Extrapart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit menatap orang-orang di yang saat ini ikut serta mengantarnya. Di antara mereka, ada Dara juga. Dia berdiri berdampingan dengan Saddam.

Langit menghela napasnya. Sudah satu minggu berlalu, namun ia masih merasa hatinya sakit mengingat saat di mana orang-orang tersenyum dan bersorak bahagia ketika Dara menerima Saddam.

Tapi Langit sadar, ini kesalahannya. Ini juga yang harus dia terima. Ini bahkan tidak sebanding dengan apa yang sudah Langit lakukan pada Dara.

Saddam begitu hebat, bisa membuat orang tua Dara memberi restu begitu cepat.

Langit mundur, bukan semata-mata karena dia menyerah. Jika diteruskan, yang ada Dara akan semakin susah untuk lupa segala kenangan buruk yang pernah terjadi karena Langit.

Dara juga berhak bahagia. Dan kebahagiaan Dara sekarang, bukan Langit.

"Makasih ya udah anter gue," kata Langit menatap ke arah teman-temannya dan juga Cakra.

"Nu, lo gak ada niatan baikan sama gue sebelum gue berangkat?" tanya Langit menatap ke arah Danu yang tengah melipat kedua tangannya di depan dada.

Cowok itu membuang arah pandangnya. "Enggak."

"Yeu! Dosa lo musuhan lama-lama!" kata Pandu seraya menunjuk pandu layaknya seorang Ibu tengah memarahi anaknya.

"Yaudah, gue maapin," jawab Danu.

Langit tertawa pelan. Cowok itu langsung merangkul bahu Danu dan juga Pandu. "Gue masih sahabat kalian kan?"

"Kalau lo tobat terus enggak lupa diri kayak kemarin-kemarin, lo masih sahabat gue. Kalau masih kayak gitu, gak usahlah! Ngapain!" kata Danu.

"Cees gue balik!" Tora langsung memeluk Pandu, Langit, dan juga Danu secara bersamaan.

"Lang, nanti kalau pulang, kalau lo masih niat jadi bagian dari Danu Cees, harus dateng ke toko Paramelada twins Cees! Beli kaosnya juga!" kata Pandu.

Tora menyor kening Pandu. "Promosi teros!"

"Paramelada twins?" tanya Langit heran.

"Artinya apaan?"

"Ya enggak ada, sih." Pandu tertawa keras.

Merasa teman-temannya tidak tertawa, dia berdehem pelan. "Gue gak lucu ya?"

"Enggak."

Pandu menendang tulang kering Tora dengan kesal. Dia menatap ke arah teman-temannya yang tengah memasang wajah datar.

"Pandu, Tora, Melly, Langit, Dara, danu."

Langit menatap Pandu, cowok itu langsung menatap teman-temannya yang lain secara bergantian. "Biar gimana pun, lo tetep bagian dari persahabatan kita, Lang. Makannya nama lo gue sisipin."

"Belajar yang bener, Lang. Biar bisa dapet cewek yang lebih galak dari Dara." Tora menepuk pundak Langit beberapa kali.

Cowok itu beralih menatap ke arah Dara yang tengah tersenyum ke arahnya.

Langit membalas senyuman itu.

"Pesawat gue bentar lagi berangkat. Gue masuk ya?" ujar Langit pamit pada teman-temannya.

Pandu, Tora, Danu, dan juga Langit kembali berpelukan untuk terakhir kalinya.

Setelah itu, Langit beralih berjalan ke arah Anara. "Belajar yang bener lo, Nar." Langit menepuk puncak kepala Anara.

Anara mencebikkan bibirnya menahan tangis. "Gak tau ah! Jangan nanya sama gue!" Anara memang paling heboh saat Langit memberi tahu dirinya akan melanjutkan pendidikan di Amsterdam.

"Yaudah. Gak mau peluk, nih?" tanya Langit pada Anara.

Anara masih membuang arah pandangnya. Namun, tak lama setelahnya, dia langsung memeluk Langit dan menangis. "Jangan lupa pulang," isaknya.

"Takut kangen, hm?" tanya Langit seraya membelai rambut panjang gadis itu.

Saddam yang berada di samping Dara, langsung merangkul Gadis itu dan berbisik di telinganya. "Cemburu, ya?"

"Emang boleh?" tanya Dara mendongak menatap Saddam yang jauh lebih tinggi darinya.

"Jangan atuh." Saddam mencebikkan bibirnya sebal.

Dara tertawa pelan. Gadis itu melingkarkan lengannya pada pinggang Saddam seolah memberi tahu bahwa dia hanya bercanda.

Saddam tersenyum lebar. "Gak sekalian peluk, Dar?" bisik Saddam.

Dara melepas lingkaran tangannya kemudian menyikut perut cowok itu hingga ia mengaduh.

Saddam mengusap perutnya yang terasa sakit. "Kalau kotak-kotaknya kaget, terus copot gimana, ini?"

Biarpun ia tengah menenangkan Anara yang menangis, pandangannya tak luput Dari Dara dan juga Saddam.

Bersama Saddam, Dara terlihat lebih bebas. Saddam juga terlihat bisa mengimbangi sifat galak Dara.

Langit juga dulu begitu. Langit ... huh! Ayo Langit, lupakan.

"Udah, Nar. Gue mau ke Amsterdam bukan mau mati." Langit mengusap air mata gadis itu.

Anara mengangguk. "Yaudah, sana berangkat!"

"Dih, tadi mewek. Sekarang ngusir."

Langit beralih berjalan ke arah Dara. Saat sudah berada di depannya, ia menatap ke arah Saddam sebentar.

"Dar, gue berangkat, ya? Makasih udah mau anter ke sini."

"Iya. Sehat-Sehat di sana. Kalau udah sampe jangan lupa kasih kabar." Dara menepuk pundak Langit.

Langit mengangguk. "Iya. Dam, peluk Dara sebentar, boleh?"

Saddam menatap datar cowok itu. Namun setelahnya, ia mengangguk. "Bentar aja. Udah jadi hak milik gue, nih."

Langit tertawa pelan. Dia langsung memeluk Dara dan mengusap rambut gadis itu. "Gue bakal berusaha jadi cowok yang lebih baik di sana, Dar. Makasih udah banyak kasih pengalaman berharga buat gue," bisik Langit.

Dara membalas pelukannya. "Iya, gue yakin lo bisa jadi Langit yang lebih baik."

Langit dan Dara melepaskan pelukan mereka. Keduanya saling tatap, kemudian, Langit tersenyum.

Akhirnya, dia menyeret kopernya ditemani oleh Cakra yang ikut serta mengantar ke negara sana.

Mereka tersenyum dan melambaikan tangannya pada Langit.

Sampai akhirnya, punggung Langit dan juga Cakra tak lagi terlihat.

Nyatanya, tak semua judul bersama berakhir bersama juga. Ini mungkin memang kisah Langit dan juga Dara, namun, bukan berarti endingnya mereka harus bersama.

Kadang, kita harus berpisah dan merasa benar-benar kehilangan dulu agar kita bisa sadar dengan apa yang kita lakukan itu salah atau benar.

Tidak semua kesalahan bisa diwajarkan, terutama perselingkuhan. Mungkin memang bisa dimaafkan, tapi kecil kemungkinan untuk kembali dan bertahan..

Dara memilih pergi dari rasa sakit itu. Bukan berarti dia tidak menghargai Langit, tapi memang sudah begini jalannya. Dara tak mau masuk ke jurang yang sama.

Mungkin, Dara terkesan gampangan karena menerima Saddam yang baru dia temui beberapa bulan lalu.

Namun percayalah, Dara sudah mempertimbangkan semuanya.

Saddam berani datang pada orang tuanya, Saddam juga tidak menebar banyak janji. Dia punya cara tersendiri untuk memiliki Dara.

***

"Baby." Saddam mencium Zara yang saat ini berada di gendongannya.

Setelah pulang dari bandara, Saddam memilih mampir ke rumah Dara karena katanya, jadwal Saddam hari ini kosong.

Kebiasaan Saddam, selain datang ke rumah untuk mengobrol dengan Ragil, dia pasti akan mengasuh Zara dan biasanya, ia akan menemani Zara sampai dirinya sendiri tertidur bersama Zara.

Dara juga tidak menyangka, tampang sangar seperti Saddam, malah terlihat seperti Papa yang Sayang pada anaknya begini.

"Yang, nikah yuk. Bikin yang kayak Zara," ucap Saddam masih sibuk menggesekkan hidungnya pada hidung mungil Zara.

Zara tertawa menampakan gusi yang belum memiliki gigi. "Gemes banget sih, by. Nanti jadi isteri ke dua Abang, ya? Kakak Dara kita jadiin pembantu aja, oke?"

"Idih, pedofil. Zara udah gede, lo udah jadi Om-om, Dam."

"Biarin, biar pun udah jadi Om-Om, gue yakin kok kegantengan gue gak akan luntur," jawab Saddam seraya menaik turunkan alisnya.

"Narsis."

"Sini, sini cium, mwahh!" Saddam mencium Zara yang berada di gendongannya.

Dara mengedikan bahunya ngeri. Kebayang enggak sih jika Saddam benar-benar jadi pedofil?

"Seneng ya Zara dicium sama Abang? Tapi Kakak Dara enggak, lho. Abang minta peluk doang langsung digampar. Galak banget kan?" Saddam mengusap pipi Zara dengan jari telunjuknya.

Dara tertawa melihat Saddam yang mengerucutkan bibirnya sok imut. Gadis itu langsung menarik bibir Saddam dengan jari jempol dan telunjuknya. "Bibirnya biasa aja, jijik tau."

"Bilang aja tergoda," jawab Saddam.

"Dih."

Saddam beranjak, kemudian ia membaringkan Zara di atas kasur. Dia ikut tidur miring di sebelahnya.

Tangannya menepuk-nepuk pantat Zara agar ia segera tertidur.

"Dam, jangan ikutan tidur. Katanya mau nemenin belanja," kata Dara seraya duduk di belakang Saddam seraya memainkan kedua pipi Saddam dengan satu tangannya.

"Iya, yang, enggak." Saddam meraih tangan Dara yang masih sibuk menekan-nekan kedua pipinya.

Kemudian, jari telunjuk Dara ia masukkan ke dalam lubang hidungnya.

"Saddam! Jorok!" Dara langsung menarik tangannya dan mengelap jarinya dengan refleks pada baju yang Saddam kenakan.

Saddam tertawa. Cowok itu langsung duduk dan mencium kening Dara dengan cepat. "Yuk," ajak Saddam.

"Ke mana?"

"Tempat sebelah Zara luas, sih." Saddam melirik ke arah kasur.

Dara menampar Saddam dengan kesal. Saddam meringis namun tak urung tertawa.

Kedua tangannya langsung memainkan pipi Dara dan mengeratkan giginya saking merasa gemas dengan kekasihnya itu.

"Galak banget ini cewek. Pacar siapa sih, hm?"

Saddam menggesek-gesek hidungnya pada hidung Dara. Kemudian, ia kembali mencium kening Dara. "Yuk, ah, takut khilaf beneran." Saddam beranjak.

Namun, sebelum pergi, ia meraih dua bantal guling untuk ia simpan di kedua sisi Zara agar bayi itu tidak terjatuh ke bawah.

Saddam membungkuk. Kemudian, ia mencium kening Zara. "Abang main sama Isteri pertama dulu, ya."

"Daam! Ih!" Dara menarik kaus Saddam kesal.

Saddam ini benar-benar banyak tingkah!

"Cemburu, nih. Cemburu kan?" tanya Saddam.

"Apaan, sih? Masa cemburu sama anak kecil?" Dara protes tak terima.

Saddam tertawa. Akhirnya, ia memilih menautkan jari jemarinya pada jari kekasihnya itu.

Ia langsung mengajak Dara keluar dari dalam kamar Zara.

Bukan tentang siapa yang lebih lama ia kenal. Tapi tentang siapa yang bisa membuktikan tanpa harus banyak menebar janji.

Orang lama, tidak menjamin bisa setia. Biarpun dia menyesal, bukan berarti kesempatan bisa datang dua kali.

Kadang, perempuan akan terus bertahan atau mau kembali setelah disakiti berkali-kali. Hanya karena masih cinta, masih nyaman, atau merasa apa yang mantannya ucapkan seperti sungguhan.

Tapi tidak untuk Dara. Mau dia benar-benar menyesal atau tidak, kalau sudah tidak ada rasa percaya ya untuk apa?

Dan, kisahnya dan Langit benar-benar sudah berakhir. Namun, kisah Dara dan Saddam baru saja di mulai.

Tamat

Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

Kesan setelah baca extrapart?

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Pandu, Danu, Tora

Langit

Saddam

Baby Zara

Mau tau dong, kalau kamu jadi Dara, apa yang bakal kamu lakuin?

Kalau kamu ketemu cowok kayak Langit, bakal terus bertahan, atau milih pergi kayak Dara?

Tipe cowok kamu di cerita ini siapa?

Kalau ditaksir sama cowok modelan Saddam, bakal langsung terima atau enggak?

Jangan lupa follow instagram Octaviany_Indah biar tahu info sequel!

Terimakasih buat komentar baik di part kemarin, aku bener-bener seneng banget bacanya huhu T.T

Maaf juga kalau endingnya enggak memuaskan dan bikin kecewa. Karena ya emang gitu endingnya gak bisa diganggu gugat T.T

I love u guys!!!!

Spoiler Sqeuel, peran utama Saddam sama Dara. Kenapa? Karena kisah langit sama Dara udah bener-Bener selesai sampai di sini. Dah ya T.T

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro