19. DELUSI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

19. DELUSI

Bel kemenangan telah berkumandang, semua siswa-siswi SMA DHARMA BANGSA mulai berhamburan keluar kelas untuk pulang. Rey yang sudah tidak sabar langsung mengait tasnya keluar kelas dengan perasaan senang bukan main.

"Woy! Mau pulang kemana lo!"

Mendengar teriakan Bimo, Rey menoleh sambil memasangkan topi hitamnya yang diputar ke belakang, "Gue mau jenguk jodoh gue dulu. Nanti gue pulang ke rumah lo."

"Hape lo ketinggalan tuh! Lagi dicas! Jangan lupa aktifin! Nanti gue khawatir sama lo!"

Rey berlari menuju terminal kelas di dekat meja guru, tempat Trio Alay bergosip ria. Kebetulan di sana hanya ada Dea yang masih belum pulang. "Maaf Dey, hape gue udah seratus persen belom?"

Dea memeriksa ponsel Rey, mengernyit, "Hape lo dimatiin?"

Rey tersenyum, membuat Dea menelan ludahnya sulit, berusaha terlihat biasa saja, tapi semburat merah di pipinya tidak bisa dibohongi, "Sengaja, biar cepet ngisi. Udah full belom?" Rey membuka topinya lalu menyisir rambutnya ke belakang, membuat Dea terpesona melihatnya.

Rey kembali memakai topi hitamnya, menengadahkan tangan, "Sini hape gue, lo kenapa belom pulang?"

Dea mendelik, "Bukan urusan lo."

Rey terkekeh, menerima ponsel yang disodorkan Dea, "Jadi cewek jangan judes kayak gitu. Gregetan gue liatnya. Apalagi pipi lo merah gitu, minta dicium."

Dea melotot, refleks memukul pundak Rey dengan keras, Rey mengaduh kesakitan, karena pukulan Dea yang notabene anggota eskul taekwondo bersabuk hitam, sama dengannya. Rey hampir lupa tentang itu. "Aw! Ya udah gue duluan ya! Bye!"

Rey berlari dari kejaran Dea yang menurutnya sangat menyeramkan. Rey memang anggota taekwondo di SMP dulu, dengan sabuk hitam yang dimilikinya, ia gunakan untuk melawan para preman sekolah lain dengan cara tawuran antar sekolah.

Dan sampailah Rey di rumah sang pujaan hati, Rey berjalan menuju pintu utama rumah tersebut. Berusaha menetralisir detakan jantungnya yang mulai menguasai nyalinya sekarang. Tangannya terulur untuk menekan tombol bel rumah tersebut.

Rey mulai berharap-harap cemas, semoga kehadirannya bukan pertanda buruk untuk gadisnya itu. Tangannya yang lain bergetar hebat dengan kantung plastik berisikan kue, beberapa buah apel dan sebatang cokelat untuk Jane.

Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya pintu terbuka, wajah dingin dan tatapan tajam dari wanita di hadapannya membuatnya kembali semangat untuk segera menemui putri wanita itu.

"Assalamualaikum... Tante, saya sudah tepati janji saya. Ini sudah pukul lima sore, saya tidak membolos di sekolah, setelah bel pulang, saya langsung pergi ke supermarket dan langsung ke sini Tante. Apa saya dapet izin lisensi buat ketemu sama anak Tante?"

Julia meneliti setiap raut wajah anak lelaki di hadapannya itu, berusaha mencari kejujuran di balik manik mata hazel milik Rey. Julia masih tidak percaya dengan kesungguhan Rey itu, hatinya masih sakit mengingat surat ancaman yang melibatkannya dengan bocah ingusan di hadapannya itu.

"Saya akan izinkan kamu, tapi.. Sekarang adalah waktu untuk terakhir kalinya kamu bertemu dengan anak saya. Saya peringatkan dengan tegas, sekali lagi, saya ingatkan kamu untuk tidak kembali mendekati anak saya setelah hari ini, dan seterusnya. Saya tidak mau anak saya kembali terbawa dengan gosip-gosip dengan kamu, apalagi terbawa dengan pergaulan anak seperti kamu. Saya tahu persis, kamu suka nongkrong kan di depan bar dekat restoran J.A? Sama temen-temen kamu?"

Rey tertohok, nyalinya kembali ciut saat menghadapi wanita pintar bicara itu di hadapannya, "Iya Tante, itu saya." Rey menelan ludahnya sulit, kembali mencerna semua perkataan Julia tentang untuk terakhir kalinya ia bisa bertemu dan dekat dengan putrinya itu.

"Gak salah lagi, harusnya Jane nggak patut temenan sama kamu, apalagi dideketin anak seperti kamu, berandalan. Saya pikir kamu itu anak baik-baik, nyatanya.." Julia berdecak tidak suka, membuka luas pintu tersebut.

"Masuk, saya pikir kamu itu anak baik-baik, tapi sama aja kayak Kakak kamu, berandalan mendadak tobat. Sekarang sih mendingan, dulunya aja suka ajak anak saya main keluyuran malem."

Telinga Rey sudah panas sedari tadi, apalagi mendengarnya dibanding-bandingkan dengan Rendi, membuatnya semakin tidak sabaran ingin segera menemui objeknya kali ini.

Rey memasuki rumah tersebut, mengikuti langkah Julia di depannya. Rey yakin, Julia membawanya menuju kamar putrinya. Terlihat sekali bahwa Jane sama sekali dalam keadaan jauh dari kata baik-baik saja, sampai menghampiri ke kamarnya langsung. Rey semakin ketar-ketir saat Julia berhenti di salah satu pintu kamar dengan tulisan Jane.

"Dia ada di kamar, kondisinya memang buruk. Semenjak kejadian itu, dia sulit sekali untuk berbicara pada siapa pun. Sampai saya bawa psikiater, tapi nihil. Hanya satu anggukan dan beberapa jawaban setelah dia tanya beberapa hal menyangkut penindasan itu."

Rey terhenyak mendengar pernyataan Julia, berusaha untuk bersabar melihat kondisi gadis itu saat ini.

"Jane mengalami trauma yang sangat parah. Saya khawatir dengan kondisinya sekarang. Dan.. sepertinya, kamu lebih hati-hati jika mengajaknya mengobrol."

"I-iya Tante, pasti."

Rey mengangguk takzim, menghela napasnya pelan saat Julia meninggalkannya di depan pintu. Tangannya kembali bergetar hebat, sama seperti detakan jantungnya sekarang. Dengan langkah pasti, tangannya memutar daun pintu perlahan hingga mengeluarkan suara decitan pintu terbuka. Perlahan ia membuka pintu tersebut, matanya langsung menangkap objeknya kali ini.

"Jane.. "

Gadis yang selama ini menatap kosong kaca jendela mulai tersadar dari lamunannya. Berusaha menghilangkan halusinasi yang tengah ia ciptakan sendiri dengan mudahnya.
"Jane.. gue.. ada di sini.. "

Suara itu.. gue gak mimpi, kan? Jane masih saja berontak dengan perasaanya kali ini. Perlahan gadis itu menoleh ke arah sumber suara, Mata sembabnya menangkap seseorang yang selama ini telah memporak-porandakan hatinya. Rey berjalan ke arah Jane dengan tatapan penuh penyesalan, lalu duduk tepat di hadapan gadis itu lemas.

"Jane.. lo.. lo kenapa sampai kayak gini heh..? Jawab gue Jane.. "

Tangan Rey menangkup wajah Jane dengan hati-hati, mengetahui masih ada luka lebam juga luka sobek di sudut kanan bibir gadis itu. Hati Rey terasa hancur saat melihat kondisi gadis di hadapannya sekarang. Semuanya sulit untuk diungkapkan, terlalu menyakitkan untuk diceritakan. Matanya yang hitam dan sembab, rambutnya yang acak-acakkan, luka lebam di sekitar wajah, juga sorot matanya yang memancarkan luka dalam. Jane sungguh tidak menyangka, ternyata sosok di hadapannya itu asli, bukan ilusi, bukan fatamorgana yang menyerang hati. Nyata, dan terlihat. Air matanya kembali berjatuhan di pipinya yang putih pucat, rasa rindu yang bercampur aduk mulai menyelimuti kegersangan hatinya selama ini.

"Rey.. ini.. bener.. elo..?"

Rey mengusap air mata gadis itu menggunakan jempol tangannya yang berada di kedua pipi gadis itu. Rey tersenyum tulus, berusaha menahan air matanya yang bisa saja jatuh tanpa terasa merasakan hancurnya gadis di hadapannya saat ini.

"Iya. Ini gue. Gue ada di sini.." Rey mengusap rambut gadis itu lembut, membuat tangis Jane seketika pecah.

"Boleh gue meluk lo?" tanya Jane haru.

"Semau lo, Jane."

Gadis itu langsung memeluk Rey erat, berusaha melepaskan semua beban dan kesedihannya selama ini pada lelaki itu. Lelaki yang selama ini membuatnya gila, membuatnya rindu setengah mati menanti kedatangannya selama ini.

Rey membalas pelukan Jane sama eratnya. Rey tahu, seragam bagian depannya sudah terasa basah karena air mata Jane yang tumpah ruah di sana. Sama halnya dengan Jane, ia mulai merasakan pundaknya terasa basah. Rey menangis. Keduanya saling menyalurkan rasa rindu yang teramat dalam.

"Gue minta maaf. Gue gak bisa jagain lo. Bodonya gue, gue gak tahu.. kalo itu tulisannya Elisa."

Rey mengeratkan pelukannya, Jane semakin mengeratkan tangannya di punggung Rey. Berusaha untuk mengangguk, namun hatinya kembali mencelos sakit. Ia masih merasa kecewa dengan semua janji Rey malam itu.

"Jane, gue bener-bener minta maaf.. "

Gadis itu meregangkan pelukannya, mulai menatap mata Rey yang sembab. Dengan lembut, Jane mengusap air mata di pipi Rey. Sama halnya yang dilakukan Rey sebelumnya. "Gue.. masih kecewa sama lo. Seratus persen gue masih kecewa Rey.. "

Rey menunduk, berusaha menggenggam kedua tangan mungil gadis itu, "Maka dari itu, gue minta maaf sama lo, Jane."

Jane menangkup wajah Rey, membuatnya menatap ke arahnya secara terang-terangan. Rey masih menunduk penuh penyesalan.

"Gue gak butuh maaf lo. Yang gue butuh, cuma elo, Rey. Anehnya, gue bolot banget galau akut gara-gara elo. Gue tahu, mungkin gue emang udah gila gara-gara lo."

"Jane.. gue tahu, kita gak punya hubungan apa-apa, cuma temen sekelas. Gak lebih."

Jane merasakan kedua tangannya kembali diturunkan dari wajah Rey, "Gue cuma temen lo yang berani-beraninya buat lo hancur kayak gini. Dan.. modal gue cuma keberanian. Keberanian buat kebenaran."

Jane terkekeh, mengusap sisa air matanya di ujung matanya, "Bahasa lo.. gue gak ngerti."

"Maksud gue, gue cuma bisa berani dalam hal yang benar. Contohnya, hati gue sama hati lo. Mungkin okey, kita sama-sama gengsi buat ngungkapin itu satu sama lain, tapi tindakan? Kita bahkan udah kayak pacaran bertahun-tahun. Kayak Cinta yang minta kepastian dari Rangga selama empat belas tahun!"

"Lo mah suka ngawur! Kita ini ceritanya lagi serius-seriusan, gimana sih!"

Jane kembali tersenyum setelah mendengar pernyataan Rey yang menurutnya selalu mengundang tawa. Rey tersenyum bahagia saat melihat gadis itu tersenyum karenanya.

"Ngobrolnya di balkon yuk! Di sini mah gak kuat liat kasur nganggur kayak gitu." ajak Rey menunjuk balkon kamar Jane.

"Maksudnya?"

"kalau di sini bawaannya ngantuk. Pengen tidur."

Jane ber-oh ria, barusaja ia hendak memukul Rey mengingat lelaki itu suka mengkhayal yang tidak-tidak semenjak menonton film yang dibawa Kevin ke sekolah. Dengan senang hati, Rey membopong Jane perlahan menuju balkon kamar. Dengan disambut semburat cahaya berwarna merah, jingga dan kuning yang sangat mempesona. Mereka berdua saling tenggelam dalam pesona indahnya mahakarya ciptaan Tuhan di hadapan mereka.

Rey mengalihkan pandangannya ke arah gadis di sampingnya, Jane memang tidak menyadarinya bahwa sedari tadi ia merasa kagum melihat cahaya matahari terbenam tanpa merasa ada yang tengah memperhatikannya. Senyuman mulai mengembang di bibirnya.

Rey tersenyum, matanya tak lepas menatap gadis yang jauh lebih indah daripada pemandangan matahari terbenam itu, "Jane.. menurut lo.. gimana?"

Jane masih menatap objeknya, matahari terbenam, "Cantik. Gue suka. Mahakarya Tuhan yang paling luarbiasa indah. Gue pasti gak bakalan lupa sama sunset ini." Jane menoleh, "Kalau menurut lo? Ah! Pasti jawaban lo gak bermutu semua. Lo mah pasti gak ngerti soal yang beginian."

Rey terkekeh, lalu menatap lurus matahari terbenam di depannya, "Menurut gue.. gue suka mahakarya Tuhan yang luarbiasa indah dan cantik tepat di samping gue saat ini."

Jane terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang barusaja dikatakan lelaki di sampingnya itu. Entah apa yang membuatnya kembali merasakan pipinya mulai memanas, jantungnya kembali berdegup kencang, tubuhnya mulai melemas.

"Jane.. gue cuma berani bilang sesuatu yang sangat penting melalui kalimat terselubung. Menjurus menuju inti yang terkadang mudah dan sulit ditebak."

"Sumpah, gue gak ngerti lo ngomong apa. Yang jelas, gue benci sama lo."

Rey tergelak, menoleh dengan cepat ke arah Jane, "Maksud lo?"

"Gue benci kalo nyatanya gue itu suka sama lo. Gue benci kalo sebenernya gue cuma bisa jadi temen lo. Gue benci kalo gue gak sadar, gue itu sebenernya.. ah! Pokoknya gue gak ngerti! Gue benci semua kebenaran. Kebenaran yang selalu pahit dan menyakitkan."

Rey membenarkan posisi duduknya menghadap ke arah Jane, "Sebaliknya, gue lebih suka kebenaran. Kebenaran dimana sebenernya lo.. suka sama gue. Kebenaran yang lo benci itu, kebenaran bahwa kenyataan dan takdir yang selalu buat lo terasa begitu menyedihkan. Mungkin, ya.. lo trauma dalam kasus pembullyan kemaren. Dan hati lo juga hancur sempurna gara-gara gue ngasih harapan palsu sama lo. Semuanya udah diatur sama skenario Tuhan. Gimana pun caranya lo berusaha lari dari kenyataan, itu sama aja lo berusaha mendobrak takdir Tuhan yang maha benar."

"Mungkin lo anggap hidup lo itu semuanya terasa pahit dan menyakitkan, tapi cobalah, lo berusaha untuk hidup seperti air yang mengalir dengan sendirinya. Hidup lo udah ada yang atur, jadi lo tinggal ikutin arus kemana aliran air itu mengalir."

Jane tertegun, merasa keberatan dengan ungkapan dan nasihat Rey yang sama sekali tidak mengerti dengan perasaannya. "Rey, hidup bagaikan air yang mengalir, atau pun ikutin arus air ngalir itu berarti lo udah pasrah banget sama takdir. Lo pasti kepengen bebas dari kurungan takdir Tuhan yang sebenarnya lo bisa mengubah takdir lo sendiri. Kalau aja takdir lo itu, ya.. amit-amit nih, lo punya istri, terus istri lo itu mau cerai gara-gara liat lo selingkuh. Terus, apa lo mau pisah sama istri lo gitu aja, sedangkan istri lo itu udah cinta mati banget sama lo. Yang udah relain langit dan bumi bersama lo sampai ajal memisahkan. Asek... bahasa gue.. "

Jane berdecak kagum di sela-sela ceritanya, Rey mendengus, "Terus?"

"Ya.. lo rela aja gitu lepasin dia demi takdir lo yang udah selingkuh sama cewek lain gara-gara dia cantik dan masih muda. Tapi cuma ngeret harta. Lo mau kayak gitu? Atau lo mau ngejelasin yang sebenernya sama istri lo, dan lo lepasin cewek selingkuhan lo demi istri lo yang super solehah itu? Iya kan? Berarti, lo sendiri juga bisa ubah takdir lo sendiri. Takdir dimana lo enggan dan keberatan dengan KEBENARAN yang ada."

Rey tertegun, berpikir sejenak. Lalu kembali tersenyum pada Jane. "Kebanyakan nonton sinetron sih, bahasannya klise abis!"

"Contoh doang Rey.. lo mah! Kalo kalah debat ya kalah aja, jangan sok gak mau kalah deh!"

"Siapa yang gak mau kalah.. mengalah demi kebenaran itu baik."

Jane mendelik sebal, mengejek Rey, "Mengalah demi kebenaran, heh! Bahasa lo makin hari makin aneh, Rey!"

"Aneh? Wajar kalo suka yang aneh-aneh, kan masih labil.. "

Jane mengernyit, "Makin ngawur, bener-bener Trio A."

Rey terkekeh, "Trio A?"

"Absurd, Aneh, Anarkis. Cocok buat lo."

Mendengarnya Rey tak segan-segan mengacak rambut Jane gemas, membuat gadis itu geram lalu memukul bahu Rey tanpa ampun. "Aw! Jane! Aduh!"

"Makanya! Jangan suka nyebelin kalau jadi orang!"

"Biarin! Nyebelin tapi ngangenin!"

Jane tersenyum, senyuman yang kembali terbit dari bibirnya, senyuman yang selama ini terkurung dalam dilema mendungnya hati.

"Rey, gue minta sesuatu sama lo boleh?"

Rey menarik satu alisnya, mengusap rambutnya ke belakang. Kebetulan sedari tadi Rey sudah melepas topi hitamnya di atas kasur Jane, dengan berbagai makanan yang dibawanya. "Apa?"

"Jangan pernah tinggalin gue lagi ya."

Rey menelan ludahnya sulit, enggan untuk menjawab. Jane menarik lengan Rey lalu diletakannya tepat di dada Rey sebelah kiri seraya berkata, "Gue janji."

Rey bungkam, ia tidak tega melihat sorot mata Jane yang bersinar, berharap padanya.

"Rey, gue percaya kalau selama ini kita dipertemukan itu untuk saling menyatu. Secara klise, takdir udah nemuin gue sama lo. Seperti kata lo dulu, lo sering ketemu sama gue karena itu kehendak Tuhan yang telah kirim lo buat gue. Untuk saling melengkapi, itu sebabnya Tuhan selalu punya banyak cara buat nemuin kita sama pemilik hati kita masing-masing."

Rey terkekeh, lalu tersenyum. Tangannya mulai menggenggam jemari gadis itu dengan erat. Berusaha mengalirkan partikel-partikel kehangatan yang membuat gadis itu langsung terdiam. "Gue percaya, takdir kita dipertemukan itu berarti kita harus siap untuk dipisahkan. Semua yang kita lewatin cuma kenangan yang harusnya kita buang sia-sia. Termasuk semua perasaan yang selama ini tumbuh secara perlahan dan sempurna."

Jane mengernyit tidak mengerti, merasakan genggaman tangan Rey yang semakin mengeras, seperti takut kehilangan.

"Mungkin.. ini adalah hari dimana gue akan berikrar dan berjanji. Di bawah matahari terbenam ini, gue Reynand Bima Febriand berjanji, tidak akan mengganggu dan mendekati Jane Alexa Demetria untuk terakhir kalinya. Di hari ini. Dan mulai besok, gue gak akan buat hidup Jane kembali menderita dimana gue harus meninggalkan semua kenangan gue bersama Jane Demetria."

Jane melotot, hendak protes, "Ma-maksud lo apa Rey? Lo, mau ninggalin gue lagi, dan lo baru aja ngasih gue harapan dan seenaknya lo banting harapan gue gitu aja heh? Lo-"

"Gue berjanji, gue gak bakal ganggu hidup lo lagi, deketin lo lagi, dan.. memulai hidup baru tanpa ada gue di hidup lo. Mulai besok, gue gak akan nyapa lo, senyum sama lo, dan apa pun yang buat lo deket sama gue. Dan apa pun yang buat gue deket sama lo. Itu janji gue. Jane Demetria."

Jane menutup mulutnya tidak percaya, barusaja ia merasakan kebahagiaan yang selama ini dinanti-nanti. Namun takdir kembali mengubahnya menjadi semakin pahit dan menyakitkan baginya. Jane merasakan matanya mulai memanas, hendak mengeluarkan butiran bening yang siap tumpah ruah di kedua pipinya.

"Lo.. bohong kan, Rey! Gak lucu tahu! Bercanda lo kelewat batas wajar Rey!"

Rey menatap gadia itu tajam, "Gue sungguh-sungguh Jane. Maaf kalo gue cuma bisa buat lo hancur sekarang. Gue emang berengsek, berandalan, bedebah, terserah lo mau bilang apa sama gue sekarang. Karena ini demi.. demi kebaikan lo Jane, gue.. bener-bener minta maaf."

"Maaf? Pengecut tahu gak! Lo, emang bener-bener sampah! Bakteri lo udah berkontaminasi di hati gue! Efek lo itu besar buat gue, Rey! Bisa-bisanya lo jago buat cewek nangis heh! Berengsek lo! Pengecut! Mau lo apa sih! Demi kebaikan gue dari hongkong! Lo mau gue lebih gila lagi dari sebelumnya, heh!" Jane kalap, tak henti-hentinya ia memukul bahu Rey dengan tangisan yang mulai menguasainya. Rey tidak tega melihatnya, tapi ancaman Julia telah menutupi ketidaktegaan lelaki itu. Rey merasa bahwa kehadirannya hanya akan membawa dampak buruk bagi gadis di hadapannya itu. Ia sama sekali tidak menginginkan kejadian mengerikan yang menimpa Jane terulang lagi, karena kehadirannya yang menjadi dalang dari semua kejadian itu.

"Jane, gimana pun caranya, gue akan tetap menjauhi lo. Sekarang adalah waktu perpisahan, dimana gue sama lo gak akan pernah lagi seperti kayak dulu."

"Rey! Gue bener-bener benci sama lo! Gue benci!"

Jane menunduk, menangis. Rey hanya pasrah dengan keadaan, berusaha untuk bersikap lebih tenang dari biasanya. Hatinya memang berteriak untuk segera membatalkan janji pahit itu, namun hatinya yang lain kembali berontak, berusaha membuktikan bahwa perjuangannya untuk membuat Jane bahagia tanpa kehadiran dirinya memanglah menjadi prioritas utama melawan keegoisan Julia yang sangat overprotektif terhadap anak bungsunya itu.

"Jane.. "

Hening..

"Untuk terakhir kalinya, gue minta satu permintaan sama lo."

Hanya angin malam yang menjawab pertanyaan Rey. Jane kembali menatap kosong kegelapan di hadapannya.

"Boleh gue cium lo?"

Jane diam. Hatinya kembali retak dengan sempurna. Rey sudah bangkit dari duduknya, berjongkok di hadapannya dengan tatapan penuh penyesalan. Jane masih tenggelam dalam kesedihan yang barusaja menimpa relung hatinya. Rey membenarkan anak rambut Jane dengan hati yang sangat hancur. Tangannya menyentuh lembut pipi Jane yang basah karena linangan air mata. Jane menatapnya sendu, bibirnya bergetar hebat menahan tangis saat Rey mendekatkan wajahnya dan memejamkan matanya menarik tengkuk gadis itu. Saat bibirnya hampir bersentuhan, Rey membisikan kata-kata paling menyakitkan bagi hati Jane.

"I love you.. "

Jane menutup matanya pasrah, mempersilahkan bibir Rey berkuasa di sana. Jane sama sekali tidak berontak, malah sebaliknya. Membalasnya dengan tumpahan airmata kesedihan, merelakan takdir memisahkan mereka tanpa Jane tahu penyebabnya. Melepas semua belenggu pahitnya takdir yang menyelimuti kedua insan itu di malam perpisahan yang teramat menyakitkan bagi kedua hati masing-masing.

Rey mengakhirinya, melepasnya, berdiri menjauh darinya. "Lo.. lo sama sekali gak berontak. Dan.. lo sama sekali gak nampar gue. Dan gak nendang gue.. gue pamit."

Saat Rey hendak berdiri, Rey merasakan tangan Jane yang bergetar hebat menariknya dengan lembut menuju tempat tidur. Rey merasakan sesuatu yang aneh saat Jane terus menariknya untuk menaiki ranjang, menidurkan Jane dengan menatapnya tidak mengerti. Mengapa tubuhnya kini semakin berkhianat saat melihat Jane sudah berada di bawahnya.

"Rey... please, don't leave me alone..."

Kedua lengan Jane mengalung sempurna di leher Rey, membuat si pemilik leher tidak bisa berkutik dengan keadaanya sekarang. "I love you Jane Alexa Demetria, I love you so madly.."

"I love you too..."

Rey menelungsupkan wajahnya ke dalam tengkuk gadis itu, memeluknya dengan erat. Rey tersadar, bisa saja ia melakukan hal yang buruk bagi gadis di pelukannya itu jika ia masih saja berada dalam posisi seperti itu. Dengan cepat ia kembali menjauhkan wajahnya lalu menatap Jane, "Bukan ini Jane... gue gak mau, gue gak bisa."

"Rey... lo jahat! Manusia paling jahat! Gue benci sama lo!"

Rey berdiri terus berjalan tanpa menghiraukan betapa menyedihkannya Jane sekarang. Berusaha memanggilnya dalam tangis yang semakin meraung, terdengar sangat pilu dan menyakitkan untuk Rey dengarkan.

"Kenapa? Apa kamu sudah bilang kalau kamu gak bisa deketin dia lagi?"

Rey menyeka sedikit airmatanya dengan punggung tangan, "Saya janji, saya akan tepati janji saya untuk menjauhi anak Tante setelah hari ini. Ini kemauan Tante, kan? Saya dan anak Tante menderita seperti ini?"

"Tapi demi kebaikan Jane, saya yakin, kamu pasti akan melakukan yang terbaik untuk seseorang yang kamu cintai."

Rey mengangguk, tertawa hambar, "Haha.. pengorbanan memang harus kita lakukan demi seseorang yang kita sayangi dan sangat penting untuk kita. Saya rasa, Tante mengambil tindakan yang salah. Saya berani bertaruh dengan tante, bagaimana reaksi Jane sebelum dekat dengan saya dan setelah jauh dengan saya. Saya yakin, Jane akan lebih menderita lebih dari sekarang. Saya permisi."

Julia menatap punggung Rey meninggalkan rumah dengan rasa penuh kekecewaan dan kesedihan. Tubuhnya lemas saat kembali memasangkan helm untuk membawa kabar buruk bagi hatinya menuju rumah Bimo. Namun getaran ponsel di saku ponselnya menghentikan aktifitasnya saat hendak menjalankan motor.

Rey terkejut bukan main, jantungnya berdegup kencang saat mengetahui Rendi sudah berulang kali menelpon dan mengirim pesan tentang keberadaan ibunya yang sedang kritis. "Ibu.. " Rey semakin terpuruk, pikirannya kembali kalut dalam rasa bersalah yang begitu dalam. Dengan cepat ia melajukan motornya menuju rumah sakit tempat ibunya dirawat, gerungan suara motor Rey mulai membelah jalanan yang sepi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro