27. ANGST

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

27. ANGST

KAMI TIDAK AKAN MENCOBA BOLOS LAGI!

Sorakan dan teriakan mulai menggema saat dua gadis tengah berlari mengelilingi lapangan dengan tulisan terpampang jelas di papan berukuran kecil yang setia menggantung di leher mereka.

"Jane, jangan gitu dong! Bawa happy aja! Kapan lagi kita ngerasain gimana sensasinya kepergok bolos sambil lari diliatin banyak orang kayak gini?"

Jane menghembuskan nafasnya lelah. Benar juga, pikirnya.

"Pengecut lo!"

Jane menoleh ke arah sumber suara, ia menggeram marah saat Zenita sudah berlari meninggalkannya.

"Elo yang pengecut!" Jane berlari sekuat tenaga menyusul Zenita yang kini tertawa lalu meleletkan lidah padanya.

Mereka berdua mulai tertawa lepas saat berusaha saling menyusul satu sama lain. Entah kenapa Jane mulai merasa lebih baik dari sebelumnya. Ia mulai merasakan artinya bahagia bersama teman. Matanya menatap Zenita penuh penghargaan, berharap sahabatnya itu tidak akan pernah meninggalkannya dan terus bersamanya.

Cibiran, komentar pedas, bahkan ejekan dari beberapa anak perempuan tidak lagi Jane pedulikan. Rambut mereka yang berwarna biru dan merah mulai menyala di tengah teriknya matahari. Sorakan dan siulan menggoda dari anak laki-laki mulai mendominasi lapangan. Tapi Jane sama sekali tidak peduli.

Ia hanya peduli dengan bagaimana reaksi kakaknya yang selama ini dingin dan acuh padanya. Jimi.

"Lo lemah banget sih, Jane!"

Jane tersenyum sengit, "Nggak ada penyemangat."

Zenita melambatkan larinya, "Siapa?"

"Abang gue belum marahin gue!"

Jane sengaja berteriak lantang. Matanya menyapu seluruh pandangan anak-anak kelas dua belas yang tengah menonton hukuman mereka. Nihil. Jimi tidak ada. Gina dan Rendi pun sama, tidak terlihat batang hidung mereka.

Jane merasa kesal sendiri. Kenapa Jimi tidak peduli dengan situasi yang menimpa dirinya. Jane tahu, Jimi memang sosok kakak yang baik. Tapi, Jane juga tahu, sekarang Jimi sama sekali tidak menyapanya dan perhatian padanya.
Kakaknya yang seharusnya datang untuk melindunginya dari pahitnya kenyataan, kakaknya yang seharusnya berusaha menguatkan adiknya untuk terus bangkit, kakaknya yang seharusnya menyemangatinya untuk tetap terus tegar, nyatanya hilang bak ditelan bumi.

Jane tersenyum kecut, kenapa harus keluarganya yang menjadi seperti ini. Pecah tidak, harmonis pun tidak. Ia tidak bisa kembali membayangkan betapa bahagianya saat keluarganya dulu berkumpul bersama. Saling berbagi kebahagiaan dan kasih sayang dalam hangatnya hubungan keluarga.
Bukan pertentangan seperti saat ini.
Jane menghembuskan nafasnya kasar, sebelum akhirnya ia mendapati sosok kakak yang sebenarnya di hadapannya.

"Gue mau ngomong sama lo."

Jane terdiam.

***

Semilir hembusan angin mulai membelai rambut biru milik gadis bermata cokelat yang tengah duduk bersandar di sebuah rooftop dengan seorang pemuda jangkung tengah berdiri tidak jauh darinya.

Lengang. Hanya menyisakan gelitikan angin yang menerpa wajah gadis itu yang tertekuk dengan sesekali menghembuskan nafas berat keluar dari mulutnya.

"Gue gak tahu harus bilang apa. Gue bener-bener kecewa karena gue gak bisa jaga lo sampai lo berubah kayak gini."
Jane semakin menundukkan wajahnya, menolak untuk menatap tatapan tajam kakaknya yang kini berjalan dan berhenti di hadapannya.

"Maksud lo apa ngelakuin hal bego kayak gini?" tangannya mulai membenarkan anak rambut Jane lalu diselipkannya di belakang telinga. "Apalagi berani-beraninya lo ngelawan omongan nyokap lo, sampai dia nangis minta gue buat lo sadar."

Jimi berbisik, "Sadar akan betapa begonya lo berubah kayak gini."

Hati Jane mulai berdesir perih saat Jimi mengatakan hal yang telak menohok hatinya secara sempurna. Ia mulai memberanikan diri untuk menatap mata Jimi dengan amarah meluap-luap.

"Berani lo natap gue! Siapa yang ngajarin lo kayak gini, heh!" bentak Jimi tidak terima.

"Gue gak akan berubah kalo gak ada alesan buat berubah! Gak ada asap kalo gak ada api, wajar gue berubah karena hidup gue selalu dikekang dalam belenggu takdir!"

Jane berdiri tanpa merasa takut ia mulai menatap tajam kakaknya.

"Gue berubah. Itu bukan urusan lo. Kalo lo emang kakak gue, lo harusnya beri gue motivasi dan jadi penyemangat gue saat gue butuh lo buat jadi sandaran gue! Kapan lo dengerin curhatan gue? Lo malah ngabur gak jelas. Setiap gue pulang sekolah, lo mana? Gak ada. Malam pun sama, lo malah keliaran gak tahu kondisi rumah kayak gimana. Gak peduli adek lo kena tekanan batin dan bahkan lo sama sekali gak pernah pengen tahu gue ngelakuin apapun yang buat gue berubah sekarang. Lo itu sebenernya kakak gue bukan, sih? Lo--"

"Cukup! Beraninya lo bentak gue, Jane. Gue gak pernah ngajarin lo buat ngelawan sama yang lebih tua dari lo. Oke, gue emang egois, gue gak peka sama masalah lo dan apa yang sebenarnya menimpa adek gue sekarang, gue  malah gak tahu. Dan parahnya lagi, gue gak tahu, kalau adek gue sekarang udah berani ngelawan nyokap gue. Gue tahu, gue bukan sosok seorang kakak yang luarbiasa bisa menjaga adeknya, bisa beri perhatian lebih, dan bisa jadi pengganti ayah buat adeknya. Tapi, maaf. Gue gak bisa sesempurna itu."

Jimi menjawabnya dengan berusaha menahan emosi, "Gue tahu, lo masih mempermasalahkan hubungan lo sama Rey, kan? Gue sama mamih itu nggak mau lo kenapa-napa lagi gara-gara lo deket sama dia. Gue tahu, dia gak sepenuhnya salah. Tapi, gue sama mamih pengen yang terbaik buat lo, Jane. Tolong, jangan ngelakuin hal-hal yang buruk lagi, Jane. Cukup ini mungkin yang terakhir kamu coba-coba buat kabur. Cat rambut, gue pikir masih bagus rambut lo warna cokelat kayak gue. Gue harap ini yang terakhir."

Jane menghela napas berat, lalu menggeleng pelan. "Nggak segampang itu, gue udah berubah. Kehidupan gue berubah total hanya karena sikap kalian yang egois. Gue malah lebih menderita lagi saat Rey menjauh dari gue. Dia bukan siapa-siapa gue, cuma temen. Tapi gue melihatnya lebih dari itu. Gue terobsesi dan kalian malah hancurin semuanya."

Jane berusaha menahan sebutir air mata yang sialnya telah mencair di pipinya. "Dan sekarang, kenapa Mamih malah mau nikah sama Om Vano. Apa sih yang kalian mau? Jauhin aku, biar aku sodaraan sama Rey, dan kakak bebas akrab sama kak Rendi? Atau mamih bebas ngatur hidup aku di bawah kaki tangan lo dan om Vano nanti?"

"Jane, gue pengen lo ngerti. Dengerin gue, mamih sama om Vano udah ngerencanain menikah karena sebuah komitmen. Jangan ganggu kebahagiaan mereka yang selama ini mengalami kesepian. Apa lo gak ngerasa kasihan liat mamih terus-terusan kerja ngatur restoran? Dia sendirian, dan nunggu kita buat ambil keputusan. Please, gue mau lo ngerti perasaan dia kayak gimana. Dia itu berusaha ngelindungi lo dan dia gak ada waktu buat tahu apa yang sebenarnya lo rasain. Karena dia sibuk menafkahi kita dan kerja banting-tulang buat kita. Harusnya kita memaklumi keadaannya, Jane. Bukannya menyalahkan keadaan. Dibalik itu semua, nggak ada yang bisa nebak kenyataan yang sebenarnya."

"Mungkin lo masih nggak pernah ngerasain gimana kerasnya dunia kerja. Gimana kita besok makan? Besok makan apa? Apa besok ada bekal buat anaknya apa nggak? Apa besok harus gimana? Dan apa anaknya sudah belajar sungguh-sungguh atau tidak sama sekali? Apa selama ini dia membiayai anaknya itu akan dibalas anaknya dengan prestasi atau dengan surat panggilan orang tua? Dia itu udah ngelakuin semuanya buat kita, Jane. Gue pengen lo ngerti. Semua yang mamih lakuin itu demi kebaikan kita."

Jane menunduk, matanya kembali memanas.

"Dan gue minta, lo jangan sampai terbawa pergaulan bebas, Jane. Dimana gue gak ada, gue berusaha buat lo mandiri. Gue pengen lo bisa menjaga diri dalam liarnya dunia anak ingusan kayak lo. Gue gak mau hal-hal buruk terjadi sama lo. Gue sayang sama lo. Tapi gue punya cara tersendiri. Sama kayak Rendi, dia sayang sama Rey dengan caranya sendiri. Dan sialnya, lo gak tahu itu."

Jimi mulai memeluk adiknya, mengusap rambutnya lalu mencium pucuk kepalanya penuh kasih sayang. Jane mulai membalas pelukan kakaknya sambil menangis sesenggukan.

"Gue sayang sama lo. Gue gak mau ada kesalahpahaman lagi antara lo, gue, mamih dan keluarga om Vano."

"Maaf." Jane menunduk.

Jimi mengangguk, "Kenyataan tidak selamanya sama dengan apa yang lo liat. Dan apa yang lo liat, tidak selamanya mendefinisikan kenyataan."

***

Alunan musik pop barat mulai mendominasi ruangan kelas sepuluh ips satu. Siapa lagi kalau bukan Trio Alay yang memakai speaker tersebut untuk kesenangan mereka bertiga.

Kini mereka tengah membenarkan rambut juga memoles lipstick di pojok meja guru, lalu Hira mengeluarkan gadget pintarnya untuk ber-selfie ria.

"Hira, kecilin suaranya. Bentar lagi adzan dzuhur."

Mendengar suara Latif, Hira mendengus kasar lalu menatap Latif jengah.

"Adzannya juga belom, santai aja kali."

Latif menatapnya tajam, namun Hira tidak kalah mengintimidasi. Latif beristigfar, tanpa banyak bicara ia mulai mematikan speaker tersebut.

Hira melotot, "Kenapa lo matiin?"

Saat Latif hendak menjawab, suara Iqmal mulai terdengar melantunkan adzan di mushola. Semua teman sekelas mulai berbondong-bondong bersiap untuk pergi ke mushola.

Latif menatap Hira dingin, "Dan lo, cepet ke mushola. Kita salat."

Bak air hujan melimpah ruah turun di padang pasir yang gersang. Hira merasa hatinya mencelos sejuk mendengar ajakan Latif untuk beribadah.

Selama ini, ia mendambakan Rizki yang mengajaknya ke mushola. Namun sampai saat ini, Rizki malah sering melalaikan apa kewajibannya sebagai mahluk Tuhan.
Memang, jangan memandang seseorang hanya dari penampilan. Hira ikut tertipu oleh itu. Rizki yang terkenal good looking di mata semua orang, ternyata beda dengan kenyataan yang ia alami selama berpacaran dengannya. Hira yang terobsesi oleh kata love at first sight, rela menyerahkan apa pun untuk Rizki.
Hira memang tolol dalam hal seperti ini. Seharusnya ia berpikir dulu sebelum bertindak. Ia mulai mengingat akan perkataan Rizki yang selalu membuatnya mengernyit tidak mengerti, namun dengan pasrahnya ia lakukan atas dasar cinta.

"Ra, kamu sayang gak sih, sama aku?"

Rizki mulai bertanya saat mereka tengah berada di ruang tamu rumahnya. Kebetulan saat itu hanya ada mereka berdua saat keluarga Rizki ikut acara perayaan ulang tahun perusahaan ayahnya. Hira sempat berpikir, kenapa Rizki tidak ikut saja demi kebahagiaan ayahnya.

Hira menepuk paha Rizki gemas, "Iyalah! Ngapain kamu ngomong gitu. Kita kan mau jalan tiga bulan."

Rizki tersenyum, namun senyumannya berubah menjadi seringai penuh tanda tanya.

"Apa buktinya?"

Hira mengernyit tidak mengerti, "Maksudnya?--"

Belum sempat Hira bertanya, bibirnya sudah tersumpal oleh bibir lelakinya itu. Hira terbelalak kaget, namun di detik ke dua Rizki melepas pagutannya dan menatap Hira gelap. Gelap akan hasrat yang selama ini ia dambakan.

"Say something."

Hira menatapnya aneh. Ia berusaha mengatur deru napasnya dan tiba-tiba jantungnya berdebar tanpa ampun. "Do you love me, Hira?"

Suara serak Rizki membuat Hira bingung harus bicara apa. Ia hanya bisa mengangguk dan bibirnya kembali disambar Rizki dengan rakus.

Mereka mulai kehilangan kendali dan mereka tidak tahu, apa yang akan terjadi nanti di kemudian hari setelah apa yang mereka lakukan. Di waktu itu pun, Rizki sukses merebut apa yang selama ini Hira jaga dan ia pertahankan.

Dan di hari itu pula, Hira mulai sadar. Ternyata sungguh sulit untuk percaya pada seseorang jika hanya melihatnya dari sampul luar saja. Ia sangat menyesal akan hal itu.

"Thanks Latif."

Latif mengernyit, lalu tersenyum. Senyuman yang membuat hati Hira tiba-tiba nyaman. "Sama-sama."

Melihat Latif berlalu meninggalkannya keluar kelas, Hira menoleh ke arah Dea dan Nopi yang masih sibuk selfie ria.

"Guys, berhenti. Kita ke mushola."

Mereka berdua langsung menatap Hira tidak percaya. Nopi memberikan gadget milik Hira, "Tumben?"

Dea menatapnya mengejek, "Seorang Hira ngajak kita ke mushola?"

"Gue serius, Dey! Ya udah kalau gak mau, gue aja sendiri."

Sebuah tangan menahan Hira yang hendak pergi meninggalkan mereka.

"Kita ikut."

Setelah sampai di mushola, mereka bertiga mulai diserbu dengan ejekan dan cibiran pedas dari beberapa anak kelas lain yang kebetulan tidak menyukai mereka bertiga.

"Eh, tuh bibir merah amat!"

Mendengar celetukan yang jelas-jelas tertuju pada mereka, dengan langkah berani Hira menghampiri salah satu siswi dari kerumunan anak ipa yang seangkatan dengannya.

"Suka-suka gue, dong! Nggak ngerugiin elo juga, kan? Sekolah tinggi kelas teladan tapi mulutnya nggak ber-attitude baik."

Hira tersenyum sinis sebelum akhirnya meninggalkan siswi itu yang kini menatapnya jengah sekaligus malu.

"Wow! Calon pacar gue hebat ya!" Rey bertepuk tangan tepat di telinga Hira, membuat si pemilik telinga terkejut bukan main.

"Ngapain setan ke mushola?" tanya Hira mengejek.

"Ra, lo gak panas apa?" Rey berbisik di telinga Hira, membuat gadis itu bergidik.

"Maksud lo?"

"Lo kan ibu dari semua setan."

Hira melotot, memukul bahu Rey keras lalu mengkode dua dayangnya untuk segera mengikutinya menuju tempat wudhu khusus perempuan.

Rey yang melihatnya tersenyum aneh. Selama ia berada di sekolah, dan selama ia beribadah di mushola, baru kali ini ia melihat seorang Hira datang ke mushola bersama kedua dayangnya.

"Dunia memang sulit ditebak."

***

Setelah pulang sekolah, Hira dan kedua temannya mulai bermain ke salah satu mall dekat sekolah. Mereka kini tengah berada di sebuah kafe di dalam mall tersebut.

"Ra, lo masih belum mens?" tanya Nopi memastikan, harap-harap cemas ia tidak ingin menyinggung perasaan Hira.
Sebelumnya, Hira memang selalu curhat kepada mereka berdua tentang hal yang sangat sensitif ini. Mereka memang terkejut bukan main saat mengetahui sahabat mereka telah melakukan seks bebas di luar nikah. Mereka sempat merasa kecewa dan marah saat Hira melakukan itu hanya demi menunjukkan cinta dan pemujaannya kepada Rizki. Tapi mereka rela dan selalu memberi semangat dan motivasi pada Hira. Bahkan mereka ikut serta menutup rapat kejadian yang menimpa Hira selama ini.

Hira yang tengah bercermin ria langsung menghentikan aktifitasnya. Wajahnya berubah drastis yang awalnya ceria dan angkuh menjadi Hira yang murung dan tidak bergairah.

Hira menggeleng, "Belum. Bahkan ini udah telat hampir satu minggu, Nop."

Dea melirik Hira simpati, "Coba deh, Ra. Lo cek pake test pack. Gue khawatir, daripada gak tahu sekarang, kalo jadinya nanti, gimana?"

Nopi menepuk punggung tangan Dea lalu merebut kentang goreng miliknya, "Lo kalo ngomong gak usah berbelit-belit, bisa?"

"Suka-suka gue dong!" Dea menjawabnya sengit.

Hira menghela napasnya pelan, melihat kedua sahabatnya yang mulai menyebalkan saat dia akan bercerita. "Jadi, gue harus gimana?"

"Eh, tapi pas lo berhubungan, apa dia pake pengaman?" Nopi bertanya sambil angkat tangan.

"Sayangnya, enggak. Lo tahu sendiri, kita murni kecelakaan. Dia mana mikirin yang kayak begitu kalau udah ngerasa horney. Gue aja nggak bisa nahan yang begituan. Lo berdua jangan sok-sok an bego deh! Kalian pasti tahu rasanya horney itu kayak gimana."

Dea dan Nopi hanya bisa tersenyum geli mendengarnya. Hira memijat pelipisnya frustrasi menghadapi kedua sahabatnya itu.

"Gue saranin, lo harus cek dulu. Apapun hasilnya, lo harus laporan sama kita. Jangan dulu laporan sama bonyok lo, tapi laporan sama si berengsek itu. Kita lihat, dia bener-bener cinta sama lo, atau cuma mainin lo dan manfaatin kesucian lo doang." saran Nopi sebelum menyeruput minumannya.

"Nah itu! Kalau dia gak mau tanggung jawab, gue labrak tuh orang habis-habisan! Kayak gak tahu aja gue udah sabuk item, heh!" Dea mengangkat kepalan tangannya ke arah Nopi setuju Mengingat Dea yang jago dalam taekwondo.

Hira tersanjung. Ia mulai menyeka matanya yang basah. "Thanks ya Dey, Nop, lo berdua emang sahabat gue yang paling... Baik."

"Eh, tapi, kalo gue beli itu sendiri ke apotek gimana? Terus cara pakenya gimana?" Hira kembali menunduk lemas.

Nopi berdecak, "Ck! Bilang aja buat nyokap lo. Dan setahu gue, nih.. Cara pakenya itu harus pagi setelah lo bangun tidur. Gue sih liat nyokap kayak gitu."

"Nanti juga ada aturan pakenya, Ra." tambah Dea menatapnya datar.

"Okey, sekarang gue akan coba buat test. Gue butuh dukungan batin, guys... " Hira merengek merasa jantungnya mulai berdegup kencang.

Dea tersenyum tulus, "Tenang aja. Kita selalu ada buat lo, Ra."

"Jangan takut. Buat apa ada kita berdua?" tambah Nopi menyemangati.

"Thanks, gue sayang kalian semua!"

-----------

Hallo. Author absurd come back!

Berhubung dengan adanya tamu tak diundang, siapa lagi kalo bukan COVID-19 aka Corona Virus. Author mengingatkan sebaik-baiknya pada kalian para readers dimana pun kalian beradah. Ingat! Banyakin cuci tangan dan selalu jaga kebersihan dan kesehatan diri. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi, kan? Wong, masker, antis dll udah hampir langka pleus harganya mulai mahal, so, kalian bisa kok mencegahnya sendiri. Tetap semangat! Dan untuk kalian yang sedang sakit semoga lekas sembuh! Ganbatte!!!

Sekian dari author. Plus ultra!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro