18. OBAT PAHIT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

18. OBAT PAHIT

Setiap detik seperti satu menit, setiap menit seperti satu jam, setiap satu jam seperti berjam-jam bagi sosok seorang laki-laki yang tengah menyalin pekerjaan rumah milik Adit. Tidak lupa dengan topi hitam yang sengaja ia putar ke belakang, membuat semua siswi di kelasnya berdecak aneh melihat sikap anehnya kali ini. Semenjak kembali dari jam istirahat pertama, Rey terus saja memantau beberapa kali kaca jendela di samping meja Arif dan Iqmal, memastikan bahwa Rendi tidak sampai tahu kalau dirinya semalam kabur dari rumah. Sesekali ia melirik ke arah jam di pergelangan tangan Bimo, ia mengusap wajahnya kasar. Mengetahui bahwa baru sekitar dua jam ia duduk di dalam kelas setelah menemui Julia di parkiran.

Rasanya seperti berjam-jam ia harus menyalin tugas Bu Okeu, guru Geografi yang selalu tampil dengan aksesoris serba berwarna ungu. Sampai setiap buku Geografi anak kelas IPS harus diberi sampul berwarna ungu. Dengan logat Sunda-nya yang medok, Bu Okeu tak segan-segan memarahi para penyamun kelas dengan bahasa daerahnya. Membuat semua siswa yang mendengarnya tertawa lucu.

"Rey? Lo sehat?"

Bimo bertanya seraya menatapnya horror, takut jika temannya tengah dirasuki hantu rajin menulis tugas Bu Okeu yang sadisnya beberapa lembar. Bimo semakin khawatir saat Rey tersenyum manis padanya, lalu kembali menulis.

"Siapa lo! Setan mana lo! Dari mana lo! Siapa lo berani-beraninya masuk ke temen gue!" Bimo menghindar, berteriak seakan-akan Rey benar-benar kerasukan. Semua teman di kelas tidak segan-segan menatap ke arah mereka terkejut, dengan cepat Trio Alim berlari menghampiri mereka berdua. Keadaan semakin runyam saat Bu Okeu barusaja masuk ke dalam kelas, mengetahui sekarang waktunya untuk mengajar di kelas sepuluh IPS satu. Karena tidak ada yang menjemputnya, beliau langsung pergi dari ruang guru menuju kelas.

Rey langsung mempercepat laju tulisnya saat Bu Okeu mengetahui kehebohan Bimo yang terlalu hiperbola dalam menghadapi sahabatnya itu. Setelah menulisnya selesai, dengan cepat Rey menutup kembali buku tugasnya lalu mencopot topi hitamnya ke dalam kolong meja.

"Aya naon barudak! Kenapa di pelajaran saya enak-enaknya kalian teu manggil saya."

Semua teman di kelas kembali ke tempat duduk masing-masing, sedangkan Bimo langsung mendapat tatapan membunuh dari semua teman sekelas, mengingat kehebohannya tadi.

Hening.

Semua bungkam, tidak ada yang berani bicara. Salah mereka sendiri membuang-buang waktu saat seharusnya mereka dalam jam KBM.

"Geus liwat dua jam, KM mana?"

Refleks, Adit mengangkat tangannya gugup, "Ini Bu.. "

"Lain kali kalau udah bel masuk, panggil saya. Atau tidak jangan buang-buang waktu kalian di pake jajan-jajan, ngobrol teu jelas, atau.. ngarokok di juru kelas, mendingan kalian teh manfaatin waktu sebaik mungkin."

Adit mengangguk, melirik Hira yang tengah menunduk ke bawah bangku, alibi bahwa dia tengah bercermin sambil membenarkan warna pink lipice miliknya. "I-iya Bu. Saya tidak akan mengulanginya lagi."

"Bagus.. " kini tatapan Bu Okeu tertuju pada Rey, menunjuk Rey dengan dagu, "Kamu sudah mengerjakan tugas saya? Atau.. alasan klise tea, lupa?"

Rey tersenyum remeh, "Udahlah! Rey, kan anak rajin!"

Adit bertepuk tangan sendiri, "Edan-edan!"

"Halah.. rajin cabut!"

"Rajin minjem!"

"Rajin nyontek!"

Rey berdecak mendengar semua lontaran sifatnya yang negatif semua, "Kenapa sih! Yaelah! Sekali aja kalian kalian pro ke gue!"

"Najis!"

"Males bingits!"

"Hellow! Gak usah pada ribut bisa nggak sih!" kali ini Hira bersuara, menyadari bahwa semua anak kelasnya itu sedang mendapat tatapan tajam dari Bu Okeu.

"Ya sudah, untuk kali ini, saya benar-benar kudu sabar menghadapi kelas kalian. Kumpulkeun tugas kalian ke.. Adit."

Mendadak kelas kembali heboh saat mengetahui tugas yang bejibun itu harus dikumpulkan. Dengan cepat Hira kembali melakukan aksinya untuk menjilat perhatian Bu Okeu, atau pun guru-guru lainnya. Kebiasaannya untuk terlihat sempurna di hadapan semua guru. Semua teman sekelas mendelik sebal melihatnya.

"Sama aku aja Bu!" Hira mengangkat tangan.

"Ya sudah, cepat kumpulkan, sekarang!"

Hira mengumpulkan semua buku dengan senyuman manis yang terukir di bibirnya. Dia memang mempunyai tubuh ideal, berparas cantik, pintar, sok bossy dan percaya diri. Namun karena kepercayaan dirinya itulah membuat teman sekelas ilfeel padanya.

Setelah Bu Okeu keluar kelas, mereka kembali melakukan aktifitas masing-masing. Suasana kelas IPS atau bisa dibilang kelas paling kompak akan kerusuhan di dalam kelas. Hampir semua anak perempuan sibuk bersolek, berfoto selfi, dan kembali memasang sound sistem untuk bergoyang kembali dengan alunan musik dangdut masa itu. Seperti lagu Secawan Madu dan Gantung Saja Aku Di Monas. Sungguh aneh-aneh judul lagu dangdut sekarang.

Berbeda dengan anak laki-laki, mereka kembali bermain beberapa kartu, ada remi, gapleh, dan YU-GI-OH. Ada juga yang kembali bermain carrom ball di belakang kelas, tidak lupa dengan asap rokok yang kembali mengepul disudut belakang kelas. Wilayah para penyamun seperti Rey, Bimo, Adit dan yang lain. Sementara Trio Alim kembali memasang headset di kedua telinganya, lebih memilih tidur.

"Wey-wey! Ada yang baru loh!" Kevin-salah seorang teman sekelas Rey-berteriak lantang di ujung bangku paling pojok, sangat pojok sambil mengutak-atik laptop di depannya.

"Apaan sih! Berisik tahu gak!"

"Ganggu aja lo, ah!"

Sontak semua anak cewek yang tengah bergosip di depan mejanya merasa terganggu dengan teriakan Kevin yang bisa saja mengalahkan toa masjid sekolah. Berbeda dengan anak cowok, mereka semua langsung meninggalkan aktifitas masing-masing, berlari ke arah meja Kevin, seperti sudah mengerti apa yang dimaksud Kevin sebelumnya.

"Apaan sih! Emangnya mau nonton apaan Rey?" tanya Kisha penasaran.

Rey yang kebetulan mendapat kursi di samping Kevin akibat kelincahannya mendapat tempat duduk langsung menatap tajam Kisha dan semua anak cewek di depan mejanya. Wajahnya datar, sedikit menyeramkan.

"Melon." ucapnya dingin.

Sontak semua anak cewek di sana merasa risih sendiri, mereka lebih memilih berpindah tempat ke depan kelas, di dekat meja guru. Menunggu Hira untuk kembali ikut bergosip ria tentang seputar anak hitz di SMA Dharma Bangsa.

Rey terkekeh, lalu menepuk pundak Kevin akrab, "Apaan yang baru? Sora Aoi?" tanyanya sambil mengeluarkan kain yang sudah biasa disiapkan Kevin di dalam tas setiap anak cowok menonton film. "Bukan." jawab Kevin menarik kain tersebut lalu melebarkannya agar setiap anak cowok dibelakang ikut tertutupi saat menonton film nista itu.

"Siapa? Maria Ozawa?" tanya Bimo menopang dagu di belakang Kevin, semua anak cowok membuat bioskop sendiri, dengan menggunakan meja lalu di atas meja kembali ditempati kursi untuk penonton paling belakang.

"Bukan juga. Itu mah udah expire kalee.."

"Terus? Siapa? Jangan bilang itu nenek lo lagi!" Adit menjawab histeris di samping Bimo.

"Monyet lo! Nenek gue mah udah pensiun! Liat aja nanti."

Setelah film diputar, tidak segan-segan mereka berteriak histeris saat mengetahui siapa pemeran utama wanita yang ada di dalam layar laptop.

"KIM KARDASHIAN!!!"

Sontak semua anak cewek mulai menyudutkan mereka dengan tatapan terganggu, "Berisik! Heh! Anak cowok! Kalau lagi nonton film gak usah hiperbola deh!" Hira mulai berteriak tegas, namun respon mereka tidak lain hanya decakan kagum.

"Si Hira mah gak ngaca! Dia yang suka heboh juga!"

"Gila.. itu waw.. "

"Melon banget vroh.."

"Anjir.. gede.. "

Hira yang mendengarnya bergidik ngeri, mulai menyapu pandangannya ke seluruh kelas, semua anak cowok raib ikut serta menonton film. Kecuali Trio Alim yang tertidur pulas dengan menggunakan headset. Hira menghela napas lega, berjalan ke arah Latif lalu menepuk pipinya pelan. "Wey! Bangun bentar, yaelah.. cepet bangun, Latif-"

"Apaan sih! Gue lagi tidur juga.." Latif menjawab disertai menguap.

Hira mengguncang-guncang bahu Latif gemas, "Bentaran doang. Gue mau minta tolong nih.. kan menolong itu ibadah kata lo."

Latif mendengus, tidak tega melihat ekspresi Hira, "Tolong apaan?"

Hira menunjuk ke arah kerumunan cowok, "Mereka lagi ngapain sih! Coba lo cek deh! Soalnya, kalau anak cowok pada ngumpul di pojokan gak jelas kayak gitu, itu patut untuk dicurigai."

Latif mengangguk malas, berjalan ke arah kerumunan anak cowok, membuka kain tepat di bagian Rey duduk. "Weits.. ada apa ya Latif? Mau ikut nonton? Gede-gede loh Tif!" tawar Rey bergeser duduk, "Sini deket gue! Gue kasih VIP buat lo!"

Latif mendelik sebal, lalu menatap tontonan teman-temannya itu. "Astagfirullah!" dengan cepat ia keluar dari kain tersebut lalu mengusap dadanya berkali-kali seraya beristighfar. Hira yang melihatnya kembali menghampiri Latif dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Ada apa Tif? Emang mereka lagi nonton apaan?"

Latif menggeleng keras, "Horror."

"Maksudnya film hantu gitu?" tanya Hira memastikan.

Latif menggeleng kembali memasang headset di telinganya, "Bahan mandi besar!"

Hira menelan ludahnya sulit, kembali berjalan menuju pintu kelas. "Pasti nonton yang gak bener, hih! Dasar! Semua cowok, sama aja!" umpatnya bergidik ngeri. Saat ia berdiri di depan pintu, matanya menangkap sosok yang janggal tengah berjalan menuju ke arahnya, tatapan tajamnya lurus tepat pada Hira. Hira mengernyit, "Ngapain tuh cowok kece ke sini? Natap gue lagi?"

Hira membenarkan posisinya, "Kayak Kak Rendi, enggak-enggak, mata gue gak minus, kan?" Hira kembali memastikan, "Eh.. bener tuh ketos! Bahaya!"

"Wey bubarin anak cowok! Ketos lagi ke sini cepetan!" Hira berlari sambil berusaha berteriak heboh saat mengetahui sang Ketua Osis tengah menuju kelas mereka. Seperti kor kekalahan, semua anak cowok membubarkan diri dengan setengah hati. Kevin menutup laptopnya sadis kembali ikut main carrom ball dengan teman-temannya di bawah. Sedangkan Rey memberitahu temannya, bahwa anggap saja dia tidak ada di dalam kelas.

"Wey! Kalau dia nyari gue, bilang aja bolos! Cabut kemana kek terserah kalian, gue mau ngumpet di atas!"

Semua teman sekelas mengangguk, sementara Adit membantu Rey untuk ikut serta menaiki bangku, diam di atas langit-langit kelas tempat membenarkan atap yang bocor. Bisa saja anak kelas ini, mereka bisa melakukan apa saja untuk membuat tempat khusus bolos mereka selain di luar kelas.

"Rey mana?" Rendi bertanya masuk ke dalam kelas, menyapu pandangannya ke seluruh penjuru kelas.

"Gak ada Kak.."

Semua menggeleng pura-pura tidak tahu. Rendi mengernyit, "Kemana?"

Bimo menggeleng, "Dia nggak ajak-aja kita buat cabut. Katanya gue teman sejati, tapi dia ninggalin gue bang.. hiks." kata Bimo mendramatisir.

"Gue serius, tuh anak kemana?" tanya Rendi tidak percaya.

"Rey emang gak ada Kak, dari tadi malah. Adit juga lagi nyari Rey sekarang." jawab Hira seolah-olah Rey benar-benar kabur dari kelas.

Rendi terdiam, menatap ujung langit kelas yang bolong, "Di kelas ini suka bocor?"

Hira gelagapan, "I-iya Kak, kalau hujan gede tuh suka banjir, hehe.. "

Rendi mengangguk mengerti, "Kalau gitu, kamu lapor aja sama Pak Yani. Ya udah gue balik. Thanks!" Rendi berlalu keluar kelas dengan rasa cemas yang menyelimutinya sekarang.

Sudah berulang kali Rendi menelpon Rey ataupun mengirim pesan singkat pada ponsel adiknya itu. Mungkin puluhan, atau ratusan kali, namun tetap saja Rey tidak merespons sedikit pun panggilan dari kakaknya, nomornya tidak aktif semenjak Ibunya mengalami serangan jantung saat mengetahui kaca jendela rumahnya pecah, apalagi saat mengetahui anak bungsunya kabur dari rumah, dengan hanya menyisakan beberapa hadiah di atas kasur.

"Rey? Lo kemana? Ibu kritis sekarang.. "

***

Jane melamun, tatapannya kembali kosong setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan seorang psikiater di hadapannya. Sulit sekali rasanya melupakan sosok seorang Rey yang selama ini membuatnya yakin, bahwa lelaki itu akan selalu ada untuknya. Bukan seorang Rendi yang selama ini menjadi obsesinya, menjadi sosok pangeran berkuda putihnya, tapi sosok seorang iblis yang telah memporak-porandakan pondasi hatinya menjadi runyam. Kali ini pertahanannya runtuh, saat menghadapi kenyataan pahit yang membelenggu hati. Sesekali airmatanya menetes di pipinya. Tangannya memeluk erat boneka stitch di pangkuannya.

"Jane, apa kamu merasa takut kembali sekolah?"

Jane diam. Enggan menjawab. Iya batinnya.

"Oke, kalau gitu.. kamu enggak kangen suasana kelas sama sekolah?"

Jane diam.

"Aku hanya psikiater, bukan musuh kamu, bukan seseorang yang sangat menakutkan untuk kamu, jadi.. bisakah kamu sedikit saja merespons pertanyaan saya, walaupun hanya dengan sekali anggukan?"

Jane diam, tatapannya semakin kosong.

"Jane? Apa kamu merasakan sesuatu yang mengganjal di hati kamu? Sesuatu yang selama ini buat kamu ingin sekali mengutarakannya mungkin."

Hening.

Jane tidak menjawab, sudah berulang kali psikiater yang dipanggil Julia ke rumah tidak kunjung berhasil memancing pasiennya untuk membuka mulut. Enggan untuk berbicara.

"Jane, saya tidak punya niat untuk memaksa kamu bercerita, tapi ini demi ketengananmu, kelegaan hati kamu biar kamu bisa merasa lebih baik."

Jane menggeleng pelan, menunduk.

"Ya sudah, mungkin kamu perlu waktu untuk menceritakannya sendiri. Apa kamu merasa tertekan?"

Jane diam. Mengangguk samar.

"Akhirnya, kamu menjawab pertanyaan saya. Selain hanya gelengan dan diam seribu bahasa. Walapun hanya anggukan, okey! Saya akan bertanya, apa yang buat kamu tertekan seperti ini?"

Jane menunduk, menatap boneka di pelukannya.

"Takut.. "

Jane menjawab pelan. Psikiater itu mengusap punggung tangan gadis itu lembut, "Takut apa?"

"A-aku takut. Se-semuanya pahit."

Psikiater itu tidak pernah menghilangkan senyumannya, "Pahit itu akan selalu ada jika kita sendiri yang selalu membuat itu terasa pahit. Apapun yang kamu rasakan sekarang, rasa pahit memang selalu menyakitkan untuk dirasakan. Seperti obat, rasanya memang sangat pahit, jika kita sengaja merasakannya. Obat tidak akan terasa pahit jika kita langsung meminumnya dengan air yang banyak. Air akan terus mengalir membawa obat tersebut kepusat titik nyeri. Jadi, kalau kamu merasakan pahitnya penderitaan yang membuatmu terasa tertekan, maka percayalah, air matamu bisa mengurangi semua rasa sakitmu. Rasa pahit yang tengah kamu rasakan, air mata yang akan mengobati luka hatimu sendiri, melepas semua beban hatimu sendiri. Orang lain mungkin tidak akan merasakan pahit yang kamu rasakan, tapi aliran airmata kamu sendiri, yang dapat menghilangkan rasa pahit di hatimu itu."

Jane terisak, bahunya naik turun menangis pilu. Berusaha menahan semua masalah yang membelenggunya selama ini. Psikiater itu mengusap pundak gadis itu lembut.

"Mungkin kamu akan meluapkannya sendiri nanti. Yang penting, kamu sudah tahu, bagaimana caranya agar rasa pahit itu hilang dengan caramu sendiri. Jika bercerita, ataupun menangis kamu masih tidak bisa, saya tidak akan memaksa kamu. Mungkin Ibumu bisa menjadi sandaran kamu sebenarnya, bukan saya. Saya hanya ingin membantu kamu saja. Tapi, jika kamu enggan untuk saya bantu, tidak apa. Saya mengerti, kamu masih tertekan akan sesuatu."

Jane masih terisak dalam tangis, tidak peduli dengan semua yang berada di sekitarnya, ia hanya menginginkan rasa sakit di tubuhnya dan hatinya lenyap. Itu saja.

"Aku takut, kalau dia sampai meninggalkanku sampai keadaanku seperti ini. janjinya, hanyalah angan-angan bego yang selalu aku buat sendiri. Entah itu delusi pahit yang hadir hanya untuk kesenangan angan-angan semata. Aku tahu, dia pasti akan terus ada untukku."

Psikiater itu tersenyum, berusaha mencerna apa yang sebenarnya dirasakan Jane sekarang.

"Siapa dia? Yang meninggalkanmu bersama kenangan janji manisnya itu?"

"Dia. Sosok seorang pangeran berkuda putih yang selama ini selalu menggangguku layaknya iblis. Dia, setan yang selama ini selalu membuatku lupa akan akal sehatku di setiap dekat dengannya. Dia, sosok yang entah patut untuk aku cintai atau aku benci di saat bersamaan. Dia, dia... sosok pemberi harapan, harapan yang telah dia bangun untukku dan telah dia hancurkan untukku."

Jane menggeleng, sesekali menyeka matanya yang basah.

Psikiater itu hanya bisa mengangguk mengerti. "Apa kamu bersedia untuk menceritakan lebih detail tentang sosok "DIA" itu?"

Jane menunduk, enggan menjawab. Hanya detakan jarum jam yang terdengar di dalam ruangan bernuansa biru tersebut.

"Kalau begitu, saya akan beritahu Ibu kamu." sang Psikiater itu bangkit dari duduknya, meraih tas di sampingnya dengan beberapa catatan yang berisi kondisi kesehatan psikologis pasiennya kali ini.

"Terima kasih."

Psikiater itu menoleh, melihat Jane yang jelas-jelas menatapnya dengan mata sembab. Barusaja pasiennya berterima kasih padanya. Ia tersenyum, "Sama-sama Jane Demetria."

Psikiater itu keluar dari kamar, berjalan ke arah Julia yang sedari tadi menunggu proses pemeriksaan Psikiaters itu. Julia yang menyadarinya segera bangkit dari duduknya dengan tatapan cemas.

"Bagaimana kondisi anak saya? Semenjak penindasan itu, dia tidak pernah bicara sekalipun. Tatapannya selalu kosong."

"Anak Ibu mengalami trauma yang mendalam. Mungkin saja bukan hanya karena pembullyan itu yang membuatnya sepertu itu. Mungkin ada kemungkinan yang lain. Seperti ditinggal seseorang, menginginkan seseorang yang dia percaya, atau yang membuatnya tertekan karena terlalu percaya terhadap orang lain."

Julia mengernyit, "Kehilangan kepercayaan orang lain?"

Psikiater itu mengangguk, "Bukan karena saya peramal, tahu seperti itu. Karena menurut tes ini, anak Ibu memang mengalami trauma dan tekanan batin terhadap seseorang di balik terjadinya penindasan pada anak Ibu. Atau.. bisa saja, anak Ibu mengalami patah hati yang terlalu dalam. Mungkin bagi anak seusianya, itu tidak akan terlalu membuatnya seperti ini. Saya yakin, Ibu bisa membuatnya cerita banyak pada Ibu. Sudah berapa kali saya bertanya soal yang menjurus pada pembullyan, namun dia hanya menggeleng, atau diam. Tapi saat saya bertanya tentang tertekan, dia mengangguk."

Julia membulatkan matanya, "Dia ngangguk?"

"Iya Bu, dia menjawab "takut" dan selanjutnya dia bilang "takut semuanya pahit" itu saja. Tapi saya mengerti, dia membutuhkan sandaran yang tepat untuk membuka semua masalahnya itu."

Julia mengangguk, "Kalau begitu, terima kasih banyak sudah bersabar menghadapi anak saya." Julia menjabat tangan dengan Psikiater itu. Mereka berdua tersenyum.

"Sama-sama Bu, Jane sama sekali tidak merepotkan saya. Saya sudah terbiasa dengan anak-anak seusia dia. Kebetulan, saya juga memiliki anak seusia dia, sekolahnya di Dharma Bangsa."

"Jane juga sama sekolah di sana."

"Oh, ya! Kebetulan sekali. Nanti-nanti saya akan kenalkan anak saya pada Ibu. Mari Bu."

Julia mengangguk, melihat psikiater itu sudah meninggalkan rumahnya. Dengan langkah cepat, ia kembali menuju kamar anaknya itu. Benar saja, Jane masih menangis dalam diam. Julia menghampirinya lalu naik ke atas kasur tempat Jane memeluk lututnya dengan kepala ditekuk. Julia mengelus rambut Jane lembut, berusaha menenangkan anaknya itu.

"Kamu itu kenapa sih nak, cerita sama Mamih.. "

Jane menggeleng pelan, hanya itu reaksi yang diberikannya kepada sang ibu. Julia memeluk anak bungsunya itu erat, "Kalau gitu, kamu jangan nangis terus. Mamih khawatir banget sama kamu."

"Jane!" suara pintu terbuka membuat Julia menoleh ke arah sumber suara, "Kakak khawatir banget sama kamu.. " Jimi berlari lalu ikut memeluk Jane dengan erat.

Jane semakin enggan merespons semua pertanyaan penuh kecemasan dari semua orang. "Jane, jawab gue!"

Tidak ada jawaban, semuanya tetap sama. Jane berharap dunia ini mengerti apa yang tengah dirasakannya sekarang.

Julia menyuruh Jimi untuk kembali meninggalkan adiknya seorang diri, menariknya keluar dari kamar. "Mih! Kenapa narik aku keluar sih! Jimi masih khawatir sama-"

"Jane butuh waktu sendiri, Mamih juga gak tahu penyebabnya kenapa. Mamih udah panggil psikiater buat bantu Jane supaya keadaannya kembali membaik. Namun psikiater bilang, dia mengalami trauma yang mendalam, juga tertekan akan sesuatu. Mamih bingung, sesuatu apa yang buat dia kayak gini? Apa dia punya masalah lain di sekolah Jim?"

Jimi berpikir keras, "Enggak ada Mih.. " pikirnya. "Soalnya dia itu cuek sama siapa aja Mih. Jarang ikut eskul lagi," Jimi memeluk ibunya erat, berusaha menenangkan, "Semuanya akan baik-baik aja Mih, sebentar lagi juga dia bakalan sembuh. Baik fisik, maupun batin."

Julia menghela napasnya pelan, membalas pelukan anak sulungnya itu, "Ya.. Semoga.."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro