8 - REBAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mimpiku hanya berbahagia. Mimpiku hanya dicintai.

***

Jere PoV

"Apa yang bisa diharapkan dariku?"

Malam ini begitu dingin. Sayup-sayup kudengar rintik hujan mencium kasar tanah merah di sekelilingku. Sesekali aku mengembuskan napas kasar. Terkadang, bermonolog pada diri sendiri. Apakah manusia sepertiku masih layak untuk hidup?

Rasanya, diriku terlalu hina untuk dianggap baik. Aku, Arjuna Jeremy. Nyaris menjadi buronan satu tahun yang lalu. Namun entah lah, sekarang kabar tersebut sudah tenggelam jauh. Sangat jauh. Tertimbun oleh banyaknya problema politik hingga masyarakat. Berita-berita palsu yang terombang-ambing masuk telinga rakyat. Juga tenggelam oleh kebohongan media tentang riuhnya permasalahan nusantara. Termasuk perlindungan yang aku dapat dari paman hingga aparat kepolisian batal memasukkan bocah berusia enam belas tahun sepertiku ke dalam sel.

Bel pulang sekolah akhirnya terdengar nyaring. Kulangkahkan kakiku ke arah parkiran untuk sekadar menjemput motor hitam kesayanganku. Lalu dengan sigap mengendarainya ke luar gerbang sekolah. Termenung memikirkan ekspresi wajah Natha ketika kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku satu tahun yang lalu. Mungkin marah, sedih, atau bahkan ia tampak tak menyangka bahwa aku telah melalui banyak hal saat itu.

Langit sore ini tampak sangat mendung, membuatku kembali tenggelam dalam pikiran yang begitu fana tentang kisah miris satu tahun yang lalu. Kisah yang cukup merubah hidupku seratus delapan puluh derajat, sebenarnya. Sifatku berubah bukan hanya karena dinobatkan menjadi presiden siswa, tetapi karena kejadian saat itu.

Aku, Arjuna. Delapan belas tahun. Hanyalah seorang pendosa yang hebat, meski masih memiliki mimpi agar kelak mampu berbahagia. Banyak orang bilang, jangan hanya hidup dalam mimpi, namun hidupkanlah mimpi itu. Sayangnya, aku ragu untuk mempercayai hal itu.

Terdengar sulit, untukku. Mimpiku, tak seperti mimpi kebanyakan insan manusia di dunia ini. Mimpiku bukan menjadi orang hebat. Bukan pula menjadi yang pertama. Bukan untuk dipandang, bukan juga dikenal banyak orang.

Mimpiku hanya berbahagia. Mimpiku hanya dicintai.

Dulu, satu tahun yang lalu. Ada kejadian memilukan yang menimpa hidupku. Membuatku mendadak jatuh, menjadikan semangatku luruh. Sungguh, rasanya dada ini masih terus merasakan sakit ketika nalarku kembali mengingat kejadian itu.

Satu tahun yang lalu, saat itu usiaku baru menginjak enam belas tahun. Sama seperti saat ini. Langit hanya menampakkan abu-abu pekat, warna yang begitu aku benci. Pertanda gelap akan datang. Aku benci gelap. Aku benci hujan, aneh? Tentu tidak bagiku.

Hari ini, tepat satu tahun yang lalu. Aku menangis. Di bawah gemuruh sang semesta, disaksikan cakrawala angkasa. Piluku membelenggu, membuatku seringkali termangu. Kalut dan hampa, semuanya menjadi satu.

Arjuna kecil, masih terlalu bimbang akan melangkah ke mana. Apa akan tetap diam saat mendengarkan rintihan pilu dari luar kamar, atau maju dan memusnahkan penyebab rintihan itu berasal.

Hingga sialnya, ketika langit senja yang seharusnya berwarna oranye malah tampak abu-abu kelam, aku harus kembali menyesap pahit dalam kehidupanku, saat tanpa sadar tubuh ini terbangun tepat pukul lima sore. Meraih gelas kaca dekat almari, lalu keluar kamar dengan melemparkan gelas tersebut hingga mengenai kepala seorang pria tua di bawah sana. Langkahku tergesa, tubuhku bergerak di luar kendali. Kembali menggapai tongkat bola kasti dari dalam laci. Menghantamkan tongkat tadi berkali-kali ke arah tubuh si pria tua.

Terlalu jengah mendengar isak tangis kakak dan nada tinggi yang kerap kali dilontarkan ayah kepadanya. Telingaku rasanya panas tiap kali mendengar keras suara hantaman benda yang mengenai tubuh seseorang setiap kali kakak pulang.

Sementara pria itu adalah ayahku. Ayah kandungku.

Jangan pernah sekalipun tertipu rupanya. Memang, wajahnya tampak berwibawa, namun beliau adalah tak lebih dari sekadar sampah. Sikapnya angkuh nan bijaksana, padahal beliau hanyalah sumber dari segala masalah. Menjual kakak perempuan yang amat kujaga dan kusayangi ke tempat paling hina.

Kembali menyudutkannya serta menyakitinya ketika tahu kakak kembali ke rumah. Rumah yang tak ada bedanya dengan neraka. Sejak kematian Mama, kondisi Ayahku memburuk. Bukan dalam artian fisik, namun mental. Beliau seringkali menyakitiku, bahkan pernah kulihat ia nyaris membunuh kakak dengan tangannya sendiri.

"Kau gila!"

Hanya itu yang terlontar dari mulutku satu tahun yang lalu. Sebelum tongkat dalam genggaman tanganku kembali menghancurkan rusuk renta milik beliau. Menghantamnya bertubi-tubi, menghasilkan merah yang gamang, pekat yang keluar dari dalam tubuhnya. Bertepatan dengan tongkat bola kastiku yang patah menjadi dua, beliau tumbang.

Sialnya, ia hanya sekarat.

Kakak? Jangan harap ia merasa bahagia karena aku selamatkan dari kegilaan Ayah.

Justru sebaliknya, kudengar Kakak menghubungi pihak berwajib. Mengataiku gila, psikopat, pembunuh, tak waras, dan segala macam kalimat menyakitkan lainnya.

Aku tentu saja segera berlari ke luar rumah. Tujuan terakhirku adalah rumah paman. Arjuna kecil pergi dengan uang pas-pasan, naik bus malam dengan jurusan kota yang lumayan jauh. Malam itu, hujan kembali datang, mengguyur tubuh kurusku tepat ketika aku turun dari dalam bus, menjejas rasa dingin di tiap jengkal kulitku. Membuatku kembali terisak, merasa telah melakukan kesalahan besar yang amat fatal.

Ku kira, kakak mencintaiku selayaknya aku mencintainya. Namun ternyata, niat baikku justru dianggap buruk. Aku sadar, kini aku hidup dalam dunia di mana setiap manusia ialah pendosa. Tak ada satupun anak adam dengan hati suci seputih kapas.

Satu tahun silam, aku benci saat Ayah memperlakukan kakakku seperti kupu-kupu malam. Bukan hanya menjualnya, namun juga menyewakannya kepada para pejabat tinggi dan kliennya dengan harga murah. Hanya demi kesuksesan perusahaan dan saham yang ia tanam.

Kehidupan di tempatku yang dulu sungguh keras. Ibu kota, tak lebih dari sekadar tempat mengadu nasib. Jika kau bukan seorang singa, maka kau akan kalah. Sepertiku. Memilih melarikan diri dari tempat itu. Pergi ke salah satu daerah di Bumi Parahyangan. Tentu saja aku tidak langsung pergi ke rumah paman sebelum paman menerima kabar dari kakak. Aku tidak mau datang seperti orang bodoh dan ditanya macam-macam. Aku hanya ingin paman dan istrinya sudah langsung tahu keadaanku dan membantuku untuk selamat dari masalah saat itu.

Di perjalanan, aku hanya mengandalkan sisa uang dalam kantung celana untuk bertahan hidup. Bahkan sesekali aku rela tidur di emperan jalan, dalam terowongan, hingga masih banyak lagi tempat tak layak yang kusinggahi hanya untuk memejamkan mata. Rebas jatuh dari pelupuk mataku, sakit yang terbias lewat air mata dengan bulirannya mengalir tanpa henti. Aku lemah dan rapuh saat itu.

Terkadang aku berharap Tuhan mengambil nyawaku ketika aku tengah tertidur. Namun mungkin, Dia telah menyiapkan rencana lain untukku. Meskipun rencana-Nya tak selalu berakhir indah.

Hingga beberapa hari setelah itu, aku memutuskan untuk pergi ke rumah paman. Menjelaskan sisa kejadian yang masih sulit dipercaya olehnya selama itu. Lalu paman, entah apa yang dilakukannya, dengan mudahnya menutup kasus kejahatanku-seorang anak berusia enam belas tahun. Ya, jabatannya di dalam jejeran aparat pemerintahan pun cukup tinggi. Terdengar kurang ajar memang, namun kau tahu? Uang mampu menyelesaikan segala masalah.

Hingga akhirnya, ketika aku kembali pulang ke Ibu kota, bersama pamanku dan istrinya tentunya, aku bertemu dengan Natha.

Cinta yang mampu membuat mimpiku terwujud. Aku belajar definisi bahagia darinya. Aku mulai mengerti sifatnya dan percaya bahwa Natha adalah pengisi lakuna dalam hidupku.

Namun di satu titik, aku merasa Natha bukan segalanya.

Pertama, ketika ia berbohong tentang kejadian malam itu. Di mana sebenarnya aku beralibi memintanya membantuku mengerjakan tugas ketika ingin mengejutkannya dengan hadiah enam bulan kami bersama ketika ia justru beralasan ada acara dengan kawan-kawan sebayanya. Nyatanya? ia pergi ke tempat terlarang yang justru kubenci setengah mati.

Kedua, ketika lelahku justru dijadikan alat untuknya merajuk. Aku sungguh membenci hal itu.

"Kenapa sih? Emang kalo ada aku kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa semua orang minta aku dateng? Itu bukan hal penting, Natha."

"Kamu ada masalah, Jere?"

Drrt-

Two messages from: Tante Rina

'Jun, kamu jangan pulang dulu ya malem ini. Kakakmu kambuh lagi waktu tau ayah baikan.'

'Dia nangis, marah-marah sambil nyebut nama mu. Kamarmu berantakan, barangnya dilemparin semua. Marah ke kamu, marah ke ayah. Paman udah tante suruh pulang.'

Semuanya sungguh gila. Kakak menjadi stress sejak kejadian itu, sesekali egonya kambuh menguasai pikiran. Aku yang kemudian menjadi sasaran. Bekas luka akibat cakaran dari kakak masih tampak jelas di pergelangan tanganku. Aku tahu, ia membenciku sejak aku melukai ayah. Namun kakak juga membenci ayah, terlebih saat tahu kondisi ayah kian membaik. Ia trauma, takut pilunya kembali datang. Takut keterpurukan kembali menguasai hidupnya.

Maka hanya ada satu nama yang terlintas di pikiranku saat itu. Gema, anak buah tim basket kebanggaan sekolahku. Tim basketku dengan aku sebagai kapten di dalamnya. Rumah kedua yang kuanggap seperti adik, siap menampungku kapanpun aku butuh tempat untuk lari dari kenyataan.

***

Sebentar, kok ada Gema?

Korelasinya apa?

Nah loh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro