7 - KEMBALILAH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku lelah untuk terus berpura-pura tidak peduli di saat hatiku ingin menuntut jawaban dari setiap perlakuanmu padaku.

***

"Alkil itu ...."

Gadis dengan rambut sebahu kecokelatan itu tengah duduk di pojok perpustakaan. Tempat paling nyaman dan sunyi untuk belajar. Hari ini di jam mata pelajaran terakhir, kelasnya akan mengadakan ulangan harian kimia. Bukan termasuk hal mudah dikarenakan gurunya yang terlampau sulit untuk diajak bernegosiasi soal nilai. Belum lagi soal-soal ulangan yang terasa seperti soal ujian dengan tingkat kesulitan kelewat batas.

Biasanya, Natha meskipun sudah berusaha keras untuk mempelajari seluruh bahan ulangan, pada akhirnya tetap saja mendapat nilai pas-pasan. Walaupun setidaknya, jauh lebih baik dari pada teman sekelasnya yang sangat jarang mendapat nilai di atas rata-rata.

"Nak, Ibu boleh titip tas sebentar? Mau ambil buku paket untuk kelas sepuluh."

Seorang guru datang menghampiri Natha dengan membawa tas kertas besar berwarna putih. Di dalam tampak banyak sekali amplop berwarna cokelat, kelihatan seperti pembungkus berkas-berkas penting.

Natha lantas mengedar pandang ke daerah di sekitarnya. Ternyata memang hanya dia satu-satunya orang di perpustakaan ini selain guru muda itu. Mau tidak mau, Natha menyetujui permintaan beliau.

"Oh iya, nanti saya jagain, Bu."

"Terima kasih, nak."

Natha mengangguk dengan senang hati. Sedetik setelah sang guru keluar dari perpustakaan, gadis tujuh belas tahun itu menghembuskan napas kasar. Konsentrasinya buyar begitu saja. Benci rasanya, namun ia tahu tak ada lagi yang dapat dilakukan olehnya. Menolak? Tentu saja tidak mungkin. Natha tidak mau reputasi baiknya hancur begitu saja di depan guru. Anak baik dan terkenal dengan kepandaiannya.

Pada akhirnya, Natha memilih untuk menutup buku tulisnya. Setelahnya menyandarkan kepala ke atas meja. Menikmati semilir angin AC di dalam perpustakaan. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Semakin lama dinikmati, suasana sunyi serta rasa dingin yang menyapu halus permukaan kulit gadis itu membuat Natha tak tahan untuk tidak menutup kelopak matanya.

Begitu dirasa mulai hanyut dalam lelap yang menenggelamkan seluruh penat dalam kepalanya, Natha membiarkan bunga tidur menguasai dirinya saat ini. Terlarut dalam arus kantuk yang benar-benar membuat seluruh lelahnya menguar ke udara.

Natha lelah, fiisknya, otaknya, juga hatinya.

***

"Ini anter ke mana?"

"Perpustakaan, nak! Tolong, ya. Saya masih harus urus keuangan buku-bukunya itu."

"Oke siap!"

Pemuda dengan perawakan tinggi dengan dasi berwarna merah yang menyampir di tubuhnya itu berjalan sedikit tertatih. Membawa pasokan buku paket biologi untuk kelas sepuluh. Tadinya, niat Jere hanya ingin patroli seperti biasa. Namun siapa sangka, bahwa di tengah jalan ia bertemu dengan guru piket penjaga perpustakaan yang tiba-tiba memerintahnya untuk membawakan sekardus besar buku-buku paket.

Tentu saja, Jere tak bisa menolak permintaan beliau. Seorang presiden siswa memang harus membawa citra baik sekolah dimulai dari sifatnya dan bagaimana caranya memperlakukan orang lain.

Kakinya melangkah masuk perlahan, lalu terdengar suara tubrukan lantai dengan kardus yang sengaja Jere jatuhkan begitu saja dari genggamannya.

"Berat ba—"

Ucapannya terhenti ketika Jere menemukan sesosok manusia jelita tengah tertidur dengan damainya di sana. Tampak lelah, namun tetap saja terlihat damai. Jere sepertinya kenal siapa dia.

Perlahan, laki-laki itu menghampiri meja pojok tempat si gadis berada. Langkah kakinya kecil-kecil, takut gadis itu tiba-tiba bangun karena terganggu dengan kedatangannya. Padahal, lantai perpustakaan sendiri sudah dilapisi karpet bulu yang menyeluruh. Gunanya agar setiap bunyi yang dihasilkan dari seluruh kegiatan di dalam perpustakaan teredam oleh karpet itu.

Jere menjentikkan jari saat merasa tebakannya tak meleset sama sekali. Natha ada di situ, tengah tertidur tanpa memperdulikan keadaan sekitar.

Pemuda itu lalu duduk di hadapan si gadis. Memperhatikan bagaimana ia tertidur dengan lelapnya. Tanpa sadar, dirinya sesekali tersenyum, melihat gumpalan lemak di sisi kanan dan kiri wajah Natha tampak jatuh begitu saja. Juga helaian rambut yang sesekali menjuntai hingga menutupi wajahnya.

Jere terdiam cukup lama, memperhatikan bagaimana kelopak mata indah itu mengatup, bagai menyembunyikan indah obsidian sang pemiliknya. Menyembunyikan resah dari tiap sorot mata yang kerap kali tampak dari luar. Pun juga menutupi setiap bahagia yang samar terpancar dari kedua bola mata itu.

Tanpa sadar, Jere menopang kedua dagunya di atas meja. Hembusan napas keduanya terasa sangat dekat dan berbalas.

Jere rindu masa-masa seperti ini.

Sangat merindukannya.

Juga merindukan sosok Natha yang kerap kali hadir dalam hari-harinya. Sebelum mereka berdua tampak sejauh matahari dan neptunus. Yang satu dengan semangat membara dan satunya lagi dengan rasa biru di penghujung hari. Panas dan dingin, hanya hancur yang akan terjadi ketika keduanya memaksa untuk bersama.

Tanpa sadar, sebulir air mata menetes lewat pipi putih Natha. Membuat perhatian Jere teralih. Ia terkejut sekaligus keheranan. Kenapa bisa seseorang menangis dalam tidurnya?

Jere sedikit menjauhkan jarak tubuhnya. Lalu berniat untuk mengusap pipi si gadis dengan telunjuknya. Namun belum sempat jari telunjuk itu menyentuh permukaan kulit Natha, empunya mengerjapkan matanya perlahan.

Jere refleks kembali menarik tangannya.

Atmosfer canggung di antara keduanya makin kentara saat Natha yang merasakan aroma citrus di dekatnya terbangun. Terkejut dan refleks menjauhkan tubuhnya dari pemuda itu. Sesekali melempar pandang tanda kebingungan dan tampak tak tahu harus apa.

"Lo ... ngapain?"

Jere lantas menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Berdehem singkat sebelum kemudian berdiri sembari berkacak pinggang.

"Berada di luar kelas saat jam belajar mengajar berlangsung. Minus lima puluh dan detensi dua jam pelajaran berikutnya!"

Natha yang masih setengah sadar mau tidak mau ikut berdiri. Kepalanya agak pening karena terbangun dalam kondisi terkejut seperti tadi. Sembari mengusap kedua kelopak matanya yang masih sangat berat untuk terbuka, Natha terkekeh kecil.

"Lo random banget, sih."

"Hah?"

"Gue free class. Bunda nggak masuk. Sejarah minat kosong."

"Tetep aja. Harusnya lo diem di kelas. Bukan malah di sini."

Natha sesekali menguap, lalu merapikan helai rambutnya. "Ya udah, mau balik ...."

Belum sempat Natha melangkah, Jere langsung menghalangi jalannya. Membuat Natha mengernyitkan alis keheranan.

"Detensi dua jam pelajaran."

"Lo gila? Pelajaran terakhir nanti gue ada ulangan."

"Emang gue peduli?"

"Awas."

"Detensi dua jam, gak ada penawaran!"

Natha memutar bola matanya malas. "Lo maksa banget mau hukum gue. Mau berduaan sama gue di ruang detensi doang kan, lo? Ngaku!"

"Dih, buat apa. Keadilan itu harus ditegakkan, cuy!"

Lantas si gadis tertawa kecil. "Oooh, mainnya adil ya sekarang? Ke mana Jere yang rambutnya oranye sama selalu pake celana pensil kayak yang dulu gue kenal?"

Tanpa disadari, ucapan Natha barusan membuat Jere terhenyak seketika. Apakah memang perubahannya kini terlalu drastis dan terlampau sulit untuk diterima Natha hingga memorinya hanya dapat mengingat perawakan sosok Jere di masa lalu?

Jere terdiam. Suasana yang tadinya mulai mencair kini kembali berubah canggung. Pemuda yang tadinya masih sibuk berkelit dan berupaya membawa Natha untuk di hukum dengan seribu satu cara mendadak berubah menjadi dingin.

Aura di sekitarnya terasa berbeda. Sorot mata yang tadinya tampak menyenangkan pun ikut serta berubah menjadi tajam.

Sifat Jere yang seperti ini adalah sifat sang presiden siswa yang sesungguhnya.

Entah apa yang membuat Natha merasa didominasi oleh aura mencekam di sekitarnya.

Maka ucapan Jere setalahnya mampu membuat Natha menunduk dalam dan tak lagi berkutik.

"Ikut gue ke ruang detensi, bawa buku lo, sekarang."

***

Natha menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa hitam di dalam ruang detensi. Ruangan yang terlampau apik dan minimalis. Hanya ada rak putih di pojok ruangan, berisi beberapa buku novel dan tanaman pot kecil. Lalu sebuah sofa di tengah ruangan dengan meja dan kursi guru di dekat pintu.

Jere menyusul masuk ke dalam ruangan, lantas menutup rapat pintu ruangan detensi itu. Lantas ikut merebahkan tubuh di atas kursi guru. Sempat terjadi hening di antara keduanya. Seolah banyak sekali frasa yang ingin di ucapkan namun tak tahu harus bagaimana.

"Berhenti jauhin gue."

Gadis yang baru saja menyenderkan kepalanya ke pinggiran sofa tersentak kaget, lalu menoleh ke asal suara.

"Maksudnya?"

"Gue nyari lo hampir tiap hari, tapi lo nya selalu hindarin gue."

Setelahnya, Natha justru tertawa. "Kan lo yang mutusin gue. Kenapa harus nyari gue lagi?"

Tampak Jere mengusak kasar rambutnya ke belakang, lalu bangkit dari posisi duduknya. "Ya tau ... tapi maksud gue, harus kalo orang putus itu berakhir jadi musuh? Gue mau kita sahabatan lagi."

"Gimana ya ...."

Melihat Natha yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, Jere memutuskan untuk pergi ke arah rak putih di pojok ruangan. Diam-diam memetik setengah batang daun dari tanaman hias itu lalu menyerahkannya ke depan Natha.

"Kalo lo jawab iya, potek lagi daun ini jadi dua. Terus lo simpen. Lidah buaya kan bisa tumbuh cuma dengan di tanam meskipun udah patah. Jadi masing-masing dari kita harus tanam ini."

"Kalo enggak?," ujar Natha sembari mengernyit selepas mendengar penjelasan Jere.

Jere terkekeh, lalu menjawab, "enggak ada pilihannya."

"Loh, maksa?"

"Gue janji bakal ceritain apa yang sebenernya udah terjadi dulu sampe bikin gue putusin lo. Jadi, kembali, ya?"

Natha terdiam saat itu juga.

Benar juga, hubungannya dan Jere tak mungkin berantakan hanya karena ketidakcocokan. Pasti ada hal lain dibalik itu. Namun tentu saja juga bukan karena pihak ketiga. Jere tampak tak pernah tertarik dengan kisah percintaan setelah kejadian waktu itu.

"Gue capek buat terus keliatan nggak peduli saat gue sendiri nyaris mati penasaran nyari jawaban dari semua perlakuan lo ke gue, jadi, janji jelasin semuanya?," Natha berujar mantap.

Jere mengangguk lalu tersenyum.

Maka saat itu pula, secercah cahaya terang mulai tampak di ujung perjalanan keduanya. Seolah memanggil mereka untuk kembali menyatukan asa dan bahasa dalam kisah yang kelak akan berakhir sempurna.

***

Jer-nat harus jujur-jujuran gak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro