5 - MASA YANG LALU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau tahu? Kadang aku berpikir akan jadi apa akhir kisah dari seekor singa dan kupu-kupu. Bertentangan. Kau menuntut kekuatan dan kesempurnaan di saat aku memilih untuk menangis dalam pilu.

-LAKUNA-

Satu tahun yang lalu...

"Jun, balik?"

"Duluan, mau rekap poin."

Natha mengembuskan napas malas. Memilih untuk menarik sebuah kursi yang berada di dekatnya. Lantas, mendudukkan diri di atas kursi tersebut. Sesekali matanya memperhatikan kesibukan dari seorang presiden siswa sekolah saat merekap poin murid-murid lain.

Juna, panggilan kesayangan katanya. Bukan panggilan aneh-aneh dan terkesan berlebihan, Natha cukup memanggil Jere dengan potongan nama lengkapnya yang tak pernah disebut-sebut orang lain.

"Jun, gak bosen kamu?"

Masih tetap fokus dengan deretan poin di 'buku neraka' miliknya, Jere hanya berdehem sebagai balasan.

"Junaaaaaaaa!"

"Apa bawel?"

"Ayo pulang? Aku nanti ada les sore."

Terpaksa, Jere meletakkan pulpen yang sedari tadi membantunya merekap poin siswa. Menghadapkan tubuh ke arah Natha. Niat awal ingin marah karena kekasihnya itu mengganggu kegiatan pentingnya, namun urung, melihat wajah lelah dan memelas yang tampak dari diri Natha, Jere justru tersenyum. Seolah bebannya menguap ke udara.

Dirinya mendadak lupa akan rekapan poin yang diminta guru kesiswaan sore itu juga. Tangannya justru teralih untuk menepuk pipi Natha berkali-kali. "Nanti ya, mbul. Rekapnya harus selesai sore ini juga. Sebentar lagi, nanti anterin aku kasih ke kesiswaan."

"Oke, jangan lama-lama tapi. Terus anterin aku ke tempat les langsung."

"Jemput juga?"

Natha tampak menimbang-nimbang. Tangannya bergerak menggeser kunci layar ponselnya guna melihat tanggalan hari itu.

Enam belas, genap minggu ketiga.

"Nggak usah, hehe."

"Kenapa? Biasanya minta jemput." Raut kebingungan tampak jelas di wajah Jere saat itu.

"Mau sama temen kayaknya. Searah juga hari ini."

"Bukannya kamu biasanya gak ada temen pulang?"

"Ada! I-iya, hari ini ada. Ada pokoknya."

"Malem, jam sembilan. Yakin gak mau di jemput aja?"

Natha menggeleng pasti. Sementara itu, Jere hanya mengangguk pelan, kemudian mengelus kepala gadisnya.

Setelahnya hening. Hanya ada suara berisik AC dalam kelas yang memecah sunyi. Ada banyak sekali pertanyaan yang berputar di dalam kepala Jere. Tentang kenapa dan apa yang terjadi sebenarnya. Namun seluruhnya seolah membeku dan hanya berakhir dalam hening. Keluar lewat embusan napas lelah—yang Natha kira Jere muak dengan tugasnya sendiri, padahal bukan. Jere tak berani untuk mengungkapkannya. Terjerat dalam kelu yang merajam di antara semburat jingga terpoles di langit senja. Rasa takutnya mengalahkan penasaran, hingga membuatnya tak ingin berpikiran buruk tentang kasihnya saat itu. Meski ia tahu, lambat laun ia butuh penjelasan.

Tempo hari, tanggal enam. Hari jadi mereka sudah terhitung satu bulan. Jere dengan semangat penuh berniat membawakan sebuah kotak besar ke rumah Natha malam harinya. Isinya terlampau sederhana yang kebanyakan orang mampu membelinya. Coklat batangan, boneka snoopy berukuran kecil, dan beberapa figura foto mereka berdua sejak hari pertama keduanya menginjak bangku sekolah menengah atas. Alasan mengerjakan tugas dibuatnya. Meski sempat ditolak oleh Natha dengan alasan 'acara bersama teman sebaya', niat dalam diri Jere tak gentar sedikitpun.

Namun malam itu juga, dari samping rumah Natha, ia melihat gadisnya tengah keluar hanya dengan menggunakan jaket putih polos dan celana jins sebagai bawahannya. Tak lupa membawa tas ransel kecil yang tampak penuh. Kelihatan berjinjit-jinjit, seolah tak ingin langkah kakinya terdengar siapapun.

Sebelum Natha melihat kedatangan Jere, pemuda itu memutuskan untuk membawa motornya perlahan ke dekat semak tinggi. Setelahnya, tampak sosok Natha memasuki sebuah mobil hitam yang lantas melaju pergi meninggalkan rumahnya.

Rumahnya tampak gelap, maka dapat dipastikan tak ada siapapun di sana. Kemudian, yang Jere lakukan hanya menguntit ke mana kah gadisnya akan pergi malam itu.

Alhasil, Jere menyesali rasa ingin tahunya yang terlampau tinggi.

Bukannya mendapat jawaban pasti, dirinya malah tenggelam dalam bisu dan kebingungan. Natha turun di depan sebuah klub malam, kemudian dengan ramahnya menyapa beberapa orang di sana. Wanita-wanita yang tampak lebih tua dari pada dirinya. Dengan riasan wajah tebal dan pakaian tak senonoh.

Sempat dirinya terdiam beberapa saat, sebelum larut dalam pikiran yang begitu fana. Tentang siapa sebenarnya Natha, kenapa, dan apa yang terjadi saat itu.

Akhirnya, sebelum ada salah satu dari mereka yang mengetahui keberadaan Jere, dirinya memutuskan untuk pergi. Berniat menanyakan tentang hal barusan langsung kepada Natha.

Namun hingga detik ini tak ada sepatah kata pun yang dapat keluar guna mewakili pertanyaan dalam benaknya kala itu. Padahal, hubungan mereka sudah berjalan selama empat bulan.

Jere hanya takut dugaannya benar.

Tetapi, terlepas dari benar atau tidaknya dugaan buruk yang sempat terlintas di dalam pikirannya, Jere tetap menerima Natha.

Bagaimanapun keadannya.

Terkadang, mereka berdua masih sering merasa heran. Kenapa bisa dua orang sahabat merasakan getaran lain pada saat yang bersamaan. Keduanya sama-sama merasakan jatuh cinta.

Awal yang baik, bukan?

Oh, atau tidak.

***

"Jer, dateng birthday party Nanda?"

"Jer dateng dong."

"Jere temenin tuh si Natha. Masa lo nggak dateng."

"Jer, sohib lo ngikut semua tuh, lo masa nggak?"

Selalu saja dirinya.

"Jun, kamu ikut, ya? Jumat depan, kita udah libur panjang! Ayo?," ujar Natha dengan wajah kelewat antusias. Ia pikir, jika dirinya lah yang meminta Jere untuk datang, maka lelaki itu akan bersedia mengabulkan permintaan tersebut.

Namun Jere justru semakin benci mendengarnya.

Pertanyaan itu lagi.

"Kenapa sih? Emang kalo ada aku kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa semua orang minta aku dateng? Itu bukan hal penting, Nath."

Natha terdiam. Jujur rasanya aneh saat mendengar Jere berbicara padanya dengan nada tinggi.

"Kamu ada masalah, Jere?"

Mendengar panggilannya yang ikut berubah, pemuda itu berhenti memasukkan buku-buku sekolah ke dalam tasnya. Mengembuskan napas berat, lalu memejamkan mata sejenak. Belum sempat membalas, ponsel milik Jere yang berada tak jauh darinya bergetar. Dua buah pesan masuk yang Natha tak tahu apa isinya.

Sepersekian detik setelah membaca kalimat demi kalimat dalam ponsel miliknya, Jere mengusak kasar rambutnya berkali-kali, matanya mulai berkaca-kaca. Namun ia tak mau Natha mengetahui keadaannya saat ini.

Maka yang ia lakukan selanjutnya hanyalah mematikan ponsel lantas duduk menghadap kekasihnya.

"Nath, gak bisa. Aku harus urus rekap poin, aku juga harus urus diri aku sendiri. Iya emang simpenan dari mendiang mama masih banyak buat aku, tapi nggak bisa bergantung sama itu terus juga akunya. Aku harus cari kerja sampingan, nggak ada waktu seneng-seneng."

Natha mendengus sebal. "Jun, kamu tau refreshing buat aku ya cuma seneng-seneng gini. Kamu nggak mau nemenin aku? Setelah pusing sama tugas sekolah, ulangan, les, segala macem."

"Bukan nggak mau, Natha. Tapi waktunya itu."

"Ayah kamu ke mana sih? Kamu nggak pernah cerita apa pun ke aku soal keluarga kamu. Selalu aku yang cerita."

"Pentingnya kamu tau untuk apa?"

Kedua alis gadis itu bertaut. Merasa tak di anggap, sekaligus bingung. "Aku ini siapa?"

Natha benci keadaan seperti ini. Natha sangat benci ketidakpastian, hal-hal yang tak terdefinisi, dan manusia yang mudah berubah hanya karena satu hal. Ia hanya ingin seseorang yang pasti. Ingin seseorang yang bukan hanya mampu menjadi pendengar dan tempatnya bersandar.

Tapi juga seseorang yang mampu membagi lelahnya dalam sebuah cerita penghujung hari. Menjadi pihak dengan sejuta cerita lain sebagai selingan titik terendahnya. Ingin menjadi dua yang saling membutuhkan, bukan hanya satu yang bersandar dan butuh tempat untuk pulang. Tetap bertahan dan ikut memperjuangkan apa yang selama ini digenggamnya. Serta saling berkorelasi dalam hal apapun.

"Kita, sampai di sini aja, ya, Natha?"

"Bahkan aku ngerasa, nggak semua hal yang kamu ceritain itu jujur. Jadi, lebih baik berhenti dari pada memaksakan dua yang sudah berbeda arah."

Seharusnya Natha tahu, waktu lalu, saat ikrar ikatan di antara keduanya dikumandangkan, akan ada yang berubah saat itu juga. Entah lebih baik, atau makin buruk.

***

Nanti pengen bikin bagian pas di jedornya ah:p

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro