Perairan air tawar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng













Dulu aku merasa hidup seperti kita bermain-main di lautan, ada banyak aturan aturan yang harus di patuhi jika kamu tidak ingin benar benar terseret masuk dalam lautan sisi paling gelapnya.

Setiap ombak yang datang dalam hidupku selalu aku terima dengan energi besar, badanku tegap menerjang ombak ombak itu, perlahan aku menikmati ketika deburan ombak itu bertabrakan dengan diriku. Kadang bukan hanya ombak seperti biasanya yang datang, ombak besar, ombak tidak terduga dan bahkan badai. Jatuh pun sudah hal yang biasa, terseret, tergulung, menghantam, aku sudah kenal dengan kejadian kejadian kalah itu semua. Bagi keluargaku, menerjang ombak adalah hal wajib untuk berkembang, dan manusia harus terus maju dengan ambisi ambisi kuat di jari dan prinsipnya.

aku selalu menempatkan posisiku sebagai object yang di tempa tenaga angin laut yang membuat gelombang gelombang air menghantamku. Lalu tampa sadar, aku sendiri lah dari semua itu, ombak, angin, badai, semua subjek subjek itu adalah aku, dalam beberapa saat aku bisa menjadi sepuruh bagian dalam ekosistem tersebut. setelah tersadar hal itu, kini kesenanganku bukan sekedar menghadapi ombak, kini aku terbang bak burung camar penjaga bibir pantai. Merasakan angin sejuk yang membuat tekanan udaraku lebih besar dari pada gravitasi, tubuhku sangat ringan! Ini adalah masa dalam hidup yang aku ingat.

Sayangnya, aku tidak pernah menyadari luka dalam diriku yang sempat menghambatku dahulu ternyata berkembang lebih jauh dari yang aku kira, dulu ini hampir membuatku terseret ratusan kilometer masuk dalam laut dalam, kala itu aku hampir mati karena luka tersebut, membusuk dan menyebar luas hingga sekujur tubuh.

aku kira, itu sudah hilang. tapi pada kenyataanya, hal hal buruk kedepanya akan tetap kembali datang bersamaaan hal hal baik lainya, seperti isi dari bintang bintang mengkilap dari kotak pandora, yang di ikuti oleh racun racun dan kalajengking yang merayap keluar. Seharusnya aku sudah menantisipasi hal ini, racun racun itu membuat lukaku kembali datang dengan busuk yang lebih besar.

Aku terjatuh, menangis terseok di atas pasir putih, meraung raung bahwa aku sudah cukup lelah atas semua ini, lelah untuk melawan ombak dan angin. Aku berharap kala itu banyaknya air mataku yang jatuh akan berubah menjadi mutiara, namun kenyataanya air itu menetes lalu meresap dalam pasir, seolah tidak membuat efek apa apa padanya. Bencana bagiku hanya sebuah suara tampa makna bagi lautan.

Mungkin ini sebuah karma atas prinsipku yang selalu mendahuluan ego ambisiku tampa berniat baik pada tubuhku yang bekerja tampa henti, matahari terbit hingga tenggelam.

Pada deburan ombak-angin-serta badai yang menghamtamku kala itu, aku berpasrahkan diri.

Untuk pertama kalinya, aku membiarkan tubuhku hanyut masuk dalam kegelapan, masuk dalam dinginya ruangan, bau bau obat yang tidak asing, serta sorot cahaya cahaya putih yang menusuk mataku, sebelum kesadaranku benar benar hilang, aku ingat sekali pemikiran apa yang aku gengam kala itu,

Ah, jika aku mati, tidak apa, sudah rela.

lalu, aku masih di berikan anugrah untuk hidup, paru paruku kembali mengembang, listrik listrik syaraf tubuhku kembali memiliki kejut kejutnya, jantungku berdetak dengan normal pada irama yang indah, mataku kembali terbuka.

kala itu, aku resmi menjadi sungai air tawar yang tenang, seluruh kejadian cepat itu membuat tenagaku terkuras hingga tak bersisa satupun.

dan disitulah aku bertemu yogi.

lebih tenang dari pada air, lebih jernih dari pada langit, lebih sunyi dari pada rongga goa.

"gak papa, kok. Hidup itu tentang menjalani, soal plot plotnya urusan yang di atas."

Bersamaan dengan hilangnya aku yang selalu melawan takdir, secara perlahan aku mulai mengikuti jejak kakinya, telapak kakiku selalu menapak di jejaknya, di balik pungungnya, memegangi ujung kemejanya, sambil bercanda dengan ringan tentang disekitar kami. Aku melihatnya seperti manusia yang sudah sering kali berada di lingkungan tenang seperti ini, cara dia melangkah, cara dia berbicara, cara dia berfikir, semuanya sehat, semuanya benar benar sehat dan damai.

Setelah mencoba melepaskan sesuatu yang berat, aku baru terdasar,

Ohh, jadi seperti ini rasanya tenang.

hadirnya yogi seperti sebuah awalan dari duniaku yang baru. lambat laun hal hal lainya datang menyusun ekosistem kehidupanku yang baru, Cezka, Danny, Bian, dan keseharianku yang tenang



______



"Seburuk itu?"

"seburuk itu."

Aku sama yogi sama sama saling melempar pandang ketika jawaban cezka di telfon terdengar sangat yakin, penuh penderitaan juga, penekanan, dan putus asa. Pagi ini sengaja aku menelfonya sebelum kami masuk kerja, kebetulan aku baru membaca chatnya tentang jawabanku dari pertanyaan ku soal divisinya, dan sepertinya kehadiran hadinata membuatnya semakin stress.

Masih berada di apartemenku, yogi yang mendengarkan percakapan kami sambil merapihkan kemejanya dan bersiap berangkat kerja juga terlihat iba kepada cezka—sama sepertiku wajahnya mendadak bersalah. Ia mengulung lengan kemejanya dan sibuk berkutat di dapur, seperti pagi biasanya yogi akan menyeduh kopi super pahit untuk mencharge energinya.

Aku menghela nafas panjang, "gak mau bilang sama kai dulu biar target target bulan ini di kendorin?" usulku

terdengar suara grasak grusuk di sebrang sana, "si kai aja gak mau dengerin gue anjirt, atasan gila kaya gajah!"

Menanggapi makianya, aku setuju. "Iya dia kaya gajah. Cezka mau gue bantuin bilang ke kai? Masalahnya minggu depan rapat umum semua anggota team operation kan?"

cezka mendengus kesal, "anjirt! Para atasan anjirt semua!"

"Si kai satu itu emang rada-rada" balasku, tanganku mengetuk ngetuk pinggir sofa sambil berfokus mendengar keluhan paginya.

"Yasudah ra, gue mau ke kantor dulu. Another day in hell, wish me luck ya! hari ini gue mau coba dari awal, pelan pelan" jawab cezka, terdengar juga suara pintu mobil di buka.

Aku tetap mengangguk walau tahu cezka tidak bisa melihat gerakanku. "Iya cez, hati hati yaa! Kalau ada yang bisa gue bantu, bilang aja, oke?" Ujarku

"Thanksss ra!"

"Iya makasih juga cez"

Panggilan terputus bersamaan Yogi dan segelas kopi di tangan kananya dan segelas teh di tangan kirinya, pria ini menaruh dua gelas ini di meja sebelum duduk di sofa sebrang dariku.

seperti biasanya, yogi tidak mau membahas pekerjaan di luar kantor denganku, ia tetap mendengarkan ocehanku, memberiku nasihat atau penjelasan tapi dirinya tidak akan pernah memulai percakapan tentang pekerjaan lebih dulu.

"Seharusnya, Hadinata di kasih pelatihan dulu sebelum diterjunin ke divisi program" kataku, sedikit galak.

Yogi menganguk, menyodorkan segelas teh di cangkir putih ke hadapanku. "Aku buatin teh, di campur madu sedikit"

ah, ini manis, maksudnya tindakanya manis. tentu saja tahu ini adalah pengalihan topik, yogi enggan berbicara topik pekerjaan sepagi ini. Jadi aku menghargai keinginanya, tanganku terjulur untuk menyeruput sedikit teh madu buatanya.

aku merapihkan kemeja putihku, serta celana bahan bewarna coklat muda yang senada dengan jaz yogi pagi ini. Sebenarnya pakaian kami itu pakaian pasangan, dihadiahkan oleh ibunya yogi saat beliau pergi ke paris untuk meminum teh disana. Aku sangat suka style nya, kebetulan juga masuk dalam thema seragam bulan ini, tahun 90's.

Melirik jam di dinding, aku kembali menoleh pada yogi yang sedang menikmati kopinya sambil memandang pemandangan dari arah pintu balkon kaca apartment ku, di luar masih sedikit gelap, tapi telat sedikit saja jakarta akan masuk dalam jam jam paling padatnya.

"Mau berangkat sekarang?" Tanyaku

Yogi menoleh pada jam dinding apartku yang masih menunjukan pukul 06.15. masih terlalu pagi sebenarnya untuk yogi, tapi untuku cukup tepat waktu.

"Kita masih punya waktu." Kata yogi, kini duduk di sebelahku, melonggarkan dasinya yang susah payah ku pasang dengan rapih di lehernya.

Tanganku menahan tanganya, "jangan di berantakin, udah rapih!" bentaku galak

Ia tertawa pelan, "bisa di rapihkan lagi tapi?"

Aku mendecih, "gak ada waktu buat itu!"

Kini ekpresi yogi seperti penasaran akan sesuatu, jadi ia mencondongkan badanya kepadaku. "Butuh berapa lama buat kamu berrias diri memang?"

"Sekitar 30 menit?"

Yogi melirik jam tanganya, "kita ada waktu satu jam 20 menit, 30 menit buat perbaiki riasan kamu, dan 30 menit untuk perjalanan ke kantor. Jadi bisa jual waktu kamu 20 menit buat aku?"

senyumku tertarik dengan lebar, memandangnya dengan tahu apa yang ia inginkan pagi ini.

tanganku yang sebelumnya menjaga agar dasinya tetap rapih kini bertndak sebaliknya, perlahan melepas ikatan dasi serta meloloskan kancing kancing kemejanya ketika yogi mulai menyatukan bibir kami.

jangankan 20 menit, aku tidak masalah jika ini berangsur seharian penuh.

_______

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro