28. MADNESS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

28. Madness

Gue udah ready. Mana anjing-anjing lo?

"Setan!"

Rey mengumpat kasar saat melihat pesan singkat dari rival tawurannya. Tanpa banyak bicara ia mulai memanggil beberapa teman pentolannya untuk segera bersiap menuju lapang dekat sekolah.
Setelah memberitahu teman-temannya, ia langsung menaiki motornya dan melajukannya dengan cepat menuju lokasi yang telah ditentukan.

Sesampainya Rey di lapang tersebut, dengan susah payah ia menelan ludahnya berusaha menetralisir kecemasannya saat mengetahui jumlah anak buah dari musuhnya itu. Tangannya dengan sigap melempar tasnya ke sembarang tempat saat semua temannya sudah bersedia melakukan ancang-ancang siap menyerang lawan.

"Jangan liat lawannya, tapi liat apa yang mereka bawa dan kemampuan mereka." bisik salah satu temannya yang berasal dari kelas sebelas, "Jangan jadi banci. Di sini kawasan anak petarung, bukan anak mamih."

Rey menyeringai, "Kita buktikan, siapa anak petarung itu."

"SERANG...!!!"

Kedua kubu berbalut seragam putih abu-abu mulai beradu hantam satu sama lain. Mereka saling meluapkan kebencian dengan membuktikannya siapa yang menang, dialah yang kuat. Dan yang paling berkuasa di daerah yang telah mereka taklukan.

Rey melayangkan beberapa pukulan mautnya pada lawannya yang berjumlah cukup banyak. Tendangan di pinggang, pukulan di rahang, pelipis, dan perut mulai jadi sasaran.
Darah segar bercampur debu lapangan dan teriknya panas matahari membuat mereka semakin bersemangat untuk melumpuhkan satu sama lain. Seragam yang mulanya putih bersih, menjadi kusut bersama dengan tetesan darah bercampur debu, buah dari aksi mereka.

Samar-samar, suara sirine mobil polisi mulai terdengar mendekat ke arah lapang tempat mereka saling baku hantam. Mereka yang awalnya bersemangat saat kubu Rey mulai menguasai kelemahan mereka yang sebentar lagi memenangkan tawuran, langsung berlari memisahkan diri kembali menuju motor masing-masing.

"Fuck."

Rey mengumpat sambil menyeka darah di sudut bibirnya saat ia tertangkap oleh beberapa polisi yang berpencar menangkap siswa-siswa yang terlibat aksi tawuran antar sekolah itu. Ia meringis kesakitan saat kedua tangannya diborgol dengan kasar.

"Nggak ada kerjaan anak-anak zaman sekarang. Petarung itu seharusnya di ring tinju sama lingkaran taekwondo. Lapangan gak bakal ngehasilin medali sama uang!"

Rey memutar bola matanya malas saat semua siswa yang terlibat digiring menuju mobil polisi di bagian belakang. Ia tahu, bahwa ilmu taekwondonya itu seharusnya bermanfaat untuk diwariskan kepada teman-teman atau sepupu atau keluarganya yang lain.

"Kok akhirnya kayak gini, ya?"
Mendengar celetukan rivalnya di sampingnya, Rey kembali mendengus kasar enggan menjawab.

Mereka akhirnya diangkut dan  dibawa menuju kantor polisi untuk dimintai keterangan dan diberikan peringatan keras. Karena aksi tawuran itu sangatlah membahayakan dan meresahkan pihak-pihak lain, termasuk keselamatan si pelakunya sendiri.

***

"Makasih ya Bim, udah mau nganter gue pulang segala. Padahal gue bisa bareng Jeje."

Jane tersenyum ramah setelah turun dari motor Bimo. Sebelumnya, Jane mendapat ajakan pulang bersama Bimo. Gadis itu awalnya menolak dengan sopan, tapi mengingat gambar nista Rey dan Yussy membuat Jane kesal sendiri. Akhirnya ia mengiyakan ajakan Bimo.

Bimo tersenyum, "Sama-sama. Kamu gak pulang ke restoran?"

Jane menggeleng, "Gue langsung pulang ke rumah aja. Mau mampir?"

Saat Bimo hendak menjawab ajakan gadis itu, tiba-tiba ponselnya mulai bergetar dari dalam saku celananya. "Bentar," Bimo meraih ponselnya lalu ia mendapati satu pesan dan membukanya. "Gusti!"

"Apaan Bim?" Mendengar pekikkan Bimo, Jane mulai penasaran.

"Rey di kantor polisi, Jane!"

Jane melotot, merasa tidak percaya, "Tuh setan ngapain di kantor polisi?!"

"Ketangkep basah pas tadi sparingan di lapang. Ya udah, gue ke sana dulu, ya--"

"Gue ikut!"

"Nggak usah, ini urusan anak cowok. Kamu di rumah aja. Nanti biar aku sama kak Rendi yang urus." jawab Bimo tersenyum sumir, menyalakan kembali motornya.

"Gue takut Rey kenapa-napa, Bim."

Bimo menghela napas, merasakan hatinya berkedut sakit saat mengetahui Jane masih saja mengkhawatirkan lelaki seperti Rey. Ia memegang kedua bahu Jane, menatapnya sayu. "Gak usah khawatir, dia gak bakal kenapa-napa. Dia udah sering ketangkep basah kayak gini. Aku berangkat ya!"

Jane menatap motor Bimo yang mulai meninggalkan gerbang rumahnya. Perasaannya mulai bercampur aduk antara takut dan khawatir saat mengetahui Rey kembali melakukan aksi tawuran. Apalagi ditambah ketahuan polisi. Jane semakin khawatir mengingatnya.

Jane mulai melangkah menuju pintu utama rumahnya, membukanya dengan perlahan. Ia mulai memasuki rumah sebelum akhirnya tatapannya terhenti pada kursi berwarna putih gading di ruang tamu. Kursi yang menjadi saksi bisu saat untuk kali pertamanya ia pernah mengobati luka-luka Rey akibat menghajar beberapa anak sekolah lain.

Jane menghembuskan napasnya pelan, matanya menyapu seluruh ruangan rumah yang megah dan hanya ada dirinya saja di dalam rumah.

"Sepi banget."

Dengan cepat ia merogoh saku rok lalu mendapati ponselnya untuk mengetik pesan pada Bimo.

Kalo ada apa-apa kasih tau gue ya.

Setelah mengirim pesan, Jane mulai melangkah menuju kamarnya.

***

Setelah pemeriksaan dari kantor polisi, Rey akhirnya diperbolehkan untuk pulang dengan hadiah tegas dari pihak polisi. Jika gerombolan mereka kembali melakukan aksi tawuran lagi, pihak berwajib tidak segan-segan untuk melakukan tindakan penangkapan dan penahanan.

Mereka sudah tiba di rumah keluarga Febriand. Rendi segera membukakan pintu utama rumah lalu menatap tajam adiknya yang tengah berjalan masuk ke dalam rumah bersama Bimo.

"Gue harap, lo gak bakalan ngelakuin ini lagi."

Mendengar ucapan Rendi dengan penuh ancaman, Rey hanya bisa mendengus kasar. Matanya melirik Bimo yang kini duduk di salah satu kursi rumahnya. "Lo kenapa gak ikut duel?"

Bimo menaikan bahunya, "Gak ada info."

Rey berdecak kesal, ia berjalan ke arah dapur hendak mengambil kotak P3K. "Apa lo tadi ngajak pulang bareng tuh cewek?"

Bimo mengangguk, tangannya masih saja sibuk membalas pesan dengan Jane. "Awalnya dia nolak, tapi gue gak tahu tiba-tiba dia nerima tawaran gue. Mungkin karena inget foto sialan lo itu."

Rey mengernyit, tangannya berusaha mengobati lukanya sendiri dengan hati-hati. "Gue gak tahu foto sialan itu dari siapa. Tapi saat gue ngobrol sama Yussy, katanya dia tahu siapa pelakunya."

"Bukan masalah siapa yang fotoin lo atau apa. Gue tanya, kenapa lo mau-maunya ciuman sama Yussy? Kalau lo gak ngelakuin itu, gue jamin foto itu gak bakalan ada, Rey!"

Bimo mulai menatap Rey tajam, tangannya berhenti mengetik sms untuk Jane saat memberitahukan keberadaan Rey sekarang.

"Lo belum puas nyakitin hati dia? Buat dia nangis? Sampai dia mau coba-coba kabur lagi? Mana buktinya lo mau ngejar dia lagi?"

"Mulut lo bisa diem gak? Gue lagi fokus nih.. " Rey meringis kesakitan saat mengobati luka di bagian pelipisnya. Rey memang mendengarkan Bimo, ia juga menyadari Bimo pasti tengah menatapnya tajam sekarang. Tapi apa boleh buat, ia tengah kesakitan berusaha mengobati lukanya sendiri. Rey juga berpikir, jika Bimo benar-benar tidak terima dengan kelakuannya menyakiti hati seorang gadis yang mereka perebutkan.

Bimo mendengus pelan, dengan langkah cepat ia meraih obat merah di genggaman Rey lalu mengobati Rey dengan kasar, "Lo laki, man. Jijik gue liat muka lo meringis gitu."

"Aws! Lo ngapain ngobatin gue! Bukannya lo lagi pidato barus-aw! Setan! Pelan-pelan kampret! Aduh.. "

Bimo tertawa puas melihat Rey yang tengah meringis kesakitan. Tangannya tanpa ampun mulai mengobati luka Rey dengan menekan-nekannya kuat. Membuat Rey refleks berusaha meninju wajah Bimo dan menendangnya beberapa kali.

"Anjir, lo mau ngobatin apa mau buat gue mampus?" Rey mendelik sebal saat Bimo telah mengobatinya dengan kasar dan sadis.

"Salah sendiri punya muka bonyok, bibir dimonyong-monyongin, jijik gue, asli." jawab Bimo sambil bergidik.

Rey menghembuskan napasnya pelan, membenarkan duduknya lalu menatap Bimo serius. "Mau ngomong apa lo sekarang."

Bimo kembali meraih ponselnya, "Lo ngapain ciuman sama Yussy?"

"Kecelakaan. Gue lagi teler terus dia nyosor aja. Gue liat itu Jane, dan ternyata bukan." Rey menjawabnya jujur.

Bimo mengernyit, "Yakin?"

"Sumpah, Bim. Itu murni kecelakaan. Gue gak tahu karena gue lagi mabok. Apa lo masih gak percaya?"

Bimo menatap Rey tanpa jeda, di detik kelima Bimo mengangguk paham. "Kejadiannya pas gue gak ada, kan? Gue tahu, lo mabok berat waktu itu."

Rey berdecak kesal, "Nah itu lo tahu!"

"Jadi, Yussy tahu siapa yang foto kalian?"

Rey mengangguk, "Hm.. Katanya sih dia tahu,  tapi gak ngasih tahu gue. Katanya biar seru, dia sendiri yang bawa pelakunya ke hadapan gue."

Bimo ber-oh ria. "Oh.. Gue penasaran, siapa sih yang gak ada kerjaan sebarin foto gak berguna itu. Iya kalau foto Kim Kardashian, Duo serigala, atau Pevita pearce. Lah ini? Gak bermutu anjir,"

"Gak bermutu tapi kok bisa geger satu sekolah,  ya? Bintangnya anak berandalan sama cewek nakal bukannya berita basi, kok bisa fenomenal, ya?"

"Kuda, lo!" Bimo melemparkan bantal sofa ke arah wajah Rey yang penuh luka lebam.

"Anjing! Sakit babi.. " Rey meringis.

"Rey.. "

Saat keduanya saling beradu hantam menggunakan bantal sofa, mereka dikejutkan dengan suara Rendi yang barusaja turun dari kamarnya yang berada di lantai dua.

"Nanti malam Ayah pulang. Jangan coba-coba kabur lagi ke rumah Bimo. Gue tahu tujuan lo kabur kemana lagi."

Bimo tertawa mendengarnya, "Bener! Jangan sampai anak ini migrasi lagi ke rumah gue lagi, Bang!"

Rey menatap Bimo tajam, "Gue bakal ke rumah Adit!"

"Oh, silahkan sayang." jawab Bimo santai.

"Stop-stop! Pokoknya, lo jangan pergi ke mana-mana. Lo diem di rumah susah amat, sih! Ayah mau pulang nanti, sambil ada yang mau diomongin sama lo." Rendi berusaha menengahi.

Rey mendengus kasar, "Okey, gue bakal stay di rumah malem ini."

"Yakin?" tanya Bimo memastikan.

Rey menatapnya tajam, "Yakin gue."

"Ya udah, gue ke luar dulu." Rendi yang sudah memakai pakaian rapi berjalan keluar rumah.

"Woy, mau ngapain keluar?!" tanya Rey sedikit berteriak.

Rendi menoleh, "Bank."

"Oh.. " ucap Rey dan Bimo bersamaan.

"Kirain Abang lo mau ngapel, udah kece gitu." ujar Bimo masih menatap punggung Rendi.

Rey berdecak, "Ck! Paling rebutan kak Gina. Sama kayak kita."

Bimo mengernyit, "Kita?"

"Lo. Dan gue. Dapetin Jane." jelas Rey dengan penuh penekanan. "Kalau gue dapetin dia, gue berhenti omes." katanya serius.

Bimo berdecih, "Berhenti omes? Mana tahan deket-deket tuh cewek, lo gak pernah omes sedikit pun. Gue normal. Jadi gue gak bisa nahan apa yang namanya omes." Bimo menatapnya mengejek, "Oh, iya. Lo kan cuma incer kepolosannya doang."

Rey tersenyum sengit, "Gue gak sejahat itu."

"Terserah. Yang gue tahu, selama gue pacaran sama dia, atau pun selama gue mantau dia pacaran sama Akmal, dia gak pernah ngelakuin hal-hal di luar batas wajar. No kiss, no sex. Tahu deh kalau udah deket sama lo. Makanya gue gak mau dia deket-deket sama lo. Gue kira, lo itu cowok berandal tapi sangat menghargai perempuan. Tapi gue salah, salah besar."

"Sorry. Gue gak bisa sesempurna itu jadi cowok. Gue bukan tokoh fiksi di novel-novel yang bisa nahan hasratnya buat ngerusak cewek. Kita harus mencoba realistis, Bim. Mau sesempurna apapun lo berbuat baik, kita sebagai orang yang udah di cap nakal gak bakalan lagi disebut baik di mata orang-orang." jawab Rey sambil merentangkan kakinya di atas sofa.

Bimo membuang napasnya kasar, "Up to you lah! Gue mah kalah terus kalau debat sama lo. Bawaannya pengen ngebogem lo di tempat."

***

"Gimana kalau gak boleh, ya? Ah! Jangan dulu parno deh!"

Dengan rasa penuh percaya diri, Hira mulai memberanikan diri untuk membeli alat pendeteksi kehamilan di salah satu apotek dekat sekolah. Tidak lupa dengan masker dan kacamata anti radiasi yang dia pakai agar tak terlihat bahwa itu adalah dirinya.

Sambil menunggu Rizki yang masih belum menjemputnya, ia memanfaatkan waktu tersebut untuk pergi ke apotek.

Tangannya mulai mendingin, jantungnya mulai berdegup kencang saat tangannya menyentuh etalase di hadapannya.

"Mau beli apa, Dek?"

Hira menghembuskan napasnya berat saat lidahnya mulai terasa kelu untuk bicara.

"Test pack." jawabnya pelan, sangat pelan.

"Apa Dek? Maaf gak kedengeran?" Tanya seorang apoteker wanita dengan usia kisaran tiga puluh tahunan.

"Test pack, Mbak." Hira kembali mengulanginya, kini dengan suara yang tegas.

Kening wanita itu mengerut, lalu menatap Hira tajam. "Kenapa kamu membeli alat itu, heh! Apa kamu telah melakukan sex bebas!"

Hira menunduk ketakutan saat wanita itu tiba-tiba memarahinya.

"Bu-bukan gitu, Mbak."

"Bukan gitu apanya! Kamu justru sudah membuat kesalahan yang sangat fatal. Apa kamu tidak berpikir bagaimana kedepannya? Apa kamu tidak kasihan melihat orang tua kamu yang sudah banting-tulang nafkahin kamu buat sekolahin kamu! Tapi, apa balasan kamu? Heran, semakin lama semakin bebas pergaulan anak zaman sekarang. Dan kamu salah satunya!"

Hira mulai menangis ketakutan. Ia mulai menyadari bahwa perbuatannya dengan Rizki memanglah salah. Salah besar.

"Apa kamu gak mikir hidup kamu kedepan kayak gimana? Dunia semakin aneh. Negara yang menjunjung tinggi budi pekerti, ternyata moral pelajarnya pada hancur! Mau gimana citra anak bangsa sekarang mau maju, kalau pun mereka sendiri yang memilih untuk memilih jalan yang salah. Dasar, anak gak tahu diuntung! Gak tahu diri! Murahan! Jahanam! Berzina tanpa malu. Amit-amit saya punya anak kayak kamu."

Hira semakin ketakutan mencoba menutup kedua telinganya, "Cukup.. Aku nyesel... "

"Penyesalan tidak datang di awal, anak muda. Kamu gadis, nyatanya bukan. Janda? Juga bukan. Gimana status kamu nanti? Gimana anakmu nanti? Apa kamu tidak merasa malu pada dunia yang siap menghukum kamu dengan sadis? Pada teman-temanmu? Sahabat? Dan terutama orang tuamu? Apa kamu tidak malu! Heh! APA KAMU TIDAK MALU JIKA KAMU HAMIL DI LUAR NIKAH...!!!"

"Enggak-nggak, enggak! Cukup, aku nyesel sekarang!" Hira menggeleng tidak mau mendengarkan.

"Ini test packnya dek. Buat Ibunya ya?"

Hira tersadar dari lamunannya. Ia mulai berhalusinasi sambil menggeleng pelan tidak percaya. "I-iya, Mbak. Buat Ibu saya."

Wanita itu tersenyum saat Hira mengeluarkan uang untuk membayar benda tersebut. Hira menarik benda tersebut membalas senyuman wanita itu dengan anggukan.

"Saya sempat heran, kenapa kamu beli benda semacam ini. Setelah tahu ini untuk Ibu kamu, saya cukup lega."

Mendengar perkataan wanita itu, Hira hanya tersenyum kecut. Berusaha menguatkan hatinya untuk tidak berhalusinasi kembali.

Setelah membeli benda tersebut, ia mulai menunggu jemputan Rizki di depan gerbang sekolah. Kebetulan, jarak sekolah dengan apotek hanya beberapa meter. Jadi ia bisa menunggunya tanpa khawatir Rizki harus mencarinya.

Saat ia saling berbalas pesan dengan Rizki, matanya menangkap salah satu ibu hamil yang melewatinya sambil berjualan gorengan yang disimpan di atas kepalanya. Hira menatap perut wanita tersebut yang besar dan mungkin saja siap untuk melahirkan.

"Ih, coba liat. Hira hamil di luar nikah!"

"Ih.. Jangan deket-deket dia. Dia udah kena pergaulan bebas."

"Itu pasti anak haram!"

"Ra! Gue sama Nopi gak bakalan temenan lagi sama lo! Cari aja temen yang mau nerima lo kayak gini, hih!"

"Najis gue deket-deket sama lo!"

"Selamat ya, Ra. Gue bakal jadi tante dadakan dong!"

Hira kembali menutup kedua telinganya kuat, berusaha menghindari ejekan-ejekan teman-temannya di sekolah. "Enggak.. Nggak-nggak. Enggak!"

"Ra? Kamu kenapa?"

Hira kembali tersadar dari halusinasi yang semakin menghantuinya. Ia mengerjapkan matanya perlahan saat dilihatnya wajah Rizki yang kini menatapnya khawatir.

"Rizki?"

"Mulai, deh! Jangan banyak ngelamun." Rizki merengut, "Kenapa pake masker sama kacamata?"

Hira menggeleng, melepas kacamata dan masker yang dipakainya ke dalam saku rok, " Kita pulang."

"Kenapa dulu?" Rizki menarik lengan Hira saat hendak naik motor. "Kamu sakit?"

"Aku gak papa, Rizki. Ceritanya aku lagi ngambek. Kamunya lama."

"Ya maaf." Rizki melepas tangan gadis itu.

Hira menghela napasnya pelan saat menaiki motor Rizki. Pikirannya masih merasa takut.

Rizki terkekeh melihat wajah pucat pacarnya itu, "Tadinya mau nganter Rendi ke kantor polisi. Pas liat kamu kayak gini, aku nyerah."

"Kantor polisi?" tanya Hira spontan.

"Hm.. Biasalah, Rey. Siapa lagi."

Hira berdecak sebal mendengarnya. Entah kenapa rasanya mendengar nama Rey saja bawaannya kesal dan geram. "Emang dia ketahuan apa lagi?"

"Ketangkep basah pas lagi tawuran. Emang tuh anak gak ada kapok-kapoknya!"

Hira menghembuskan napasnya berat. Berusaha untuk tidak marah-marah karena Rey selalu membuat masalah. Tidak di kelas, tidak di luar kelas, Hira merasa kesal melihat kenakalan Rey yang semakin menjadi. Apalagi soal hubungannya dengan Jane, Hira sama sekali tidak menginginkan itu terjadi pada hubungannya dengan Rizki.

Hira mulai mengeratkan pelukannya sambil menyenderkan kepalanya di punggung tegap Rizki. Dimana ia pernah melihatnya dengan peluh keringat yang terus membasahi mereka saat itu.

"Kenapa, Ra?" tanya Rizki dibalik helm.

"Enggak apa-apa. Pengen aja kayak gini terus."

Hira mulai memejamkan matanya, merasakan punggung tegap Rizki yang selalu membuatnya nyaman tempat ia bersandar.

-------------------

Entahlah. Setelah hancurin hubungan Jane x Rey, matahin hati si Adit, Bimo jadi sadboy dan buat Jeje jadi simpenan--eh spoiler wks sekarang aku suka part hancurin psikis si cewek terterter Hira awokwok :'v

Readers tercintah, jangan dulu diremove. Bakal ada pengumuman kapan cerita ini bakal diunpublish dari wattpad. So, pantengin terus kisah Jane, Rey, dkk.

Vote komen tidak diwajibkan. Karena authornya juga lemot update nya hehe..

-Stay at home-

Sayonara!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro