10 - PONAEI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

It hurts like hell

- LAKUNA -

Suara elektrokardiograf terdengar nyaring memecah kesunyian, menggaung di dalam satu ruangan yang hanya berisikan empat orang. Tante Rina, Natha, Jere, dan Gema. Ketiga manusia yang masih sepenuhnya sadar tengah menunggui orang yang paling mereka sayang membuka mata. Orang yang paling mereka cinta, orang yang kehadirannya selalu ditunggu.

"Udah empat hari." Natha terduduk lemas di sebelah ranjang Jere. Masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Gadis itu bisa mendadak gila kalau melihat keadaan Jere sebelum benar-benar bersih. Darah dimana-mana, lebam kehitaman serta merah pekat tak henti mengalir dari dalam mulut Jere malam itu. Motor kesayangannya rusak, tubuhnya rusak.

Tante Rina berusaha menguatkan si gadis akan apa yang tengah di hadapinya saat ini.

Setelah kejadian malam itu, esok paginya seorang pengemudi menemukan Jere di pinggir jalan. Dengan keadaan sudah tak sadarkan diri. Akhirnya, ia berinisiatif untuk menelepon rumah sakit terdekat dan melarikannya ke sana. Sungguh baik hati.

Namun sungguh disayangkan, hingga detik ini, Jere tak sekalipun membuka matanya.

"Jer, bangun dong. Gue udah berhenti ini."

Kalau dilihat-lihat, kondisinya cukup parah. Patah kaki sebelah kiri dengan keretakan tulang bahu. Lalu rahang pemuda itu sedikit bergeser karena hantaman bertubi-tubi yang mengenai rahangnya. Lantas beberapa lebam kehitaman di tubuh dan goresan luka di bagian kepala.

Melihatnya saja Natha sudah meringis. Apa lagi membayangkanya. Tak bisa diperkirakan bagaimana sakitnya Jere beberapa hari lalu.

"Nat, katanya orang yang nemuin Jere, ada ini di deket dia."

Gema datang, menyerahkan selembar kertas kecil yang ternyata merupakan kartu nama ke hadapan Natha. Gadis itu lalu meraih kartu tersebut, lantas matanya bergulir untuk membaca beberapa kata yang tertera di sana.

Setelahnya, emosi si gadis memuncak setengah mati setelah mengetahui siapa pelaku kekerasan yang menimpa sahabatnya.

Baskara Pradipta

Manager of Honey Bar & Club

0821213xxxxx

***

"Dini hari tadi, penggrebekan terjadi di sebuah klub malam di pusat kota. Pemilik klub yang ternyata juga merupakan seorang pelaku kekerasan ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara lima belas tahun dan tiga bulan. Terduga juga ternyata—"

"Udah ditangkep, Gem," ujar Natha lesu sembari menaruh remot televisi asal setelah mematikannya.

Percuma juga, meskipun pihak Jere sudah melaporkan hal ini kepada yang berwajib, hal ini tak akan membuat Jere bangun dari tidur panjangnya.

Sudah terhitung satu bulan sejak Jere ditemukan tak sadarkan diri. Banyak sekali ujian-ujian di sekolah yang ia lewati beberapa pekan ini.

Sementara Natha semakin kehilangan kepercayannya terhadap Jere. Kepercayaan jika suatu hari nanti Jere akan sembuh dan membuka mata.

Apa yang terjadi jika alat penunjang hidup pemuda itu di cabut? Apa kah Jere akan kembali sadar dari tidurnya, atau malah benar-benar tertidur untuk selamanya?

"Nath, cabut dulu ya? Kelas gue mau ujian bio besok. Lo udah?"

"Udah, kemaren. Mau soal?"

Ya, namanya juga anak sekolah.

Masih ada kesempatan di tengah kesempitan.

Gema tersenyum lebar menanggapi tawaran dari gadis itu, ditanggapi oleh acungan jempol dari Natha. "Nanti gue kirim di chat."

"Siap, thanks nyonya!"

"Gue masih muda!"

Gema keluar dari ruangan sambil setengah berlari. Sementara Natha memutuskan untuk tidak pulang, lagi. Sembari menunggu Tante Rina datang, Natha berjalan ke arah jendela besar di dalam ruangan itu.

Pukul sembilan malam, dan dia sendirian.

Yang ia lakukan selanjutnya hanya menyibak tirai putih yang menghalangi pemandangan ke luar jendela.

Lalu yang dilihat gadis itu setelahnya mampu membuatnya takjub. Ribuan kerlip lampu gedung menghiasi pemandangannya malam itu.

"Kalo di pikir-pikir, gue nggak pernah bisa benci sama Jere. Sampai saat ini, kayanya gue masih suka?"

Setelah menyadari apa yang dikatakannya barusan, buru-buru Natha menggelengkan kepalanya. Menghapus seluruh imajinasi yang ia anggap tak mungkin.

Bagaimanapun, tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar. Waktu untuk saling mengenal, mencintai, hingga melupakan.

Terlalu sulit jika dikenang. Di tambah lagi kenyataan bahwa ternyata Jere sendiri masih menyimpan rapat-rapat perasaan untuknya selama ini.

Jika memang semesta harus mengambil satu di antara keduanya, bagaimana?

"Kalo sampe Jere bener-bener pergi, gimana?"

Pikirannya mengawang ke udara. Tentang bagaimana nikmatnya es krim coklat bertabur kacang di sore hari. Rasanya duduk di rumput dekat karavan sembari menikmati malam penuh bintang dari atas gunung. Bermain dengan kunang-kunang serta membuat api unggun di penghujung malam. Manisnya rasa roti bertabur selai stroberi ketika di makan berdua.

Terlalu cinta, hingga lupa tak ada yang selamanya.

"Gue bakal bener-bener berterima kasih kalo sampe Jere bisa kuat buat bangun."

"Jere yang gue kenal nggak selemah itu, kok."

"Jere pinter berantem. Masa bertengkar demi hidupnya aja nggak bisa?"

Sakitnya ketika melihat tubuh Jere terbujur lemah di atas ranjang rumah sakit seperti terkena kobaran api di dalam dadanya. Bahkan, pertama kali Natha melihat kondisi Jere, suaranya tercekat di tenggorokan. Tak bisa keluar dengan lantang. Justru hanya air mata yang mengalir deras.

"Gue janji bakal sekolah yang bener kalo Jere bangun. Janji nggak main malem-malem lagi. Janji buat nggak berpura-pura lagi."

Belum sempat melanjutkan ucapannya, keritan ranjang membuyarkan renungan Natha malam itu. Si gadis membalikkan tubuh dan mendapati Jere tengah berusaha membuka mata. Jemarinya bergerak sedikit demi sedikit, cukup membuat Natha terkejut sekaligus bahagia.

Maka dengan segera Natha menghampiri pemuda itu. Mengecek kondisinya, baru lah memencet bel khusus perawat yang berada di dekat ranjang Jere.

"Jer, diem dulu, bentar, jangan banyak gerak."

"Jer, lo bangun?"

"Jere, bisa buka matanya?"

Samar, pemuda itu tersenyum. Benar-benar tampak samar, nyaris tak terlihat.

"Sebentar, ya. Nanti suster sama dokternya dateng. Bentar."

Berusaha mengajak Jere berbicara agar pemuda itu terus terjaga. Ingin menangis rasanya saat mengetahui bahwa ia adalah orang pertama yang Jere lihat setelah tidur panjangnya.

Hingga tak lama, beberapa orang dengan pakaian putih dan alat-alat kedokteran tiba di kamar Jere. Natha berusaha menyingkir, memberi ruang untuk dokter dan para perawat memeriksa keadaan Jere.

Ternyata, malam ini semesta masih berbaik hati.

***

Hadeuh, rumit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro