1 - INGATAN ITU KEMBALI LAGI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau harus percaya satu hal. Yang terlihat buruk, tak selamanya buruk. Yang terlihat baik, pun tak selamanya benar-benar baik.

-LAKUNA-

"Makasih banyak, Natha!"

Seorang gadis memeluk erat tubuh Natha. Tersenyum riang seperti narapidana yang baru saja bebas dari jeruji besi.

"Santai. Besok-besok jangan gitu lagi," ujar Natha sembari menepuk pundak si gadis. Setelahnya, mengembuskan napas kasar. Mendudukan dirinya di atas kursi depan kelas sembari sesekali obsidiannya menangkap gelagat malu-malu awan yang beriringan di angkasa. Terlalu lamban, seperti seluruh kejadian dalam hidupnya.

Kau tahu? Bahkan pahlawan hebat pun masih butuh tempat untuk bersandar dan mengadukan sialnya tentang hari buruk. Masih butuh tempat berpulang untuk sekadar berbagi bahagia, atau menumpahkan air mata.

Maka sore itu, semburat jingga sempurna di angkasa menjadi saksi bisu kesakitan Natha yang tak sempat terdefinisikan. Berjalan lunglai menuju gerbang sekolah sendirian, tanpa ingin lagi peduli sekitar meskipun ada beberapa siswa yang memanggilnya dengan nada bersahabat.

Jangan tanya apakah Natha tak memiliki sahabat di sekolahnya. Jelas seorang manusia kupu-kupu sepertinya mudah bergaul dengan siapapun. Namun, mencari satu yang bisa berdiri bersamanya dan menjadi tempatnya menumpahkan cerita di penghujung hari rasanya sulit. Natha pernah merasakan pahitnya bersahabat dengan seorang pengkhianat. Natha pun pernah merasakan sakitnya bersahabat dengan seseorang yang hanya ingin tahu seluk beluk kehidupannya saja, lantas setelahnya membocorkan seluruh rahasia pribadi Natha ke permukaan.

Bersyukur, saat itu kedua manusia biadab tadi sudah pergi menjauh darinya. Yang satu pindah sekolah karena suatu kejadian memalukan akibat membocorkan aib sahabatnya sendiri. Kau tahu? Hukum alam. Bukannya malah dapat dukungan, justru ia yang dihujat habis-habisan. Di cap tidak dapat menjaga privasi orang lain, tak lagi dapat dipercaya, lalu seisi sekolah berusaha menjauhinya.

Apa yang terjadi dengan si pengkhianat? Tentu bernasib sama. Sepertinya, melakukan pelarian merupakan jalan pintas terakhir jika seseorang tengah terpojok dalam suatu keadaan di mana membuat dirinya merasa bersalah.

Mungkin terdengar seperti cinta monyet. Natha mulai menyebut si gadis ialah seorang pengkhianat saat beberapa bulan yang lalu, pada acara ulang tahun sekolah, gadis itu menerima pernyataan cinta dari kekasihnya. Ralat—mantan kekasihnya.

Namun gadis itu memutuskan untuk melupakan perihal mengapa ia sekarang bejalan sendirian tanpa teman. Mungkin, satu-satunya teman bagi Natha sekarang hanya pantulan bayangannya sendiri. Meski ia tahu, pada akhirnya, bayangan sekalipun akan pergi saat ia berada dalam gelap.

Kakinya melangkah menuju halte bus sekolah. Menunggu bus terakhir yang mau berhenti dan rela mengangkut manusia seperti dirinya. Tentu saja, seperti dirinya.

Ia yang tak ubahnya hanya seperti gelas kaca rapuh dan mudah hancur kapan saja.

Bus terakhir yang ditunggu akhirnya tiba juga. Dengan segera Natha menaikinya, memilih kursi paling belakang untuk duduk dan sekadar tenggelam dalam pikiran yang begitu fana.

Aletta Nathasya. Tujuh belas tahun. Hanyalah seorang pendosa yang hebat, meski masih memiliki mimpi agar kelak mampu berbahagia. Banyak orang bilang, jangan hanya hidup dalam mimpi, namun hidupkanlah mimpi itu. Sayangnya, Natha ragu untuk mempercayai hal itu.

Tentu saja ragu. Natha bukanlah sosok berpestasi kebanggaan sekolah. Bukan pula manusia yang mampu tersenyum setiap saat. Bukan insan yang mampu menyelesaikan seluruh masalahnya. Bukan pula gadis idaman setiap pria; berpendidikan, berwawasan luas, memiliki sifat dan sikap yang tertata, dan tentu saja suci.

Tidak, Natha tidak memiliki seluruh kriteria tadi. Mungkin ia bisa membuat orang lain bahagia. Setidaknya, walaupun Natha sendiri tak sedang dalam mode bahagia, ia masih mampu membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum. Mungkin, hanya itu kelebihannya.

Bulan ini, Bunda tengah ditugaskan bekerja ke luar kota dari kantornya. Ayah? Natha sudah tak memiliki sosok seorang Ayah dalam hidupnya. Cinta pertama dalam hidupnya, kini sudah pergi. Cinta pertama yang ia lihat saat pertama kali dirinya hadir ke dunia. Cinta pertama yang suaranya di dengar dengan jelas oleh indra pendengaran bayi itu tujuh belas tahun yang lalu. Cinta pertama yang sangat berpengaruh dalam hal melindungi serta menjadi panutan terbaik dalam hidupnya. Cinta pertama yang bahkan lebih ia sayangi dibandingkan Bunda dahulu. Cinta itu telah pergi. Menyisakan lakuna dalam relung hatinya.

***

Beberapa tahun yang lalu ....

Pecahan kaca berserakan di atas lantai ruang tamu. Sofa di sana juga terlihat hancur, terdapat sobekan di sekitarnya. Suara nyaring Bunda terdengar melengking, memecah kesunyian bahkan saat bulan masih senantiasa bersinar redup di angkasa.

Seorang gadis dua belas tahun duduk meringkuk ketakutan di dalam kamar, mendengarkan sayup-sayup perdebatan antara dua orang dewasa dengan tubuh bergetar ketakutan. Udara malam itu menjejas rasa dingin di tiap jengkal kulit Natha. Sesekali dirinya masih terisak karena mendengarkan keributan yang tak pernah berujung.

Natha benci keadaan seperti ini.

Sialnya, selalu saja terulang kembali.

Temaram sang ratu malam terbias kaca jendela kamar merah muda manis miliknya, namun, hal tersebut tak juga menarik perhatian gadis muda ini.

Kedua bola matanya hanya menatap kosong. Hazelnya tampak kesepian. Macam tak bernyali, hatinya nelangsa, hidupnya terasa hampa.

Bahkan untuk mendapat perhatian dari kedua orang tuanya saja rasanya sungguh sulit.

Karena sebenarnya, dibalik sifat ceria dan aktif si cantik yang satu ini, Natha sendirian. Ingin sesekali melihat teh panas pada pagi hari tersaji di atas meja makan, dengan dua orang kesayangannya yang tengah berbincang sembari tertawa lebar. Ingin sekali melipur lara pada yang jauh lebih tua, menceritakan kisah hariannya tentang sekolah atau sekedar jatuh cinta. Ingin sekali di dengar, dan merasakan kehangatan di tengah-tengah kesibukan keduanya.

Ingin melihat keduanya beranjak tua dengan dirinya di samping mereka, menemani cerita renta dengan bahagia terlukis nyata pada wajah keduanya. Ingin memeluk mereka, tanpa bisa lagi terpisah.

Tapi ekspetasi tak akan pernah menjadi realita.

Karena nyatanya, hal terakhir yang Natha lihat begitu ia melangkah keluar kamar adalah, Bunda tengah jatuh berlutut, memandangi pintu rumah yang terbuka lebar. Melepaskan kepergian Ayah entah kemana.

Berakhir dengan keduanya yang larut dalam tangis tanpa bisa lagi saling menguatkan.

***

"Nath, kok di sini? Bukannya hari ini gak ada bagian kamu?"

Suara seorang wanita dari arah belakang menginterupsi kegiatan Natha malam itu. Ia tengah termenung dengan kepala bersandar pada meja bar. Mengedar pandang ke seluruh penjuru ruangan dengan lampu merah menyala bercampur dentuman musik yang mengudara. Sesekali memperhatikan beberapa insan manusia melepas penat mereka dengan mencari muara hasrat. Lalu menyerahkan beberapa lembar rupiah ketika nafsu mereka sudah terpenuhi. Dengan mudahnya melenggang pergi mencari pengganti atau sekadar memuaskan diri dengan meminum sebotol alkohol.

Natha? Tentunya sudah terbiasa dengan keadaan seperti sekarang ini.

"Kak? Oh, enggak, bukan mau nari. Lagi mikir aja gimana bagi waktu biar aku bisa tetep kerja di sini pas lagi ujian."

Wanita tadi mendudukan diri di kursi sebelah Natha, mengusap lembut rambut dara muda itu. "Hey, jangan mikirin kerjaan dulu. Pikirin sekolah kamu. Kalo lulus, nilainya bagus, kamu bisa kuliah dan dapet kerja yang lebih baik dari ini, ngerti?"

"Enggak mau kuliah." Sontak, jawaban tersebut membuat wanita di hadapannya terkejut.

"Kenapa? Harus kuliah dong, masa mau kayak gini terus? Kayak Kakak, gitu?"

Natha mengangguk. "Enggak juga. Aku sendiri gak ngerti mau ku apa, Kak Ti."

"Natha, denger. Kamu ini masih muda. Perjalanan kamu masih panjang, tau? Gak seharusnya loh kamu ada di tempat kayak gini. Gak pantes buat kamu, sayang. Kamu itu pinter, kamu rajin, sayang kalo harus terjebak di sini."

Natha menggeleng. "Aku juga gak ngerti kenapa bisa mikir kerja di sini. Mungkin karena waktu itu aku butuh uang? Atau karena emang aku ngerasa udah gak berguna?"

Mengenai pekerjaan Natha saat ini, mungkin kau tahu kegiatan yang biasa dilakukan para wanita malam di lantai dansa bar. Seperti itu. Menjadi penari striptease, memperlihatkan penampilan eksplisit yang tak senonoh, menjatuhnya harga dirinya serendah mungkin di depan para pengusaha hingga tokoh terkenal. Mungkin memang hanya itu, hanya menari pekerjaannya. Tak lebih, karena menurut si pemilik bar, usia Natha masih terlalu muda untuk benar-benar menjadi boneka yang rusak.

"Natha, Bunda kemana?"

Mendengar nama sang malaikat tanpa sayap disebut-sebut, Natha menoleh. Tersenyum manis, entah apa maksudnya. Natha terlalu transparan untuk di tebak. "Bunda kerja ke Bandung, sebulan."

Tiara—wanita berusia dua puluh tiga tahun di hadapannya mengangguk. "Pulang, ya? Belajar, besok masih hari Rabu, lho."

"Kak aku mau tanya dulu, boleh?"

Tiara tersenyum menanggapi adik kecilnya itu. "Tanya apa?"

"Kenapa Kak Tiara baik banget sama aku? I mean, sejak aku masuk sini, cuma Kak Ti satu-satunya yang ngajarin aku hal-hal baik. Kalo yang lain nyuruh aku dandan semaksimal mungkin supaya menarik, ngajarin aku nari biar lebih menggugah selera, cuma Kak Ti yang selalu nyuruh aku pulang dan ngelarang aku ini itu di sini."

Tiara hanya tersenyum sendu. Matanya menatap langit-langit dalam ruangan. Di mana lukisan Dewa Eros dan Aphrodite terpampang. Bar ini mengusung tema surga dengan cahaya warna-warni mencolok di sekitarnya. Menurut si pemilik bar, surga yang sebenarnya adalah saat siapapun bisa dengan bebas melepaskan hasrat tanpa takut dosa. Gila? Memang. Konsep ruangan teraneh yang pernah Natha temui.

"Kamu tau, Kakak di sini bukan kemauan sendiri, kan? Makanya, kakak sedih liat kamu dengan mudah menawarkan diri kerja di sini. Meskipun mungkin masih batas wajar bagi Kakak, karena usia kamu juga belum dewasa, Nath. Tapi, anak-anak kayak kamu harusnya sibuk sama jatuh cinta, bahagia, cari kawan banyak-banyak, jalan kesana-kemari, foto-foto, berkarya, berprestasi. Bukannya di sini." Tiara terperangkap di tempat seperti ini karena ulah ayahnya. Entah apa yang ada di pikiran beliau, menjual anak tirinya ketika sang ibu telah tiada demi mendapatkan lembaran rupiah.

"Aku mau bahagia, Kak. Tapi aku enggak punya alesan untuk bisa jadi manusia yang bahagia."

"Bisa, Natha. Cuma belum ketemu. Kakak cuma minta, banyakin ikut organisasi di sekolah. Pulang malem atau pagi karena ngurus acara sekolah, bukan karena kerja di sini. Pasti bakal dapet temen, pasti bakal bahagia. Bonusnya, kamu bisa juga jatuh cinta. Hehe," ujar Tiara sembari mencolek dagu gadis itu. Tertawa usil, karena merasa gemas dengan remaja labil seperti Natha.

Natha tersenyum. "Jatuh cinta? Basi kali, kak. Kalo ayah cinta sama bunda juga dia gak bakal ninggalin bunda. Atau, kalo ayah cinta sama Natha, Natha gak bakal ditinggalin sendiri."

Rautnya berubah sedih. Rasanya sudah terlanjur sulit untuk menangis. Tak ada setitik pun air mata yang ke luar dari kelopak matanya, hatinya sudah terlalu beku ketika mengingat kejadian tempo hari. Begitu menyakitkan hingga membuatnya mati rasa.

"Dengerin lagi. Manusia itu pasti punya kesalahan. Kakak yakin, ayah kamu gak sepenuhnya berniat ninggalin kalian. Mungkin di satu sisi dia juga ngerasa bersalah? Kamu enggak akan pernah tau karena cuma dia pemilik hatinya sendiri. Tapi terlalu malu dan tau kesalahannya fatal, makanya ayah gak balik."

Natha mengangguk. Sebenarnya, ucapan Tiara tadi tak ada salahnya juga. Siapa tahu kalau ternyata sang ayah memang benar-benar sudah sadar akan kesalahannya dulu? Namun terlalu segan untuk kembali dan meminta maaf.

"Pulang, ya? Istirahat aja, deh. Biar besok fit lagi."

Natha mengangguk cepat. Memeluk tubuh Tiara secara tiba-tiba. Membuat Tiara sedikit terkejut dengan pergerakan Natha tadi. Tapi tetap saja, wanita itu kembali mendekap si kecil dengan sangat erat. Tiara terlalu menyayangi Natha seperti seorang adik. Adik kecilnya, adik yang ia sayangi lebih dari apapun.

Kau tahu? Tak selamanya yang tampak buruk itu benar-benar buruk. Masih ada mawar putih yang mampu tumbuh di tepi jurang. Masih ada manusia-manusia dengan hati mulia di tempat paling hina sekalipun. Sayangnya, hanya tak kasat mata. Terbalut pekat sang hitam, pandangan buruk orang-orang terhadap tempat seperti itu. Tempat di mana Natha dan Tiara belajar untuk bertahan hidup.

***

Aku bingung :(

Sini-sini, terima krisar sini!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro