Part 45

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara menyimpan bungkusan martabaknya di meja. Ayu, Ragil, dan juga Reza yang tengah menonton televisi menatap ke arah Dara yang langsung duduk di samping Ayu dan memeluknya.

"Anak Mama kenapa, hm? Siapa yang dateng? Kok gak disuruh masuk?" tanya Ayu seraya mengusap lembut rambut Dara.

Dara tidak menjawab. Ia memilih menempelkan pipinya pada bahu Ayu. Tangannya mengusap lembut perut buncit Mama tirinya itu.

"Gak papa, Ma."

"Pa, kalau Reza nyender-nyender kayak Dara ke Papa, Papa geli gak?" tanya Reza tiba-tiba.

Ragil membelakkan matanya. Dia langsung memeluk lengan Ayu dan menyandarkan kepalanya pada bahu seperti Dara. "Papa masih suka Mama kamu, Za."

"Yah, padahal pelukan Reza anget, Pa. Gak mau nyoba?" Reza merentangkan tangannya.

Dara mengambil bantal kemudian melemparnya pada Reza. Reza tertawa saat bantal itu berhasil ia tangkap. "Kenapa? Mau?" tanya Reza.

"Geli anjir, Za!" ucap Dara kesal.

"Yeu! Gue kasih gratisan, nih. Kapan lagi peluk-peluk tubuh gue yang—"

"Ceking? Ogah! Apaan, tulang doang," sahut Dara.

Reza melirik sebal ke arah Ragil dan juga Ayu yang tertawa. Semakin sini, Dara dan Reza malah terlihat seperti Adik Kakak kandung.

Sering bertengkar, tapi jika ada apa-apa ya orang pertama yang Dara hubungi ya Reza.

"Ma, masa Reza dibilang ceking!" adu Reza tak terima.

Dara dan Reza masih terus berdebat. Ragil dan Ayu sesekali menanggapi dan tertawa.

Sampai akhirnya, ponsel Dara yang berada di atas meja, berdering beberapa kali.

Gadis itu meraihnya dan membuka dengan kepala yang masih bersandar di bahu Ayu.

Pandu : Sekalian Nanti ke….(2)

Langit : Gue jemput sama si….(5)

085xxxxxxxxx : Niat banget….(7)

Danu : Gak usah bawa motor biar….(2)

Dara mengerutkan alisnya. Gadis itu melirik ke arah Ayu yang ikut melihat layar ponsel Dara.

Dara tidak keberatan, lagipula, tidak ada yang aneh juga di sana.

Dara memilih membuka notifikasi pesan dari Pandu terlebih dahulu. Gadis itu meringis pelan membaca pesan dari cowok itu.

Pandu : Dar, besok ke sekolah bareng ya? Gak usah bawa motor, biar sama gue aja.

Pandu : Sekalian nanti kita ke tempat sablon dulu bawa barang

Dara : Gue dianter Reza. Ketemu di sana aja

Dara harus menjaga jarak dengan Pandu. Dia tidak mau malah terjadi masalah lagi nantinya.

Kemudian, dia beralih membuka pesan masuk dari Langit. Dara diam beberapa saat kala membaca pesan itu.

Langit : Martabaknya jangan lupa dimakan loh, biar mimpi Indah

Langit : Eh gak nyambung ya?

Langit : Eh besok gue ke rumah ya?

Langit : Pagi-pagi banget, mau stand by kayak satpam komplek

Langit : Gue jemput sama si Entin, nanti gue anter ke sekolah. Terus lo peluk gue dari belakang, terus kita kayak Dilan sama Milea deh, duh … jadi malu

Dara : Makasih martabaknya. Gue berangkat sendiri, gak usah ke sini

Dara menghela napasnya. Saat akan memencet pesan dari Danu, tiba-tiba saja panggilan vidio muncul di ponsel Dara.

nomor tidak dikenal. Gadis itu melirik ke arah Ayu sebentar. Kemudian, dia memilih mengangkatnya.

Saddam, cowok itu tengah tengkurap di atas tempat tidur. Rambutnya basah, dia tersenyum lebar.

"Eh, hai Tante!" sapa cowok itu pada Ayu.

Ayu tersenyum membalasnya. Sedangkan Dara berdecak kesal. "Ngapain sih? Perasaan nomor lo udah gue block deh."

"Bikin whatsapp ganda. Kalau di block Lagi, nanti gue bikin lagi." Saddam menaik turunkan alisnya.

Dara menyerahkan ponselnya pada Ragil. Ragil yang terlihat bingung, langsung menerimanya dan menatap ke arah ponsel.

"Hai, Om! Saya Saddam Om, maaf ya enggak kenalan secara langsung. Tapi, kapan-kapan saya ke rumah Om buat kenalin diri sebagai calon suami Dara."

"Anak saya masih sekolah."

"Saya siap nunggu, Om."

Ragil melirik ke arah Dara yang terlihat cuek dan memilih memfokuskan diri ke layar televisi.

Ragil kembali menatap ke arah ponsel yang memampangkan wajah pemuda yang sepertinya memang tengah mendekati anak gadisnya. "Anak saya tidurnya ngorok."

Bagus Pa! Dara tersenyum lebar.

"Gak papa, biar biar gak sepi pas malem, Om."

Ragil menggeleng pelan. Ternyata, selain Langit masih ada pemuda lain yang berani menghadapinya begini.

Malah, dia terlihat santai.

"Tapi Om, saya mau curhat. Dulu, saya gak direstuin sama orang tua pacar saya. Katanya, gara-gara saya punya ini, terus pake ini, terus saya pake celana kayak gini … bentar Om, saya ambil dulu."

Saddam menunjukkan tato di lengannya, kemudian, menunjuk anting di telinganya. Dan sekarang, dia terlihat tengah mengambil sesuatu di lemari.

Tak lama, dia kembali dan duduk bersila di depan ponselnya. "Ini Om, padahal keren ya?" Saddam menunjukan celananya yang sobek di bagian lutut.

"Om gak masalah, kan? Saya deketin Dara walau tampilan saya kayak gini? Trauma ditolak calon mertua saya."

Ragil tertawa, Ayu yang ikut melihat itu juga ikut tertawa. Ternyata, masih ada cowok yang tingkahnya melebihi Langit begini.

Mengapa Dara gemar sekali di dekati cowok-cowok begini?

"Usahakan aja, ya. Nih, Dar." Ragil memilih memberikan ponselnya pada Dara.

Saat Saddam akan berbicara, Dara langsung mematikan sambungannya saat itu juga.

Ia beralih membuka chat dari Danu.

Danu : Besok ke sekolah bareng ya? Gue lagi di rumah saudara gue, nih. Rumah satu komplek sama lo

Danu : Gak usah bawa motor, biar bareng sama gue aja

Dara : Gue dianter Reza

Dara menghela napasnya. Gadis itu memijat pelipisnya pelan. Ia memilih menyimpan ponselnya di meja.

***

Esoknya, Dara sudah siap diantar Reza ke sekolah. Namun sialnya, saat ia keluar di gerbang, sudah ada empat orang laki-laki dan kendaraan mereka di sana.

"Ngapain?" tanya Dara heran.

Pertama, Pandu, dia duduk di atas motornya dengan wajah yang terlihat kesal seraya melirik-lirik ke arah Langit.

Kedua, Langit dia berdiri di depan si Entin seraya tersenyum lebar ke arah Dara.

Ketiga, Danu. Cowok itu terlihat santai di atas motornya sendiri.

Keempat, Saddam! Dia tahu rumah Dara dari mana?! Mana bawa mobil silau banget lagi, warna kuning!

Cowok itu mengenakan kacamata hitam dan berdiri bersandar pada mobilnya. "Dar, ayo, gue dari subuh loh nyari alamat lo. Untung lihat si Langit udah nangkring." Saddam menepuk pundak Langit.

Langit menepisnya. "Apaan, sih?"

"Santai atuh, Bro."

"Dar, bareng gue aja, yuk. Kita kan mau ambil barang ke tempat sablon. Ini kalian semua ngapain sih ke sini?! Kurang kerjaan banget!" ucap Pandu seraya menatap satu persatu laki-laki yang berada di sini.

Pandu menatap Danu. "Lo juga!"

"Lah? Gue kebetulan lewat. Ya kalau Dara mau sama lo yaudah, lagian kan gue masih bisa ikutin dari belakang. Niat gue biar ada temen berangkat doang," jawab Danu.

Langit menepuk jok motornya dan menatap ke arah Dara. "Yuk, Dar. Si Entin kangen."

Tak lama, motor KLX yang ditunggangi oleh Reza keluar dari arah gerbang.

Dara langsung naik ke jok belakang. Sedangkan cowok-cowok itu menatap Dara kaget, terkecuali Danu. Karena niatnya ke sini pure biar ada teman di jalan.

"Kalian ngapain nangkring di sini? Masih pagi pula, mau kasih makan kucing?" tanya Reza heran.

"Berangkat, Za." Dara mulai tak nyaman. Gadis itu menepuk punggung Reza.

Reza mengangguk. Dia memilih melajukan motornya meninggalkan mereka yang langsung mendesah kecewa.

Langit menatap satu persatu. Ternyata, putus dari Langit banyak juga yang mengejar Dara.

"Lo kenal Dara dari mana?" tanya Langit pada Saddam.

"Kenal sih baru kemarin. Tapi kalau suka ya udah lama, sering lihat foto dia diunggah sama Anara soalnya. Mantan lo manis ya, kemarin gue di gampar." Saddam tertawa seraya menunjuk pipinya sendiri.

Pandu menatap ke arah Danu. "Ada ya orang yang seneng di gampar sama Dara? Padahal, dia kalau gampar orang bukan gampar-gampar manja," bisik Pandu.

"Gamparnya pake tenaga kuli bangunan, ya?" jawab Danu.

Pandu mengangguk. Mereka kembali menatap ke arah Saddam dan juga Langit yang masih mengobrol.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Langit.

"Sama kayak lo. Niatnya anter Dara ke sekolah, eh, malah ditolak. Padahal semalam gue udah mandi kembang tujuh rupa. Gak mempan, ya? Besok-besok gue mandi pake air aja, deh," kata Saddam seolah tak terpengaruh dengan nada bicara Langit yang tak suka padanya.

Dia melepas kacamata hitamnya. Kemudian, mengusap rambutnya ke belakang dan tersenyum. "Bersaing secara sehat, ya? Gue gak suka pake otot." Saddam memilih masuk ke dalam mobilnya. Kemudian, dia melajukannya dengan kecepatan sedang.

Langit beralih menatap ke arah Pandu dan juga Danu.

"Lang, kemana aja lo? Udah lama gak ketemu," sapa Pandu.

"Orang sibuk mana ada waktu buat butiran debu, Du. Ayo cabut," ajak Danu.

Pandu memberi sapaan terakhir pada Langit sebelum dia pergi.

Sedangkan Danu memilih melajukan motornya begitu saja.

Langit menghela napasnya pelan. Danu masih belum memaafkan Langit. Dara juga sama, dia terlihat menjauh.

Apalagi, sekarang bukan hanya Langit yang tengah memperjuangkan Dara. Ada Pandu juga, Langit tahu cowok itu suka pada Dara terlihat dari gelagatnya.

Kemudian, ada Saddam. Dia bukan saingan biasa. Bukan hal yang sulit untuk Saddam memikat seorang gadis.

Biarpun terkesan seperti playboy, tapi Saddam tidak begitu. Langit ingat, Anara pernah bilang Saddam kalau sudah suka sama orang, bucinnya tingkat akut.

"Gini banget. Lo sih, pake acara lupa diri segala. Mau dapetin lagi jadi susah, kan?" Langit mengacak rambutnya kesal.

Tidak Apa-apa, masih ada hari lain. Masih ada bulan bahkan sampai tahun berikutnya dan berikutnya.

Langit tidak boleh menyerah begitu saja. Karena dulu, Dara juga tidak semudah itu menyerah untuk mempertahankannya.

Semangat, Langit!

***

Siang harinya, Langit dapat kabar dari Aldo katanya dia mendapat tawaran bermain mini series. Katanya, bisa Langit pertimbangkan dulu.

Saat ini, ia tengah duduk di apartemen milik Aldo dengan mata yang tertuju pada ponsel.

"Kata Doni, Anara juga dapet tawaran itu dan bakal ikut main juga."

Langit menatap ke arah Aldo. Ia menghela napasnya pelan. "Yaudah, gimana baiknya aja."

Aldo tersenyum senang. Ia langsung menganggukkan kepalanya dengan semangat.

"Yaudah, nanti kabar selanjutnya gue info'in lagi. Yang penting, besok jangan lupa, besok pagi lo jadi bintang tamu di acara festival musik."

Langit berdehem pelan. Ia memilih merebahkan tubuhnya di sofa. "Bang, Mantan kalau udah ditinggalin kok makin cakep, ya?"

"Siapa? Dara? Katanya dia deket sama Saddam mantannya Anara, kan? Gue lihat berita di internet aja sih."

"Itu mah kebetulan doang ketemu di mini market, cuman dilebih-lebihin aja. Mereka gak deket, Saddam yang deketin Dara," jawab Langit.

Aldo mengerutkan alisnya. "Masa sih? Serius Saddam yang deketin? Bukannya waktu pacaran sama Anara, yang PDKT duluan Anara, ya? Padahal kan Anara cantik. Lah Dara—"

"Dara juga cantik. Gak usah dibandingin sama Anara. Setiap orang punya daya tarik sendiri-sendiri." Langit memotong ucapan Aldo kesal.

Aldo tertawa. "Iya-iya sori deh. Terus, kalau si Saddam deketin Dara, lo merasa kalah saing?"

"Ya … gitu deh." Langit menghela napasnya pelan.

"Lemah banget lo. Kalau sayang ya perjuangin."

"Kalau lo lupa, lo hampir bikin gue sama Dara jauh gara-gara gue unggah foto dia, terus besoknya disuruh lo hapus." Langit melirik tajam ke arah Aldo.

Aldo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tercengir. "Maaf, deh. Kan waktu itu lo masih pendatang baru banget, Lang. Ya iya sih gue juga salah asal ambil keputusan tanpa tanya lo setuju atau enggak."

Di lain tempat, sekolah Dara baru saja bubar. Gadis itu saat ini berjalan bersama Melly berdua.

Saat mereka sampai di halte bus, motor milik Pandu, Danu, dan juga Tora berhenti tepat di depan mereka.

"Dar, ayo," ajak Pandu.

Dara melirik ke arah Melly. Sepertinya, Pandu belum tahu perihal putusnya hubungan Danu dan juga Melly.

Sedangkan Danu, ia terlihat enggan menatap ke arah Melly. Matanya memilih menatap ke arah jalanan yang dipenuhi oleh siswa dan siswi yang baru saja bubar.

"Nu," panggil Melly.

"Gue cabut duluan, ya. Udah ditungguin sama Kakak gue." Danu memilih melajukan motornya meninggalkan kawasan halte.

Sedangkan Melly, ia tersenyum kecut. Ia hanya ingin meminta maaf pada Danu. Namun, dia menghindar.

Tora melirik ke arah Melly dan juga Dara. "Mel, ayo gue anter," ajak Tora.

"Mel sama Tora ya?" ucap Dara. Dia harus bicara pada Pandu.

Akhirnya, Melly memilih ikut bersama Tora. Sedangkan Dara, dia berjalan mendekat ke arah Pandu. "Du, ada yang mau gue omongin. Ke warung sana dulu, ya?" Dara menunjuk salah satu warung yang nampak sepi.

Pandu mengangguk. Lantas, ia menyalakan motornya dan meminta Dara agar segera naik.

Setelah itu, motor pandu berjalan ke arah sana dan berhenti.

Mereka turun, kemudian duduk di kursi kayu.

"Danu sama Melly putus. Lo tahu Melly suka sama lo?"

"Tau," jawab Pandu. "Lo tahu sendiri, Dar. Gue gak mau pacaran. Gue udah jaga jarak sama Melly, gue juga gak ngerasa pernah baperin dia kok."

Dara menghela napasnya pelan. "Gue tau. Tapi Du, gue juga gak enak kalau lo terus ajak gue ke sana ke sini di depan Melly. Dia pasti salah tanggap, dia pasti nyangkanya lo suka sama gue. Danu dijadiin pelampiasan, Du. Emang bukan salah Melly doang, Danu juga salah karena terlalu maksa."

"Tapi tolong, Du. Kita temenan biasa aja ya? Jangan terlalu deket, jangan juga terlalu jauh. Gue gak mau malah bikin persahabatan kita hancur cuman gara-gara masalah ini."

"Lo mau jaga jarak gitu? Dar, ayolah, gue gak punya hubungan apa-apa sama Melly. Kenapa mesti jaga jarak segala?" Pandu protes tak terima.

Dara berdecak pelan. "Lo gak ngerti pemikiran cewek gimana. Gue sama lo ya emang pure temenan tanpa libatin perasaan, tapi Melly mana tahu, sih? Dia mungkin mikirnya gue sama lo ada hubungan lebih. Apalagi, gue sama Emak deket banget."

"Gue gak punya perasaan itu, Du. Gue yakin lo juga—"

"Gue punya, Dar."

Dara mematung. Gadis itu menatap Pandu kaget. Cowok itu menatap Dara dengan pandangan yang sangat sulit Dara artikan.

Dara tertawa. "Apaan, sih? Lawak lo." Dara menepuk pundak Pandu beberapa kali.

Pandu menghela napasnya. "Dar, gue juga sebenernya gak ngerti sama perasaan gue akhir-akhir ini. Gue gak pernah suka sama cewek, gak pernah pacaran, gue juga gak pernah ngerasain dada gue gak karuan banget kalau deket sama cewek."

"Sama lo doang Dar. Sama lo doang gue selalu ngerasa seneng kalau ketemu."

Dara menghela napasnya. Kemarin Langit minta kesempatan, lalu Saddam meminta restu pada Papanya, sekarang Pandu.

Dara ingin menghilang saja rasanya.

"Du, sori, lo sahabat gue. Selamanya bakal terus kayak gitu. Lo baik, Du. Tapi gue gak bisa bales perasaan lo. Lagian, sebentar lagi kita Ujian, belum lagi urus ini itu buat masuk kuliah. Baiknya kita jangan ngomongin soal ini, ya?"

Pandu mengangguk. "Iya. Yang tadi jangan dipikirin, gue juga belum yakin kalau gue punya perasaan lebih sama lo. Lo juga tahu gue bego soal beginian."

"Lagian gue juga gak ada niatan buat jadiin lo pacar kok, Dar. Pertama, gue udah janji sama Emak kalau gue gak akan pacaran sebelum gue mapan. Kedua, lo sahabat gue rasanya pasti aneh banget kalau status kita tiba-tiba berubah. Ketiga, Langit sahabat gue juga, gue gak mungkin deketin mantan dia di saat dia juga masih suka sama lo." Pandu tersenyum.

Dara menghela napasnya. Untunglah Pandu tidak menuntut jawaban.

"Tapi kita gak perlu jauhan, Dar. Biar gue yang urus semuanya sama Melly sama Danu. Kita kan partner bisnis, masa iya jauh-jauhan?"

Dara tersenyum dan mengangguk. Tangan Pandu terulur menepuk puncak kepala Dara.

Setidaknya Pandu lega sudah bisa mengutarakan perasaannya yang entah apa ini.

TBC

Sesuai janji kan? Tadinya mau sore, berhubung signal lagi bagus, target udah sampe juga. Yaudah T.T

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

Reza

Saddam

Danu

Pandu

900 komentar, next besok, yuk!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro