6 - KENAPA?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjadi pendengar itu bisa membuat seseorang lupa akan masalah berat yang tengah di hadapinya.

-LAKUNA-

"Kenapa lo mau?"

Rintik-rintik hujan semakin lama berubah menjadi buliran raksasa yang siap menerjang permukaan tanah. Membasahi para insan manusia yang tampak berusaha melindungi diri mereka dengan barang bawaannya. Hujan hari ini datang secara tiba-tiba. Beruntung Natha dan Gema ada di dalam sebuah kafe kopi yang sama seperti tempo hari mereka kunjungi. Terlindungi dari basah yang datang tanpa izin.

"Karena gue mau bantuin orang-orang, Gema. Presepsi lo tentang dewi cinta yang ikut campur tuh gak sepenuhnya bener."

"Bukannya emang ikut campur?"

Natha menggeleng. Sulit sekali menentang pendapat Gema Rajayaksa. Keras kepala, meskipun saat ia butuh bantuan. "Bukan. Beda. Kalo ikut campur, ya gue ikut masuk ke dalam segala macam keributan para bucin, dong? Kan ini nggak, gue cuma bantuin mereka. Kasih solusi, dan gerak saat gue nemu waktu yang pas."

"Kirain gitu."

"Terus gimana, cewek lo? Oh, atau belum?"

Kali ini, Gema menggeleng lemah. "Belum. Gue bingung, waktu yang pas buat ngobrol sama dia tuh kapan. Sibuk mulu, OSIS mulu, pensi mulu."

Tanpa di sadari, telapak tangan Natha mendarat ke atas pucuk kepala Gema. Mengusaknya gemas sembari tersenyum kecil. "Ngambek mulu si, dek. Kakak Diananya lagi sibuk, nanti kalo udah nggak sibuk juga dia ada waktu buat dengerin kamu," ujar Natha dengan nada main-main di akhirnya.

"Sembarangan. Gue, lo, sama Diana seangkatan, ya!" Gema menangkap pergelangan tangan Natha, lalu menjauhkan tangan itu dari atas kepalanya.

"Lo gak ikut TK A ya! Harusnya lo adek kelas gue. Jangan lompat kelas gitu, dong. Curang, tau." Natha menjauhkan telapak tangannya dari tubuh pemuda di hadapannya. Dngan santai meraih segelas latte kesukaan Gema lantas meneguknya dua kali. Membuat rasa kesal yang tampak di dalam diri Gema bertambah dua kali lipat.

"Minuman gue!" Tangannya berupaya meraih segelas latte yang sempat berpindah tangan. Setelahnya, Natha justru tertawa lepas melihat tingkah laku Gema.

Gema adalah sahabatnya sejak kecil. Sayangnya, mereka berdua sempat terpisah selama lima tahun karena Gema harus menuruti keinginan sang ayah untuk bersekolah di Inggris meskipun hanya tingkat sekolah dasar. Saat menginjak kelas satu sekolah menengah pertama, keduanya kembali bertemu di belakang rumah Natha.

Saat itu, si gadis muda tengah mencari sulur kuning di semak-semak belakang rumahnya. Tugas prakarya, katanya. Namun yang mengejutkan adalah ketika Natha melihat layangan putus di balik semak-semak tersebut. Mengikuti arahnya hingga ke pagar belakang rumah. Di sana, tampak sosok laki-laki dengan perawakan jangkung dengan senyum manisnya yang sangat khas.

Ketika itu, Natha sempat terkejut. Tak menyangka bahwa sahabat kecilnya akan kembali pulang ke tanah air. Menemuinya lagi, dan menemaninya hingga detik ini.

Kecuali pada suatu waktu, yang mengharuskan Gema pergi untuk yang kedua kalinya. Lalu kembali saat keduanya menginjak kelas tiga sekolah menengah atas. Mulai merajut jalin pertemanan yang sempat berantakan beberapa tahun lalu, hingga detik ini.

"Ya udah, maunya gimana? Gue bingung."

"Kenapa lo jadi dewi cinta?"

"Hah?"

"Kenapa lo mau jadi dewi cinta?"

Natha terdiam. Pertanyaan yang cukup aneh untuknya. "Mau bantuin orang. Gue gak mau liat orang terpuruk di hidupnya. Lagian gue bukan cuma jadi tempat konsul cinta, kan? Lo mau cerita tentang depresi hidup lo ke gue juga bisa."

Gema meneguk lattenya sesekali. "Kenapa? Maksud gue, lo gak bingung? Hidup lo flat banget atau gimana sampe mau bantuin orang?"

Suara tepukan keras dari telapak tangan Natha yang mendarat ke atas kepala Gema ialah jawabannya.

"Ngasal banget, ya. Gue emang punya masalah di hidup gue, banyak. Tapi gue tau, saat lo punya masalah dan gak ada yang bisa bantu lo, rasanya gak enak."

"Udah tau gitu, kenapa lo juga nggak nyari tempat cerita? Malah jadi tempat orang cerita."

"Karena cuma dengan dengerin masalah orang lain gue bisa lupa sama masalah berat yang lagi gue hadapin sendirian, Gema."

Oh tidak, ternyata, Gema bukan orang yang benar-benar tahu segala hal tentang Natha. Bukan, bukan Gema orangnya.

"Gue pernah kecewa sama banyak orang di satu waktu yang sama. Saat itu juga nggak ada satu pun manusia yang bisa gue jadiin tempat cerita, Gema. Gue nggak mau orang lain ngerasain hal yang sama kayak yag pernah gue alamin."

Gema menatap Natha lamat-lamat, lalu tersenyum kecil.

"Kak, kalo ada masalah, cerita ke gue. Jangan diem aja, ya?," ucapnya sembari mengelus pelan helaian rambut Natha.

Membuat gadis itu sesaat membeku di tempat. Perlakuan manis Gema barusan, hanya bercanda, kan?

"Ngasal! Udah, balik lagi bahas Diana, tadi—"

"Gue serius, Nath. Cerita, ya? Biarin gue tau apa aja yang udah terjadi sama lo selama gue pergi."

Natha kembali terdiam.

Haruskah?

Termasuk tentang kedua orang tuanya, teman-temannya, Juna, dan kehidupan—oh tidak. Untuk kehidupan malam yang satu itu, rahasia negara. Rahasia yang mana Natha berjanji pada dirinya sendiri, tak boleh ada satu pun orang yang tau.

Natha mengangguk. "Iya, kapan-kapan." Lalu tersenyum ke arah Gema. Tampak sangat tulus, dan memabukkan.

Natha itu cantik, sayang tak banyak orang yang menyadarinya. Tentu saja, cantik fisiknya memang terlampau standar, namun kebaikan hatinya siapa yang tahu?

Tolong, Natha tak mungkin berpaling dari sosok seorang Arjuna, kan?

***

huwayolo, hatinya bergetar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro