Luka yang Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Assalamualaikum,” ucap Nayla sembari melemparkan tubuh ke atas sofa.

“Waalaikumsalam. Eh, bidadari Mama kenapa? Kok pulang-pulang kayak gitu wajahnya?” Azizah, ibu Nayla, mengernyitkan dahi. Ia terkejut dengan wajah masam putrinya yang baru saja memasuki rumah.

“Ma,” Nayla bangkit dari tubuh setengah rebahnya, meluruskan badan dengan wajah merajuk pada sang ibu.

“Kenapa? Seminarnya lancar, kan?” tanya Azizah.

“Aku ketemu seseorang yang sama sekali gak pengen aku temuin lagi seumur hidup. Menurut Mama aku harus gimana?”

Azizah kembali mengernyitkan dahi, “Eh, kamu habis ketemu siapa?”

“Orang yang udah bikin aku jadi santri setengah matang,” sahut Nayla.

“Na...dhif?” tebak Azizah ragu.

Nayla mengangguk pelan. Berat rasanya membayangkan pertemuan dengan lelaki yang sama sekali tak ingin ia temui itu. Ia tak pernah membayangkan jika ternyata harus bertemu lagi dengan lelaki yang telah memporak-porandakan perasaannya, lelaki yang membawa perubahan banyak pada hidupnya.

Azizah menghela napas berat, kemudian menatap Nayla prihatin, “Kamu ketemu Nadhif di mana?”

“Dia kepala sekolah MA di pesantren yang ngundang aku jadi pemateri tadi,” jawab Nayla, “Ma, aku gak tau sama perasaanku sendiri. Ada sedih, marah, dan benci yang berkolaborasi jadi satu. Tapi, di balik ketiga rasa itu, terselip sebuah rasa yang bikin aku semakin gak paham sama diriku sendiri,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca. 

“Kenapa, Sayang?” Azizah mengusap lembut kepala putrinya.

“Ada setitik perasaan senang, Ma. Ada rindu yang tiba-tiba luruh. Ada perasaan hangat yang mengalir. Aku dosa, Ma.” Cairan bening yang menutupi mata Nayla luruh, ia menangis.

Azizah memeluk erat putrinya, menenggelamkan kepala sang putri di dada untuk menyalurkan ketenangan. Ia sungguh paham posisi putrinya. Posisi merindukan seseorang yang sama sekali tak boleh dirindukan. Posisi bertemu dengan seseorang yang pernah sedemikian dalamnya mengukir luka di hati, padahal sudah bertahun-tahun bertarung dengan perasaan sendiri. Ia paham sakit yang putrinya alami. Ia pernah berada di posisi itu. Ah, pernah berada atau justru masih? Azizah tak paham.

“Aku harus gimana, Ma?” Nayla terisak di pelukan ibunya.

“Bidadarinya Mama udah shalat asar belum?” Alih-alih menjawab pertanyaan Nayla, Azizah justru berbalik menanyai putrinya itu. Nayla menggeleng sebagai jawaban.

“Kamu mandi dulu yang bersih, terus shalat asar, berdoa sama Allah minta ketenangan hati. Habis itu ngobrol lagi sama Mama di balkon sambil ngeteh sore. Mau?” tawar Azizah.

Nayla mengusap air matanya, kemudian mengangguk pelan. Ia segera berdiri dari sofa dan berjalan menuju kamarnya.

*****

“Sudah kuduga, ini kamu, Lala. Nayla Kanaya Rohim. Kamu sudah jadi penulis terkenal sekarang, barakallah. Sesuai mimpi kamu, kan?” Benar-benar sapaan yang ramah, dengan nada bicara yang masih sama seperti bertahun-tahun lalu.

“Kak Nadhif?” Hanya dua kata. Nayla merasa lidahnya kelu seketika.

“Apa kabar, Lala?” Nadhif memasang wajah semringah. Ekspresi yang sangat berbanding terbalik dengan Nayla.

“Lala?” Nadhif kembali mengulang panggilannya. Ia merasa aneh, mengapa gadis yang ada di depannya itu justru mematung?
Nadhif mengalihkan pandangan pada gadis di samping Nayla, “Thaya boleh kembali melanjutkan aktivitas, biar Ustaz nemenin Kak Nayla ngobrol di sini.”

Thaya mengangguk takzim, “Baik, Ustaz. Saya permisi. Assalamualaikum.”

“Nayla Kanaya Rohim.” Nadhif kembali memanggil Nayla usai menjawab salam Thaya, kali ini dengan suara yang lebih keras.

“Astaghfirullah.” Nayla tergagap. Ia merasa kesadarannya ditarik kembali.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Nadhif khawatir. Ia baru akan menghampiri Nayla, namun gadis itu seketika berteriak sembari menunjuknya.

“Stop. Saya bilang stop! Tolong berhenti.”

“La, kamu kenapa?” Nadhif mengernyit bingung.

“Tolong tetap di sana dan jangan melangkah ke mana-mana sampai saya keluar dari ruangan ini,” tegas Nayla. Ia mengambil tasnya yang tergeletak di kursi dan melangkah cepat meninggalkan ruangan.

“La, tunggu sebentar.” Nadhif hendak mengejar Nayla, namun gadis itu justru menatapnya dengan ekspresi ketakutan.

“Saya mohon jangan mendekat. Saya permisi. Terima kasih telah mengundang saya hari ini. assalamualaikum.” Nayla berlari tergesa usai menyelesaikan kalimatnya.

“Waalaikumsalam,” sahut Nadhif pelan. Kali ini justru ia yang mematung. Ia sungguh tak paham dengan tingkah Nayla.

Nayla mengembuskan napas pelan. Mengingat pertemuan dengan Nadhif membuatnya tegang. Pertemuannya dengan Nadhif bahkan tak bisa disebut pertemuan yang berkualitas. Jika dihitung, barangkali tak genap lima menit.

“Ma, aku takut. Takut kalau ternyata selama ini aku cuma nyembunyiin perasaan, bukan ngebuang perasaan itu. Sesuatu yang tersembunyi punya potensi buat tampak lagi kan, Ma?” ucap Nayla dengan tatapan kosong.

“Mama selalu percaya, kalau apa pun yang terjadi di bumi ini selalu ada alasannya, Nayl, ada hikmahnya. Allah mempertemukan kamu sama Nadhif, pasti juga ada alasannya. Mungkin, beberapa tahun lalu memang ada yang belum kalian selesaikan,” sahut Azizah sembari mengusap rambut Nayla.

Nayla menggeleng miris, “Aku udah gak punya urusan apa pun sama dia, Ma. Semuanya udah selesai.”

“Kamu yakin?” Azizah menoleh, menatap putrinya dari samping.

Nayla terdiam. Ia menatap semburat kuning yang ada di langit sembari menerawang. Apa benar jika ada yang belum terselesaikan antara ia dan Nadhif? Rasanya, semenjak lelaki itu mengambil keputusan sepihak bertahun yang lalu, urusan mereka berdua telah usai. Semuanya telah tamat dan berakhir.

“Aku sepenuh hati yakin, Ma,” jawab Nayla tegas.

Azizah tersenyum, “Mungkin itu bagi kamu, Nayl, tapi tidak bagi Allah. Banyak hal yang tidak benar-benar kita tahu, Sayang.”

“Lima tahun, Ma. Udah lama banget loh itu.
Indonesia juga luas banget. Kenapa aku harus ketemu dia lagi, sih!” sungut Nayla. Ia membenci kenyataan ini.

Azizah masih tersenyum, “Sekadar ketemu loh, gakpapa dong. Anggap aja silaturahim, menjalin ukhuwah. Sesama muslim kan gak baik musuh-musuhan.”

“Aku gak musuhan sama dia, Ma. Aku cuma gak mau aja ketemu dia lagi. Aku cuma gak mau mengingat-ingat luka yang pernah ada, Ma,” protes Nayla. 

“Allah selalu tahu apa yang terbaik buat kita. Allah gak pernah memberi kita beban yang kita gak kuat mikulnya. Semuanya akan baik-baik saja, Nayl. percaya sama Mama,” sahut Azizah meyakinkan.

“Mama doain aku, ya.” Nayla menatap ibunya dengan raut penuh harap.

“Kamu bidadari Mama. Hal paling berharga di hidup Mama. Apa pun tentang kamu, Mama selalu berharap itu yang terbaik.” Azizah mengusap lembut rambut Nayla.

Nayla memeluk erat ibunya, “Ma, terima kasih sudah mencintai aku sedalam itu.”

*****

Nayla ada apa sih ama Nadhif?
Yang penasaran angkat tangan gih, haha.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💖.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro