Tanpa Alasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Enam tahun yang lalu

“Lala, tunggu saya sebentar.” Nadhif berlari menuruni tangga, mengejar langkah cepat Nayla. Sementara Nadhif tergesa, si empunya nama yang dipanggil justru tak acuh, ia terus melanjutkan langkahnya.

“Lala, tunggu saya. Saya ingin meminta tolong.” Nadhif kembali bersuara dan Nayla masih tak acuh.

“Lala, saya...”

Nayla tiba-tiba menghentikan langkah, kemudian membalik badan dan menatap Nadhif galak. “Nama saya Nayla, Nayla Kanaya Rohim. Bagian mananya yang membuat Ustaz memanggil saya Lala?” 

Nadhif ikut berhenti dan memamerkan senyum tenang, “Saya terbiasa memanggil kamu Lala.”

“Omong kosong apa? Ustaz orang baru di pesantren ini, di madrasah ini. Terbiasa dari mananya yang Ustaz maksudkan?” hardik Nayla. Ustaz baru yang menggantikan Ustaz Fathur itu akhir-akhir ini begitu menyebalkan. Lelaki itu semangat sekali membuatnya kesal. Menunjuknya untuk maju di depan setiap kali pembelajaran, menyuruhnya mendatangi meja ustaz setiap hari hanya karena ia ketua kelas, dan yang paling menyebalkan, merubah namanya sesuka hati menjadi Lala. 

Nadhif kembali tersenyum, ia tak terpengaruh sama sekali dengan wajah galak Nayla. Ia tak peduli dengan raut kesal gadis berlesung pipit itu. Sama tak pedulinya dengan posisi mereka yang sedang berada di tangga madrasah, tempat yang memungkinkan banyak orang menyaksikan perdebatan mereka.

“Saya hanya ingin meminta tolong, Lala. Bisakah kamu mengantarkan lembaran soal ini ke meja Ustaz Hamid? Saya sedang terburu-buru.” Nadhif menuruni tangga, menyejajarkan posisi dengan Nayla. Ia mengabaikan rentetan ungkapan kekesalan dari gadis itu.

“Pertama, jam kegiatan belajar mengajar telah usai dan Ustaz tidak berhak menyuruh-nyuruh saya lagi, apalagi dengan embel-embel jabatan ketua kelas. Kedua, bukan hanya Ustaz yang sedang terburu-buru, saya juga terburu-buru. Ketiga, ini pesantren dan kita tidak diperkenankan memposisikan tubuh sedekat ini di dalam lingkungannya. Keempat, jangan memanggil saya Lala karena nama saya Nayla. Terakhir, berhenti mencari-cari perhatian kepada saya dengan sengaja membuat saya kesal. Assalamualaikum!” Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Nayla ucapkan untuk Nadhif. Ia bergegas menuruni tangga, mengabaikan Nadhif yang masih terdiam takjub di tempatnya berdiri. Kesabaran Nayla telah benar-benar habis.

“La, tunggu sebentar.” Nadhif seketika tersentak. Ia segera berlari mengejar Nayla. Sayang, gadis pemilik gigi gingsul dan lesung pipit itu telah benar-benar kesal. Ia sengaja berbelok ke arah kanan menuju kamar mandi perempuan, menghindari teror dari ustaz baru yang benar-benar tak ingin ia lihat lagi selamanya.

*****

“Nayl, kamu ama Ustaz Nadhif ada masalah apa sih sebenernya?” tanya Shanum. Ia dan Nayla tengah menikmati semangkuk bakso di kantin pesantren.

“Gak pernah ada masalah apa pun,” jawab Nayla singkat. Ia malas membahas apa pun tentang ustaz baru mereka, bahkan hanya untuk mendengarkan nama lelaki itu disebut.

“Tapi, tiap hari kalian debat. Di mana pun, kapan pun. Ustaz Nadhif baru tiga minggu ngajar, satu minggu dua pertemuan, dan di setiap pertemuan, selalu ada yang kalian ributkan. Enam kali pertemuan dan kamu selalu aja bikin kelas kita jadi tegang, Nayl.” Shanum menggeleng takjub.

“Ustaz baru itu sengaja bikin aku kesel tiap detik, Num. Nyuruh maju di depan kelas lah, nyuruh ke ruangan guru lah, ini lah, itu lah. Kesel aku,” sungut Nayla.

“Wajar kalau Ustaz Nadhif sering nyuruh kamu maju di depan kelas, Nayl. Kamu pinter ngarang cerita. Wajar juga beliau sering nyuruh kamu ke ruangan guru, kan kamu ketua kelas,” sahut Shanum.

“Setiap hal yang dikatakan wajar ada batasnya, Num. Di sini, batas yang aku pakai jam sekolah kita. Kalau ustaz baru itu masih aja nyuruh-nyuruh aku pas jam sekolah kita udah selesai, apa masih bisa dibilang wajar?” Nayla menusuk-nusuk bakso dengan garpu, mendadak selera makannya hilang.

“Simpel sih, Nayl. Tinggal kamu lakuin perintah Ustaz Nadhif, selesai. Gak perlu lah sampai dijadiin ajang perdebatan berhari-hari.”

“Kalau satu-dua kali aku maklum, Num. Tapi Ustaz Nadhif kayak gitu hampir tiap hari, bahkan pas kita gak ada jam pelajaran dia sekali pun. Mau gak kesel dari mana? Emang ada ustaz yang kayak gitu? Ustaz beneran gak sih dia?” Nayla menusuk baksonya dengan gemas, seolah sedang melakukan hal yang sama pada seseorang yang kini sedang ia jadikan topik pembicaraan.

“Astaghfirullah, Nayl. Gak boleh ngomong gitu, beliau ustaz kita. gimanapun juga, ilmu beliau lebih banyak. Kita tetep harus hormat.” Shanum memukul pelan tangan Nayla, membuat sahabatnya itu meringis. “Satu lagi, pakai kata ganti ‘beliau’, Nayl. Bukan ‘dia’,” lanjutnya.

“Ada lagi yang bikin sebel, Num. Ustaz favoritmu itu manggil aku Lala, seenaknya aja ganti-ganti nama orang,” sungut Nayla.

“Bagus sih, Nayl. Biar beda dari yang lain. Lagian nama kamu kan Nayla, diambil suku kata belakang dua kali jadi Lala, masih nyambung kok.” Shanum menutup analisa ngawurnya dengan tawa.

Nayla merengut, “Pandangan kamu emang udah ketutup sama rasa kagum, Num. Semua yang ada sangkut pautnya ama ustaz itu selalu aja bener. Iya, aku yang salah.”

Shanum terbahak, “Jangan sebel-sebel terus, Nayl. Apalagi rasa sebel kamu itu gak ada alesannya. Hati-hati malah kebalik jadi suka. Sebel ama suka jaraknya setipis rambut dibelah tujuh, kan? Itu sih yang aku baca di cerpen kamu bulan lalu.”

“Stop ngomongin sesuatu yang unfaedah, Ashalina Shanum!” sentak Nayla. Bukannya takut, Shanum justru semakin terbahak.

Nayla mendengkus sebal. Hidupnya benar-benar terusik akhir-akhir ini. Siapa lagi dalangnya jika bukan ustaz baru yang sedang dielu-elukan oleh seisi pesantren putri itu? Nayla tak pernah paham dengan keinginan lelaki itu, sama tak pahamnya dengan alasan mengapa ia tak menyukai ustaz karismatik itu seperti kawan-kawannya yang lain. Shanum benar, sebalnya ternyata tak beralasan.

*****

Nah loh, Nayl. Mulai bingung kan, kenapa coba sensian amat kalo ama Ustaz Nadhif?

Nadhif juga! Gencar banget sih ngeributin hidup Nayla? Kurang kerjaan kamu?

Duh, anak Naya yang dua ini emang gemesin yaaaa. Bikin pengen nyatuin, eh 🙈.

Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro