20. AWAL KEHANCURAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

20. AWAL KEHANCURAN

Menit, oh tidak, detik.

Waktu Rey sudah mencapai detik. Pentingnya detik bagi Rey untuk segera menemui ibunya yang kritis di salah satu kamar rumah sakit. Rey memarkirkan motornya asal, berlari menuju kamar tempat Reina dirawat. Sudah beberapa kali ia hampir menabrak beberapa orang yang berlalu lalang di sekitar rumah sakit.

Tatapannya terhenti pada Rendi dan Vano yang tengah berdiri di depan pintu kamar. Rey tak segan-segan berlari ke arah mereka dengan seragam sekolahnya yang sudah kusut.

"Ayah! Mana Ibu-"

"Ngapain lo ke sini heh! Bisa-bisanya lo kabur malem-malem, mecahin kaca jendela lagi! Lo tahu Ibu itu punya penyakit jantung heh! Lo mikir gak sih jadi anak! Sekali aja lo gak buat perasaan bokap nyokap lo khawatir sama lo!"
Rendi yang telah merasakan emosinya berada di titik paling tinggi langsung menarik kerah seragam adiknya kasar, tangannya mengepal keras meninju rahang adiknya itu dengan brutal. Rey terpental, terbujur kaku di lantai dengan mendapat tatapan penuh ketakutan dari beberapa pengunjung rumah sakit di sana.

Vano berusaha meredam emosi Rendi, menariknya menjauhi Rey. "Sadar Ren! Dia itu Adek kamu! Kamu itu lagi di rumah sakit! Gak malu kamu!" Vano menatap tajam Rey untuk tidak melakukan perlawanan pada kakaknya.

"Persetan sama malu! Anak itu gak pernah punya rasa malu, Yah! Jelas-jelas dia udah buat Ibu kritis sekarang!"

Rey kembali menghampiri Rendi tanpa rasa takut, tatapannya memancarkan rasa bersalah yang teramat dalam pada keluarganya, terutama pada Ibunya.

"Cukup Rendi! Ayah tidak mau kalian buat gladiator dadakan di sini, dan kamu Rey, Ayah benar-benar kecewa sama kamu."

"Rey salah apa Ayah!"

Rendi mendelik, "Salah apa? Ada.. aja manusia kayak lo Rey,"

"Nggak usah ikut campur lo!" Rey menatap tajam Rendi di sampingnya.

"Ayah mohon, kalian semua jangan buat keributan di sini. Ayah hanya mau kalian mendoakan Ibu kalian, Ibu kalian hanya menginginkan doa kalian. Bukan adu jotos!"

Keduanya kembali diam, silih meredam amarah masing-masing. Rey mengusap wajahnya kasar, duduk di salah satu kursi tunggu dengan wajah tertekuk. Hatinya mulai berdoa kepada sang Ilahi, berharap semoga kondisi ibunya semakin membaik.

"Ayah harap, kalian akan memberikan yang terbaik untuk Ibu kalian selama ia masih berjuang melawan penyakitnya itu. Ayah tidak ingin Ibu kalian kecewa dengan sikap dan perilaku kalian yang selama ini menyimpang, selama kami tidak ada untuk kalian."

Rendi melirik ke arah adiknya sekilas, lalu menatap tajam Vano di hadapannya.

"Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, Ayah."

Rendi tahu, Rey sedang rapuh saat ini. Terlihat bahunya naik turun berusaha menahan tangis, sama sepertinya, "Seorang anak tidak akan melakukan hal di luar batas jika kedua orang tuanya menelantarkan anaknya seenaknya. Berusaha mencari perhatian orang tuanya, namun tetap saja diacuhkan. Satu-satunya cara untuk mengurangi rasa sakit hatinya adalah... Hiburan. Anak akan senantiasa mencari hiburan dan kesibukan di luar batas karena tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua. Apa itu alasan yang sangat wajar, Ayah?"

Semua perkataan dan penjelasan anak sulungnya itu telah menohok hati Vano tepat di titik terdalam. Ia mengakui, bahwa ia telah gagal menjadi seorang ayah yang tegas dan bertanggung jawab. Bukan hanya memperhatikan pekerjaan saja, tetapi ia menyadari bahwa keluarga dan anak adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan. Kasih sayang kepada anak, itulah yang seharusnya ia terapkan pada kehidupannya dulu. Namun sekarang sudah terlambat, ia tidak bisa lagi bersatu bersama Reina untuk membangun keluarga bahagia yang diinginkan kedua anaknya itu.

"Tapi sayang, Ayah sama Ibu gak pernah tau perasaan Rendi kayak gimana."

Rendi berusaha menahan amarah yang seketika menyeruak saat emosinya kembali tersulut hanya karena penjelasan semata.

"Rendi, Ayah benar-benar minta maaf. Ayah menyesal telah membuat kalian seperti ini. Tapi, Ayah tidak bisa lagi bersama Ibu kalian."

Pernyataan yang sangat menyakitkan bagi kedua kakak-beradik itu. Rendi kembali mengusap wajahnya kasar, "Apalagi pergaulan Rendi dulu, Ayah gak pernah tau dan gak pernah peduli. Ayah hanya tau kalau Rendi itu anak baik-baik berkedok anak rajin, tapi itu sekarang. Bukan dulu.. "

Rey hanya menunduk, rasanya sakit bila harus mendengarkan berbagai perdebatan panas ayahnya dengan kakaknya itu. Ia hanya ingin ibunya selamat, dan sehat. Lalu meminta maaf yang sebesar-besarnya pada ibunya.

"Ayah gak tau kalau Rendi dulu gimana? Tawuran, suka berantem, balap-balapan di jalan, tapi sekarang? Berkat kesadaran Rendi pula, Rendi ngerti. Bukan itu jalan keluar untuk dapet perhatian yang baik. Tapi prestasi dan perubahan sikap menjadi lebih baik."

Rey berdecak kesal, "Halah! Jadi lebih baik! Keluarga ancur ya gue tetep aja ikut ancur!"

"Cukup, Reynand! Boleh saja keluarga ancur, asal kita jangan terbawa ancur! Ayah sadar sekarang, kamu memang sudah semakin dewasa Rendi. Maafkan Ayah yang selama ini hanya menilaimu anak bangor yang sekarang sudah menjadi anak baik di sekolah, itu pun bukan nasihat yang ayah berikan. Tapi kamu sendiri yang mempunyai niat berubah." Vano mengusap bahu Rendi bangga, membuat dirinya semakin merasa bersalah kepada kedua anaknya.

"Nasehat basi! Udah! Gak guna banget adu bacot."

Rey sudah tidak tahan lagi dengan semua sandiwara dan drama di depan matanya ini. Ia hendak berdiri meninggalkan Rendi dan Vano, namun suara pintu kamar terbuka, membuatnya kembali berlari menghampiri sang dokter yang barusaja keluar dengan raut wajahnya yang lelah.

"Gimana keadaannya Dok?"

"Ibu saya gimana Dok? Udah sadar? Jawab saya Dok!"

Ruangan seketika lengang. Sang dokter menunduk, berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Sebelumnya, saya sudah melakukan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Bu Reina. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Ibu kalian semakin kritis.. "

"Maksud lo apa sih! Kalo ngasih kabar yang bener dong! Itu Ibu gue!" seru Rey dengan nada bergetar, menahan tangis. Rey mendorong tubuh sang dokter lalu menarik kerah jas putihnya kuat, "Ibu gue gak apa-apa, kan? Dia sehat-sehat aja, kan? Jawab gue!"

"Rey! Cukup!" Vano segera meraih kedua tangan Rey untuk menjauhkannya dari dokter tersebut. Vano merasakan kesedihan yang begitu perih saat mengetahui kondisi mantan istrinya itu. Termasuk Rendi, pemuda itu sudah menerobos masuk ke dalam ruangan ibunya dirawat. Sontak Rey tidak mau ketinggalan untuk segera menemui ibunya yang kini terbaring lemas tidak berdaya di atas ranjang bernuansa serba putih itu. Vano mengikuti kedua anaknya dari belakang.

Reina terbaring lemah dengan beberapa alat bantu yang biasa digunakan untuk pasien yang tengah berjuang melawan penyakitnya itu. Semua orang di dalam ruangan tampak ikut berdoa, melihat kedua anaknya itu tengah memohon-mohon kepada ibunya untuk berjuang dan tidak menyerah bertahan melawan rasa sakit. Rey tak henti-hentinya memeluk dan mencium kening sang ibu dengan berlinang air mata. Sementara Rendi ikut menenangkan Rey, mencoba berdoa yang terbaik untuk ibunya itu. Vano berusaha mengusap punggung Rey dan Rendi, mencoba menenangkan kesedihan kedua anaknya itu.

"Ibu.. maafin Rey Bu.. Rey janji, gak bakalan jadi anak nakal lagi Bu... Rey janji, bakal jagain semua anggota keluarga Rey Bu.. Rey janji, gak akan pernah ngecewain Ibu.. Rey nggak mau Ibu pergi ninggalin Rey.. Rey sayang sama Ibu.."

Isakan tangis dan pedihnya kesedihan mulai membungkus atmosfir kamar tersebut. Rey menarik lengan ibunya, diselipkannya jari-jemari Rendi dengan tangan ibunya, berharap Reina akan segera cepat sadar jika berdekatan dengan Rendi.

"Bu.. Rendi hanya ingin yang terbaik untuk Ibu. Meskipun akhirnya pahit, yang penting Ibu bahagia di sana-"

"Lo jangan ngomong yang enggak-enggak! Ibu, bangun Bu.. aku minta maaf.. "

Perlahan Reina mulai tersadar dari koma, berusaha mengatur deru napasnya saat merasakan ribuan hantaman pisau seperti menguliti tubuhnya.

"Nak.. bacakan du-du.. a k-kal.. imat itu.. "

Rey menggeleng kuat, "Gak!"

Reina menatap Rey lembut, matanya mulai menghitam, wajahnya mulai terlihat pucat.

"Ren.. bacakan dua kalimat itu.." ucapnya terbata-bata menyuruh Rendi untuk membacakan dua kalimat itu.

Rey semakin menangis tersedu, "Enggak!.. Nggak boleh! Ibu gak apa-apa!"

"Se.. belum Ibu pergi.. Ibu sud.. ah mem.. berikan pe.. san kepada A.. yahmu."

Rendi menangis, berusaha menarik Vano menghadap ke arah Reina, Vano menatap mantan istrinya getir, menatapnya penuh rasa bersalah. "Maafkan aku Rein.. istirahatlah dengan tenang.. aku akan membimbing anak kita nanti.. "

Vano menyeka ujung matanya sejenak, merasakan kesedihan yang mulai menyelimuti. Berusaha menyeimbangkan dirinya agar tetap tegar menghadapi kenyataan bahwa Reina hendak menghembuskan napas terakhirnya. Walau sebenarnya hatinya sangat tidak rela melepaskan Reina kepada sang Khalik.

Rey mengusap kening ibunya lembut, air matanya tidak henti-hentinya mengalir melihat wajah ibunya yang berusaha menahan rasa sakitnya menjelang akhir hidupnya. Rey menggenggam tangan ibunya kuat, ikut merafalkan dua kalimat yang wajib untuk dikatakan ibunya.

"Bu.. dengerin Rey ya.. "

Dengan tangan bergetar dan suaranya yang serak karena menangis mulai menuntun sang ibu untuk menghembuskan napas terakhirnya.

Ruangan kamar mulai diselimuti tangis kepedihan melihat Reina berusaha mengikuti tuntunan yang diucapkan Rey dengan perlahan. Vano ingin sekali menggantikan posisi Rey di sana, namun Rey tidak menginginkannya.

Rey sudah tidak tahan lagi, mendengar ibunya dengan terbata-bata mengucapkannya dengan benar.

Rey menunduk tidak kuat untuk menumpahkan tangis, Rendi sempat menariknya untuk bergantian merafalkan, namun Rey menepis lengannya pelan.

"IBU!!!"

Tangis mulai memecah keheningan malam rumah sakit. Kedua kakak beradik itu semakin larut dalam kesedihan, begitu pun dengan Vano. Vano berusaha tegar dan ikhlas dengan kepergian ibu dari kedua anaknya itu. Berusaha menenangkan kedua anaknya agar tetap ikhlas menerima kenyataan pahit yang menimpa mereka tanpa aba-aba. Semua ini hanyalah rencana yang diatur oleh Tuhan dalam skenario kehidupan yang telah ditentukan-Nya. Kita hanya perlu menerima kenyataan, bukan menolaknya. Sesungguhnya Tuhan telah menyiapkan yang terbaik untuk kita, tanpa kita ketahui, rahasia besar Tuhan yang Maha Sempurna.

Rey semakin kalut dengan takdir yang membelenggunya semakin terpuruk. Sudah terlalu banyak Rey menerima keadaan yang membuatnya merasakan pedihnya takdir telah memasungnya pada keadaan yang sama sekali tidak diharapkannya. Menyaksikan seseorang yang sangat berarti untuk kita, yang telah melahirkan kita, membesarkan kita, ibu kita, menghembuskan napas terkahirnya tepat di hadapan kita. Bahkan menuntunnya untuk mengucapkan dua kalimat indah itu dengan suara bergetar menahan sakit dan pedihnya keadaan. Rey cukup puas mendapatkannya dari Tuhan. Kejadian tragis yang menimpanya dengan sadis.

"Rey, Ayah mau kasih tahu Oma kamu dulu. Kamu tunggu di sini." Vano berjalan menuju keluar kamar untuk segera mengurus semua persiapan pemakaman dan memberitahu semua sanak saudara tentang berita pahit ini. Rey mengangguk, menatap kosong ranjang ibunya yang kini sudah tertutup dengan kain putih.

"Dan kamu Ren, jaga Adik kamu. Berdoa dalam hati. Kalau suster bertanya tentang ini, kamu saja yang atasi. Ayah takut, Rey tidak bisa mengontrol diri."

Vano berbisik getir di telinga anak sulungnya itu, melirik sekilas putra bungsungnya lalu beranjak pergi keluar kamar. Rendi tahu, ia hanya manusia biasa, tidak selamanya ia merasa tegar dan bersikap dewasa juga tenang dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi, tapi jika menyangkut dengan kepergian ibunya untuk selama-lamanya, ia berpikir jauh tentang Vano. Bisa-bisanya Ayah gak nangis atau pun sedih sama sekali liat Ibu meninggal? Mereka itu sebenernya kenapa? Kenapa mereka cerai? Kalau aja mereka gak cerai, Rey gak akan marah dan buat Ibu kambuh mengalami serangan jantung kronis!

"Ren.. lo ngerti gak sih? Dunia ini emang fana. Tapi kenapa harus Ibu yang Tuhan ambil duluan! Kenapa gak gue aja! Gue yang suka durhaka sama guru, apalagi sama Ibu! Kenapa gak gue aja! Kenapa harus Ibu Ren!"

"Karena Tuhan tau, Ibu adalah sosok yang sangat mulia dimata semua anak. Ibu adalah seseorang yang sangat senang hati merawat, menjaga kita tinggal di dalam rahimnya selama sembilan bulan, Ibu yang selama ini melahirkan kita dengan bertaruh nyawa, Ibu yang selama ini merawat dan membesarkan kita tanpa kita ketahui. Jasa Ibu memang berarti dan berharga bagi kita. Ibu tidak mungkin tega meninggalkan kita atau menelantarkan kita tanpa alasan tertentu. Ibu punya alasan tersendiri, Rey. Kita harus mandiri. Dimana beliau pergi, kita akan tetap berusaha menjaga diri dengan kekuatan kita sendiri. Dan jawaban yang lo pengen adalah.. Tuhan akan mencabut nyawa seseorang yang berhati mulia dan baik terlebih dahulu. Sebelum orang-orang yang durhaka kepada-Nya."

Rey terdiam.

"Intinya, Ibu termasuk kedalam orang-orang yang baik. Dan.. kita harus belajar mengikhlaskan sesuatu yang bukan milik kita, seperti maut, atau pun.. jodoh. Kita tidak tahu kapan waktunya seseorang yang kita sayang akan kembali pada pemiliknya. Seperti Ibu, dia sudah kembali ketempat asalnya, di sisi Tuhan. Dunia ini hanya pinjaman Rey, bukan milik kita. Mau itu Ibu, Ayah, lo, atau pun gue, kita akan kembali pada yang maha kuasa, pada saat waktunya."

Rey kembali tertegun, menatap kosong lantai keramik rumah sakit yang menjadi pijakannya kali ini. Tatapannya mulai menerawang saat melihat ibunya sudah dibawa keluar ruangan untuk dimandikan. Rey berjalan keluar ruangan dengan pijakan kaki yang lemas, berkali-kali ia menabrak orang-orang yang berlalu-lalang saat mengikuti intruksi ayahnya untuk menyiapkan semua perlengkapan nanti di rumah. Rendi melajukan mobilnya dengan tenang, berusaha melupakan apa yang sebenarnya terjadi. Diliriknya Rey di sampingnya, baju seragam yang kusut dengan mata merah akibat terlalu banyak menangis.

"Rey? Lo.. laki, kan?"

Rey menoleh, tidak mengerti, "Maksud lo?"

Rendi tersenyum getir, "Jangan pernah nangis, apalagi di depan cewek. Buktikan kalo lo tuh cowok yang kuat! Tegar! Belajarlah dari sekarang, kalo lo kehilangan sesuatu yang buat lo sekalut ini, lo harus terima lapang dada. Percaya bahwa ini skenario yang Tuhan tuliskan buat lo, dan.. jangan pernah lari dari masalah. Berusahalah menerjang badai yang menghantam benteng pertahanan lo yang kokoh. Semakin badai menghadang, buatlah benteng lo semakin kokoh dan kuat saat badai itu menghadang."

Rey menatap jalanan macet di hadapannya, mendengar suara gerimis hujan yang mulai membungkus kota. Seperti dunia ini larut ikut berduka dengan kepergian Reina yang sangat berarti bagi kedua kakak beradik ini.

"Lo kebanyakan orasi, jadi begini nih.. sok-sok an bijak gak jelas. Ngomong itu gampang Ren! Gue emang tukang onar, jagonya adu jotos di lapangan, tapi gue itu seorang Anak Ren! Manusia mana yang rela ditinggalin Ibunya pergi untuk selama-lamanya? Gue laki, emang. Tapi gue seorang Anak, Ren! Gue lahir dari rahim Ibu yang selama ini gue durhaka sama dia, gue nyesel, Ren! Gue gak bisa sebaik elo! Gak bisa sebijak elo! Gue cuma Adek lo yang bisanya buat onar dimana-mana! Nyusahin elo, nyusahin Ibu, Ayah, Jane, Ibunya, dan-"

"Bentar, Jane?"

Rey menepuk keningnya gemas, "Gue.. gak boleh temenan sama dia lagi, demi kebaikan dia.. gue dapet ancaman dari nyokapnya, kalau aja gue masih deketin anaknya, entah kapan gue bakal ngasih dampak buruk buat anaknya lagi. Gara-gara kasus pembullyan Jane sama Elisa, Ibunya makin overprotective sama anaknya. Dan terlebih, entah kapan Kakaknya bakal ngincer gue pulang sekolah."

Rendi mengangguk, "Sabar. Cuma satu kata tapi sulit untuk dipertahankan. Sabar Rey, musibah itu datangnya kapan aja, tapi.. Ya lo harus sabar. Itu aja sih."

Rey berdecak sebal, "Takdir memang selalu benar Rendi, dan gue akan meledak dengan sendirinya nanti."

Rey kembali menyeka ujung matanya, air matanya tidak pernah berhenti menetes dengan sendirinya. Ia menatap keluar kaca mobil, melihat hujan yang selama ini membuatnya belajar banyak pada setiap tetesan air hujan itu. Masalah dan cobaan, jangan pernah menyalahkan keadaan, hanya karena kehilangan sesuatu.

"... Gue benci semua kebenaran. Kebenaran yang selalu pahit dan menyakitkan."

Kata-kata itu seketika mengiang di pikiran Rey. Jane benar, rasanya sulit untuk menerima kenyataan bahwa sang Ibu benar-benar sudah tiada. Ia menyadari, bahwa setiap kebenaran tidak selamanya membawa kebahagiaan. Atau malah sebaliknya, kebenaran itu sendiri telak membawa kesedihan. Rey kembali terisak dalam diam. Hatinya terasa teriris. "Gue masih nggak percaya Ren.. Ibu.. ninggalin kita.. "

Rendi mengusap hidungnya yang memerah, efek menangis, "Gue juga... "

"Gue harap, Oma sama keluarga Ibu dari Bali datang secepatnya ke Jakarta. Gue gak mau kita nunggu mereka lama gara-gara pengen ikut liat pemakaman Ibu."

Rendi menoleh, "Oma lagi di perjalanan katanya."

Rey mendesah pelan, teringat akan neneknya yang terlalu overprotektif pada almarhum Ibunya. Sampai Reina dewasa pun, neneknya masih saja melarang Reina tinggal di Jakarta bersama suami dan kedua anaknya. Terpaksa, Reina mengalah demi keputusan Ibunya untuk mengajak suaminya tinggal di Bali. Sementara Vano bersikukuh untuk tetap tinggal di Jakarta.

Setelah Rendi menginjak bangku SMP, dan Rey masih menginjak kelas lima SD, Reina berencana untuk memindahkan kedua putranya ke Jakarta. Hanya berbekal uang dan pekerja rumahnya yang setia, Yonse bersedia merawat kedua anaknya selama ia bersama suaminya bekerja sebagai pemilik sebuah resort ternama di kota Denpasar, Bali. Neneknya keberatan dengan keputusan anaknya itu, Ia mengira semua karena rencana Vano. Dan semenjak itulah, neneknya tidak menyukai Vano. Ia semakin gencar untuk memisahkan Reina dengan Vano.

Selama ini mereka tidak ingin bercerai, namun karena kebencian neneknya itulah, Vano rela mengorbankan perasaannya untuk Reina agar istrinya itu tidak terbawa pengaruh buruk suaminya yang selalu menentang keputusan sang ibu mertua. Dengan berat hati, mereka resmi bercerai. Tanpa sepengetahuan dan seizin kedua putranya yang masih haus akan kasih sayang mereka.

***

Gerimis kembali membungkus kota. Seakan-akan ikut menangis mengganti seluruh kesedihan yang Rey rasakan. Tangannya tak henti-hentinya mengelus pusara bernama Reina Ayu Gita. Dengan berbalut kemeja hitam dan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, ia berusaha untuk terlihat tegar, namun di balik kacamata hitamnya ia tengah menangis. Begitu juga dengan kakaknya, ia sama saja dengan Rey, menggunakan kemeja dan kacamata hitam berusaha menenangkan sang adik.

Semua pelayad mulai memadati tempat pemakaman tersebut, termasuk teman satu sekolah Rey, dan para anggota Osis, juga para guru yang ikut melayad. Seperti Rama, Faisal, Giant, Tasya, Yunia, Nisa dan teman dekat keluarga yang ditinggalkan, Gina, Jimi, juga gadis yang selama ini membuat Rey terguncang, Jane.

Jane berada jauh dengan Rey, ia bersama teman sekelasnya. Jane menatap Rey getir, rasanya baru tadi sore ia melihat wajah ceria lelaki itu, lelaki yang telah sukses memporak-porandakan hatinya sampai sekarang. Ingin rasanya ia berlari menerobos para pelayad yang mengerubungi keluarga Rey, namun ia kembali mengurungkan niatnya. Hatinya masih meronta ingin menemui lelaki itu, namun di sisi lain, ia benci jika ia terus saja dihantui rasa kesal dan marah karena lelaki itu. Tubuhnya masih lemas, wajahnya masih pucat, matanya terlihat sembab karena terlalu banyak menangis. Zenita mengusap pelan pundak Jane, merasa simpati terhadap rombongan keluarga yang barusaja melewati rombongan teman sekelas Rey.

"Rey... "

Jane menatap Rey yang barusaja melewatinya dengan acuh, menunduk sembari membenarkan kacamata hitamnya, tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya. Jane hendak menyusulnya, namun dengan cepat Zenita menahan langkahnya itu. Kembali mengusap pundak Jane yang bergetar hebat, menahan tangis.

"Udah.. kita ke sini buat temen kita yang lagi kena musibah, bukannya bikin rusuh Jane,"

"Tapi Je.. lo gak ngerti."

"Semuanya udah jelas Jane, dia lagi gak bisa diganggu. Anak mana yang gak sedih kalo Ibunya meninggal Jane, jelas lo juga pernah ngalamin perasaan yang sama, kan?"

Jane menghela napasnya pelan, berusaha memaklumi keadaan Rey sekarang. Ia pun pernah merasakan bagaimana pahitnya ditinggalkan seseorang yang sangat berharga untuknya. Sejenak ia mengingat kejanggalan mengingat Rendi berada di antara keluarga yang ditinggalkan.

"Tapi Je, Kak Rendi itu siapanya Rey? Kok dia-"

"Dia Kakak kandungnya Rey, Jane. Mereka berdua itu pindahan dari Bali."

Jane mendongak ke atas, melihat awan yang tak henti-hentinya mengeluarkan tetesan air hujan. Merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Zenita, "Gak mungkin.. dia gak mungkin adeknya Kak Rendi."

"Kalau lo gak percaya, terus, kenapa dia ada di sini? Ikutan nangis sambil meluk Rey tadi? Apa lo gak liat nama terakhir Rey itu sama kayak Kak Rendi, heh, Febriand. Dan Febriand itu sendiri, adalah nama belakang Ayah mereka, Vano Febriand. Apa lo masih gak percaya?"

Jane berdecak, merasa dibohongi, "Terus, kalau lo tau mereka itu kakak-beradik, kenapa lo gak pernah cerita sama gue! Apa jangan-jangan, Cuma gue aja yang gak tahu kalau mereka itu.. ya Tuhan! Kenapa gue gak tahu!"

Zenita mendengus kasar, mengusap wajahnya yang terciprat air hujan, "Karena Rey gak mau lo tau tentang seluk-beluk dia kayak gimana. Dia takut lo gak mau lagi deket sama dia karena tau, kalau dia itu sebenernya Adek dari Kakaknya yang lo kejar-kejar itu! Cowok yang bener-bener cinta sama lo, tapi lo sendiri malah suka sama Kakaknya! Dan.. yang lebih sakitnya lagi, lo malah minta buat dicomblangin sama dia. Lo pernah mikir gak sih Jane, udah keberapa kalinya lo matahin hati orang? Orang yang jelas-jelas suka sama lo."

Jane menatap Zenita terang-terangan, "Lo pikir gampang jadi gue, Je? Gue heran, kenapa gue jahat banget sih di dunia ini? Dan, gue baru tau sekarang kalo Rey itu Adeknya Kak Rendi."

"Dan asal lo tau Jane, enggak semua hal yang harus lo tau di dunia ini. Bisa aja itu baik buat lo, atau malah sebaliknya, bencana buat lo sendiri. Gue gak pernah bilang lo jahat, tapi gue cuma pengen lo itu mikir, gimana caranya buat ngehargain perasaan seseorang yang jelas-jelas suka sama lo, bukannya dihempas gitu aja."

Jane menghela napasnya berat, "Lo bener-bener nyindir gue habis-habisan Je. Yang pertama, bukannya gak ngehargain perasaan cowok yang suka sama gue, tapi gue bener-bener gak tahu dan gue kena karma sendiri Je! Gue udah dapet balesannya! Dulu gue pernah ngasih harapan tinggi sama Kak Rama, tapi gue malah nolak dia. Dan yang lebih parahnya lagi, gue sekarang gila Je! Gue tergila-gila sama Rey! Serius, gue gak nyangka, gue sekarang malah ngejar-ngejar cowok yang jelas-jelas pernah ngejar gue dulu. Ribet banget hidup gue."

Zenita memeluk Jane erat, "Gue tahu, lo sekarang kena getah lo sendiri, lo yang buat, dan risikonya, lo yang tanggung. Menjilat ludah sendiri memang balasannya Jane. Gue pikir, lo gak bakalan suka sama si setan, eh.. nyatanya.. "

Jane mengeratkan pelukannya, "Gue bego banget ya Je,"

Zenita terkekeh, "Lebih begonya lagi, lo gak tahu kalau di dunia ini ada dua tipe cowok; yang pertama, cowok yang lo kejar, yang kedua, cowok yang diam-diam ngejar lo mati-matian, tapi lo gak pernah tau perjuangannya kayak gimana."

Jane meregangkan pelukannya, menatap semua pelayad yang kini telah kembali pulang. Jane tersadar, perkataan Zenita memang membuatnya yakin bahwa ia telah menyakiti hati banyak lelaki yang jelas-jelas telah menaruh perasaan padanya.

Zenita merangkulnya hendak mengajaknya kembali pulang, "Ya udah, kita pulang. Besok lagi, lo harus peka sama lingkungan sekitar. Jangan mikirin orang yang lo suka, tapi siapa yang suka sama lo."

"Je, gue pengen ketemu sama Rey."

"Kayaknya jangan dulu deh, emang mau ngapain sih!"

Jane tersenyum kecut, "Ada yang mau gue omongin sama dia. Sesuatu yang gak bakalan lo ngerti."

"Sok misterius lo! Nanti aja Jane... hujan makin deras nih. Kita balik ke sekolah. Lo gak liat, Abang lo merhatiin kita dari tadi."

Jane mengerut, melihat ke arah Jimi yang jelas-jelas menatapnya tajam. Jane mulai mengerti, kenapa Rey memintanya untuk menjauh dan menjauhi dirinya. Ia mengira bahwa Jimi telah mengancam Rey untuk menjauhi adiknya itu.

"Yaudah, kita balik."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro