4 - BENANG MERAH?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang, memutuskan untuk menjadi tuli dan bisu lebih baik dari pada kau tahu segala masalah yang tengah terjadi.

-LAKUNA-

"Berisik. Gue ulangan kimia abis ini, awas."

Nada suaranya tegas dan penuh dominasi. Membuat jiwa manusia di hadapannya sedikit gentar.

"Apaan, sih. Masih aja ambis. Tapi giliran bukan pelajaran penting malah bolos."

"Bukan urusan lo, ya."

"Nath, elah. Gue susah mau ketemu lo. Sekarang giliran ketemu, mau pergi? Gila aja." Jere masi menahan pergelangan tangan gadis itu. Membuat mereka tampak seperti sepasang kekasih yang tengah bertengkar saat itu.

Natha menggeleng. "Minggir atau gue aduin kalo lo mau macem-macemin gue?"

Bukannya urung, Jere justru meledakkan tawanya di sana. Membuat beberapa pengunjung perpustakaan tampak penasaran dan mencari asal suara tawa tadi. Mengingat rak buku yang menjulang tinggi membuat sosok keduanya tak terlihat dengan jelas di mata orang lain.

"Enggak bakal ada yang percaya kalo presiden siswa kayak gue macem-macemin temen sendiri di sini. Sekalipun itu beneran," ujarnya dengan sedikit seringai.

Sepersekian detik kemudian, terdengar kembali suara buku menghantam kepala seseorang. "Najis, tau?"

"Sakit, anjir. Sembarangan amat sih, kan cuma bercanda."

"Bercanda lo gak lucu, Jun."

Tiba-tiba, senyum simpul terukir di bibir pemuda itu. Menyebabka Natha harus berpikir ulang mengapa ekspresi manusia di depannya ini berubah tanpa aba-aba.

"Aw, mau dong dipanggil Juna lagi."

Tepat saat itu pula, pipi putih gadis itu bersemu kemerahan. Menyadari bahwa perkataannya barusan salah besar.

Ya, salah. Juna sendiri adalah nama panggilan khusus dari Natha ketika mereka masih bersama. Jauh sebelum rasa ingin memiliki mulai menguasai hati keduanya. Saat keadaan masih baik-baik saja. Saat itu, rasanya dunia mereka hanya tentang bahagia berdua. Tanpa perlu menuntut lebih banyak, pun juga tak ada pengakuan pasti dari keduanya.

Saat seluruh dunia rasanya hanya memberikan kabar bahagia untuk mereka berdua.

"Minggir."

Kembali seperti semula. Air muka Natha kembali suram, bahkan lebih parah. Tak lagi mau menatap Jere tepat di mata. Berusaha menutup telinga ketika pemuda itu kembali memohon agarnya tidak pergi secepat itu.

Tentu saja, Jere butuh bicara. Entah apa yang akan dibicarakannya, namun jelas Jere butuh waktu.

Waktu untuk duduk berdua bersama sang pujaan hati. Kembali mengikat benang merah yang telah putus sejak tempo hari. Menghubungkan perasaan satu sama lain untuk kembali berbagi resah di hati. Jere hanya butuh itu. Untuk memperbaiki kesalahpahaman yang pernah terjadi.

Menurut Jere, tatap sang dewi cinta saat ini tidak cerah seperti dulu. Tak sehangat seperti setiap kali ia berkata aku mencintaimu atau sebenarnya aku rindu, lho. Hanya dingin dan sendu yang merundung manik hitamnya sempurna miliknya.

"Gue cuma butuh waktu, berdua. Sebentar aja. Tolong?"

Natha diam. Menurutnya, percuma untuk kembali bersuara. Pun juga jika ia menolah permintaan sang presiden siswa, belum tentu manusia terhormat di hadapannya ini mau menerima keputusannya.

Bukan karena ia tak mau. Sungguh, Natha ingin. Namun pintu hatinya masih tertutup untuk saat ini. Belum siap mendengar kenyataan yang sebenarnya terjadi. Pun juga belum ingin membuka diri untuk ia yang pernah menyakiti hati.

Padahal, kenyataan yang sebenarnya tak selalu berakhir buruk. Justru kenyataan tersebut mampu memperbaiki keadaan yang telah terlanjur berantakan.

"Gak sekarang, Jere."

"Terus dua tahun lagi? Nunggu lo lulus dulu? Atau malah nunggu lo kawin dulu baru punya anak?"

"Dih sembarangan. Nikah sama siapa juga gue."

"Ya sama gue, hehe."

Cengiran itu terpoles sempurna di wajah sang primadona. Setelah satu tahun Natha menjalani aktivitas sekolah sendirian tanpa sosok Jere di hidupnya, juga setelah Jere pergi meninggalkannya bahkan di saat-saat terburuk sekalipun, kini ia seperti kembali menawarkan sejuta bahagia. Bertingkah seperti tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.

Tanpa Natha tahu, Jere sendiri memendam perasaan kecewa terhadap dirinya di masa lalu.

"Nath."

"Berisik. Minggir gak?"

"Bukan. Nath, lo cabut kan?"

Natha mengangguk, masih tak mau menatap obsidian gelap pemuda itu.

"Minus dua lima."

Seketika, dunia rasanya berhenti. Natha tahu Jere ialah presiden siswa. Tapi mendadak lupa bahwa tugas presiden siswa juga termasuk menghukum anak-anak yang bolos jam pelajaran.

"Eh, anjir, jangan dong. Gila, rusak citra gue nanti."

Tampak mengabaikan, Jere dengan senyum kemenangan lantas saja mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Lalu menunjukkan hal tersebut kepada Natha.

Kedua bola mata si gadis tampak membulat terkejut, berusaha meraih ponsel yang sialnya kembali ditarik sang pemilik. "Ngapain? Mau ngambil hp gue? Mana bisa. Pendek."

"Jangan di aduin walas dong. Elah mainannya ngaduan."

"Siapa suruh enggak nurut sama gue?"

"Sok berkuasa."

"Bodo amat."

Tiba-tiba, terdengar dering ponsel yang berasal dari benda persegi milik Jere. Bertepatan dengan bel pergantian pelajaran terdengar sangat nyaring. Natha rasa, dewi fortuna kini tengah berpihak kepadanya. Buktinya, keberuntungan menyertai dirinya saat ini.

"Ah, apaan sih nih nelpon-nelpon." Terdengar dengusan pelan dari arah pemuda itu. Saat dirinya berjalan menjauh, Natha segera saja berlari meraih gagang pintu keluar perpustakaan.

Jere kemudian menjawab panggilan barusan sambil sesekali menjulurkan lidah ke arah Natha. Raut wajahnya tampak begitu kesal, merasa kalah. Begitu pula dengan sang gadis yang menggerakkan ibu jarinya ke bawah. Tersenyum usil, lalu pergi meninggalkan perpustakaan. Natha menang kali ini.

Meski hanya pertemuan sepele yang tidak di sengaja, mampu membuat keduanya bersitatap dengan kecanggungan yang luar biasa hebat.

Jere harus berterimakasih dengan tangannya yang ceroboh karena telah menjatuhkan buku dari rak hingga membangunkan Natha dari tidurnya.

Justru karena pertemuan barusan, Jere dan Natha dapat menyimpulkan satu hal.

Mereka, masih saling mencintai. Entah itu dalam hal sejoli, atau hanya sekadar sahabat tanpa ikatan.

Mungkin, perkataan serta perbuatan keduanya dapat dipalsukan. Namun tidak dengan perasaan. Degup jantung keduanya berpacu sangat cepat. Bagai menyandingi kecepatan cahaya menurut Teori Albert Einstein.

Butuh keberanian besar untuk Jere kembali mencari Natha dan langsung menjelaskan semuanya tanpa lagi meminta persetujuan gadis itu. Yang ia harapkan hanya satu. Setidaknya, jika tak lagi bisa bersama, mampukah mereka kembali menjadi muara satu sama lain? Melepas rindu dengan perbincangan hangat hingga tiba saatnya matahari kembali ke peraduannya.

Mereka masih rindu, masih terlalu rapuh untuk berjalan sendiri.

Keduanya sama-sama bersalah. Memperbaiki diri dengan cara masing-masing. Berakhir dengan pribadi yang tersekat oleh batas tak kasat mata. Seolah tak lagi saling mengenal, meskipun kenyataanya mereka masih saling membutuhkan.

Terlalu munafik, karena seluas apapun relasi pertemanan keduanya kini, Jere tak dapat berbohong jika di hatinya terdapat lakuna sama seperti yang Natha rasakan sekarang.

Masih terlalu abstrak untuk menemukan pusat dari putusnya benang merah di antara keduanya. Si gadis memilih menjauh saat pemuda itu justru sudah maju selangkah untuk mendekatinya.

Tinggal menunggu waktu kembali menjatuhkan titah kepada sang takdir, untuk kembali mempertemukan keduanya demi memperbaiki kesalahpahaman di antara mereka.

***

Hehe, krisar sini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro