PROLOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senyuman kecil terukir di bibir seorang gadis manis pagi itu. Ia tampak sibuk menggoreskan lembaran putih di hadapannya dengan sebuah tinta hitam. Sesekali gerakan lincahnya terhenti, memori mengenai istilah-istilah ilmiah dari para penemu dunia yang dibacanya hanya dengan satu malam masih melekat kuat dalam nalarnya. Natha sangat yakin ia akan mendapat nilai sempurna untuk tes kali ini.

Meskipun tadi pagi dirinya datang dengan terengah karena terlambat beberapa menit dari waktu masuk kelas yang seharusnya, hal itu tak menyurutkan niat dalam diri Natha untuk tetap mengerjakan soal dengan fokus dan tidak terburu-buru. Menghafal banyak kalimat latin dalam satu malam itu tidak mudah, terlebih lagi waktu tidurnya harus tersita banyak hanya karena digunakan untuk mempelajari bab baru kali ini.

Walaupun hanya ulangan harian dan bukan benar-benar ujian akhir semester, Natha berusaha serius dengan nilainya sendiri. Ia selalu bersungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Terdengar ambisius memang, namun kenyataannya seperti itu. Sejak kejadian beberapa tahun lalu, Natha merasa ingin membahagiakan malaikat tanpa sayap dalam hidupnya.

Semangat serta keseriusannya dalam mengemban banyak wawasan dan pengetahuan menjadikan seorang Natha tampak memiliki kualitas tinggi di mata para guru dan murid. Membuatnya selalu menjadi kebanggaan selain karena sifatnya yang sungguhan ramah.

Tanpa mereka tahu, sekelumit kisah hidup menyedihkan yang telah menimpanya.

Mendadak nalarnya berhenti, pikirannya terpaku pada satu titik. Membuat fokusnya teralih bukan lagi pada kertas dan pena, namun pada liku hidup yang membuatnya kembali jatuh untuk kesekian kalinya.

Sekarang Natha tahu, dirinya tak akan pernah bisa lagi mendapatkan kehangatan selama jantungnya masih berdetak.

Natha tahu, pada akhirnya ia hanya akan berakhir sebagai pecundang yang tak akan pernah bisa kembali berharga.

Ia sangat sadar, sang bunda hanya akan mementingkan kebutuhan material untuknya tanpa bisa lagi mendengarkan keluh kesahnya. Pun mengerti tentang hari buruk dan kelam hidup permata hatinya. Beliau tidak tahu, dan tak akan pernah tahu.

Yang tersisa hanyalah hitam dengan warna pekatnya. Membuat pikirannya kembali jatuh dalam gelap yang membelenggu, kesakitan yang menghunjam dengan amat mengerikan. Tak berujung, pun juga tak bertepi. Membuat dirinya nelangsa di bawah cakrawala angkasa, berteman sepi dalam kedinginan. Percuma untuk berseru dalam hening karena yang keluar hanyalah tangisan. Terombang-ambing dalam candramawa tanpa tahu arti warna.

Namun tidak lagi, semenjak seorang pemuda hadir dalam hidupnya.

"Arjuna Jeremy, terlambat satu jam empat puluh menit."

Baru saja seorang pemuda melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas secara diam-diam, guru laki-laki dengan perawakan pendek dan tubuh sedikit gemuk menyadari kehadirannya.

Atensi satu kelas langsung beralih ke arah pemuda dengan seragam berantakan dan dasi yang hanya menyampir di bahu. Rambut oranye pucat yang menjuntai membuat kesan liar dalam dirinya, celana tanpa ikat pinggang dengan ukuran sangat pas membalut kaki, tipikal anak sekolah era milenial. Berlagak nakal padahal masih terlalu muda. Rahang bagian kanannya tampak lebam, nyaris menghitam. Sementara lengan kirinya terbalut perban yang entah setebal apa.

"Maaf ya, Pak. Saya tadi ketinggalan angkutan umum, soalnya motor saya mogok di tengah jalan," ujarnya sembari menyunggingkan senyum meskipun ia tahu guru itu tak akan melihat senyumnya. Jelas, karena posisinya yang menghadap papan tulis. Ia sendiri heran, mencari jawaban mengapa guru itu bisa menyadari kehadirannya.

Beberapa detik kelas terasa hening, sebelum guru paruh baya di depan papan tulis membalikkan tubuhnya, menghadap anak laki-laki itu.

"Jadi, motornya mogok atau ketinggalan angkutan umum?"

Seorang Jere mendadak terdiam. Jujur saja, dirinya sendiri pun bingung akan ucapannya tadi. Alibi karangannya barusan ternyata tidak mampu menipu guru yang satu ini.

"A—anu, hehe ... kesiangan, Pak."

"Ambil soal kerjakan di luar!" Guru biologi tadi mengambil penghapus papan tulis, menunjukkan gerakan isyarat untuk melayangkan benda di tangannya ke arah pemuda itu.

"I—iya saya keluar ... jangan timpuk-timpuk, Pak. Serem!"

Bertepatan dengan pintu kelas yang menutup, penghapus tersebut jatuh ke lantai setelah berbenturan dengan gagang pintu.

Natha tersenyum kecil. Ia baru sadar, masih ada satu orang yang mampu mengisi lakuna dalam hidupnya. Ruang kosong yang telah lama tak dihuni siapapun.

Natha dan Jere adalah dua yang tak bisa dipisahkan. Pernah baca teori tentang satu bintang yang selalu ada di sisi bulan pada langit malam? Begitulah mereka. Jika Jere adalah bulannya, maka Natha ialah sang bintang. Keduanya menjadi satu yang beriringan, menyorotkan cahaya setengah redup untuk kehidupan muka bumi.

Hingga akhirnya, salah satu dari mereka menawarkan perjanjian manis dalam sebuah ikatan sekedar kasih sayang.

Seharusnya Natha tahu, saat hubungan keduanya bermetamorfosa menjadi sejoli, bukan lagi sahabat, akan ada yang berubah di sana.

Dua pribadi yang jelas-jelas berbeda. Natha dengan sifat ambisius dan kelewat ceria sementara Jere yang tak pernah memperhatikan lebih dalam keadaan sekitar. Memilih untuk menikmati dunianya sendiri sebelum akhirnya suatu kejadian memaksa Jere agar lebih peka dengan keadaan.

Saat di mana dirinya dinobatkan menjadi presiden siswa—entah apa motivasi kepala sekolah saat itu—membuat Jere harus terikat aturan sekolah.

Saat itu pula pribadi Jere berubah seratus delapan puluh derajat.

Lebih tegas, juga lebih dikenal seantero sekolah. Manusia kupu-kupu yang sebenarnya. Menjadi singa yang menakutkan saat jam belajar mengajar belangsung, namun mampu bertransformasi dalam bentuk kucing biasa dengan kelihaiannya mencari kawan. Semua orang menyukai Jere.

Kecuali Natha.

Natha semestinya tahu diri siapa dia. Pantaskah ia bersanding dengan seorang presiden siswa sekolah sementara dirinya hanya seonggok murid biasa yang jauh dari kata sempurna?

Belum lagi saat kata perpisahan dilayangkan untuknya.

Natha merasa dunianya luruh begitu saja. Kehilangan Jere sebagai sosok rumah. Karena bagaimanapun mereka berawal dari sahabat, dan tak semestinya berakhir buruk.

Seharusnya, Natha tidak pernah menerima tawaran manis untuk menjadi satu yang akan terus bersama dari pemuda itu beberapa bulan lalu.

Karena hal itu hanya membuatnya kehilangan arah pulang, serta tempat bersandar yang sesungguhnya.

Bahkan sebelum Jere tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dalam hidup Natha selama ini.

Begitupun sebaliknya.

Dalam hidup manusia, hitam dan putih adalah warna mutlak. Mungkin ada yang hidupnya dominan dengan pekat sang hitam, atau malah cerah warna putih. Tak semua serba seimbang.

Seperti hidup keduanya. Trauma masa lalu membuat kelam hitam menyelimuti setiap pemikiran yang terlintas. Setiap perasaan yang pernah singgah, hingga berakibat fatal pada kehidupan nyata mereka.

Apakah keduanya mampu kembali menjadi satu yang tak akan pernah berakhir?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro