9 - MOONLIGHT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Both you and I, are victims

-LAKUNA-

"Iya, di sini rumah kedua gue."

Jere memperhatikan sekeliling. Dentuman musik yang terdengar sangat keras hingga para manusia yang sibuk menari di lantai dansa. Asap rokok elektrik seperti biasa serta aroma alkohol yang menyeruak.

"Sejak kapan?" tanyanya lirih.

Natha bahkan tak berani menatap obsidian pemuda itu sedikit pun. Rasanya seperti di interogasi secara tidak lagsung. Niat bercerita namun malah berakhir dengan ketegangan di antara keduanya. Sial, Natha tak akan mengira mereka akan berakhir seperti ini. Duduk berhadapan dengan Jere yang menatapnya penuh dengan sorot kecewa sekaligus heran.

"Dua tahun?"

Jere tampak mengusap wajahnya kasar, kembali mengedar pandang ke sekeliling, lalu berhenti tepat di wajah Natha, lagi.

"Denger gue, both you, and I, are victims. Korban, korban dari masa lalu kita. Kita nggak bisa nyalahin keadaan, kita nggak bisa milih mau di mana kita lahir, dengan siapa kita akan bertemu, dan bersama siapa kita mati nanti. Yang bisa lo dan gue lakuin cuma berhenti. Berhenti untuk terus jahat sama diri sendiri. Gue mulai berhenti sejak kepsek nyuruh gue jadi presiden siswa, gue mulai sadar kalo apa yang gue lakuin selama ini salah."

"Lo ngapain?"

"Setelah batal masuk sel, gue balap. Balap liar. Gue mabok, nyaris narkoba. Gue minum, hampir tiap malem. Gue cutting, sampe rasanya mau mati." Sepersekian detik kemudian, kedua mata Natha membola terkejut. Tak menyangka bahwa manusia yang tampak kuat seperti Jere menyimpan masa lalu yang cukup kelam dan menyakitkan ketika di kenang.

"Lo nggak pernah cerita ke gue soal itu." Jawabnya mutlak.

Jere terkekeh kecil sebelum kemudian mengambil sekeping cheetos yang dipesannya tadi. Satu-satunya camilan paling aman yang dijual di bar itu. "Karena gue nggak mau ngerepotin lo. Gue bahkan nggak tau lo juga punya masa lalu yang buruk. Sebelas dua belas sama gue."

"Jadi tolong, berhenti, ya? Berhenti untuk diri lo sendiri." Jere menjatuhkan tatapnya yang dalam tepat ke dalam hazel milik si gadis. Matanya benar-benar menyiratkan harapan, memohon untuk Natha agar berhenti dari kegiatannya yang seperti ini.

Natha tampak berpikir. Namun belum sempat ia menjawab, seorang pria dewasa datang menghampiri mereka berdua. Tampak berwibawa, namun tidak seperti orang baik-baik.

"Oh, Natha. Kamu, di sini juga?"

Sontak keduanya menoleh, mendapati pria itu dengan setelan kemeja biru langit dengan kerah yang terbuka serta celana bahan berwarna putih. Sesaat, Natha tampak gugup. Lalu terpaksa melontarkan senyum manisnya ke arah pria itu sembari mengangguk.

"Bagus dong, lagi free? Tumben bajunya ... kok gini. Hahah," ujarnya sembari sedikit menyindir sweater putih serta celana kulot hitam yang dikenakan Natha. Terlalu tertutup untuk pergi ke tempat seperti ini.

Sekali lagi, Natha mengangguk.

Pria itu mengangguk sembari mengangkat kedua alisnya. Paham yang dibuat-buat. Lantas dengan tak senonoh merangkul Natha sembari menyodorkan gelas minumnya. "Yuk? Oh atau, kamu udah open booking sek—"

BUGH!

Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, kepalan tangan Jere mendarat keras tepat di rahang bawah si pria. Membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. Bukan hanya sekali, namun setelahnya Jere terus menerus menghantam tubuh pria itu dengan tangan kosong. Terlalu emosi mendengar sahabatnya yang masih ia cintai diperlakukan seperti wanita murahan di hadapannya.

"Kalau anda pria baik-baik, anda tahu perilaku anda barusan tak lebih dari pada hewan?"

Satu pukulan lagi mendarat ke perut si pria tadi. Membuat suasana riuh bar akibat dentuman musik beralih menjadi keributan. Mereka bertiga menjadi pusat perhatian orang-orang di sana. Termasuk Tiara, satu-satunya wanita penghuni bar yang paling dekat dengan Natha.

Baku hantam pun tak terelakkan, Jere mendapat memar di tulang pipi bagian kiri serta rahang kanannya, namun hal itu masih belum sebanding dengan si pria yang babak belur di tangannya sendiri.

"Jer udah, Jer, berhenti anjir jangan gila ini di liatin orang-orang."

Seperti sihir, Jere langsung menghentikan aksinya. Lalu melempar jatuh tubuh pria dewasa yang tadinya sudah berada di dalam genggamannya.

"Pengecut."

Setelahnya, Jere menarik paksa Natha untuk keluar dari bar, mengajaknya untuk segera pergi menuju suatu tempat.

"Jer bentar, mau kemana?"

"Ikut gue."

"Kemana?"

Buru-buru, Jere segera menaiki motor kesayangannya bersama dengan Natha di belakang.

Keluar dari kawasan bar sebelum petugas berwajib ikut turun tangan meskipun hanya sekadar menginterogasi. Terlalu maklum, karena sudah sering ada pertengkaran yang terjadi di sana. Mabuk, alasannya. Jadi, sudah tak mengherankan lagi jika beberapa orang berkelahi tanpa ada yang melerai atau menegakkan hukum di antara mereka. Nanti juga berhenti sendiri, begitu pikir para petugas berwajib yang menjaga bar.

Di tengah perjalanan, Jere meringis pelan merasakan luka di wajahnya. Natha yang mendengar berupaya melihat wajah sahabatnya yang sedikit tertutup helm dari kaca spion. "Sakit banget, ya?"

Jere tak menjawab.

"Jer, ke rumah gue deh. Obatin."

"Berhenti kerja di situ."

"Maksud lo?"

"Lo berhenti kerja di situ."

Natha menarik napas dalam.

"Susah, Jer."

"Kenapa?"

Suara keduanya terbawa angin, sesekali harus berteriak agar satu sama lain dapat menangkap pembicaraan dengan jelas.

"Gue nggak tau nyari uang dari mana lagi, yang menjamin dan banyak."

"Untuk apa?"

"Nyokap gue emang gila kerja. Tapi bahkan sekeras apa pun beliau banting tulang, untuk beli buku khusus UN sekolah aja masih harus ngutang. Gue berusaha bantuin nyokap supaya dia nggak perlu ngeluarin banyak buat gue."

Jere terdengar menghela napas kasar. Lalu dengan tiba-tiba menghentikan motornya di pinggir jalan.

"Jer lo mau ng—"

"Berhenti dari sana, sekolah yang bener. Gunanya gue di sini, di depan mata lo, buat bantuin lo. Jangan hidup kayak gini terus."

"Gue nggak mau ngemis dari orang lain, Jer."

"Nath, gue mau jadi sahabat lo. Gue bantu lo suka rela. Jangan tinggi hati kalo emang butuh. Dari pada lo harus hadapin orang kayak tadi setiap hari, tanpa gue, terus rela ngumbar tubuh terus-terusan depan orang lain. Mending lo diem, di rumah, gue yang bakal bantu lo buat semuanya."

Natha tersenyum kecil. "Bukan itu masalahnya, gue nggak yakin bakal sanggup ganti semua kebaikan lo nanti. Gue nggak mau ngerepotin lo sepeser pun."

"Gue nggak ngerasa di repotin. Sekali lagi, gue di sini. Bantuin lo, atas kemauan hati gue sendiri. Salah gue udah ninggalin lo waktu itu, salah padahal kita belum sedekat itu, belum terlampau tau segala hal tentang satu sama lain sampai sedalam ini. Waktu yang salah, takdir bikin kita ketemu di waktu yang nggak tepat."

Jere tampak kembali menarik napas panjang, tatapannya berubah lembut. Matanya sayu, sorotnya menjadi halus ketika menatap gadis itu.

"Gue masih ada rasa sama lo. T-tapi, bentar, tapi gue bisa jadi temen lo lagi juga udah bersyukur. Gue nggak nuntut banyak, nggak minta kita harus balik lagi. Gue bersyukur pernah jatuh cinta sama lo, bersyukur udah ngelakuin banyak hal sama lo."

"Kenapa bisa?"

"Bisa lah. Lo kan emang denial. Lama-lama gue terbiasa ngagumin lo di balik layar. Enak gitu, nggak banyak nuntut, nggak banyak sakit hati karena tau posisi. Bukan pengecut, tapi penikmat. Cinta itu nggak harus tentang di bales, gue diem gini juga bisa dibilang jatuh cinta."

"Idih itu mah lo nya aja bebal."

"Serius. Pengennya lindungin lo terus, biarpun kita bukan siapa-siapa. Nggak apa-apa."

Natha diam. Benar-benar tak tahu harus membalas apa. Lantas Jere tertawa keras. Melihat ekspresi Natha yang tampak bingung menanggapi ujarannya barusan.

"Udah, jangan anggep serius, gue tiba-tiba kepikiran cara lo bales budi gue nanti."

"Gimana?"

"Bantuin kakak sembuh, bantu gue buat bisa berdiri sendiri kayak dulu. Gue masih butuh di bimbing."

Di bawah cahaya bulan purnama sempurna malam itu, Natha tersenyum. Samar, ekspresinya terbias oleh sinar redup sang rembulan.

"Nanti gue pikir dulu."

Kemudian lelaki di hadapannya tersenyum kecil, kembali menaiki kendaraan yang sedari tadi terpatri di sampingnya. Dengan Natha yang juga kembali memposisikan diri di belakangnya.

***

I still love you, always

Semilir angin malam terasa begitu dingin ketika menjejas kulit. Membuat seorang pemuda delapan belas tahun melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Menembus kabut pekat yang menandakan sebentar lagi akan turun hujan.

Jere masih saja berharap bahwa Natha akan menurutinya untuk keluar dari tempat terlarang itu. Di pikirannya, masih terngiang perlakuan buruk seorang pengunjung bar terhadap gadis yang masih dicintainya hingga detik ini. Usai mengantar Natha pulang ke rumahnya dengan selamat, Jere berencana untuk pergi menginap di tempat Gema. Maka ia berbalik arah menuju utara mengikuti instingnya supaya tidak tersasar di malam yang selarut ini.

"Shit." Tanpa sadar mengumpat kasar sembari memukul tangki motornya. Terlampau emosi karena kejadian tadi.

Jere masih tak habis pikir, pria mana yang tega memperlakukan wanita seperti itu.

Karena masih terlarut dalam pikirannya, tanpa sadar, dari arah berlawanan, sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju dengan kecepatan yang tak kalah tingginya.

Suara benturan terdengar sangat keras, mobil itu melawan arus sebelum akhirnya menabrak motor yang tengah di kendarai Jere. Pemuda itu jatuh terpelanting ke trotoar jalanan dengan helm yang lepas begitu saja dari kepalanya. Motornya terlempar lumayan jauh dari posisinya tersungkur lemah. Darah mengucur dari kepalanya, sebab benturan trotoar yang begitu keras menghantam bagian tubuh paling penting dalam hidupnya.

Belum habis-habis penderitaannya, tiga orang bertubuh besar keluar dari mobil tadi. Bukan untuk menolong sang korban, namun mereka justru melayangkan banyak sekali pukulan ke tubuh Jere. Samar, pemuda itu melihat seorang pria dengan kemeja biru langit dan celana bahan putih di belakang mereka. Setelah melihat siapa dalang di balik kejadian barusan, pemuda itu berusaha bangkit di tengah kesakitan akibat hantaman bertubi-tubi yang tak ada habisnya.

Berusaha melawan tiga orang bertubuh besar itu sendirian. Terlampau kesal melihat wajah pria tadi seolah tersenyum penuh kemenangan.

Kondisinya semakin lama makin mengenaskan. Makin banyak ia melawan, semakin menyakitkan hukuman yang di terimanya. Kaus putih yang dikenakannya terkoyak di bagian bahu, darah mengucur deras dari sana. Sementara itu, hidungnya terus mengalirkan cairan kental dengan warna merah pekat. Napasnya putus-putus, rasanya nyawa sudah di ujung tanduk.

Jere kembali tersungkur lemah ke atas tanah. Tiga orang laki-laki bertubuh kekar tadi akhirnya menghentikan aksi mereka ketika melihat korbannya sekarat. Lalu tanpa rasa iba kembali masuk ke dalam mobil mereka, meninggalkan si pria dewasa dengan tawa kemenangan.

"Jangan pernah bermain-main denganku jika kau tidak tahu siapa aku."

Sebuah kertas kecil melayang jatuh darinya, samar, di tengah kesadarannya Jere masih sempat mengeja beberapa nama yang tertera di sana.

Baskara Pradipta

Manager of Honey Bar & Club

0821213xxxxx

Setelahnya, obsidiannya menggelap, pandangan mulai memudar. Malam itu, Arjuna Jeremy memilih untuk menyerah, meninggalkan seluruh hidupnya yang hancur bagai debu. Dengan harapan berpendar dalam kelam langit malam, membisu dalam pekat yang membelenggu.

***

"Halo, kenapa Gem?"

"Tha, Jere kecelakaan."

***

Authors Note :

Bales dendam si bos tuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro