Part 46

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bissmillah....

Bacanya pelan-pelan ya....

***

Hari ke hari, minggu ke minggu, dan bulan ke bulan sudah berlalu. Dara, Pandu, Danu, dan juga Melly baru saja menyelesaikan ujian mereka.

Hubungan Melly, Danu, dan juga Pandu sudah membaik. Pandu menepati janjinya pada Dara untuk menyelesaikan urusan ini.

Danu dan Melly tidak balikan. Tapi mereka baikan, walau pun Dara yakin perasaan Danu pada Melly masih ada.

Saddam, dan juga Langit, mereka Masih belum menyerah mendekati Dara. Dengar-dengar juga, Saddam dan Langit tengah terlibat project mini series bersama Anara juga.

Namun, setiap selesai shooting, Saddam selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Dara dan berbicara hal-hal random yang kadang membuat Dara kesal sendiri. Atau tidak, dia akan datang menemui Dara dan mengobrol bersama orang tua Dara.

Dia juga terlihat semakin akrab dengan keluarganya. Jujur, Dara mulai nyaman selama beberapa bulan ini sejak hadirnya Saddam.

Dia seakan sengaja ditemukan dengan Dara untuk menyembuhkan hatinya dari sakit yang dulu Langit beri.

Langit juga sama. Dia tak pernah absen mengirim pesan dengan pembahasan yang sama randomnya seperti Saddam. Dia kadang datang ke rumah, tapi tidak sesering Saddam.

Hari ini, Dara tengah duduk di toko kosong yang baru saja Pandu dan Dara beli dari hasil jualan mereka selama hampir dua tahun ini.

"Ini temboknya bisa banget gue gambar-gambar. Mau gak? Biar enggak ngebosenin," ucap Danu seraya menatap tembok berwarna putih polos itu.

Selama itu juga, Danu, Tora, dan juga Melly kerap kali membantu usaha mereka. Dari mulai ikut ke tempat sablon, mencari toko murah tapi tempatnya memadai, mengantar pesanan pelanggan, dan sebagainya.

Katanya, Daripada bosan di rumah, mendingan jalan-jalan.

"Emang budget masih ada buat beli cat, Du?" tanya Dara.

Pandu diam beberapa saat. Cowok itu mengangguk. "Kalau buat beli cat sih ada. Emang beneran mau digambar?" tanya Pandu.

"Yaelah, Du. Biar gak suntuk. Bisa dijadiin tempat buat foto juga, anak jaman sekarang sukanya nyari tempat foto yang bagus. Bisa dijadiin bisnis juga tau." Danu menatap tembok itu.

Pandu tertawa. "Bener juga lo! Yaudah, nanti sore gue belanja. Besok pagi biar bisa langsung dicoret-coret, nih. Sekalian buat kenang-kenangan, Bentar lagi kan kita lulus. Tora di Bandung, Melly ke Jogja, Danu ke Paris. Gue doang sama Dara yang netep di sini."

Iya, mereka tinggal menunggu kelulusan sebelum akhirnya mereka berpisah oleh pendidikan.

Dara sebenarnya sudah ditawarkan untuk melanjutkan kuliah di Jerman bersama Mamanya, atau di Milan tempat Papanya dulu.

Tapi Dara menolak, ia punya tanggung jawab di sini. Dia punya usaha yang sudah ia bangun dari nol bersama Pandu.

Mana mungkin kan Dara tinggalkan begitu saja? Lagipula, dimana pun tempat mengejar pendidikan, yang penting ya kitanya.

Kalau kitanya bener, ya pasti bakal bener. Kalau kitanya enggak bener, sebagus apapun kampus yang kita tempati, ya pasti enggak akan benar juga.

"Yaelah, gue mah deket kali. Naik bus juga sampe." Tora tertawa menanggapi ucapan sedih Pandu.

Ya bagaimana tidak sedih, Pandu, Danu, Tora, mereka sudah bersama hampir 6 tahun. Di mana ada Tora, di sana ada Danu dan juga Pandu.

Dari mulai jadi tukang palak di kelas, jadi preman sok jagoan di depan Kakak kelas dan Adik kelas, dihukum karena diam di kantin saat jam pelajaran, dan sebagainya.

Mereka tak akan pernah lupa akan momen itu.

"Nanti kalau kalian libur, main ke sini, ya? Tempat ini punya kita, tempat ini terbuka lebar buat kalian. Asal kalian beli kaosnya," ucap Pandu.

Danu dan Tora langsung menatap Pandu kesal. Mereka kira, Pandu akan mengucapkan kata-kata puitis yang membuat hati sedih atau apa. Eh, ujung-ujungnya harus beli kaos.

"Apa? Gue salah?" tanya Pandu menatap mereka heran.

"Enggak, Du. Bener banget," jawab Dara seraya tertawa.

Dara benar-benar tidak menyangka apa yang Pandu dan Dara mulai bisa sampai memiliki toko begini.

Padahal, Dara awalnya sama sekali tidak berminat. Tapi, Pandu yang memaksa. Biar bagaimana pun, Pandu yang lebih banyak berkorban demi usaha ini.

"Kita udah punya toko, Dar." Pandu merangkul Dara seraya menatap ke arah tembok yang masih kosong itu.

Kemudian, Pandu melirik ke arah Melly. Tangan satunya terulur merangkul bahu Melly dan menatap ke arah tembok.

Dara menarik Tora. Tora yang paham, langsung merangkul Dara. Sedangkan Danu, ia ikut bergabung dan merangkul Melly.

"Ini punya kita, ini kita yang perjuangin. Alasan gue mau bangun usaha ini, biar kalian punya tempat pulang. Ini rumah kalian, jangan sungkan kalau mau datang." Pandu tersenyum lebar.

Tora menepis air matanya. Dia belum siap jika harus berpisah dengan mereka. Cowok itu langsung berjalan ke arah Danu tanpa melepas rangkulannya pada Dara.

Sehingga, mereka berpelukan dengan posisi melingkar. "Kalau ada apa-apa sama toko ini, lo harus cerita, Du. Kita gak akan biarin rumah kita diusik sama orang lain," kata Tora.

***

Dara memasuki motornya ke dalam halaman. Namun, alisnya berkerut ketika mendapati Langit yang tengah duduk di teras seraya memainkan kunci motor.

Menyadari kehadiran Dara, Langit beranjak. Cowok itu tersenyum, namun, ada yang berbeda dari Langit. Dia terlihat tidak ceria seperti biasanya.

"Dari mana, Dar?" tanya Langit.

"Dari toko. Ada apa? Udah lama?" Dara balik bertanya.

Langit tersenyum dan menggeleng. Cowok itu menatap ke arah jalanan komplek yang nampak begitu sepi. "Gue mau pastiin sesuatu, Dar. Boleh gue minta waktu sebentar?"

"Di sini?"

Langit mengangguk.

"Yaudah." Dara akhirnya memilih beranjak dan duduk di atas teras diikuti Langit.

Langit menatap ke arahnya. Cowok itu menarik napasnya, dan ia buang secara perlahan. "Dar, maaf kalau ini ganggu lo. Gue cuman mau tanya, perasaan lo ke gue sekarang, gimana?" tanya Langit pelan.

Dara menatap Langit. Ia menghela napasnya. "Udah gak ada, Lang. Hambar, kosong, soal kejadian lo yang selingkuh tanpa sadar sama Shani, gue udah maafin. Bohong kalau gue gak sakit hati, Lang. Gue udah kasih seluruh kepercayaan gue sama lo. Tapi lo yang hancurin semuanya, Lang."

"Lo risih ya gue deketin lagi akhir-akhir ini?" tanya Langit berusaha menepis rasa sesak saat Dara mengatakan perasaan Dara tak sama lagi.

Dara tersenyum. "Jujur gue bingung. Gue seneng lo balik lagi jadi Langit yang dulu. Banyak omong, ceria, kalau ngomong juga asal keluar aja. Tapi di sisi lain, gue udah bener-bener gak bisa buat sama lo lagi, Lang. Perasaan gue udah gak sama, Lang. Maaf."

"Gue udah bilang sama lo dari awal buat berhenti, tapi lo yang milih buat terus maju."

Langit tersenyum kecut. Ia mengangguk. Iya, dia juga sadar respon Dara tak lagi seperti dulu.

Dara benar-benar berusaha menjaga jarak walau masih menghargai. Dia terus menerus bilang secara pelan-pelan pada Langit untuk berhenti.

Tapi, Langit menghiraukannya. Dia masih terus maju, padahal dia tahu jawaban Dara seperti apa.

Dara tidak mungkin menerima kehadirannya lagi.

"Oke ...." Langit tersenyum.

"Gue berhenti, Dar."

Dara tersenyum. Tangannya terulur menepuk bahu Langit. Langit menelan salivanya susah payah menahan rasa sesak di dalam dadanya.

Matanya terasa panas menatap Dara yang tengah tersenyum ke arahnya.

"Lo berhak dapet yang lebih dari gue, Lang. Maaf kalau gue terkesan enggak menghargai usaha lo selama beberapa bulan ini."

Langit meraih tangan Dara. Ia mengusap lembut punggung tangan gadis itu. "Makasih udah jadi cewek sabar selama ini, Dar. Makasih juga udah dorong gue sampai gue bisa ada di titik sekarang."

"Maaf kalau apa yang lo kasih ke gue, malah gue bales sama kebalikannya. Maafin gue, Dar," ucap Langit lirih.

Dara mengangguk. "Iya. Lo hebat, Lang. Lo cowok hebat yang pernah gue temuin. Makasih juga udah buat gue sama Papa baikan kayak sekarang. Semuanya berkat lo."

Langit tersenyum walau terasa begitu sulit. Ia mengangguk. "Gue lanjut kuliah di Amsterdam. Gue dapet beasiswa, Dar."

"Setelah project mini series selesai, gue berangkat ke sana dan mau fokus sama pendidikan gue."

"Iya. Gue yakin lo berhasil, Lang." Dara masih tersenyum. Langit mengeratkan genggaman tangannya pada Dara.

Cowok itu menatap lekat wajah Dara yang terlihat baik-baik saja. "Pas gue berangkat nanti ... gue minta lo datang ke bandara, mau?"

"Kabarin aja."

"Boleh peluk?"

Dara mengangguk. Langit langsung memeluk Dara. Ia benar-benar menyesal pernah mengecewakan dan membuat gadis sebaik Dara pergi begitu saja dari hidupnya.

Dara baik, bahkan, disaat ia menyakiti hati Dara, dia masih bisa tersenyum dan bersikap dengan tenangnya.

Tangan Langit mengusap lembut kepala Dara. Dara tak bereaksi apa-apa.

"Lo harus bahagia, Dar," bisik Langit.

***

Satu bulan berlalu. Setelah hari di mana anak-anak kelas 12 dinyatakan lulus, kini mereka sudah masuk pada hari di mana perpisahan berlangsung.

Semua siswa kelas 12 duduk di kursi yang telah disediakan. Menatap ke arah panggung di mana salah satu guru tengah mengumumkan kejuaraan.

"Juara ke dua angkatan tahun ini, diberikan kepada Dara Rizqika Rahayu."

Suara tepuk tangan terdengar begitu meriah. Dara maju ke depan untuk bergabung bersama juara tiga yang sudah berdiri di sana.

"Juara pertama angkatan tahun ini, diberikan kepada Muhammad Pandu Ar-Rasyid."

Pandu membelakkan matanya. Cowok itu menatap ke arah Emaknya yang sudah melambai-melambaikan tangannya bangga.

Pandu langsung ke depan bergabung bersama Dara dan juga juara ketiga.

Mereka diberi sertifikat penghargaan, mendali, dan juga foto bersama. Setelah itu, acara berlanjut pada pengalengan mendali pada seluruh siswa kelas 12 secara teratur.

"Emakkk!" Pandu berteriak pada Emaknya seraya memberikan sertifikat yang dia terima.

Ia memeluk Emaknya dengan erat. "Pandu juara satu, Mak!" pekiknya.

"Bangga Emak sama Pandu." Emak mengusap puncak kepala putranya dan melihat sertifikat yang diberikan oleh Pandu.

Pandu membuka mendalinya. Kemudian, ia mengalungkannya pada leher Emaknya. "Foto bareng pandu ya, Mak?" pinta Pandu seraya memberikan ponselnya pada Tora.

Tora mencebikan bibirnya sebal. "Gue juga mau kali."

"Diem deh!"

Di lain tempat, Dara langsung menggendong Zara-Adiknya yang baru berusia sekitar 3 bulan.

"Kakak dapet juara." Dara menciumi wajah Zara dengan gemas.

Ayu tertawa pelan melihat Dara begitu. Dia bangga dengan pencapaian yang Dara raih.

Walaupun bukan juara 1, itu sudah cukup hebat bagi Ayu.

Nama Zara sendiri, adalah singkatan dari Reza dan Dara. Ayu berharap, Zara akan menjadi penyayang dan pelindung seperi Reza melindungi Dara dan Ayu. Dia juga ingin Zara setangguh dan sekuat Dara.

"Cie, adik gue udah mau jadi anak kuliahan, nih." Reza merangkul bahu Dara. Kemudian dia menunduk menciumi pipi Zara. "Kakaknya udah mau kuliah, ya?"

Zara terlihat menggeliat. Namun, ia juga terlihat tertawa dengan gigi yang belum tumbuh itu.

"Papa mana, Ma?" tanya Dara.

"Tadi sih lagi ngobrol sama ... siapa sih, Za? Yang suka ngobrol sama Papa itu lho. Yang sering ke rumah bawa macem-macem gantungan kunci."

Dara mengerutkan alisnya. Ia menatap ke arah Reza. "Siapa?"

"Saddam."

"Saddam?" Dara langsung memberikan Zara pada Reza.

Dengan baju kebaya dan wajah yang dipoles oleh make up itu, dia berlari mencari keberadaan Papanya dan juga Saddam.

Saat akhirnya, dia melihat Saddam yang tengah tersenyum ke arahnya.

Ragil terlihat menepuk pundak Saddam memberi semangat.

"Papa ke Mamamu dulu, ya." Ragil menepuk puncak kepala Dara dan memilih pergi meninggalkannya.

Dara menatap Saddam yang tengah menggenggam satu buket bunga berisikan boneka. "Cie lulus cie." Saddam mencubit pipi Dara dengan gemas.

Dara tersenyum. Ia menatap Saddam yang memberikan buket itu pada Dara. "Gue beli di depan gerbang. Niatnya gak mau kasih apa-apa, tapi pas lihat buket warna biru, Yaudah gue beli," ujarnya.

Dara menerimanya. "Makasih."

"Cium dong." Saddam menunjuk pipinya.

Dara mencubit pipi cowok itu dengan kesal. Saddam mengaduh. "Sakit, Dar, astaga!"

"Lo sih."

"Kenapa? Gue ganteng? Eh, mau tahu gak tadi gue ngobrol apa sama Papa?" tanya Saddam.

Dara mengerutkan alisnya. "Papa?"

"Calon papa mertua. Gue minta izin buat jadiin anaknya pacar, dia bilang, dia dukung. Jadi ... tinggal lonya, nih...."

Saddam menarik napasnya pelan. Cowok itu berdehem pelan. "Bentar, gue gugup."

Saddam terlihat menarik napas dan membuangnya berkali-kali. "Oke, bisa, dam," dia bergumam.

Kemudian, ia meraih tangan Dara, dan menatap gadis itu lekat. "Dar, mungkin lo mikir selama ini gue itu cowok gak jelas, sok akrab, mepet-mepet, tukang gombal, atau apalah itu. Jujur, gue sering denger cerita tentang lo dari Anara. Dia bilang, lo cewek kuat, baik, dan banyak lagi."

"Gue selalu stalking instagram lo. Cari info soal lo lewat Anara. Gue ... langsung penasaran, tertarik, pengen ketemu. Dan sampai hari di mana kita ketemu di mini market, gue bener-bener seneng banget. Lo beda, Dar, di saat semua orang anggap gue artis, lo enggak."

"Selain itu, keluarga lo juga baik. Dia mau nerima gue. Gue ... ah! Banyak omong banget sih ini mulut." Saddam menghela napasnya kasar.

Dia menatap ke arah Dara. "Dar, gue suka sama lo. Lo mau kan terima gue?"

"Terima aja, Dar!"

Dara menoleh ke belakang. Ia melihat Mama, Papa, Reza, Emak, sahabat-sahabatnya, dan juga Anara ada di sana.

Dara kembali menatap ke arah Saddam. Saddam menatap Dara terlihat gelisah. Cowok itu melirik ke arah Papanya Dara dengan perasaan tidak karuan.

"Lo emang cowok gak jelas, sih," ucap Dara.

Saddam diam. Ia tahu Dara masih akan berbicara. Akhirnya, dia memilih diam dan menatap gadis itu menunggu kalimat selanjutnya.

"Lo juga ... sok akrab banget. Deketin cewek gaspoll sampai keluarganya lo deketin. Lo pake pelet apa sampai bisa akrab sama Papa?" tanya Dara.

Saddam mengerutkan alisnya. Dia tertawa, "Gue gak pake pelet aja bisa bikin orang naksir sekali lirik, Dar. Apalagi kalau pake. Lonya aja yang enggak mempan."

Saat Dara akan menjawab, ia melihat sosok Langit yang berdiri tak jauh dari tempat Dara dan Saddam berada.

Gadis itu diam beberapa saat. Ia menatap ke arah Saddam dan Langit yang di kejauhan itu secara bergantian.

Di sana, Langit tersenyum dan mengangguk seolah mengatakan, ikuti apa kata hati lo.

Dara membalas senyuman Langit. Kemudian, ia menatap ke arah Saddam dan membalas genggaman tangan cowok itu. "Gue kalau udah disakitin gak mau balik lagi, lho."

"Gue sebenernya gak ada niatan buat sakitin lo ya, Dar. Tapi kalau ke pepet sih gak tahu. Soalnya cewek bening kan banyak banget. Terus-"

"Ihh!" Dara mencubit perut Saddam dengan kesal.

Saddam tertawa. Ia mengusap puncak kepala Dara dengan lembut. "Gue gak janji, Dar. Tapi gue bakal berusaha buat enggak sakitin lo."

Dara terlihat berpikir sejenak. Saddam baik, biarpun aneh tapi dia tipe cowok gentle menurut Dara.

Bahkan, sebelum mengungkapkan perasaannya pada Dara sekarang, dia malah meminta izin terlebih dahulu pada Ragil.

Jika Saddam memang berniat menyakiti Dara, meminta izin pada Ragil ... bukankah sama saja cari mati?

Berarti ....

"Gue serius, Dar. Gue siap kapan aja lo minta gue lamar. Ya gue mah seneng-seneng aja. Gue udah 21 tahun ya, kan? Udah bisa lah nikah muda." Saddam tertawa. Dara ikut tertawa.

Saddam ini memang tidak bisa serius, ya?

"Dam," panggil Dara.

"Iya?"

"Gue bukan tipe cewek yang suka minta ini itu sama cowok. Apa lo gak keberatan?" tanya Dara merasa khawatir kalau Saddam akan sama seperti Langit.

Saddam tersenyum. Tangannya beralih mengusap pipi Dara dan menatapnya lembut. "Dar, gue suka sama lo, karena lo jadi diri lo sendiri. Itu artinya, semua sikap atau apapun yang ada di diri lo, gue enggak masalah."

"Lo boleh tinggalin gue, lo boleh minta Reza pukulin gue, lo boleh minta temen-temen lo serang gue sampai masuk rumah sakit kalau gue sakitin lo. Gue gak akan kabur."

Anara yang melihat mereka masih berbincang, dengan ponsel yang masih merekam mereka, berteriak, "SADDAM KALAU UDAH BUCIN SEMUANYA DIA KASIH, DAR."

"TERIMA!" Teriak Anara.

"TERIMA ... TERIMA ... TERIMA!"

Teriakan teman-temannya membuat Saddam semakin gugup. Ya bagaimana tidak gugup, ini di tempat umum.

Yang menonton dan merekam bukan hanya satu orang.

"Gue mau."

Saddam sontak melebarkan senyumnya. Dia melompat senang dan langsung berlari ke arah Ragil dan memeluk Papanya Dara. "Pa! Terimakasih doa restunya! Nanti kalau udah nikah dikasih cucu yang lucu kayak Zara," ucap Saddam masih melompat-lompat.

Di kejauhan sana, Langit tersenyum. Walau tak dapat dipungkiri, hatinya sakit melihat Dara akhirnya bertemu dengan lelaki yang lebih baik daripada dirinya.

Langit percaya Saddam. Langit percaya Dara akan aman bersama Saddam.

Langit dan Dara, mereka hanya sepasang remaja yang pernah menjalin cinta tanpa bisa bersama.

Kisah SMA mereka berwarna ketika mereka masih bersama. Dan semuanya mendadak abu-abu dan gelap ketika Langit membuat kesalahan yang membuat dirinya menyesal sampai sekarang.

Kisahnya dengan Dara berakhir sampai di sini. Tidak semua pertemuan manis bisa berakhir dengan manis juga.

Terlebih lagi, kisah cinta SMA. Tidak menjamin mereka akan hidup bersama.

Langit Dara di masa SMA, kini sudah usai menyisakan penyesalan di dalam diri Langit yang mau tak mau harus ia ikhlaskan.

Selesai

Akhirnya Langit Dara selesai sampai di sini T.T

Gimana endingnya?

Terimakasih buat semuanya yang udah temenin dari awal sampai akhir cerita ini ditulis.

Lebih kurangnya mohon dimaafkan.

Dan semoga, ada pengajaran yang bisa kalian petik dari cerita ini ya^^

Ada yang ingin di sampaikan untuk Langit

Dara

Saddam

Pandu

Aku?

Dan semuanya?

Mau sequel?

Spam apa aja dong di sini=>

See you di next cerita!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro