap mereka canggung. Di sisi lain Rendi menoleh ke arahnya, lalu mendengus kasar kembali menatap tajam kedua orang tuanya.

"Waalaikumsalaam... Rey.. kamu.. dari mana? Kok, bawa-bawa piala sama-"

"Maksudnya apa Ibu sama Ayah pulang? Bukannya kalian udah seneng sama kehidupan di sana, heh..? Lupa sama yang di sini? Kerjaan inilah, kerjaan itulah.." Rey memotong penjelasan Reina saat hendak memeluk anak bungsunya itu. Rey hanya pasrah berada di pelukan Reina, menghirup aroma vanilla yang selama ini dirindukannya. Dalam hatinya, ingin sekali ia memeluk Reina dan menangis penuh kerinduan padanya. Namun tangannya merasa enggan dan berat untuk membalas pelukan itu.

"Rey, kamu gak kangen sama ibu kamu?"

Suara bariton mulai terdengar mengisi keheningan ruangan tersebut, Vano berdiri dari duduknya berjalan ke arah Rey yang masih enggan untuk membalas pelukan ibunya. "Rey.. Kamu itu udah besar. Harusnya kamu bersikap lebih dewasa."

Rey mendelik sebal, "Ya terus?" Rey tidak peduli, "Mau Rey masih kecil lah, udah gede lah, udah kuliah lah, atau.. udah nikah lah, itu sama sekali gak ada hubungannya sama kehadiran kalian berdua-"

"Rey.. Ibu kangen sama kamu."

Rey menelan ludahnya sulit, tangannya kembali berkhianat. Ia membalas pelukan ibunya erat. Mengalirkan zat-zat partikel kehangatan seorang ibu dan anak. Meluapkan segala kerinduan yang selama ini membeku di dalam relung hatinya. Selang hanya lima detik, Rey kembali meregangkan pelukannya lalu menatap Vano di samping Reina.

"Apa harus.. Rey peluk Ayah juga?"

Pertanyaan Rey disambut Vano dengan pelukan penuh kerinduan. Rey membalasnya sedikit malas, menghirup aroma kopi yang selalu membuat Rey teringat akan ayahnya pecinta kopi.

"Rey.. maafkan ayah dan ibu karena baru sekarang kami pulang."

Rey meregangkan pelukannya, dengan wajah mengerut ia mempersilahkan kembali kedua orang tuanya untuk duduk. Sekilas ia kembali melirik Rendi yang kini duduk di sampingnya. Wajahnya nampak menahan amarah juga kekesalan.

Rey menatap Reina dan Vano juga Rendi bergiliran, tidak mengerti dengan situasi yang sepertinya mulai penuh ketegangan antara anak dengan orang tua.

"Rey.. kamu harus tahu kebenarannya sekarang. Mungkin, Kakakmu sudah menerima keputusan kami-"

"Enak aja! Kita itu anak kalian atau bukan sih! Seenaknya mainin perasaan anak." Rendi menjawab ketus. Sementara Rey menatapnya tidak mengerti.

"Rendi. Dengarkan Ibu, mungkin ini yang terbaik untuk kalian, juga Ibu sendiri."

Rey semakin menggeleng tidak mengerti, sementara Rendi mendengus kasar tidak kuasa menahan kekesalan.

"Rey.. kami.. akan bercerai."

Tiga kata yang sukses meremukan hati Rey secara sempurna. Barusaja ia pulang dengan rasa lelah dan capek, membawa kebahagiaan berupa piala dan skateboard baru, kini lenyap sudah menjadi kepingan-kepingan hati yang terpecah-belah tanpa diduga. Tanpa aba-aba. Pendiriannya mulai runtuh, saat Vano kembali melanjutkan kalimat per kalimat menyayat hati seorang anak saat mendengarnya.

"Kami sudah mengatur surat-surat perceraian sebelumnya. Mungkin.. Ibu dan Ayah memang jahat. Menelantarkan kalian, meninggalkan kalian, lalu mematahkan hati kalian secara tiba-tiba. Kalian pun akan merasakannya di saat seseorang yang selama ini kita cintai akan terlepas secara tersendiri ketika mereka sudah tidak cocok lagi jika terus bersama. Ada kalanya.. cinta itu bukan berarti siap untuk menerima saja, tapi juga untuk melepaskan." Vano menunjukkan beberapa surat-surat perceraiannya tersebut di hadapan Rey. Tatapan Rey sulit sekali untuk fokus terhadap surat perceraian yang kini menjadi objeknya.

Kosong.

Tatapannya kosong, ia tidak memedulikan surat-surat itu, melainkan betapa sulitnya menerima kenyataan saat mengetahui kedua orangtuanya baru saja akan bercerai. Berpisah. Rendi melirik sekilas ke arah Rey, memastikan bagaimana reaksi adik bungsunya itu menanggapi berita tragis itu pada mereka.

"Kalau itu mau kalian, Rey cuma pengen bilang.. "

Rey menghela napas berat, berusaha menahan emosinya kali ini.

"Terserah."

Rey melenggang pergi beranjak menuju kamarnya, berusaha untuk menenangkan diri dan melepaskan semua rasa sakit hatinya seorang anak karena keputusan kedua orangtua yang selama ini dirindukannya. Ia membuka pintu kamar lalu dibantingnya dengan keras, mengunci kamar tersebut. Dengan langkah cepat ia menyimpan hadiah-hadiah tersebut di atas kasur, membuka lemari di sebelah ranjang, meraih tas berukuran besar dari dalam lemari untuk diisinya dengan beberapa pakaian yang akan ia bawa untuk tujuannya kali ini. Kabur dari rumah.

Tanpa banyak bicara, ia meraih ponselnya yang berada di dalam saku celana, mengetik nomor seseorang untuk segera dihubungi. Sesaat ia menatap layar tersebut, namun suara langkah kaki menuju kamarnya semakin terdengar saat ia berusaha memanggil nomor seseorang. "Persetan!" umpatnya saat memutuskan kembali sambungan nomor tersebut. Dengan langkah cepat ia membuka jendela kamarnya, sebelum akhirnya terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar.

"Rey..? Kamu udah tidur?"

Sekilas Rey melirik ke arah pintu, bodo amat! Pikirnya. Ia meloncat dari jendela menuju halaman rumah. Berjalan mengendap-endap hendak menyalakan motornya kembali. Dengan cepat ia mengeluarkan motor keluar gerbang, berusaha mengeluarkannya tanpa mengeluarkan sedikit pun suara motor berjalan.

Setelah sampai di luar gerbang rumah, ia sudah tidak kuat lagi menahan emosi juga rasa sakit hatinya itu. Diraihnya batu berukuran kepalan tangan dari pinggir jalan lalu dilemparnya ke arah jendela kaca rumah dengan semua kekesalan yang ia punya.

Suara pecahan kaca mulai terdengar kontras juga teriakan seorang wanita di dalam rumah saat mengetahui jendela kaca rumahnya baru saja dilempar dengan batu yang tergeletak di samping kursi ruang tamu.

Rey yang menyaksikan hasil karyanya itu langsung menyalakan motornya pergi meninggalkan rumah dengan perasaan bercampur aduk antara marah dan sedih. Membawa semua kejadian tragis yang baru saja menimpanya dan keluarganya dengan sadis. Tepat di hari ia mendapatkan kebahagiaan, musibah datang begitu saja padanya. Musibah yang membuatnya kini semakin membenci kedua orangtuanya, yang seharusnya ia merindukannya. Rey tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, yang ia inginkan hanya keluarga yang harmonis, saling memberi kasih sayang dan dukungan dari kedua orang tua. Namun takdir membuatnya semakin terpuruk, ia melajukan motornya semakin kencang menuju tujuannya kali ini.

Bimo.

***

Ketukan pintu mulai terdengar kontras saat semua insani sudah terlelap dalam tidur, suara jangkrik dengan ribuan cahaya bintang dilangit menjadi temannya kali ini. Rey masih berdiri menunggu sahabatnya itu membuka pintu. Meminta kepada Bimo untuk menginap selama ia masih marah dengan keadaan.

"Bimo.."

Sudah keempat kalinya Rey mengetuk pintu rumah, ia mendengus kesal saat hendak kembali beranjak menuju motornya.

"Waduh.. Siapa sih malem-malem gini ganggu acara hibernasi malem gue, heh..? Gak sopan banget jadi orang. Masuk!"

Langkah Rey terhenti saat mendengar suara serak Bimo yang sepertinya barusaja bangun tidur. Rey tersenyum, meraih tas besarnya lalu menatap Bimo penuh harap. Tatapan Bimo terhenti pada tas besar yang dibawa Rey.

"Ngapain lo malem-malem bawa tas gede. Bentar, tas gede? Maksud lo? Lo.. migrasi ke rumah gue gitu? Bu-bu-bukannya lo baru aja lomba-"

"Bacot lo ah! Cepet! Gue kedinginan nih di luar. Butuh kehangatan. Jahe ada?" Rey memotong rasa keterkejutan Bimo saat melirik tas besarnya yang tengah ia bawa masuk ke dalam rumah tanpa izin.

Bimo yang melihatnya langsung menutup pintu lalu menguncinya dengan cepat. Tatapannya kembali menajam ke arah Rey yang tengah duduk dengan santainya di atas sofa miliknya. "Lo.. kabur?"

"Menurut lo? Aduh.. gue udah gak tahan nih pengen sleeping handsome. Mana Bonyok lo?" Rey meregangkan kedua tangannya dengan berlebihan.

Bimo menatapnya sebal. "Udah pada tidur. Maksud lo kabur ke rumah gue itu apaan? Gimana kalau Abang lo sama tetek bengek lo nyari ke sini? Entar gue yang berabe kampret!"

Rey sama sekali tidak menanggapi semua perkataan dan semburan Bimo. Dengan langkah santai, Rey berjalan menuju kamar sahabatnya itu seperti di rumahnya sendiri. Bimo yang melihatnya hanya menggeleng penuh kekesalan saat melihat tingkah sahabatnya yang menyebalkan tingkat dewa.

Saat Rey sudah memasuki kamar, Bimo langsung memposisikan dirinya di atas kasur. Berusaha mengacuhkan sahabatnya itu yang amat sungguh menyebalkan baginya. Rey menyimpan tas besarnya, lalu ikut tidur di samping Bimo.

"Mereka cerai Bim."

Bimo yang mendengarnya berusaha menelan ludahnya sulit. Ingin sekali ia menghibur sahabatnya itu sekarang. Seperti mengajaknya merokok sambil curhat, menonton bola dengan sekantung kacang tanah, ataupun mengajaknya bermain playstation sampai pagi. Bimo mengurungkan semua niat baiknya itu, ia mulai merasakan bagaimana jika kejadian itu menimpa keluarga harmonisnya itu. Ibunya yang selalu setia menunggu ayahnya pulang kerja. Rasa lelah ayahnya hilang saat ibunya menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman, candaan dan gurauan. Membuat semua perasaab anak bahagia melihat kedua orang tuanya kian mesra. Bimo menggeleng cepat jika kedua orang tuanya bercerai tanpa sebab. Amit-amit umpatnya dalam hati.

"Gue gak tahu harus gimana lagi Bim, gue capek!"

Mendengar kekesalan Rey, Bimo menimpalinya dengan, "Makanya molor! Berisik!"

Bimo kembali membenarkan posisi tidurnya, melentangkan sebelah kakinya di atas kaki Rey, memeluk guling yang berada di sampingnya. Rey membuang napasnya kasar, pasrah dengan keadaan. Ditambah dengan posisi tidurnya yang selalu didominasi pergerakan tidur manusia di sampingnya itu.

"Bim, keluar yuk.."

Bimo menoleh, "Kencan?"

Rey menjitak kepala Bimo pelan, "Gue normal pe'A! maksud gue cari hiburan. Minum!"

"Jam berapa sekarang?"

Rey melihat ponselnya, "Sebelas kurang,"

"Bar deket J.A aja. Soalnya deket sama rumah."

Rey terkekeh, kembali menjitak kepala temannya itu, "Genius!"

***

Jane mengerjapkan kedua matanya pelan, seluruh tubuhnya terasa remuk saat ia berusaha membenarkan posisi tidurnya. Jane meringis pelan. Rasa sakit mulai menjalar terutama di bagian pundak dan punggungnya. Matanya melirik ke arah jam di samping tempat tidur. Pukul tujuh pagi. Ia menghela napas pelan mengetahui bahwa hari ini ia tidak bisa masuk sekolah. Semalaman ia harus menjelaskan hal yang sebenarnya kepada Julia dan Jimi mengenai kejadian mengerikan yang menimpanya kemarin. Betapa terkejutnya Julia saat Jimi memberitahu keberadaan Jane saat itu. Julia tidak habis pikir dengan perilaku Elisa yang brutal itu. Menyuruh Jane untuk istirahat selama sehari ini.

Jane menunduk, memperhatikan boneka Stitch pemberian Rey berada dipelukannya selama ia tertidur. Rasanya begitu menyakitkan, mengingat janji lelaki itu padanya malam lalu.

"Jane, kamu gak apa-apa kan Mamih tinggal sebentar? Mamih mau ada urusan di sekolah kamu." Jane menoleh ke arah sumber suara. Didapatinya sang ibu sudah rapi dengan pakaian khas seorang pekerja kantoran. Dengan dandanan yang tidak terlalu mencolok membuat Julia semakin terlihat cantik, bahkan terlihat awet muda. Jane mengangguk, tatapannya masih kosong.

Sebelum keluar dari kamar anak bungsunya itu, Julia berjalan ke arah Jane, memberinya kecupan di puncak kepalanya lalu tersenyum.

"Semuanya akan baik-baik saja."

***

Bel masuk kelas berbunyi, semua siswa memasuki kelasnya masing-masing. Termasuk Zenita dengan teman sekelasnya. Ada yang ogah-ogahan masuk kelas karena gurunya killer, ada juga yang merasakan aura mencekam saat mereka mengetahui bangku jajaran paling belakang belum semuanya terisi. Zenita memaklumi saat mengetahui sahabatnya itu tidak masuk sekolah sekarang. Tapi yang menjadi pertanyaan basi, mengapa dua mahluk disamping bangkunya itu belum kunjung masuk kelas.

"Hei! Duo setan itu pada kemana di belakang!" teriakan Hira mulai terdengar kontras dari arah depan. Semua teman sekelas menggeleng tidak tahu, kecuali para penyamun lain yang selalu menjawabnya dengan asal.

"Ke WC kali!"

"Masih di kantin!"

"Di pojok lab kali Ra! Biasalah.. mojok sama Yussy!"

"Ah.. palingan lagi di mushola, ikut wifi-an."

"Kesiangan kali Ra!"

Jawaban terakhir memang sangat masuk akal bagi Hira, sudah tidak asing lagi bagi Rey dan Bimo jika datang terlambat masuk kelas karena kesiangan. Diliriknya Adit barusaja datang dengan membawa absenan. Hira menghampiri Adit dengan menatapnya tajam.

"Loh? Bu Tania mana?" tanya Hira aneh.

Adit mengangkat bahu acuh, "Nggak tahu. Lo, jemput gih!"

Hira melotot, "Gue kira lo ke ruang hall itu buat jemput Bu Tania sekalian ambil absenan. Lo mah nyebelin Adit!"

Adit mengernyit, "Gue takut dikepo-in soal Jane. Mading udah pada rame tuh gara-gara berita dia dibully sama si Elisa. Cepet! Lo jemput Bu Tania sekarang." Adit mendorong bahu Hira untuk segera keluar dari kelas menjemput Bu Tania. Hira yang tidak terima berusaha melepaskan kedua tangan Adit saat sampai di depan pintu kelas.

"Adit! Bu Tania!"

Mendengar suara terkejut Hira, Adit langsung menarik kembali Hira ke dalam kelas. Menyiapkan semua teman sekelasnya dengan rapi sebelum sang wali kelas memasuki kelas mereka.

"Selamat pagi anak-anak."

"Pagi bu.. "

Sorot mata elang Bu Setina menyapu pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Mengecek semua anak didiknya. Tatapannya terhenti pada bangku Rey dan Bimo yang masih kosong. Ia menghela napas pelan, meminta penjelasan kepada anak didiknya itu.

"Dua anak itu kemana?"

"Assalamualaikum.. "

Tepat di saat Bu Tania bertanya, pintu kelas terbuka dengan memperlihatkan Rey dan Bimo yang barusaja masuk ke dalam kelas dengan ekspresi tanpa dosa. Bu Tania yang melihatnya mengkode kedua siswanya itu untuk berjalan ke arahnya. "Sini."

Mereka berdua mengangguk, berjalan ke arah Bu Tania berdiri. "Jalanan macet Reynand? Bimo?"

"Macet Bu.. " jawab mereka serempak.

"Macet sebelah mana?" tanya Bu Tania disertai dengusan kasar.

"Macet di kasur Bu!"

Mendengar celetukan Adit, semua teman di kelas tertawa terbahak-bahak, bahkan Rey dan Bimo ikut tertawa sambil mengacungkan jempol berkali-kali pada Adit.

"Diam semua!"

Mendengar bentakan Bu Setina dengan disertai gebrakan meja menggunakan penggaris kelas, membuat semua siswa menghentikan tawa mereka. Kelas kembali hening.

"Berdiri!"

Rey mengernyit, "Apa Bu Tan?"

"Kamu itu tuli atau apa sih! Berdiri di samping papan tulis sampai bel istirahat bunyi!"

Mendengar perintah itu, kedua lelaki itu menunduk malas, berjalan ke arah samping papan tulis di hadapan semua teman sekelas.

"Rasain lo!" Trio Alay menyorakinya kompak.

"Mantap jiwa..." mendengar celetukan Adit, Rey mengacungkan jari tengahnya lalu menggosokannya ke batang hidungnya saat Bu Tania kembali melirik ke arahnya.

Rey dan Bimo meratapi nasibnya kali ini, selama Bu Tania mengajar, kakinya terasa mulai kesemutan saat berdiri selama dua jam pelajaran Sejarah. Sesekali Bu Tania melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, memastikan bahwa inilah saatnya rapat orang tua Jane dengan Elisa dimulai.

"Rangkum saja bab selanjutnya, dikumpulkan secepatnya di meja saya. Dan kalian berdua.. " Bu Tania menunjuk ke arah Rey dan Bimo yang tengah membalas semua ejekan Adit di seberang mereka.

"Boleh duduk. Ibu ada urusan sebentar, kalian tahu kan berita tentang Jane kemarin? Ibu akan menyelesaikannya sekarang, kita semua guru dan pihak sekolah akan menindaklanjuti kasus Jane itu."

Kasus?

***

Rey mengernyit, barusaja ia menyadari bahwa sedari tadi gadis yang selama ini membuatnya khawatir itu tidak masuk sekolah. Ia berjalan menuju bangku Zenita, lalu duduk disampingnya.

"Jane kenapa? Maksud Bu Tania apa? Kasus-kasus-"

"Jane dibully sama gengnya Elisa."

Rey terkejut bukan main, "Elisa? Maksud lo-"

"Kak Rendi nemu Jane pingsan di toilet cowok dengan tangan diiket, mulut dibekep, sama mata ditutup. Tubuhnya basah kuyup, apalagi beberapa luka pukulan dan tamparan yang bikin ngeri. Gitu deh ceritanya, gue gak tahu semuanya."

Rey merasakan hatinya mencelos sakit mendengar kabar buruk yang menimpa gadis itu. Kali ini ia merasakan rasa bersalah yang teramat dalam. Kalau aja kemaren gue gak ikut lomba, cih! Gue goblok banget sih! Kenapa gue sampai kecolongan gini sama si Elisa? Kenapa juga gue sampai gak tahu kalau tulisan di surat itu, tulisan Elisa!

"Terus? Jane sadar?"

"Dia sadar, walau pun masih terlihat syok. Kalau aja Kak Rendi gak nemuin Jane di toilet. Gue gak mau hal lain terjadi sama Jane." Zenita mendengus pelan, lalu mengusap wajahnya kasar. Berusaha menghilangkan rasa bersalahnya karena tidak sempat menemani temannya itu ke toilet.

Rey mengacak rambutnya frustrasi, meraih tasnya kembali dengan cepat ia berjalan keluar kelas tanpa menghiraukan beberapa teriakan teman sekelasnya. Sesaat ia melihat Rendi di depan ruang konseling, bersama Jimi dan Gina. Mereka bertiga terlihat akrab tidak seperti biasanya. Membuat Rey memberhentikan langkahnya, bersembunyi di balik tembok dekat mading sekolah.

"Kenapa mereka? Tumben akrab." gumamnya tidak sadar, tatapannya terhenti pada papan mading yang terlihat asing bagi berita biasanya di lingkungan sekolah mereka.

Siswi berinisial 'J' asal kelas sepuluh ditemukan tak sadarkan diri di toilet siswa dengan beberapa luka lebam di bagian wajahnya. Selidik punya selidik, dalang dari semua ini adalah siswi berinisial 'E' asal kelas sebelas.

Stop Penindasan!

Stop Bullying!

Rey geram bukan main, ingin sekali ia bertemu dengan Elisa lalu meluapkan segala kemarahannya terhadap mantan kekasihnya itu. Saat ia hendak melangkahkan kaki, tanpa disengaja ia mendengar sesuatu yang sangat penting berasal dari ruang konseling.

"Pak. Saya tidak terima jika anak saya diperlakukan seperti itu! Itu namanya melanggar hukum! Anak saya mempunyai hak untuk menuntut semua atas perlakuan anak dari Ibu ini pak." kata Julia tidak sabaran.

"Sebentar Bu.. sebentar. Kita selesaikan dengan baik-baik." Pak Yani berusaha menenangkan kedua belah pihak.

"Bu! Anak saya itu masih berumur tujuh belas tahun. Dia tidak mungkin melakukan hal yang begitu sadis pada anak ibu." tukas Lina-ibu Elisa-dengan menggebrak meja tidak terima.

Julia menatapnya hina, "Tuh kan Pak! Ibunya saja sudah pintar bersandiwara, bersilat lidah, tapi bukti Pak, bukti. Semuanya sudah terbukti bahwa anak Ibu telah melakukan penindasan pada anak saya. Oh, mungkin saja anak Ibu kurang perhatian, jadi, anak saya menjadi bahan kesenangannya doang. Ya kan?"

"Ibu Jane, harap tenang. Kita sedang berunding sekarang." Pak Yani kembali berusaha menenangkan amarah Julia yang sudah siap meledak kapan saja.

Julia menggebrak meja, menatap Pak Yani nanar "Tenang? Coba Bapak pikir, bagaimana jika Bapak berada diposisi saya sekarang. Bapak tidak akan segan-segan melaporkan kesalahan anak orang yang berakibat fatal bagi anak Bapak. Begitu juga dengan saya!"

"Bu! Jelas-jelas anak Ibu itu yang telah merebut kebahagiaan anak saya!" tukas Lina kembali tidak terima, kali ini dengan tatapan saling membunuh di antara keduanya.

Julia mendelik sebal melihatnya, "Kebahagiaan? Saya bicara serius Ibu Elisa. Saya menginginkan hak seadil-adilnya untuk mengajukan tindakan kekerasan anak Ibu pada anak saya."

Pak Yani menggebrak meja kesal, sedari tadi ia berusaha menenangkan suasana tegang itu namun tak kunjung reda. Pandangannya kini beralih dari Julia ke arah Lina.

"Ibu Elisa, kasus penindasan itu bukan hal wajar di kalangan anak, tapi kasus yang harus segera kita tindaklanjuti. Baik disekolah ini, maupun diseluruh sekolah di Indonesia. Jika kasus ini dibiarkan saja, tentunya akan berakibat fatal bagi perasaan korban bullying itu sendiri. Trauma masuk sekolah, rasa ketakutan yang berlebihan, semua akan berdampak buruk bagi si korban. Apa Ibu akan diam saja jika Elisa bernasib sama dengan Jane? Tidak bukan. Ibu tidak akan segan-segan melaporkannya kepada pihak sekolah, bahkan pihak berwajib. Seperti KOMNAS HAM dan lembaga perlindungan anak. Ibu akan menariknya ke dalam meja hijau, dan mengadili si pelaku untum mendapatkan hukuman agar si pelaku jera. Apa Ibu berfikir sampai di situ?"

Lina tertohok, mati kutu. Merasa malu dengan semua perlakuan anaknya. Merasakan setiap perkataan pria paruh baya di hadapannya serasa tamparan keras baginya.

Pak Yani membuang napas kasar, "Saya akan membuat keputusan sesuai dengan keinginan Pak Kepala Sekolah. Dengan hormat, pihak sekolah mengeluarkan siswi bernama Elisa Maharani dari SMA Dharma Bangsa."

Lina tercengang, menatap Pak Yani tak percaya. "Pak! Kenapa harus dikeluarkan dari sekolah!"

"Karena pihak sekolah takut, jika kejadian ini terjadi kembali. Jika pelaku penindasan tidak diperingati dengan tegas, maka pastilah kejadian ini akan terulang kembali seiring siswa semakin berani mengambil tindakan tidak wajar itu. Saya mengerti, anda pasti tidak terima. Tapi ini keputusan tegas pihak sekolah, masih baik Ibu Jane tidak melaporkan anak Ibu ke polisi."

Lina mengehembuskan napas pasrah, diliriknya Julia yang masih merasa marah dengan beberapa pembelaan wanita di sampingnya pada anaknya.

"Saya benar-benar minta maaf atas kesalahan anak saya selama ini. Saya pikir, saya sudah membesarkannya dengan sikap dan perilaku yang baik menurut bangsa dan agama. Tapi semuanya terasa hambar, saya terlalu acuh terhadap perkembangan anak saya yang semakin tidak tahu aturan. Saya benar-benar minta maaf. Ibu Jane. Maafkan anak saya, saya janji, saya akan memasukan Elisa ke pesantren."

Hati Julia mencelos sakit saat mendengar permintaan maaf yang tulus dari wanita di sampingnya itu. Isakan tangis dan airmata seorang ibu yang berusaha membela kedudukan anaknya yang jelas-jelas membantingkan harga diri ibunya sendiri kedalam jurang tak berdasar. Dengan tangan bergetar, Julia menarik Lina ke dalam pelukannya.

"Saya mengerti perasaan Ibu, jangan menangis. Hati saya sakit melihat Ibu menangis mengemis maaf pada saya, karena perlakuan anak Ibu yang tidak tahu diri itu."

Lina mengangkat wajahnya, menatap Julia penuh rasa terima kasih. "Terima kasih Bu. Terima kasih."

"Sama-sama Bu."

Sudah hampir setengah jam Rey menghabiskan waktunya hanya untuk mendengarkan perdebatan antara kedua orang tua di dalam ruangan di sampingnya itu. Dan setengah jam itu pula ia melihat tingkah laku ketiga manusia di depan ruang konseling itu dengan mengernyit aneh berkali-kali. Jimi yang akrab dengan Gina yang ramah, tidak seketus biasanya. Rendi yang sok bijak mendadak luntur menjadi Rendi yang sok kocak dan humoris. Rey juga baru mengetahui sifat Jimi sebenarnya, Jimi adalah sosok badboy yang pemalu di hadapan seorang gadis seperti Gina. Membuat Rey teringat kembali dengan curhatan Rendi saat persahabatannya hancur gara-gara menyukai satu perempuan yang sama.

Di saat itu, Julia keluar dari ruang konseling lalu menghampiri Jimi bahwa dia sudah selesai dalam urusan tersebut. Rey yang barusaja melihat Julia meninggalkan Jimi langsung mengaitkan tasnya kembali yang merosot, berlari mengikuti Julia sampai ke parkiran dengan mendapat teriakan dan panggilan dari para guru yang melihat aksinya itu. Apalagi ditambah membawa tas, semua guru di sana menyangkanya kabur di jam pelajaran. Namun Rey menghiraukannya, kini objeknya hanya Julia yang barusaja masuk ke dalam mobil hitamnya.

Napas Rey tersengal-sengal, ia menunduk sambil memegang dada sebelah kirinya, merasa sesak akibat berlari. Padahal hanya berjarak beberapa meter, ia sudah merasa lelah. Mungkin sebagian besar karena efek dirinya yang sering merokok, membuatnya harus menanggung semua efek samping bagi paru-paru dan jantungnya itu.

Hampir saja Julia menjalankan mobilnya, tanpa babibu Rey berlari lalu mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil tersebut, meminta untuk Julia memberinya kesempatan berbicara dengannya.

"Tante! Saya mohon, jangan dulu pergi, Tante!"

Julia menoleh, tangannya langsung memberhentikan laju mobil, membuka kaca mobil sedikit malas, mengetahui yang menghentikannya itu adalah lelaki yang membuat semuanya terjadi. Kehadiran lelaki inilah yang membuat Elisa tergila-gila dan mengakibatkan putrinya yang menjadi korban pelampiasannya.

Rey menyejajarkan kepalanya dengan kaca mobil, mencondongkannya agar ia bisa langsung berhadapan dengan wanira di hadapannya itu. Jantungnya sedikit berdebar jika berhadapan langsung seperti itu.

"Tante.. permisi Tan, saya mau tanya soal-"

"Anak saya? Dia lagi istirahat di rumah." Julia memotong pertanyaan Rey. Rey mengangguk, mengetahui bahwa wanita di hadapannya mengerti maksud tujuannya itu.

Julia menghela napas pelan, "Emangnya kamu mau apa nanyain anak saya? Sudah cukup semua ini terjadi hanya karena kehadiran kamu yang suka deketin anak saya."

Rey mengusap wajahnya kasar, menyadari bahwa kehadirannya itu, adalah sebuah kesalahan fatal bagi gadis itu.

"Saya benar-benar minta maaf Tante, saya tahu, semuanya gara-gara saya, kehadiran saya membuat anak Tante tertekan. Jadi, sekarang saya minta izin sama Tante, apa saya boleh menemui Jane?"

Julia menatap Rey dingin, membuat Rey semakin tertantang untuk menaklukan wanita di hadapannya itu. "Tidak."

Rey memohon, "Tante, saya ingin ketemu sama anak Tante sekali ini aja. Saya janji."

"Tidak."

Rey menghela napasnya berat, mengusap wajahnya kasar, bagaimana mungkin ia tidak bisa bertemu dengan gadis yang selama ini ia khawatirkan keberadaannya.

"Tante, kenapa nomor Jane susah dihubungin?"

"Hapenya gak aktif. Pecah diinjak sama anak jahanam itu. Sampai sekarang hape itu masih ada di ruang BK sebagai bukti bahwa Jane terkena kasus pembullyan di sekolah. Saya tidak menyangka, sekolah sebagus ini, dengan akreditasi A, bisa-bisanya terjadi kasus penindasan sesadis itu. Dan terlebih, menimpa anak saya."

"Dan jika kamu jadi saya, apa kamu masih bisa membiarkan anak kamu bebas bersama dalang dari semua bencana ini? Seorang lelaki yang membuat anaknya tertindas sampai pingsan di toilet anak laki-laki? Hanya karena sipelaku menginginkan lelaki seperti kamu. Bagaimana menurut kamu, nak Rey?"

Skakmat! Rey menelan ludahnya sulit, mati kutu menghadapi berbagai pertanyaan menjebak wanita di hadapannya itu.

"Menurut saya, saya akan memberi kesempatan kedua kepada anak lelaki itu pada anak saya. Saya akan memantau, bagaimana kesungguhan anak lelaki itu pada anak saya. Bagaimana dengan Tante?"

Rey menjawabnya dengan singkat, padat, dan jelas. Julia menatapnya terang-terangan, mencari kesungguhan anak lelaki itu dari manik matanya. Sedetik kemudian Julia mengangguk, membuat Rey merasa kebingungan.

"Dan jika saya memberi kesempatan kedua, apa itu akan membuat anak saya kembali menjadi seperti biasanya, menerima lelaki seperti kamu, sebab dari semua kejadian ini?"

"Selama anak Ibu mengerti dan melihat kesungguhan saya untuk mendekati anak Tante. Saya yakin, semuanya akan baik-baik saja." Rey menjawab mantap. Batinnya yakin, bahwa niatnya untuk menemui gadis itu sungguh-sungguh.

Julia tergelak mendengar pernyataan Rey di hadapannya, dengan santai, Julia menjulurkan lengannya lalu mengelus puncak kepala lelaki itu. Melihat kesungguhan remaja labil di hadapannya membuat ia teringat kembali pada masanya di SMA. Mengejar cinta monyet sampai rela melakukan apapun demi seorang kekasih yang dicintainya.

"Kamu itu bandel banget jadi anak. Gak heran semua anak remaja zaman sekarang pada gak bisa hormat sedikit sama orang tua."

Rey tertegun, merasakan tangan halus yang menyentuh puncak rambutnya. Membuatnya merasakan kehangatan yang menyengat relung hatinya walaupun hanya beberapa detik.

"Tante.. apa saya boleh ketemu sama Jane?"

Julia menggeleng, "Tidak."

Untuk kesekian kalinya Rey membuang napasnya kasar, kecewa. Kali ini semua usahanya gagal untuk membujuk wanita pintar bicara di hadapannya itu. Satu kata "Tidak." yang membuat hatinya lelah dan kecewa akan kondisi dan situasi. Semua waktunya terbuang percuma, sia-sia. Kalau aja gue tadi langsung cabut aja ke rumah lo, Jane. Pasti gak bakal serumit ini buat ketemu sama lo.

"Tapi saya akan mengizinkan kamu setelah bel pulang sekolah bunyi. Jadi, gak ada alasan kalau murid bandel kayak kamu bela-belain bolos gara-gara mau nemuin anak saya. Saya tidak mau hanya karena gara-gara kamu lagi, anak saya jadi kebawa-bawa."

Pucuk dicinta, ulam pun tiba, Rey terkejut. Matanya melebar, senyuman mulai merekah dengan jantungnya yang kembali berdegup kencang. Barusan gue gak salah denger, kan? Kuping gue masih normal, kan?

"Maksud Tante-?"

"Pulang sekolah, kamu boleh ketemu sama anak saya."

Baru kali ini Rey merasakan kebahagiaan yang sangat sulit untuk ia dapatkan. Hatinya tidak berhenti mengucap syukur karena wanita keras di hadapannya mengizinkannya bertemu dengan putrinya itu. Rey bersorak ria dalam hati, walaupun tidak bisa sekarang, ia tetap bahagia.

"Makasih Tante! Saya akan datang setelah pulang sekolah. Saya janji."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro